Lili mengaduk pelan kopi yang akan ia bawa untuk Tuannya. Tubuhnya terasa panas dingin karena ini adalah kali pertama ia bertemu dengan Nico.
Sebenarnya Lili tidak tahu harus berbuat apa, apa yang harus ia katakan pertama kali pada pria itu. Lili tak punya pengalaman sedikitpun tentang pekerjaan. Waktunya hanya dihabiskan membantu orang tuanya di kebun milik orang tua Theo.
Berkali-kali berlatih dengan suara hatinya, namun tak pernah berhasil karena terlanjur diselimuti rasa gugup. Lili hanya bisa pasrah dengan apa yang terjadi nanti.
Setelah dirasa cukup, Lili membawa kopi tersebut diatas nampan kayu. Secara kasat mata, mungkin orang akan melihatnya biasa saja. Namun sejujurnya Lili sedang merasa tak karuan.
“Ya Tuhan, Semoga aku tidak melakukan kesalahan,” ucap Lili pada dirinya sendiri ketika berada didepan sebuah pintu yang diberi tahu Billy adalah ruang kerja Nicho.
Diketuknya pintu kayu berwarna coklat itu pelan, dan ditekannya pelan handle pintu supaya bisa masuk kedalam sana. Billy juga sempat menyampaikan, jika Lili masuk keruangan Nicho-baik kamar maupun ruang kerja, hendaknya mengetuk pintu terlebih dahulu.
Kepala Lili menyembul dari balik pintu dan terlihat ruangan yang masih gelap tak masuk sedikitpun sinar matahari kedalam sana. Sepertinya sang empunya tempat ini sangat enggan mengijinkan sinar sang surya menyapanya di pagi hari.
Tak didapatinya siapapun ada disana sehingga Lili masuk dengan sedikit rasa ragu.
“Selamat pagi, Tuan Nico. Saya Lili, Asisten baru Tuan.” Didekatinya meja kerja Nicho, disana tersusun rapi kertas yang mungkin baru saja dikerjakan oleh Nicho. Lili meletakkan satu cangkir kopi buatannya keatas meja dengan gerakan pelan.
“Tuan, kopi Anda diatas meja. Selamat menikmati.” Tak ada jawaban, membuat Lili memutuskan untuk undur diri dengan langkah mundur.
Karena masih dihantui oleh rasa gugupnya, tanpa sadar kaki Lili tersandung karpet yang terlipat. Akibatnya tubuh mungil itu limbung dan...
Hap...
Sebelum tubuh mungil itu menyentuh lantai, sebuah tangan kekar menangkapnya.
Lili terkejut dan dengan refleks langsung memeluk nampan yang ia gunakan untuk membawa secangkir kopi tadi. Tangannya semakin mengerat ketika melihat sosok yang ada dihadapannya. Tatapannya tak berkedip.
Seorang pria berdiri dihadapan Lili dengan telanjang d**a. Dibagian bawahnya terlilit handuk putih dengan droplet air mulai menetes dari rambutnya yang basah. Wangi mentol tercium dari mulutnya yang tak jauh dari wajah Lili.
Kedua pasang mata itu saling pandang hingga beberapa lamanya. Tatapan yang begitu dingin, menghipnotis Lili. Membuat bulu halusnya berdiri meski hanya baru berpandangan dengan sang pemilik mata elang itu.
Jefri Nico, pria dengan wajah tampan dan tubuh yang kekar dengan tonjolan otot yang sempurna dibagian d**a dan lengannya. Pria dengan tatapan tajam yang begitu menghunus jantung Lili.
“Siapa kau?” tanyanya datar.
“S-saya Lili, T-tuan,” jawab Lili terbata, terkejut karena keberadaan Nico secara tiba-tiba. Bersyukur ia masih bisa menjawab meski dengan suara terbata.
Nicho melepaskan Lili setelah memastikan Lili bisa berdiri sempurna. Ia berjalan mendekati meja kerjanya. Ia melihat secangkir kopi diatas meja kerja lalu menatap Lili lagi.
“Kau yang meletakkannya disini?” tanya pria dingin itu dengan tatapan amarah.
“I-iya Tuan.”
“Kau tidak tahu aturannya? Aku paling tidak suka ada makanan diatas meja kerjaku,” ucapan yang begitu dingin kembali keluar dari mulutnya.
“M-maaf T-tuan,” jawab Lili. Ia hanya bisa tergagap tanpa mampu menjawab lebih setiap pertanyaan Nicho dengan jawaban yang lebih lancar.
Lili kembali mendekati meja kerja kayu dengan ukuran cukup besar itu. Melewati Nico yang terus menatapnya dengan tatapan tajam tanpa henti. Jelas saja membuat Lili semakin grogi.
Diambilnya cangkir kopi yang ia letakkan tadi dan memindahkannya diatas meja sofa. Lili kembali menundukkan kepala-tak berani memandang Nicho ataupun yang lainnya sambil memeluk nampan kayu yang sejak tadi berada dalam genggamannya.
Nicho melihat gerak gerik Lili. Dengan gerakan lambat, lelaki itu mendekati sofa dan duduk diatasnya. Tangannya terjulur menggapai kopi buatan Lili dan mulai menyeruputnya.
Diletakkannya kembali kopi itu asal sehingga sebagiannya tumpah keatas piring kecil dibawahnya. “Aku tidak suka kopi yang terlalu banyak gula.”
“M-maaf T-tuan. S-saya...”
“Apa cara bicaramu memang gagu?” Nicho memotong ucapan Lili. Tak berhenti mengernyitkan dahinya. Sejak pertama kali bertemu dengannya, Lili selalu tergagap setiap kali berbicara dengannya.
“Hem... S-saya grogi.” Lili menggigit ujung bibirnya, merasa malu karena Nicho menyadari kekurangannya. Dan sangat berharap Nico memaklumi kecerobohan yang Lili lakukan.
Lili bukanlah tipe orang yang dengan mudah berdaptasi ditempat baru. Ia akan merasakan gugup yang berlebihan seperti sekarang ini.
Tak perduli dengan rasa grogi Lili, Nicho terus mengamati Lili. “Aku tidak suka pakaianmu. Ganti!”
“Baik, Tuan.”
Nico berdiri dari duduknya. Tubuh bagian atas yang tanpa penghalang itu memperlihatkan betapa sempurnanya Nicho. Membuat Lili tak bisa tak mencuri pandang pada tubuh indah milik sang wajah tampan.
Dalam hatinya merutuki matanya yang tak bisa menahan diri untuk tidak melirik perut kotak-kotak itu. Ingin menyentuhnya dan...
Lili segera menggelengkan kepalanya. Ia meyakinkan diri bahwa dirinya harus bersikap profesional.
“Siapkan pakaianku sekarang,” perintah Nicho. Kemudian meninggalkan Lili begitu saja.
Tubuh Lili sedikit tersentak ketika pintu yang baru saja dilewati Nico tertutup rapat. Ada rasa lega yang menjalar dihati Lili ketika Nico pergi. Namun disatu sisi ia merasa bingung dengan tugas pertama yang diterimanya, memilihkan pakaian untuk pria itu.
Bagaimana mungkin Lili melakukannya sedangkan selama ini ia sendiri tak pernah memilihkan pakaian untuk orang lain. Bahkan pakaian untuknya sendiri saja masih tergolong sembarangan.
Tersadar dari lamunannya, Lili segera menyusul Nico. Disebelah ruangan itu ada pintu yang Lili yakini sebagai kamar Nicho.
Dan tebakannya benar, kamar yang didominasi dengan warna gelap itu memancarkan aura seorang Jefri Nicho. Dingin dan sepi. Tak seperti apa yang Billy katakan, atau lebih tepatnya Lili belum menemukan bagian hangat dari Nico seperti yang dikatakan pria tua itu.
‘Dimana ruang gantinya?’
Didalam kamar dengan mengandalkan cahaya temaram, Lili akhirnya menemukan kamar ganti Nicho. Pakaian yang berjajar dengan rapi membuat terpana. Lili sangat suka kerapian. Dan sepertinya sejak pertama ia memasuki rumah ini, ruang ganti milik Nicho adalah tempat yang bisa membuatnya nyaman.
‘Dia memang penyuka warna hitam,’ gumam Lili dan membelai satu per satu jas yang keseluruhannya warna hitam dan kemeja putih Nico yang tergantung.
Lili tersenyum, dipejamkannya mata dan dihelanya napas. Mencari dengan hati kira-kira pakaian mana yang pas untuk Nico kenakan hari ini.
Sejak lama Lili selalu bermimpi melakukan hal ini. Memilih pakaian seseorang dengan hatinya. Tentu saja yang ada dalam mimpinya itu adalah seseorang yang sah menjadi suaminya. Memilihkan pakaian sang suami dan Lili menjadi istri yang baik dirumah dengan menyiapkan makanan untuk pria beruntung itu.
Namun, pada nyatanya mimpinya tidak akan pernah terwujud melihat sikap kasar Theo padanya selama ini.
Tanpa Lili sadari, sepasang mata elang tengah mengamati gerak geriknya. Begitu menikmati wajah anggun Lili yang sedang terpejam diantara pakaiannya.
To Be Continue