Janji Di Atas Luka

983 Kata
Angin berhembus lirih, menerobos tirai jendela di ruang tengah. Aini dan Afwan tak ada yang segera menemui Papa. Keduanya bimbang. Tatapan Afwan masih lekat ke wajah sedih perempuan yang selama ini dikiranya tak berharga tapi Aini membuang pandangannya. Dia tak mau tertipu dengan tatapan hangat dan menghanyutkan milik Afwan. Tatapan yang dulu membuatnya jatuh cinta dan membuat dirinya rela sekian lama menunggu untuk melabuhkan jiwanya di kedalaman cintanya. Aini kini mengerti kalau semua kemanisan itu hanyalah dusta. Hanya tipu muslihat agar dia tetap bertahan dan menikmati semua kebohongan sampai waktu yang diinginkan Afwan. Aini muak. "Aini," panggil Afwan tersendat berusaha meraih jemari Aini. "Aku bisa jelaskan, padamu. Aku juga bisa memberitahumu hal yang sesungguhnya." Afwan menghela nafas saat menyelesaikan kalimatnya. Seperti pencuri yang ingin membela diri di hadapan orang yang dicurinya, gugup dan terbata-bata. "Apa yang akan kau jelaskan, Mas?" Afwan menelan ludah saat melihat Aini mulai menyeka sudut matanya. "Aku tidak butuh penjelasan. Seperti kamu tahu, aku sudah mendengar semuanya. Apa yang akan kau bantah tentang perasaanmu padaku?" Afwan menghela napas dan membuangnya keras. Bagaimana mungkin Aini tahu segala kepura-puraan dirinya? Bagaimana Aini tahu kalau dia telah mendustainya? Bodohnya aku berpikir membawa Mirna dihadapan Mama dan tidak menduga Aini muncul tiba-tiba. Afwan merutuki kebodohannya. Betul, dia tidak mencintai perempuan itu. Tapi melihat Aini terluka dan hancur begitu saja, Afwan merasa bersalah. Dia akan melepas Aini, tapi tidak dengan cara seperti ini. "Aku mungkin tidak mencintaimu selama ini, tapi beri aku waktu." Aini tersenyum. "Waktu untuk apa, Mas? Untuk terus mendustaiku?" Afwan menunduk. "Bukankah kau yang bilang sudah tak sangup hidup denganku? Bukankah kau yang berteriak tak lagi tahan dengan permintaan nafkah batin dariku? Dengar Mas, kukatakan padamu, aku tidak akan meminta apapun darimu. Bahkan aku tidak akan mengharapkanmu walau hanya untuk menyentuh kulitku. Kamu merdeka Mas, nikmati kebahagiaanmu bersama Mirna." Aini tersengal. Mati-matian menekan intonasi suara dan tangisannya agar tak terdengar ke ruangan Papa. "Maafkan aku, Aini. Aku tidak bermaksud melukaimu." Aini tersenyum pahit. "Paktanya kau tidak hanya sudah melukaiku. Tapi kau juga telah menghancurkan ku. Hebat." Afwan mengusap kasar wajahnya. Gundah. "Mas, betul ikatan diantara belum selesai. Kau masih suamiku, tapi ketahuilah ikatan diatas luka dan kepura-puraan hanya akan menghasilkan penderitaan. Doakan Papa agar cepat sembuh, agar kau dengan segera membebaskan diri dari sandiwara ini." Aini tersenyum sendu. "Aini...Afwan." Suara panggilan Papa kembali terdengar lirih dan sayup. "Iya, Papa. Kami datang." Tergopoh-gopoh Aini kembali memasuki kamar di ikuti Afwan. Dengan ujung hijabnya Aini menyeka air mata yang terus menganak di sudut matanya. "Duduklah, Nak." Pinta Papa lemah memberi isyarat agar Afwan dan Aini duduk di dekatnya. Papa menghela napas, wajahnya tampak berbinar bahagia. Lemah tangan Papa meraih tangan Aini dan Afwan, menaruhnya di d**a ringkihnya. "Afwan, terimakasih sudah menjadi suami yang sempurna untuk Aini. Cintai dan jaga sepenuh hati. Izinkan di sisa usiaku yang mungkin sudah tidak lama lagi, aku merasa damai dan bahagia." Sepi. Wajah Aini dan Afwan menegang. "Aini, tahukah siapa manusia yang harus kau muliakan setelah nabi dan RasulNya? Dialah suamimu. Papa nasihatkan padamu, jadilah istri yang berbakti. Surganyamu ada pada telapak kaki nya." Semakin sepi. Afwan dan Aini membisu, terlihat buliran keringat halus menghiasi kening Afwan. "Maukah kalian berjanji, untuk saling menjaga dan mencintai?" tanya Papa diluar dugaan. Aini dan Afwan saling pandang. "Bagaimana Aini, Afwan? Masukan berjanji untuk saling mencintai," pinta Papa perlahan, penuh harap. Aini membisu, Afwan juga membeku. Tapi permintaan Papa yang berulang dan sungguh-sungguh membuat keduanya tidak punya pilihan. "Ba-baiklah, Papa. Kami...kami berjanji." Suara Aini dan Afwan hampir bersamaan, meski sangat lemah dan hampir tak terdengar tapi itu cukup membuat binar di wajah Papa Aini terlihat jelas. Duh, Aini nelangsa. Tuhan dusta apa ini?kebohongan apa yang telah hambaMu pertontonkan di hadapan ayah hamba? Aini menyeka air matanya. *** Afwan tidak pulang hari itu, dia memutuskan untuk menemani Papa mertuanya. Terlihat sesekali tangan kukuh itu mengusap dan memijit kaki Papa dengan lembut. Afwan juga banyak mengobrol tentang banyak hal termasuk perkembangan perusahaannya. Tak salah memang, Afwan tumbuh dan besar atas jasa Papa Aini. Tak dipungkiri Afwan adalah anak kesayangan Papa setelah Aini. Bukan hanya karena ayah Afwan sepupu Papa dan Afwan pernah menjadi anak asuh Papa, tapi juga mereka dianugerahi banyak kesamaan. Sama-sama laki -laki lembut dan tangguh. Sayang ada yang tidak dimiliki Afwan. Kesetiaan. "Aini, buatkan suamimu makanan terlezat hari ini." Papa mengingatkan Aini untuk memasak buat Afwan, hari sudah agak malam. Aini hanya mengangguk, gegas pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Aini menyiapkan makanan sendirian, rasanya tak tega memanggil Bi Darsih di rumah belakang. Biarlah, dia akan menyiapkan makan malam untuk Afwan seorang diri. Suara jam dinding terdengar teratur mengiringi gerakan tangan Aini yang mengiris sayuran di atas talenan. Dengan menggunakan sayuran yang tersedia di kulkas, Aini berhasil menyiapkan makan lezat buat Afwan. Capcay sayuran pakai bakso, dadar telor dan sambal kacang. Papa betul, betapapun luka hati Aini menganga, tapi Afwan masih suaminya. Kewajibannya untuk melayani. Tak butuh waktu lama, akhirnya Aini selesai masak. Diapun memanggil Afwan untuk makan di ruang tengah. "Mas, makanlah," Aini menyendokan nasi ke piring Afwan. Papa masih makan bubur, sore tadi Aini sudah menyuapinya dengan sop dan telor kampung. Aini memang cekatan. Afwan termenung. Matanya lurus memandang wajah lembut Aini. Siluet tubuhnya tampak ramping dibawah pantulan lampu di ruang tempat mereka berada. Entah mengapa Afwan menikmatinya sebagai keindahan yang baru disadarinya. Afwan tersenyum menerima piring dari tangan Aini. Jujur dia merasa rindu suasana seperti ini. Suasana saat Aini melayaninya dengan penuh cinta, sesuatu yang tidak pernah didapatkan dari seorang Mirna yang hanya pandai shoping dan berdandan. "Terimakasih, Aini." Suara Afwan lembut. "Buat apa?" "Buat masakannya. Mas kok rindu masakanmu." Aini tersenyum sendu. "Terimakasih juga atas sandiwaramu. Aku berjanji akan merawat Papa, agar cepat sembuh. Aku akan berjuang agar kau bisa secepatnya melepaskan diri dari pernikahan tanpa cinta ini." Afwan menghentikan suapannya. Matanya lekat menatap wajah Aini. Sandiwara? Apakah mungkin segala kemanisan yang dia lalu bersama Aini hari ini cuma sandiwara? Kalaupun iya, kenapa hatinya merasa sakit?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN