Bagian 2

1908 Kata
"Meisya, coba ibu mau lihat kartu keluarga punya kamu! Nenek juga meminta daftar nama-nama anggota keluarga," ujar Kinanti, -ibu Meisya. Meisya sempat ragu untuk memberikan kartu keluarganya, karena ia sendiri malas melihat namanya berduaan dengan nama suaminya dalam satu lembar kertas. Namun, apa boleh buat ia tetap harus memberikannya. Walau pada akhirnya, dirinya tetap akan menerima ejekan seperti biasa. "Ini bu." Meisya menyerahkan lembar biru yang memiliki tanda air bergambar garuda pancasila tersebut pada ibunya. Kedua orang tuanya kini sedang mengamati kartu keluarga miliknya. Rudi juga ikut mendengarkan pembicaraan tersebut dari kejauhan. Sebenarnya, dia telah mentransferkan sejumlah kecil uang miliknya ke dalam rekening Meisya. Namun ia belum memberi tahu istrinya itu. "Ini nama dari Rudi?" tanya Kinanti lagi. "I-iya, Bu," jawab Meisya sambil menunduk menahan rasa malu. "Namanya saja menyandang nama seperti keluarga terkaya se-Asia, tapi nyatanya dia hanya seorang sampah!" umpat Satya, -ayah Meisya.. "Betul, kan? Namanya menyandang nama keluarga Prameswara, sungguh menggelikan!" imbuh ibu mertuanya lagi. "Aduuuh, jangan sampai keluarga Prameswara tahu. Jika ada seorang sampah yang memiliki nama keluarga seperti mereka." "Betul, mereka pasti akan merasa malu." "Iya, perutku sampai sakit mendengar lelucon ini," timpal ibu Meisya untuk ke sekian kalinya. Setelah sang ayah mertua mencatat nama dan nomor induk kependudukan mereka berdua, ia pun mengembalikan kartu keluarga milik Meisya. "Nih, simpan lagi, Mei! Terima kasih untuk hiburannya." Meisya tersenyum kikuk, entah mengapa ia merasa tak suka jika kedua orang tuanya terlalu menghina Rudi seperti tadi. Karena baginya, Rudi tidak terlalu bagaikan 'sampah' seperti yang mereka katakan. Meisya cukup terbantu karena ada Rudi di rumah. Walaupun 'tak berguna', tapi Rudi masih memiliki pekerjaan tetap yang menghasilkan uang. Wanita dengan perut membuncit itu berdiri dan hendak mengembalikan kartu keluarga ke kamarnya. Dia melihat Rudi sedang berada di dapur dan memperhatikan keluarganya melalui jendela. Apa dia sakit hati dengan ucapan keluargaku? Rudi yang menyadari ada Meisya sedang memperhatikannya, mencoba melambaikan tangannya. Namun Meisya langsung berlalu meninggalkan suaminya. Kedua orang tua Meisya pun pulang meski mendapat kekecewaan, karena simpanan Meisya tak dapat menambah jumlah hitungan kekayaan mereka. Mereka sudah siap untuk menjadi bahan olok-olokkan di keluarga besarnya saat ulang tahun nenek nanti. Rudi tersenyum melihat sang istri berjalan melewatinya. Ia pun segera membawa gelas-gelas tinggi itu menuju ke dapur untuk dicuci dan dibersihkan. Sementara Rudi sedang membersihkan gelas, Meisya menonton televisi. Ia pindah-pindahkan channel, namun tak ada yang sesuai dengan seleranya. Hingga ia melihat sebuah iklan. "Ayam Geprek Pak Sudibyo". Meisya langsung melek begitu melihat sayap ayam yang digoreng dengan tepung dan sangat crunchy digeprek hingga sedikit tepungnya hancur. Lalu di atasnya disiram dengan sambal ayam geprek yang warna cabenya begitu merah menggoda. Hal itu memicu air liur Meisya menggenang dalam mulutnya. "Hei! Kau terlihat menikmati sekali menonton orang sedang makan ayam geprek. Kenapa? Kau mau?" tanya Rudi pada Meisya. Meisya diam saja tak menjawab suaminya. Sebenarnya dengan uang yang sekarang, Meisya bisa membeli ayam geprek sekarang juga menggunakan jasa kurir pengantar makanan. "Apa kau mau ayam geprek itu?" tanya Rudi. Meisya menoleh pada suaminya. "Aku akan membelikanmu ayam geprek," ujar Rudi. Meisya tiba-tiba saja berbinar mendengar ucapan suaminya. Namun, ia lagi-lagi ingat jika Rudi tak bisa diandalkan. "Tapi dengan syarat!" Meisya langsung kembali muram saat mendengar Rudi memberi syarat. "Kita harus periksa kandungan ke dokter kandungan," ajak Rudi. "Setelah itu, kita ke kedai ayam geprek PakSu! Bagaimana?" Sebenarnya Meisya tak ingin periksa kehamilan. Entahlah, Meisya benar-benar tak mau tahu segala sesuatu tentang bayinya. Ia sangat tak mau peduli karena bayi ini akan diberikan pada Rudi agar pria itu saja yang merawatnya. "Bagaimana, Mei? Kau mau?" "Baiklah!" Meisya terpaksa mengiyakannya. Ia tak peduli dari mana Rudi dapat uang untuk mentraktir dan memeriksakan kandungannya. Yang penting keinginannya terhadap ayam geprek yang sedang ada iklannya di TV terpenuhi. * Keesokan harinya …. "Nona Meisya, ayo," ajak Rudi dengan nada lembut pada istrinya. Dia mengulurkan tangan namun sama sekali tak disambut oleh Meisya. "Kamu belum mandi sama sekali. Padahal sebentar lagi pukul empat sore, bukannya kau ingin memakan ayam geprek PakSu," ujar Rudi lagi pada Meisya yang masih menggulung dirinya di atas kasur. Meisya belum mengganti bajunya sama sekali. Rambutnya pun masih berantakan, badannya juga masih berkeringat. Kehamilan trimester akhir membuatnya mudah merasa gerah. Padahal, Rudi sengaja menyelesaikan semua tugas pengiriman paketnya lebih cepat demi bisa pergi ke klinik kandungan dan makan bersama Meisya di kedai. "Nona Meisya-ku, ayo," rayu Rudi lagi seperti mengajak seorang anak kecil untuk mandi. “Apa kau ingin mandi bersamaku?” gurau Rudi yang sudah jelas malah dibalas senyum ketus oleh istrinya. Mau tidak mau, Meisya pun mencoba untuk berdiri. Dirinya menerima uluran tangan Rudi, karena tubuhnya sangat berat untuk berdiri sendiri. Ketika itu, Meisya mendongak. Dia melihat Rudi tak seperti biasanya. Baju dan celananya lebih rapi. Kupluk berwarna abu yang biasa dipakai untuk menutupi rambutnya yang agak gondrong, kini tidak dipakai. Rambutnya itu digulung dan diikat, membuat pria tersebut terlihat lebih macho. Meski bukan yang mahal, Rudi mengenakan jam tangan dan sabuknya. Meisya benar-benar terpana melihat Rudi. "Kok malah melamun, Nona? Nona kagum ya, melihat saya tampan?" canda Rudi yang menyadarkan Meisya dari lamunannya. Meisya bangun dengan menarik tangan Rudi dan sedikit membantingnya, hal itu membuat Rudi sedikit terjerembab ke atas kasur. Meisya sedang berada di kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia mengusir bayangan Rudi yang begitu tampan dari pikirannya. "Kenapa dia terlihat tampan dan mengagumkan seperti itu?" gumam Meisya. Lalu wanita yang sedang hamil tua itu pun menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ah, itu hanya karena dia dandan sedikit saja. Biasanya, kan, dia sangat kucel dan tak terawat. Jadi dia terlihat berbeda. Iya, dia tidak tampan, hanya sedikit berbeda." Dalam kamar mandi Meisya duduk di toilet sambil membawa sikat giginya. Dia pun duduk dan merasakan ada yang menggelinding dalam perutnya. Dia pun memperhatikan ke perut bulat itu, dan sebuah tonjolan sebesar bola tenis meja pun menggelinding dari kiri ke kanan bolak-balik dan bergantian. Dalam hati, Meisya merasa takjub dan gemas. Dia mulai menyentuh tonjolan itu, namun tonjolan itu menghilang. Beberapa detik kemudian, tonjolan itu muncul lagi pada sisi yang lain. Meisya menyentuh-nyentuh tonjolan itu lagi, hingga tonjolan itu menghilang dan beberapa detik kemudian muncul lagi pada sudut yang lain. Meisya bermain-main dengan bayi yang ada dalam perutnya hingga ia lupa tujuannya untuk mandi. Meskipun ia tak berniat untuk mengurus anaknya nanti, namun bagaimanapun juga naluri keibuan dari setiap wanita selalu muncul saat melihat anaknya. "Nona Meisya, Anda sudah mandi?" tanya Rudi dari luar kamar mandi. Pasalnya ia sama sekali tak mendengar rincik air dari dalamnya. Meisya yang mendengar itu langsung ingat lagi pada tujuannya dan segera membersihkan dirinya dengan cepat. Meisya pun segera berdandan dan menemui Rudi yang sudah menunggunya di luar. Meisya berdandan seadanya. Bahkan menggunakan masker, kacamata dan selendang agar tidak dikenali orang lain. Dirinya masih belum bisa menerima menjadi istri dari seorang Rudi, sehingga ia sama sekali tak pernah berniat untuk berdandan cantik bila berjalan bersama suaminya. Mereka berdua hanya naik motor matic milik Rudi. Rudi tidak memiliki mobil, dan mobil yang Meisya gunakan dulu adalah milik perusahaan, sehingga ketika ia telah keluar, ia harus menyerahkan kembali mobil tersebut. "Kita makan dulu, aku lapar!" Sebenarnya, Meisya hanya berdalih. Dia akan minta pulang setelah makan, tanpa harus ke dokter kandungan. Seperti itu akalnya. "Lagipula, ke dokter itu membutuhkan waktu yang lama untuk antre," sambungnya. Tapi, Rudi sudah terbiasa dengan alasan-alasan Meisya. Dia pun memiliki caranya. "Kita ke dokter dulu! Aku sudah ambil nomer antrian, kok! Tenang saja! Kita tidak akan menunggu lama," timpal Rudi seraya menunjukkan nomor antrean 1 dalam sebuah aplikasi di ponselnya pada Meisya. Sepertinya dia memang sudah mempersiapkan dari jauh hari. Lagipula, rumah sakit mana yang dia pilih, canggih sekali bisa memesan antrean melalui aplikasi? Meisya tak mau kalah, ia tetap harus mencari cara. "Itu, kan, nomor satu. Bagaimana kalau antrean itu terlewat? Aku tak mau kalau harus jadi yang terakhir." Rudi hanya tersenyum seraya menaiki motor yang sudah ia panaskan. "Sudah, ayo naik." Tanpa menjawab apa-apa dari Meisya, dia menunjuk pada jok belakang menggunakan jempolnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, Meisya mengekor ke arah yang ditunjuk jempol Rudi. Ia dudukkan tubuhnya pada motor matic milik Rudi, yang katanya baru lunas cicilan tahun kemarin. Sepanjang jalan, Meisya tak berkata apa-apa. Dia melihat gedung-gedung yang ia lewati. Jika dulu dia memandangi gedung-gedung itu melalui kaca mobil, sekarang ia memandangi gedung-gedung itu melalui kaca helm. Sungguh kenyataan yang tak ingin ia terima dalam hidupnya. Meisya melihat logo kedai ayam geprek PakSu tak jauh di depannya. Dia tersenyum-senyum karena ternyata Rudi menuruti keinginannya untuk makan terlebih dahulu. Namun .... Kedai itu terlewat. "Lho! Lho! Lho!" Meisya tak mengerti ketika motor matic Rudi sama sekali tak berhenti di kedai tersebut. "Kok nggak berhenti sih, Rud?" tanya Meisya dengan gusar. "Nona lupa? Kita, kan, akan pergi ke dokter kandungan dulu, Nona meisya," jawab Rudi yang selalu lembut penuh kemesraan. Dirinya tak pernah peduli seketus apapun Meisya padanya, Rudi akan tetap memperlakukan Meisya bak ratu yang perlu dilayani. Meisya merengut. Rudi dapat melihat bibir manyun Meisya dari spion. Namun Rudi justru merasa gemas daripada marah. Sambil berhenti di lampu merah, Rudi mencocokkan spion agar terlihat memantulkan bayangan Meisya yang sedang cemberut lebih jelas. Agar Rudi bisa melihat wajah menggemaskan Meisya tanpa harus menengok ke belakang. Menyadari Rudi melakukan hal yang terasa menyebalkan baginya, Meisya pun memalingkan wajahnya. Hal itu terlihat semakin menggemaskan bagi Rudi. Mereka pun sampai di sebuah klinik mewah untuk kalangan atas para konglomerat dan pejabat. "Rud ...? Kita nggak salah klinik, kan?" tanya Meisya agak panik. Apalagi ia tidak membawa dompet dan uang sepeserpun dalam tasnya. Bagaimana jika uang yang dibawa oleh Rudi itu kurang lalu mereka dituntut oleh kepolisian? Meisya menelan ludahnya berkali-kali saat bayangan itu terlintas dalam pikirannya. "Kenapa emang? Ayo!" ajak Rudi sambil melepaskan helm untuk Meisya. Meisya tiba-tiba merasa kecil saat melihat ke sekitar area parkir dipenuhi mobil mewah semua. Hanya satu motor yang ada di sana, yaitu motor milik mereka. Rasanya ingin dirinya mengajak Rudi untuk menuju ke klinik lainnya saja, daripada ia harus menanggung malu nantinya. "Rud ...? Rudi ...," bisik Meisya mengajak Rudi untuk berbalik. "Kenapa? ayo?" Rudi tanpa ragu terus melangkahkan kakinya ke depan. "Rud ... ini klinik mahaaaaal ...," gusar Meisya sambil mengejar Rudi dan menariknya. "Nggak apa-apa," jawabnya santai. "Emang kamu punya duit?" tanya Meisya. "Emmm ...." Rudi terlihat berpikir. "Aku ada uang, kok! Lagipula aku kenal dengan dokter-nya." Senyuman terbit dari wajah Rudi. Sangat meragukan. Seperti itu ekspresi Rudi yang terlihat oleh Meisya sekarang. "Ayolah! Aku sengaja mencari klinik kandungan terbaik di kota ini untuk anak kita," ucap Rudi memohon pada istrinya. Meisya sangat geli mendengar kata anak kita dari mulut Rudi. Ia bergidik sendiri sambil berjalan mengikuti Rudi. Meisya memasuki ruangan klinik yang mewah itu. Tampak di ruang registrasi juga sedang mengantri para ibu hamil dan suaminya, mereka duduk di kursi yang telah tersedia. Rudi mengajak Meisya agar mengambil tempat duduk di sana. Ia tak tega melihat istrinya yang sedang hamil tua itu harus berdiri lama-lama. Bahkan bila Meisya berkenan, Rudi akan menggendong istrinya itu dari parkiran menuju ke klinik agar tak kelelahan. Tapi, ya ... jauh-jauhkan saja pikiran itu, Meisya pasti tak akan suka. Sementara Rudi menunjukkan data dirinya dari aplikasi. Dia memberitahu pada resepsionis jika dirinya sudah melakukan pendftaran dan mengambil nomer antri. Meisya yang sedang duduk menunggu, benar-benar menyesal karena tak berdandan cantik saat dari rumah tadi. Walau bagaimanapun juga, dirinya masih memiliki stok baju bagus dan mahal dalam lemarinya. "Perasaan di klinik ini, nggak bisa pakai BPJS, kan? Kok ada orang kelas bawah ke mari?" Deg Meisya sangat mengenal suara itu. Dia pun menoleh, lalu ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN