PROLOG

670 Kata
Pisang goreng bertemu kopi, rasanya paling seru dinikmati berdua. Sembari bicara mengenai masa depan yang sebentar lagi ada di depan mata. Duduk di antara keramaian pasar yang cukup sibuk di pusat kota. Aduhai, hati, siapa yang tahan. apalagi saat mata melirik, gadis pujaan yang duduk anggun di sampingnya sudah membuat jantung kerja dua kali lipat. “Abang,” kata si perempuan manis yang mengenakan kemeja lengan panjang berwarna merah muda. Rambutnya yang hitam legam, dikuncir rapi. Wajahnya dipulas make up tipis sekali tadi sudah bisa membuat sang pria semakin jatuh hati. Begini, ya, rasanya jatuh cinta terus menerus? Segalanya indah. Sampai lupa, siapa tau bom jatuh dan memporak porandakan hati. “Ya, Neng,” jawab sang pria dengan cepatnya. Kopi yang tadi ia nikmati masih terasa panas. Ia hanya menyesap sedikit, lalu memilih mengambil satu pisang goreng. Lagi. Mungkin ini sudah potongan ketiga yang masuk ke dalam mulutnya. Sembari ia menunggu, apa yang mau dikatakan sang wanita. Tapi gadis di sampingnya ini tak jua bicara. Apa dia sakit? “Neng kenapa?” Sebenarnya ada ragu mau meneruskan ucapannya, tapi kalau tidak bicara sekarang? Kapan lagi? Gadis itu masih ingat mengenai pembicaraan dengan kedua orang tuanya. “Kamu sudah mikir baik-baik mau nikah sama Bujang?” Tadinya si gadis, Ida, menyuguhkan teh hangat untuk bapak dan ibunya dengan senyum. Ditanya seperti itu, senyumnya jadi hilang. “Lho? Bapak ini tanyanya aneh. Ida yakin, lah. Kalau enggak yakin kenapa aku berhubungan dan mengarah pada jenjang serius sama Bang Bujang?” Si pria paruh baya yang dipanggil Bapak mendesah pelan. “Gini, lho, Da. Kamu harusnya berpikir, Bujang itu kerjaannya apa. Masih jadi pegawai biasa. Kontrak pula. Sementara kamu PNS, lho. Sudah mapan. Beda jauh.” “Dengarkan bapakmu,” tukas ibunya. Ida terperangah. “Tapi Bapak dan Ibu merestui Ida. Menerima aku berpacaran Mas Bujang. Gimana, sih, Pak? Bu? Ida enggak mungkin berhubungan sama pria kalau arahnya enggak serius. Lagi pula Bang Bujang baik dan ulet bekerja." Bapaknya kembali berdecak. “Sebenarnya Bapak enggak setuju. Sampai kapan juga enggak setuju. Kamu aja yang terlalu girang mau dilamar pria itu. Apa, sih, hebatnya?” “Tapi, Pak,” Ida kembali menyela. “Semuanya sudah mulai Ida siapin bersama Bang Bujang. Bulan depan Bang Bujang datang melamar. Bapak tau, kan?” Andi dan Rieka saling melirik. “Batalkan kalau begitu.” “Ada apa sebenarnya?” Ida masih belum percaya dengan ucapan orang tuanya ini. “Kenapa Bapak dan Ibu seperti ini?” “Bapak lebih suka kalau kamu menikah dengan Adam.” Rieka kali ini yang bicara. “Lihat lah pekerjaannya sudah mapan. Punya rumah juga. Bujang? Apa yang kamu harapkan dari dia?” Berulang kali sanggahan Ida beri tapi mereka berdua, orang tua yang ia kasihi tetap bersikukuh dengan keputusannya. Seolah mereka tak peduli dengan perasaan dan hubungan yang Ida dan Bujang jalani. “Neng?” panggil Bujang pelan. Sejak tadi pria itu menunggu kekasihnya bicara. “Kenapa? Dari tadi melamun.” Ida menelan ludahnya gugup. Matanya lalu tertunduk dalam. tangannya saling terkait satu sama lain. Duduknya mulai gelisah. “Neng minta maaf,” katanya dengan lirih. Itu juga setelah memberanikan diri dan mneguatkan hati. Bagi Ida, Bujang adalah pemuda yang baik dan santun. Pekerja keras juga ia cintai segenap hati. Tapi orang tuanya? Ida semakin pening jadinya. “Minta maaf untuk apa, Neng?” Pria yang sejak tadi setia di samping sang gadis, Putra Bujang Anom, berkerut dalam. kebingungan. “Apa Abang bikin salah?” “Enggak, Bang. Enggak.” Ida langsung menggeleng cepat. “Abang enggak salah. Neng yang salah.” Makin bingung lah Bujang jadinya. “Neng … “ Ida meremas tangannya. Tak sanggup kembali berkata-kata. Matanya juga sudah buram karena air mata. “Bicara yang jelas, Neng,” tegas Bujang. “Ada apa?” Mata mereka bersirobok di udara. Bujang jelas melihat kalau mata kekasihnya berkaca-kaca. Tangannya bergerak lambat untuk menyentuh pipi sang kekasih. Setidaknya menghapus jejak air mata yang keburu turun siapa tau bisa meredakan sedih yang kekasihnya alami. Entah karena apa. “Neng dilamar, Bang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN