Burung dalam sangkar (KAMELIA POV)

1120 Kata
Aku bagaikan burung dalam sangkar, tak bisa kemana-mana. Rumah ini sangatlah cantik, megah dan berlapis emas penuh dayang-dayang yang sopan. Sayangnya aku tak menikmati semuanya, justru merasa sepi dan terkukung. Menjadi istri ketiga adalah bukan keinginanku, Ibu yang katanya selalu menyayangi anaknya rela menjualku kepada pria bertubuh kekar yang sudah beristri. Mirisnya lagi, aku harus selalu siap melayani pria yang tak kucintai dan rela memutuskan hubungan dengan kekasihku yang sudah kujalani tiga tahun lamanya. Lelaki itu, mengintimidasi, dingin dan suka memerintah. Belum lagi kedua istrinya yang sangat tidak suka dengan kehadiranku. Ya Tuhan bagaimana caraku pergi ketempat terkutuk ini?. Setiap hari, sebagian besar waktuku ku habiskan untuk melamun, sungguh pria b******n tersebut tak mengizinkanku untuk mengakses telfon genggam sehingga membuatku benar-benar merasa bosan. Krieeetttt.. Pintu di dorong dari arah depan, dengan memperbaiki posisi aku siap menghadapi orang itu. Yang kemungkinan adalah pria tersebut, atau para dayang-dayang. Aku menelan salivaku dengan susah payah, kala melihat orang tersebut. Ternyata dugaan ku salah, ia adalah istri pertama pemilik rumah ini. Dengan sigap, aku berdiri dan membungkuk sopan. "Selamat pagi kak." Sapa ku, mencoba berbasa-basi "Ikut sarapan dengan kami." Katanya, cukup datar. Ya, istri pertama pria tersebut memang cukup datar dan bahkan serius dalam berbicara. Jujur, terkadang sikap seperti itu membuatku merasa tak nyaman apalagi ketika kedua istri tersebut menginap di mansion ini. Meski terkadang kedua wanita itu pulang ke istana mereka masing-masing. Kepalaku mengangguk, lalu berjalan mengikuti istri pertama tersebut. Saat menuruni tangga, mataku terbelalak melihat kejadian yang ada di ruang makan. Disana pria itu dan istri keduanya tengah b******u dengan mesra. Astaga, aku malu sekali melihatnya padahal bukan aku yang melakukan. Berbeda lagi dengan istri pertama, seolah biasa wanita itu tetap melanjutkan langkahnya. Entahlah, keluarga ini seakan gila. Hal demikian di anggap biasa. Barulah saat kami tiba dihadapan mereka, pagutan itu terlepas keduanya mengelap bibir mereka yang basah. Saat itu juga nafsu makanku menguap entah kemana. Aku meringis, di umurku yang masih delapan belas tahun sama sekali tak pernah menonton adegan seperti itu. Bahkan melakukannya dengan pacarku saja tidak sanggup. "Duduk." Titah istri pertama, aku mengikut saja. "Apa kau hanya ingin menonton makanannya?" Tegur suamiku, aku terkesiap dan hanya bisa tersenyum tipis. Jujur ku akui, meski sudah seminggu lamanya aku menjadi istri pria itu rasanya tetap canggung, apalagi aku kalah cantik dengan istri-istrinya tersebut. Yang lebih parah, aku paling muda diantara mereka. Mereka bertiga sarapan dengan lahap, walau tak jarang kedua wanita tersebut menyuapi lelaki di hadapanku. Aku yang tidak tahu harus berbuat apa, memilih untuk menyuapkan beberapa daging ayam ke dalam mulut. Disini, makanan memang sangat nikmat, segala yang ku inginkan pasti dikabulkan dayang-dayang. Hanya saja, rumahku adalah istanaku entah seperti apa bentuknya ataupun serupa dengan gubuk tetap rasanya sama dengan istana. Berbeda lagi dengan rumah yang bak istana ini, aku merasa berada di penjara. "Kau masih ingin sarapan atau ikut dengan kami ke butik?" Itu suara istri kedua, kepalaku mendongak dengan mulut penuh akupun menggeleng. Kulihat wanita itu menampilkan raut jijik, karena memang aku berbeda dengan mereka yang sedikit anggun dalam bersikap. Jangan salahkan sikapku, karena aku lahir di lingkungan biasa bukan kalangan konglomerat. "Kakak saja kesana, aku ingin menghabiskan sarapan ini." Sahutku, setelah berhasil menelan daging tersebut. Kulirik suamiku yang hanya memasang wajah datarnya. "Baiklah." Katanya, sembari tersenyum. Yang kutahu senyuman itu hanyalah manipulatif, jika tak ada suamiku kedua wanita itu akan bersikap seperti rubah. Entahlah, aku hanya bisa menerimanya saja dari pada melawan akan sangat menyusahkan. Setelah kedua wanita itu pergi, aku hanya terdiam dengan suamiku yang sedang bermain ponsel. Dalam hati aku hanya bisa menggerutu, betapa girangnya pria itu, tidak memperbolehkan ku bermain ponsel dan dirinya sendiri justru asik bermain. "Kenapa melihatku seperti itu?" Aku tergagap, lalu menggeleng. "Sebaiknya, kau pergi mandi." "Ini masih terlalu pagi paman." Lelaki itu berdecak tak suka, "sudah ku katakan jangan memanggilku paman. Aku tahu, umur kita sangat jauh tetapi tak sepantasnya kau memanggilku seperti itu, apalagi aku tidak pernah menikah dengan bibi mu!" "Lalu apa?" Tanyaku "Mr. Brayen." Katanya tegas "Baik Mr. Brayen." Tukasku "Sekarang pergilah membersihkan diri, lalu ikut denganku." "Kemana?" "Lakukanlah, tidak perlu banyak bertanya." Katanya penuh penekanan. Ya, lagi-lagi aku hanya bisa menuruti segala perintah lelaki itu. Entahlah, kerap kali aku merasa bukan menjadi seorang istri melainkan pelayan pribadi. Menghela napas lelah, kakiku berjalan menyusuri tangga menuju kamarku yang amat luas. Saatnya membersihkan diri dan pergi bersama Mr. Brayen. ___________________________________________________________ Saat keluar dari dalam mobil, mataku hanya bisa memandang takjub bangunan yang tak kalah megahnya. Aku hanya bisa menerka-nerka harga dari bangunan yang menjulang tinggi di hadapanku ini. Kami keluar dari mobil keluaran terbaru yang juga sangat mewah. Entahlah, rasanya mimpi berada di antara mereka yang memiliki segalanya, sedangkan aku hanya anak seorang b***k. Tetapi langkahku tak goyah, sedikit mencubit diri sendiri bahwa sekarang beginilah keadaanya. Aku adalah istri muda dari Brayen Kelliesen seorang pengusaha minyak yang kaya raya. Belum lagi perusahaan propertinya dimana-mana, aku yakin kelak anakku tak akan kesusahan mengingat kekayaan Mr. Brayen hingga tujuh turunan. Oh Astaga. Mengapa aku sampai berpikir sejauh itu? Aku bahkan tak ingin memiliki anak darinya dan ingin segera kabur dari kehidupan yang penuh kemewahan. Sungguh, kehidupan yang sederhana lebih baik ketimbang harus berhadapan dengan banyaknya harta. Ya Tuhan, aku benar-benar merindukan kasur busa yang sudah tak berbentuk di kamarku. "Apa kau akan terus mengamati bangunan itu?" Aku terkesiap, menelan ludah lalu menampilkan deretan gigiku tanpa rasa bersalah. Kulihat, Mr. Brayen nampak jengkel melihat ekspresiku, sudahlah aku tak ingin ambil pusing dan ikut melangkah lebih tepatnya mengekornya. Mr. Brayen berbalik, sontak aku menghentikan langkahku dan mengangkat alis. "Kau ini istriku, jangan berjalan di belakang seolah-olah seperti tuyul." Deg, sarkas sekali bicaranya. Aku hanya tersenyum masam menanggapi, lagi pula aku tidak mengerti harus menempatkan diri dimana. Berbicara padanya pun akan menimbulkan masalah, mengingat pria di hadapanku itu sangat dingin bagaikan es jeruk. "Baiklah," ucapku ahkirnya memilih, berjalan disampingnya. "Ingat, jaga sopan santunmu dan bersikap anggun." Lagi-lagi aku menelan ludah, apa selama delapan belas tahun aku tidak bersikap anggun? Apa jiwa wanitaku tak terlihat? Dan harus bagaimana lagi aku bersikap? Oh, persetan dengan semuanya! Aku benar-benar tidak suka berakting. Terkecuali mendesak. "Baik Mr." Pasrahku ahkirnya. Kami terus melangkah, memasuki gedung itu. Keramik-keramik nampak mengkilap karena dibersihkan dengan apik. Lagi-lagi jiwa miskinku datang, jelas aku menganga takjub dan sebelum benar-benar menggilai tempat ini, Mr. Brayen menegurku untuk kedua kalinya. "Jangan udik." Hatiku mencelos, satu Minggu hidup bersamanya membuatku belum terbiasa dengan sikapnya yang.. begitu kasar dan terang-terangan. "Jangan menangis disini." Katanya, terdengar sedikit lembut. Kemudian ku usap air mata yang hendak jatuh, lalu menarik napas dan mengangguk. "Ayo." Katanya, lalu menggenggam jemariku. Jelas aku terkejut, untuk pertama kalinya pria itu berlaku demikian dan entah mengapa desiran di d**a tak bisa terkontrol. Aku memejamkan mata, menjadi kaku dan canggung. Mungkin saja, itu dapat dirasakan oleh Mr. Brayen karena berikutnya pria itu menoleh dan melepaskan tanganku. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN