Ketahuan?

1083 Kata
“Pendekatan!” jawab Abi dengan santainya. “Pendekatan kan buat orang yang gak saling kenal. Kita kan udah kenal karena guru dan murid di tempat kursus,” jelas Ajeng yang sudah sedikit mengenal karakter Abi sebagai muridnya di tempat kursus. Abi dia kenal agak genit dan senang bergaul dengan para gadis. “Kata siapa? Ini kan di luar tempat kursus, Nona! Berarti bermula dari nol lagi dong. Lagian kamu juga jomblo sih.” “Enggak, saya udah punya suami loh.” Mungkin ini jawaban yang terbaik agar Abi tidak menggodanya terus menerus. “Bohong. Kata semua orang di tempat kursus bilang kamu masih single.” Ajeng menggeleng, ternyata rumor tentang dirinya cepat sekali menyebar. “Benar kok, mana mungkin saya bohong.” Abi mengulurkan tangannya. “Mana lihat KTP-nya, kalau sudah bersuami statusnya menikah dong, bukan single.” “Gak, gak mau, ngapain kasih KTP saya ke kamu.” Bahaya, bisa ketahuan kalau memang dia berbohong. Abi menatap Ajeng dengan tatapan tajam. “Udah ketahuan bohongnya. Kamu gak bakat jadi pembohong.” Pipi Ajeng merah merona karena malu. Dia seolah tidak bisa berkutik setelah menatap bola mata pria itu. Wanita ini langsung menggelengkan kepalanya dan menutup kedua pipi menggunakan kedua tangan. “Saya panggil nama aja ya, aku kamu juga biar enak. Kan ini di luar tempat kursus.” “Iya, terserah deh.” Ajeng kembali memalingkan wajahnya. “Ada yang ingin saya sampaikan, Ajeng.” “Apa? Tinggal ngomong aja.” Setiap jawaban yang dia katakan ketus sekali, sengaja agar Abi menjauh dan tak gencar mendekatinya. “Saya ingin berhubungan secara serius dengan kamu.” Buset to the point banget. Abi tidak mau banyak basa basi lagi, ingin segera mendapatkan Ajeng. “Maksudnya?” tanya Ajeng bingung. “Ya pacaran menjurus ke serius nikah gitu. Mau gak jadi pacar aku?” tanya Abi sekali lagi menggunakan kata-kata yang lebih jelas. “Hah?” Mulut Ajeng jadi ternganga. “Mau gak?” “Masa iya langsung diajak pacaran?” Dia kira memang jadi diajak PDKT, eh ini diajak langsung pacaran. Tidak bisa dipungkiri memang dia tertarik dengan pesona Abi yang begitu menawan, terlahir tampan dari sejak kecil, memiliki alis dan rambut yang tebal, gigi rapi, hidung mancung dan terlihat sedikit ke arab-araban, tinggi putih. “Maunya apa? PDKT dulu gitu? Enakan langsung pacaran gak si? Kan PDKT bisa lah sambil hubungan berjalan. Udah lah langsung pacaran aja, ya?” Ujung-ujungnya dia kembali memaksa. “Dasar si pemaksa.” “Mau, ya? Mau plis!” kata Abi sambil mengguncangkan lengan Ajeng. “Paling kalau ujung-ujungnya bilang gak mau, nanti juga kamu paksa buat terima.” “Jadi mau, ya?” tanya Abi lagi sambil memohon. Mendadak hati Ajeng terenyuh dengan niat baik dari Abi, dia pikir tidak ada salahnya untuk mencoba, lagian dia memang tertarik pada pria ini, tidak mungkin kalau ditolak. “Hemmm … iya!” “Alasan kamu mau jadi pacar saya apa?” “Kamu jomblo, aku juga jomblo.” Alasannya masa diberitahu kalau dia mau memanfaatkan Ajeng saja. “Tapi kan umur aku sepertinya jauh di atas kamu.” Ajeng agak ragu soal ini. “Memang berapa?” tanya Abi, dalam hati dia membayangkan umur Ajeng jelas sudah di atas kepala tiga. “33 tahun. Kamu berapa?” “23 tahun.” Jauh sekali beda sepuluh tahun, mendengar jawaban dari Abi, Ajeng jadi terkejut karena dapat brondong. “Bedanya banyak sekali.” “Memangnya umur bisa jadi masalah dan penghalang untuk kita membina suatu hubungan.” Sok bijak sekali si Abi ini. “Bisa saja. Nanti apa kata orang?” “Jangan dipikirkan apa kata orang, kita yang jalani kok. Yuk pulang. Biar aku yang anter.” Abi berdiri lalu mengulurkan tangannya hendak membantu Ajeng bangun. Penjual pecel pun mengingatkan kalau Abi belum bayar makanan mereka. Bisa rugi kalau pergi tanpa bayar. “Waduh dompetnya di mana, ya?” Abi mencari di tas, di saku dan di jaketnya. “Ketinggalan?” tanya Ajeng khawatir. “Kayaknya iya. Ini di tas gak ada, di saku gak ada.” “Ya udah pake uang aku aja dulu, kasihan ditungguin emangnya tuh.” Ajeng merogoh isi tasnya dan mengeluarkan dompet warna merah jambu. “Ini, Pak!” Tukang pecel tersenyum mendapatkan uang begitu juga Abi yang dapat makan gratis. “Ya udah makasih, nanti aku ganti uangnya.” Kira-kira bakal dia ganti gak ya? “Oke!” Keduanya naik motor Abi yang tidak jauh diparkir dari situ. “Rumahnya lewat mana?” “Ke arah sana!” Ajeng menunjuk sambil mendaratkan bokongnya di jok motor Abi. “Pegangan dong.” “Bukan muhrim.” Ajeng enggan bersentuhan apalagi melingkarkan tangan di perut Abi. “Bentar lagi muhrim kok. Takut jatoh!” Tangan Ajeng ditarik paksa dan dilingkarkan ke perut Abi. “Dasar pemaksa.” Setelah lima menit menyusuri jalan motor malah terhenti mendadak. “Eh-eh, kok motornya mogok?” Ajeng panik, di belakang ada banyak motor yang mau lewat malah terhalang oleh motor Abi yang berhenti mendadak. “Yah bensinnya abis.” Tanda panah di kepala motor bagian indikator sudah di bagian gambar merah tulisan E. “Gimana dong?” Ajeng turun dari motor. “Pom bensin deket sih dari sini. Maaf bantu dulu dorong ya sampe pom bensin.” Udah makan gratis dibayarin, sekarang dorong motor saja minta dibantuin. “Ya udah.” Ajeng terpaksa membantu mendorong motor supra milik Abi. Sampai di pom bensin jelas keringat mereka cukup bercucuran. “Boleh pinjem uang lagi gak buat isi bensin?” tanya Abi karena tidak mungkin juga kan dia mengeluarkan dompetnya di sini. Kan ceritanya dia ketinggalan dompet padahal bohong. “Berapa?” tanya Ajeng sambil membuka isi tasnya. “Lima puluh ribu, Jeng.” “Boleh, nih!” Ajeng tidak curiga apa jika Abi meminjam uang tanpa ada niatan mengembalikannya sama sekali. “Nanti aku ganti!” Ini hanya kiasan kata yang tak mungkin dia lakukan. “Gak usah, ini kan musibah.” Ajeng yang berhati malaikat malah tidak mau uangnya diganti oleh Abi. “Yakin gak usah?” tanya Abi yang dalam hati tengah senang dapat lampu hijau, benar dugaannya jika Ajeng orang yang royal, mudah untuk dimanfaatkan. “Ya itung-itung tanda terima kasih ditolongin dan dianter pulang.” Abi tidak menolak, dia tersenyum dan bergumam dalam hati. ‘Yes! Makan dibayarin, bensin juga diisiin!’ “Ayo pegangan yang kuat!” kata Abi setelah mereka selesai mengisi bensin di pom. Tangan Ajeng ditarik dan lingkarkan ke perutnya. “Ini apa? Kok keras kaya dompet, jangan-jangan dompet kamu di sini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN