PULANG

1654 Kata
Penghianatan mungkin saja bisa terlupakan dengan berjalannya waktu, tapi sakitnya tidak akan benar-benar bisa hilang. __________________________     Tatapanku terpaku pada gapura yang berdiri angkuh di seberang jalan. Tak ada ucapan selamat datang terukir di sana, terlalu biasa untuk ukuran gapura yang berada di pinggiran kota. Pemandangannya pun tidak jauh berbeda dengan dua belas tahun silam. Di sisi kirinya masih berdiri sebuah rumah berdinding papan kayu meranti. Beberapa bagian dari dinding, berlubang karena lapuk dilahap masa. Daun nangka yang gugur, memenuhi bale-bale yang terbuat dari kayu sisa-sisa penggergajian yang diletakkan di depan rumah. Sedangkan di sisi kanan gapura penuh oleh tanaman pisang kepok yang memberi kesan seram sore ini.     "Tuntutlah ilmu setinggi mungkin, jadilah orang sukses. Ketika kalian sukses, kembalilah ke kampung Redan. Tuangkan ilmu yang kalian dapat untuk kampung ini. Ubah agar tidak terbelakang lagi." Pesan bapak dahulu kepada kami anak-anaknya.     Mengenai desa Redan, sebenarnya letak desa ini hanya berjarak lima belas menit dari kota yang dijuluki kota taman dan empat puluh lima menit dari kabupaten yang memiliki icon burung Ranggong Badak.     Daerah ini kaya akan emas hitam. Kata bapak, semenjak ia memutuskan menetap di desa ini sekitar tahun 1992, belum pernah ada satupun perusahaan tambang yang gulung tikar karena kehabisan emas hitam. Namun tetap saja, keberadaan perusahaan-perusahaan itu tidak memberikan banyak perubahan bagi pembangunan di desa Redan.     Hari sudah hampir gelap ketika netraku tertumpu pada pohon beringin di tikungan, daunnya rimbun memayungi hingga keseberang jalan, helai-helai akar terjuntai kebawah menyentuh tanah, ranting-ranting seperti mangkuk sup siap menampung hujan yang jatuh dari langit.     Dahulu, dengan mengendarai sepeda ontel tua bekas yang bapak dapat dari pembuangan sampah di pinggir kota, setiap hari beliau akan mendorong aku dan dua karung berisi bayam juga cemangi di boncegan belakang menuju jalan poros yang berjarak dua kilometer, untuk menunggu pedagang langganan kami di bawah pohon itu.     "Suatu hari nanti, kamu akan membawa Bapak naik mobil seperti itu, Ling," tunjuk bapak pada sebuah mobil mewah yang lewat.     "Mobilnya mahal nggak, Pak? Kalau mahal, Aling nggak punya uang, Pak." Saat itu dua sudut bibir Bapak tertarik ke atas mendengar celotehku.     "Bukan sekarang, Ling. Nanti, kalau Aling sudah besar, sudah jadi orang sukses. Kalau sekarang kan, masih kecil. Masih suka nangis di tengah malam cari Mamak, kan?"     "Aling suka nangis tengah malam, soalnya sering mimpi buruk. Mimpi Bapak ninggalin Aling, Mamak, Kak Tera, Kak Min, Kak Alfi dan Kak Syahrin." Sumpah mati, aku tidak menyangka di usiaku yang ke 17 tahun, diriku benar-benar kehilangan bapak. Sudut mataku berembun mengingat percakapan antara kami dahulu.     Berbicara tentang Bapak, mungkin aku tidak akan punya cukup perumpamaan untuk menggambarkan bagaimana hebatnya beliau, aku mengaguminya, sungguh. Badan kurusnya seakan tidak mengenal lelah di bawah terik panas matahari mengairi sawah dan mencangkul tanah di kebun untuk ditanami berbagai jenis sayuran.     Pagi, siang, petang tak ia perdulikan, hanya akan benar-benar beristrahat ketika ingin menunaikan ibadah salat, setelahnya ia akan lebih banyak menghabiskan waktu di ladang.     Aku sangat menyayangi Bapak. Andaikan waktu bisa kembali tentu aku hanya akan mencintai satu pria dalam hidupku, dan itu adalah Bapak. Begitu banyak kenangan indah di desa ini, kenangan bersama beliau, namun semua terhapus oleh kenangan pahit yang diukir seseorang.     Dan kini, setelah sekian tahun, aku kembali menginjakkan kaki di desa ini. Mas Sayhan yang keras kepala tak ingin dibantah. Ia memaksaku kembali untuk meminta restu, sekaligus memberitahu mamak perihal niatnya yang ingin menjadikan aku teman hidupnya.     Akan tetapi menjelang hari keberangkatan kami, salah satu anak cabang mini market tempatku dan Mas Sayhan bekerja mengalami masalah. Ratusan warga berdemo, menuntut toko yang baru diresmikan segera ditutup. Mereka berpendapat bahwa pembukaan Mini Market yang terlalu banyak, merebut mata pencaharian mereka sebagai pedagang kecil, dan kehadiran Mas Sayhan benar-benar diperlukan di sana.     Awalnya aku ingin menunda kepulanganku, tapi Mas Sayhan dengan tegas menolak. Ia ingin agar aku mencairkan suasana dalam keluargaku setelah belasan tahun menghilang. Jadi, di sinilah aku sekarang, berdiri seorang diri, seperti turis yang kehilangan peta. Bingung!     "Nak Aling?" tanya seorang Bapak tua terlihat ragu di atas motor Astrea keluaran tahun 1991.     "Iya, Pak," jawabku memperlihatkan deretan gigi.     "Loh benar, Nak Aling?" tanyanya lagi seakan tak percaya.     "Iy Pak, ini Aling. Aling anak Ibu Pessa."     "Wah. Nak Aling kenapa baru pulang sekarang, Nak? Langit sudah besar, Ia tumbuh dengan sehat dan gagah seperti Ayahnya. Kalau Bapak tidak salah sudah mau tamat SD." "Oh. Iya, Pak," jawabku asal karena tidak mengenal nama anak yang beliau sebut. Mungkin salah satu anak kakakku.     "Ya sudah, sini Nak, Bapak bonceng. Sudah senja, tidak baik wanita berjalan sendirian. Walaupun kamu tahu, dari dulu sampai sekarang desa kita masih tetap menjadi desa yang sangat aman," kata si Bapak menawarkan tumpangan.     "Boleh, Pak?" aku bertanya ragu.     "Naiklah, keburu azan magrib. Bapak harus buru-buru ke musala. Kamu masih ingat musala kampung ini kan?" tanyanya.     "Masih, Pak," jawabku tidak yakin, sambil naik ke atas boncengan.     "Tidak banyak yang berubah dari kampung kita Ling, tapi kamu harus tahu bahwa ada yang benar-benar berubah karena melalui fase hidup."     "Ah. Begitu yah, Pak? Aling tidak begitu yakin. Ngomong-ngomong Bapak ini siapa ya?" Aku bertanya, dari tadi kami terlibat obrolan tapi sama sekali tidak mengenalinya.     "Rupanya dua belas tahun cukup lama untuk membuat kamu melupakan Kaik Cambangmu ini, Ling," tawanya memecah kesunyian senja.     "Kaik cambang? Kaik Biak maksudnya?" teriakku histeris dibelakang boncengan, menyadari bahwa ia guru mengajiku dulu. "Iya, Aling. Kamu terlihat semakin cantik dan dewasa dengan jilbab itu." Sang Kakek menoleh ke belakang sekilas.     "Terimakasi, Kaik. Pujiannya sungguh aku hargai. Bagaimana kabar Nenek Non?" Senyum menghiasi bibirku, kilas-kilas masa lalu jelas tergambar dalam benak. Aku kecil bersama teman sebaya, akan berlari-lari kecil ke arah musalah ketika azan azhar dikumandangkan. Di sana sudah menunggu Kaik Biak yang mengabsen satu persatu muridnya dan setelahnya mengarahkan kami berwudhu untuk menunaikan salat yang dilanjutkan dengan mengaji bersama.     "Ia baik, tapi kamu tahu? Usianya tak lagi muda, wajar jika ia sekarang tak sebugar dahulu, ia hanya akan benar-benar sehat jika sedang mengomeliku." Kaik Biak tertawa menceritakan istrinya. "Mainlah kerumah saat kamu sudah tak lelah. Nenek Non pasti akan senang."     "Aling sungguh merindukan lemang buatan Nenek Non, sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung Redan, belum pernah Aling temui lemang seenak buatan beliau." Dahulu, setiap hari raya idul fitri maupun idul adha, selain mengharapkan uang Nenek Non, aku dan teman-teman juga mengincar lemang buatannya. Enak dan gurih.     "Kenapa kamu baru kembali sekarang, Ling?"     "Desa Redan menyimpan terlalu banyak kenangan buruk untuk Aling, Kaik. Aku ingin melupakannya." Entah kenapa dadaku terasa nyeri setelah menyelesaikan kalimat.     "Tidak harus dilupakan, Nak. Cukup dijadikan pelajaran untuk berjalan ke depan. Perhatikanlah jalan yang kita lalui sekarang. Dua belas tahun tidak membuat jalan ini berubah, masih berbatu dan berlubang, masih sama seperti ketika kamu meninggalkan desa, tapi banyak pelajaran yang dapat dipetik dari jalan ini. Setiap orang yang melewatinya telah hapal, sehingga tidak perlu tergelincir lagi saat hujan turun. Begitu pun hidupmu, Nak. Jangan dihindari tapi dihadapi. Nanti kamu akan terbiasa, kemudian kamu akan mudah menjalaninya," ucap kaik Biar mempertegas pilu dalam dadaku.     Aku diam mencerna perkataan Kaik Biak. Dari ke jauhan, samar terlihat sekumpulan anak berlari di atas pematang sawah yang terhampar tak berujung. Senja telah terlukis, jingganya memenuhi langit. Burung-burung yang kembali ke sarang membentuk huruf V di angkasa. Suara lonceng dari kalung kerbau yang telah usai membajak sawah terdengar nyaring kala sang pemilik menarik untuk pulang. Tali rafia yang banyak dipasang untuk memburu burung pipit, melambai-lambai mengikuti arah tiupan angin. Aku meraba dadaku, ada yang merembes di dalam sana, rasanya menyesakkan seperti lupa cara bernapas. Aku tau, lukaku terbuka dan saat ini darahnya kembali mengalir.     "Sudah dua belas tahun, Kaik. Tapi sakitnya terkadang masih terasa."     "Jika luka benar-benar terhapus dilahap masa, maka itu bukan luka. Hanya ujian yang kebetulan mampir untuk menempamu. Kamu wanita kuat, Kaik yakin dari kejadian di masa lalu, banyak hikmah yang dapat dipetik. "     Hening, jauh di depan sana matahari berlahan menyembunyikan sisa-sisa keperkasaan di balik bukit yang menjadi pemisah antara desa dan bibir pantai. Aku berpegangan kuat pada bagian belakang motor kala roda bagian depan memasuki badan jalan yang berlubang. Beberapa ekor bangau mengepakkan sayap saat kendaraan melewati kolam kecil dengan permukaan yang dipenuhi eceng gondok dan teratai putih tempat mereka berburu ikan kecil.     Saat baru menyandang nama belakang Yusuf, aku sering diajak melihat sunset dari atas bukit. Di bawah pohon akasia tua, pria itu akan merebahkan kepalanya di pangkuanku sembari melayangkan pandangan menyaksikan lautan pelan-pelan menelan semburat jingga senja.     Pria tinggi pemilik rahang tegas, sedikit mancung dengan kulit kecoklatan dan sorot mata tajam tersebut menjadi pria pertama yang menggeser posisi Bapak dari hatiku. Ia bertahta di dalam sana cukup lama, memenuhinya hingga tidak ada lagi tempat bagi yang lain. Aku mencintainya melebihi cinta yang biasa orang berikan kepada pasangannya. Pria itu menjadi obsesiku. Pembawaan Yusuf yang dewasa dan tidak banyak bicara membuat aku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Yusuf mungkin bukan menjadi pilihan yang menarik bagi gadis yang hidup di kota besar, tapi menjadi pasangan yang sangat sempurna bagi gadis desa biasa sepertiku.     Kata warga desa, aku dan Yusuf adalah pasangan serasi. Rambut hitam panjang bergelombang, bibir dan alis tebal dengan bulu mata panjang nan lentik, wajah bulat dipadukan tatapan tajam membuat aku cukup digilai pemuda-pemuda di desaku.     Akan tetapi, semua itu tentu tidaklah bisa dibandingkan dengan kecantikan anak gadis kepala desa kampung sebelah yang kebaikanya menggema diseluruh kabupaten ini. Gadis yang merebut Yusufku.     Jika aku mengingat-ingat lagi, aku sungguh menyesali pertemuanku dengan Yusuf, menyesali pernikahanku dengannya, dan menyesali cintaku yang terlalu dalam, cinta nan membara yang membakarku hangus tak bersisa.     Hentakan motor yang menginjak batu cadas menarikku kembali dari lamunan masalalu, sudah bertahun-tahun dan aku benci mengingat luka itu. Tidak! Aku adalah Kalling yang baru, Kalling Saharudin.     Kalling Yusuf sudah mati, aku membuangnya dua belas tahun silam di pemakaman kampung Redan, ia terkubur bersama putihnya kafan yang membungkus tubuh seseorang di sana. Hilang bersama bunga kamboja yang jatuh dan mengering di pekuburan itu.     Aku memang pulang, tapi bukan untuk mengingat sembiluku. Aku pulang bukan untuk mengorek perih masa laluku, tapi untuk berusaha membangun kembali kebahagianku bersama orang yang berbeda dengan janji yang sama.                                                                           ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN