Chapter 1

1770 Kata
From : Johandra Sutedja Ikan saya mati La Ella menghela napasnya membaca pesan tersebut. “Turut berduka cita ya, Pak.” Ella bersungguh-sungguh ingin mengetikkan pesan tersebut sebagai balasan. Akan tetapi lebih dulu muncul pesan lagi dari Johan. From : Johandra Sutedja Nanti km tolong cek ya ke rumah, ikan lainnya yg di kolam Ella tertawa. Lebih tepatnya tertawa miris menertawakan dirinya sendiri. “Dokter hewan gue?” celetuknya pada diri sendiri To : Johandra Sutedja Baik Pak Tetap saja mau semengumpat apapun Ella atas permintaan atasannya itu, ia akan berakhir dengan merespon baik, siap, atau noted. Ella meletakkan ponselnya dan bersiap untuk lanjut menyantap makan siangnya—yang baru ia nikmati di jam empat sore. Hari jumat yang terasa begitu sibuk sekali. Baru saja hendak menyuap ke mulut, ponselnya kembali bergetar. Ella langsung melirik komputer di hadapannya, sebab WAnya juga log in di komputer. Disana pesan masuk terlihat jelas. Kali ini pesan dari Jay. “Apalagi!” geram Ella kesal. Ia selalu ngedumel setiap kali ada saja yang harus dikerjakan kala dirinya sedang berusaha mencuri waktu untuk makan begini. Ella membaca pesan Jay melalui komputer. From : Jayendra Sutedja Nanti mampir ke rumah nggak? Mau minta tolong pisang keju favorit saya dong hehe “Orang rumah kan ada!” pekik Ella kesal begitu selesai membaca pesan tersebut. Maksud Ella adalah lima supir ditambah begitu banyak asisten rumah tangga. Jay bisa meminta salah satu dari mereka untuk membelinya astaga. Ella sudah beritahu daftar tempat untuk membeli hal-hal yang sering diminta atasannya itu. Supaya disaat-saat begini, bisa dikerjakan orang rumah. Bukan Ella semua. Ella melipat kerah kemejanya dan segera meletakkan jemari di atas keyboard. Jemarinya itu lantas bergerak dengan lincah untuk membalas pesan dari Jay. To : Jayendra Sutedja Baik Pak, saya minta tolong Pak Ardi yang beli Dengan cepat Ella kirimkan pesan kepada Pak Ardi—supir khusus untuk Jay­—. Pak Ardi malah lebih sering pergi untuk membantu Ella. Soalnya Jay jarang pergi diantar supir. Lelaki itu lebih suka menyetir sendiri. Jadi daripada Pak Ardi nganggur, lebih sering membantu Ella. Biar ada kerjaan katanya. Jadi kalau ada urusan harus beli sesuatu, mengantar barang, atau apa saja lah pokoknya pasti Ella minta bantuan Pak Ardi. Ella mampir ke rumah sih nanti untuk memeriksa kolam ikan—tepatnya dia akan meminta Pak Yoyo selaku tukang kebun untuk bantu memeriksa. Hanya saja lebih baik sekarang saja dibelikan. From : Pak Ardi Supir Kak Jay Siap otw Selesai Ella mengetikkan terima kasih, ia kembali ke roomchat dengan Jay. From : Jayendra Sutedja Oke terima kasih. Jadinya kapan bisa beli kado? “Tanya keluarga lu noh,” batin Ella kesal. Tidak ada hari free untuk Ella. Heran, padahal ada banyak asisten rumah. Selalu Ella yang diminta untuk mengurus segala hal. Ada tip sih. Uang tipnya bisa tembus ratusan juta sendiri kalau sedang repot-repotnya. Hanya saja ya itu, kepala Ella terasa mau pecah rasanya. To : Jayendra Sutedja Akan segera saya kabari secepatnya ya Kak, maaf “Santai aja.” Ella membulatkan mata dan langsung menoleh ke arah pintu. Lelaki itu, sejak kapan disana? Kenapa tidak terdengar suara pintu terbuka? Tahu-tahu Jay sudah bersandar di pintu. “Saya udah ketuk pintu tadi. Kayaknya kamu enggak dengar,” ujar Jay seolah bisa menerka isi kepala Ella. “Pisang kejunya jadi anter ke rumah apa kesini, Kak?” tanya Ella langsung. Jay melangkah masuk dan kemudian menutup pintu. Ruangan sekretaris—yang berantakan ini— hanya ada Ella di dalamnya. “Kesini aja. Kayaknya saya lama di kantor.” “Baik, Pak.” Ella langsung mengetikkan pesan pada Pak Ardi agar membawakannya ke kantor. Tuh kan Jay tahu-tahu sudah di kantor. Lelaki itu pasti datang kemari menyetir sendiri. “Pesannya tolong empat porsi ya,” ujar Jay. Ella menganggukkan kepalanya. Ia sudah minta Pak Ardi beli enam porsi tadi. Jaga-jaga saja. Siapa tahu Jay minta nambah, kan nanti? Lebih baik lebih daripada kurang. Jay lantas melirik ke piring di atas meja, yang kelihatannya belum disentuh. “Maaf ya jadi ganggu waktu makannya. Saya nggak tahu kalau kamu lagi makan.” Ella tersenyum—palsu—. “It’s okay, Kak.” “Ya udah gitu aja. Lanjut makan. Saya mau nongkrong di sebelah,” ucap Jay sambil nyengir. Sebelah yang dimaksud Jay adalah ruangan Bu Jennifer. Lelaki itu memang kadang suka random main ke kantor. “Baik, Pak.” *** Jay memandangi salah satu pigura dari beberapa pigura yang berjejer di dinding. Itu foto mamanya dengan Ella. Kedua tangan lelaki itu menyilang di depan d**a dan pandangannya mulai menatap foto lain. Rata-rata foto keluarga. Padahal sudah sering dia menatap sisi dinding ini setiap kali ‘nongkrong’ disini. Tetap saja rasanya tidak bosan. Tidak lama kemudian terdengar pintu suara diketuk. Jay langsung menoleh. Tidak mungkin mamanya karena mamanya sedang istirahat sebentar di ruangan khusus dalam ruangannya ini. Ruangan untuk tempat istirahat tentunya. Ada ranjang disana. Sudut bibir Jay terangkat saat menyadari besar kemungkinan Ella yang mengetuk. Ia segera menuju pintu dan kemudian membukanya. Dugaannya benar, itu Ella. Membawa nampan berisi pisang keju pesanannya. “Kayak beginian tugasnya OB bukan?” tanya Jay. Ella masuk dan menuju sofa. Meletakkan nampan di atas meja. “Iya sekalian aja saya mau bangunin Ibu,” sahut Ella. Ini sudah hampir sore tapi Bu Jennifer masih memiliki jadwal untuk makan malam santai—aslinya pitching— dengan tamu dari Tiongkok. Jadi setidaknya beliau punya waktu untuk bersiap lalu bisa lanjut tidur lagi di perjalanan nanti. Ella masuk ke ruangan khusus tersebut dan mulai membangunkan Bu Jennifer. Tidak butuh waktu lama, wanita itu langsung bangun. “Saya mandi dulu disini. Langsung siap-siap. Kamu malam ini kemana, La?” tanya Bu Jennifer. “Baik, Bu. Saya beresin proposal dan nanti malam ke rumah diminta Pak Johan.” Bu Jennifer hanya menganggukkan kepala saja sambil bangkit berdiri. “Jay masih disini?” “Masih, Bu.” Hanya begitu saja lalu Ella keluar dari ruangan khusus tersebut. Ia lantas menatap Jay yang sedang memainkan ponselnya. “Mama abis ini agendanya apa?” “Dinner santai sama kenalan dari Tiongkok.” “Kalau dinner santai, berarti Bu Ella bisa santai juga dong?” tanya Jay sambil tersenyum. Lesung pipinya terlihat. ‘Santai matamu’ batin Ella. “Saya lembur kerjakan proposal dan ke rumah nanti bantu Pak Johan.” “Bantu apa?” ‘Nih anak banyak nanya banget sih,’ geram Ella dalam hati. “Bantu periksa kolam ikan. Hari ini ikannya ada yang mati.” Tawa Jay seketika menggelegar. “Yang bener aja? Kayak gitu mah tugasnya Mang Yoyo. Gimana sih si Johan. Anak udah empat jugaan.” Baiklah kali ini Ella sangat berterima kasih kepada Jay karena sudah menyuarakan jeritan hati yang selama ini hanya bisa ia pendam. Sebab Ella tidak enak menolak permintaan sekecil apapun. Kecuali saat itu ia memiliki tugas dari Bu Jennifer, baru bisa menolak dengan tenang. Ibaratnya kalau dibuat hierarki, Bu Jennifer adalah kasta tertinggi tentu saja. Baru Pak Johan, dan sesuai urutan anak-anaknya Bu Jennifer. “Mending kamu anterin saya cari kado aja.” “Tapi Kak saya-” “Tenang, nanti saya yang bilang ke Kajo.” Kajo, panggilan dari Jay untuk Johan. “Juga saya bilang ke Mama,” imbuh Jay. Ella menghela napasnya. “Maaf, Kak. Tapi saya harus beresin proposal.” “Ya selesai ngerjain proposal aja.” “Saya nggak tahu selesai jam berapa,” ujar Ella jujur. Meski sebenarnya ia akan pastikan jam sembilan malam dirinya pulang. Dia juga butuh istirahat, tolong. “Saya bantuin biar cepet selesai,” ucap Jay kelihatan serius. Ella diam. Bingung harus bagaimana lagi menanggapi. Dengan cepat Ella berpikir untuk mengatasi permasalahan ini. Disaat dirinya berpikir itu, ia beradu pandang dengan Jay. Dengan cepat Ella mengakhiri kontak mata tersebut dan kemudian menatap jam tangannya. “Jam tujuh sepertinya bisa berangkat,” ucap Ella. Ia pikir lebih cepat mengantar Jay, lebih cepat juga hutang urusannya dengan lelaki itu beres. Daripada makin repot lagi kedepannya. Juga karena Ella ingin istirahat saat weekend, meski kecil kemungkinan. “Oke, nice. Terima kasih, Bu Ella.” “Saya permisi, Kak.” Jay mengangguk. Ella langsung saja melangkah ke luar dan kembali ke ruangannya. Proposal ini akan ia kerjakan sampai jam tujuh. Jika belum selesai maka lanjut mengerjakan selesai mengantar Jay. Ella memeriksa email terlebih dahulu, baru melanjutkan pekerjaan yang tadi. Terdengar suara pintu diketuk. Ella diam saja. Dirinya langsung melirik karena pintu tidak kunjung terbuka. Lalu terdengar suara ketukan pintu lagi. “Masuk,” ujar Ella. Ternyata yang mengetuk Jay. Pantas saja. Biasanya orang-orang akan langsung masuk tanpa Ella menyahut. “Ada apa, Kak?” tanya Ella. Dia rasanya sudah terlalu lemas kalau harus ada urusan tambahan dari lelaki itu. “Kamu ordernya banyak banget sumpah. Nih buat kamu,” ujar Jay. Hanya begitu saja. “Terima kasih, Kak.” “Iya. Jam tujuh ya. Saya tunggu di sebelah.” “Iya, Kak.” Jay kemudian melangkah keluar. Ella melirik pisang keju yang masih dalam box. Baunya menguar enak. Lumayan untuk camilan. Hanya saja Ella makan itu nanti, ada pekerjaan yang menanti sekarang. Suara pintu diketuk dan Ella langsung mengumpat dalam hati. ‘Apalagi sih?!’ Muncul Bu Tuti—office girl kantor. Beliau ini bisa dibilang teman akrabnya Ella sejak bekerja disini. “Bu Tuti mau pisang keju nggak?” tawar Ella. “Aduh enggak dulu deh. Kan pisang kejunya spesial khusus buat Neng Ella.” Ella mengangkat satu alisnya. “Spesial khusus apaan. Ini ambil aja kalo mau.” Bu Tuti pun berdecak sebal. “Masak kayak gitu aja nggak ngerti sih, Non. Itu Den Jay bawain langsung loh buat Neng Ella. Mana ada coba anak bos bawain pisang keju buat sekretaris begini.” Ella melirik pisang keju di atas meja. ‘Mana ada juga coba sekretaris diminta cek kolam ikan,’ batin Ella. “Ih ini mah kelebihan tadi makanya dioper kesini. Yuk sini Bu makan aja. Enak banget loh ini.” “Non kalo Den Jay beneran suka sama Non Ella gimana?” tanya Bu Tuti. Ella langsung mengernyitkan keningnya. “Bu Tuti jangan kebanyakan nonton drama Cinderella deh,” ucap Ella. “Serius loh, Non. Dulu jaman sekretarisnya bukan Non Ella, mana pernah itu Den Jay dateng ke kantor. Baru semenjak ada Non Ella aja sering dateng main ke kantor.” “Serius-serius amat sih, Bu. Ya kan dulu masih kuliah di luar negeri. Gimana bisa sering main ke kantor?” tanya Ella. “Ya iya juga sih. Tapi kalo ternyata Den Jay beneran suka, gimana? Saya langsung bayangin kalo Non Ella nikah sama Den Jay.” Ella langsung menggelengkan kepalanya. “Amit-amit, Bu. Amit-amit,” malah Ella yang geli sendiri. Berondong tengil pecicilan begitu, bukan tipe Ella.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN