PART. 2 RISMAN NUGRAHA

1017 Kata
Satu mobil datang ke kebun. Mobil parkir di depan tempat Risman menjual tanaman. Pintu mobil terbuka. Tiga orang wanita dan satu orang pria ke luar dari dalam mobil. "Mas Risman." Si pria menyapa Risman seraya mengulurkan telapak tangan untuk mengajak Risman salaman. "Pak Roy?" Risman menerima uluran tangan pria usia lima puluh tahun itu. "Iya. Saya yang menelepon tadi pagi. Ini tiga karyawan saya." Risman berjabat tangan dengan tiga orang wanita yang datang bersama Pak Roy. "Oh iya. Mari silakan dilihat-lihat dulu, Pak. Mungkin ada yang menarik hati." "Ya terima kasih." Risman membawa empat orang itu berkeliling untuk melihat tanaman yang ia jual. Dari tanaman hias, sampai bibit buah-buahan. Pak Roy bersama karyawannya memeriksa dengan seksama dan memilih tanaman yang diinginkan. Setiap tanaman yang dipilih, langsung dipisahkan dari tempatnya oleh karyawan Risman. Bagi Risman, pekerjaan ini dimulai dari hobi. Kehidupannya sebagai tukang kebun keluarga Ramadhan di mulai dari kejadian belasan tahun lalu. Saat ia putus sekolah, karena harus membantu orang tuanya mencari nafkah. Bapaknya yang baru berhenti bekerja terpaksa ikut sindikat peminta sumbangan pembangunan pesantren fiktif. Saat meminta sumbangan itulah bapaknya bertemu dengan Abba (ayah) Zia. Abba Zia yang membawa hidup keluarga Risman sejahtera seperti sekarang. Mereka diberikan pekerjaan dan tempat tinggal oleh orang tua Zia. Risman dan adik-adiknya disekolahkan. Lalu Rima, adik perempuan Risman menikah dengan adik Abba Zia. Sehingga mereka jadi keluarga sesungguhnya. "Untuk sementara cukup segini dulu, Mas Risman." Pak Roy menunjuk puluhan tanaman yang sudah dipilih untuk dibeli. Ada tanaman hias, bunga, dan bibit buah juga. "Baik, Pak." Risman menganggukkan kepala. "Tolong Mas Risman hitungkan, sementara saya telepon orang saya dulu untuk bawa mobil ke sini." "Baik, Pak." Risman segera melakukan apa yang diminta Pak Roy kepadanya. * Sore ini. Zia sudah nongkrong sendirian di warung bakso langganan keluarga Ramadhan. Perasaan Zia masih kesal pada Risman. Zia kesal karena sejak dulu Risman sudah tahu ia bercita-cita jadi istri Risman, tapi sampai sekarang Risman seperti belum juga percaya akan perasaannya itu. Zia tahu usianya belum cukup untuk menikah, tapi ia butuh kepastian, apakah Risman juga punya rasa yang sama, atau tidak kepadanya. Risman memang selalu menunjukkan rasa sayang dan perhatian, tapi apakah sayang dan perhatiannya itu sebagai paman kepada keponakan, atau sebagai seorang pria pada wanita, hal ini yang belum mendapatkan jawaban. Zia ingin kepastian, tapi begitu sulit untuk meraih hal itu. Risman selalu menghindari untuk menjawab pertanyaan yang satu itu. "Zia!" Zia mendongak untuk menatap pria yang menyapanya. Pria itu berdiri di sampingnya. "Bang Juna." Zia tersenyum saat melihat siapa yang menyapanya. "Tumben sendirian." "Sedang ingin sendirian saja." "Boleh duduk di sini!" Pria yang dipanggil Juna itu menunjuk tempat duduk di samping Zia. "Tentu saja lobeh." "Biasanya bareng empat pacar kamu." Juna duduk di samping Zia. "Tidak harus selalu bareng. Mereka juga punya kesibukan dan dunianya sendiri. Bukan cuma Zia, Zia, Zia, dan Zia." "Tapi kamu masih sering main sama Wisnu dan yang lain kan?" "Masih dong." Pesanan Juna datang. Juna bekerja di perusahaan tambang batubara keluarga Zia. Mereka juga satu kampung. Wisnu adik Juna adalah sahabat Zia sejak TK. Zia memiliki empat sahabat lelaki sejak TK, salah satunya Wisnu. "Bang Juna usianya sudah bepara ya serakang?" Tanya Zia penasaran. "Tebak berapa?" Meski Zia ada beberapa kata yang kepeleset dalam menyebutkan, tapi Juna mengerti apa yang Zia maksudkan. "Tiga puluh ya?" Zia menebak usia Juna. "Kok benar?" "Benar dong. Zia kan sahabatnya Wisnu. Jadi pasti tahu. Kapan makan-makan nih kita, Bang?" "Makan-makan apa?" "Makan-makan nikahannya Abang." "Mau nikah sama siapa. Aku belum punya calon." "Masa sih. Bang Juna ganteng, masa lebum punya calon." "Ya bagaimana. Itu kenyataannya. Zia mau jadi istri Bang Juna?" "Sayang selaki. Cinta Zia sudah mentok di Paman Risman." "Paman Risman beruntung sekali punya calon istri seperti Zia." Zia tersenyum meski sesungguhnya hati sedang merana. 'Apakah Paman Risman sungguh merasa beruntung karena aku cintai? Tapi Paman Risman tidak pernah menunjukkan hal itu. Sedikitpun dia tidak pernah memperlihatkan kalau dia takut kehilangan aku.' "Pasti nanti duluan makan-makan di acara nikahan Zia nih, daripada di acara nikahan aku." "Zia masih harus menunggu beberapa hal dulu, selebum bisa menikah dengan Paman Risman." "Beberapa hal?" "Iya. Yang pertama, menunggu usia Zia sembilan belas tahun dulu. Yang kedua, menunggu tiga adik Paman Risman sarjana, atau menikah dulu. Jadi ya lebum tahu acara nikahan akan terlaksana kapan." "Sabar ya, Zia. Jodoh tidak akan ke mana. Zia banyak menyatukan hati orang. Insya Allah, Allah akan satukan Zia dengan orang yang Zia cinta, aamiin." "Aamiin. Terima kasih doanya, Bang. Zia masih retus merayu Allah agar doa Zia, Allah kabulkan. Bang Juna dilihat-lihat deh gadis mana yang menarik hati, nanti Zia bantu deh. Ini serakang Zia dalam misi loh. Bantuin Paman Andika mengejar cintanya di Jakarta sana." "Aku belum ada pandangan, Zia. Nanti ya kalau ada aku kasih tahu Zia." "Ya sudah. Kabari saja nanti Zia ya." "Oke!" Mereka melanjutkan makan bakso sambil mengobrol. Mereka tidak tahu kalau Risman melihat mereka berdua tanpa sengaja. Risman membeli es teler di samping warung bakso. Karena itulah Risman melihat Zia dan Arjuna di warung bakso langganan keluarga Ramadhan. Risman masuk ke warung es teler dan memesan es teler serta roti bakar. Kalau ke warung es teler, Risman tidak bisa mengajak Zia, karena itulah Risman pergi sendiri. Rasa cemburu tidak bisa Risman hindari melihat Zia bersama seorang lelaki. Kalau Zia bersama empat sahabatnya, Wisnu, Faruk, Yadi, dan Eros, Risman bisa memahami. Tapi di luar empat pria itu menghadirkan rasa nyeri di dalam hati. Namun rasa rendah dirinya sangat sulit untuk diatasi, meski seluruh keluarga Ramadhan merestui andai ia menjadikan Zia sebagai istri. Risman masih maju mundur tentang perasaan Zia kepadanya. Risman ingin menunggu dimana Zia sudah sungguh dewasa, bukan lagi ABG yang masih labil perasaannya. Risman mencoba menikmati es teler dan roti bakar yang ia pesan, dan mengalihkan pikirannya dari Zia. Tapi begitu sulit mengusir dilema yang hadir dalam hatinya. 'Kenapa aku tidak bisa mempercayai Zia? Kenapa aku ragu akan perasaan cinta Zia kepadaku? Kenapa aku berpikir itu hanya sebuah obsesi semata? Zia terang-terangan menyukai aku sejak dia balita. Salahkah jika aku meragukan perasaan cintanya. Cinta yang tumbuh dari rasa sayang seorang gadis kecil, bisakah dipercaya sebagai cinta sejati kepada seorang pria?' *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN