Bab 7

1172 Kata
Nico menuruni tangga dengan pakaian yang rapi. Setelan jas yang dipilih Lili untuknya benar-benar ia kenakan. Sesekali tangannya membetukan posisi dasi yang dirasa belum pas. “Selamat pagi, Tuan. Sarapan anda sudah siap.” Lili menyambut kedatangan Nico dari bawah tangga. Lelaki yang melewatinya tanpa menjawab sapaannya tadi benar-benar terlihat tampan dengan setelan yang ia pilihkan untuk Nico. Lili patut berbangga diri dengan hasil pencapaian kerjanya yang begitu baik. Langkah kakinya otomatis mengikuti Nico menuju ruang makan. Namun langkahnya berhenti tiba-tiba saat lelaki itu menatapnya dengan sorot tajam. “Kenapa hanya ada satu porsi?” tanya Nico sambil mengamati Lili yang terlihat kembali kaku dihadapannya. Padahal sebelumnya Nico dapat melihat dengan jelas bagaimana senyum manis Lili terbit dibibir mungilnya. “Apakah akan ada tamu yang datang, Tuan? Akan saya siapkan segera.” Lili melangkah kedapur dan mencari yang ia perlukan. Diambilnya satu porsi sarapan lagi lalu segera ia bawa keruang makan dan dihidangkan diatas meja. Siap menunggu tamu yang akan menemani Nico sarapan. “Duduk,” perintah Nico tanpa basa basi. Lelaki itu mulai menyantap sarapannya setibanya Lili disana. Matanya terpejam sejenak, meresapi sensasi rasa makanan yang menyentuh lidahnya. Anggukan-anggukan kecil terlihat disana meski matanya masih terpejam. Dan saat Nico membuka mata, ia masih mendapati Lili yang berdiri ditempatnya semula. “Kamu tidak mendengar ucapanku?” tanyanya. Sungguh Lili masih dalam keadaan terkejut saat Nico memintanya untuk duduk. Dikiranya akan ada tamu yang datang, tapi ternyata Nico memintanya untuk duduk disana menemani Nico sarapan pagi ini. “Mulai hari ini dan seterusnya kamu harus menamaniku sarapan. Jika memungkinkan makan siang dan makan malam juga. Sudah jelaskan?” “Ttapi dalam buku panduan Tuan tidak suka diganggu saat makan?” tanya Lili bingung sekaligus gugup. Kejutan apa lagi yang Nico berikan padanya. Yang semalam saja Lili belum bisa mencerna dengan baik kenapa Nico tiba-tiba datang dan tidur dikamarnya. Sekarang, lelaki itu memintanya untuk menemani setiap aktifitas makannya. Lili sedang tidak bermimpi kan? “Turuti saja apa yang aku mau.” Lili langsung mengangguk dan tak berani membantah lagi. Segera ditariknya kursi dan duduk disana. Menikmati sarapan salad sayur dan beberapa roti panggang plus selainya. Menu sarapan yang sengaja ia buat sendiri untuk Nico. Keduanya tak ada yang mengeluarkan suara. Nico menyuapkan makanannya kedalam mulut. Itu adalah suapan terakhir karena kini piring berbahan keramik berwarna putih itu sudah kosong tak ada makanan lagi alias tak bersisa. Sarapan kali ini adalah menu yang dipilihkan Lili untuk Nico dan dibuat sendiri oleh wanita itu. Nico begitu menikmati setiap makanan yang masuk kedalam mulutnya. Baru kali ini Nico merasa senang bisa sarapan dirumah. Meski bukan sosok yang menarik, tapi Lili bisa diperhitungkan untuk menjadi teman makan meski keduanya hanya duduk dan makan. Tak bersuara namun keberadaannya begitu berarti bagi Nico. “Apa anda ingin menambah sarapannya, Tuan?” tanya Lili ketika piring yang ada dihadapan Nico sudah kosong. Dari yang Lili tahu dari Mia, Nico jarang menghabiskan makanannya. “Kamu mau perutku meletus karena makan terlalu banyak?” tanya Nico dengan nada ketus. Nico menarik serbet dan membersihkan sisa makanan dari mulutnya. Sarapan kali ini sesuai dengan moodnya maka tak mungkin pula ia menyisakan makanan itu diatas piring. “Bbukan begitu maksud saya, Tuan.” Lili mengangkat kedua tangannya dan menggoyangkan kekanan dan kekiri. Ia tak mau Nico salah sangka dengan pertanyaannya tadi. Lili hanya ingin membantu mengambilkan makanan jika Nico masih membutuhkan sarapannya atau apapun itu. Tak memperpanjang bahasan masalah sarapan, Nico pun mengganti topik. Ia teringat jika malam ini memiliki janji dengan sang ibu. Saat wanita paruhbaya itu menghubunginya semalam dan meminta Nico untuk pulang. Biasanya Nico akan dihujani dengan pertanyaan. Jika pertanyaan itu berhubungan dengan dunia bisnis atau berita internasional sekalipun pasti dengan senang hati Nico akan menjawabnya. Tapi masalahnya orang tuanya selalu memulai list pertanyaan dengan sebuah kalimat tanya yang membuat Nico malas pulang. ‘Kapan kamu menikah?’ Jadilah Nico yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata itu akan membawa asisten barunya sebagai alat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan menyebalkan itu. Ia akan mengajarinya nanti saat dalam perjalanan. “Nanti siang temani aku menemui Mama. Bantu aku menjawab apapun pertanyaan konyolnya.” Nico mengamati penampilan Lili yang jelas terlihat sangat aneh dimatanya. Dari segi pakaian sudah oke. Rok mini setengah paha dengan atasan kemeja. Minusnya adalah rambut dan wajahnya yang tidak ditata dengan baik. Dan Nico tidak suka akan hal itu. “Dan satu lagi. Jangan pernah berpenampilan seperti ini lagi dihadapanku. Atau kamu akan mendapat hukuman karena sudah membuat mataku sakit.” Dengkusan keluar dari hidung Nico. Matanyapun berulang kali memicing karena malas melihat tampilan Lili yang berantakan. Raut bingung terlihat jelas diwajah Lili. Wanita itu lantas mengamati penampilannya sendiri. Dirasanya pakaiannya sudah sesuai dengan permintaan Nico sebelumnya. Lalu apa yang membuat laki-laki itu kembali menghujatnya? Nico hanya menggelengkan kepala dan berlalu dari hadapan Lili. Membiarkan Lili sibuk dengan dirinya sendiri. Dan ia mendorong mundur kursi yang diduduki lalu beranjak dari sana. Sudah waktunya untuk pergi kekantor dan bekerja. Berlama-lama duduk dengan Lili akan membuat otaknya jadi sakit karena melihat keluguan serta kepolosan wanita itu. Yang jadi pertanyaan Nico adalah, benarkah wanita itu memang lugu? Sadar Nico tak ada lagi ditempatnya, Lili mencari keberadaan tuannya itu. Didapatinya Nico sudah beberapa langkah meninggalkan dirinya. Lalu Lili membuka dan membungkuk hormat. “Hati-hati dijalan, Tuan. Sampai bertemu saat makan siang nanti.” Entah setan dari mana yang merasukinya, Lili hanya tersenyum melihat punggung kekar itu semakin menjauh darinnya. Pagi yang indah dan jelas tidak akan ia rasakan jika sedang bersama Theo. Lambaian tangan tanpa menoleh menjadi jawaban lelaki super dingin itu. Langkahnya pasti menuju keluar rumah. Menghampiri sebuah mobil sedan berwarna hitam yang siap membawanya melakukan aktivitas. Erum mobil yang meninggalkan pelataran rumah dapat didengar dengan baik oleh Lili. Segera Lili membereskan sisa sarapan Nico dan membawanya kebelakang. Ia pun sedah selesai makan pula. Nanti Lili akan memberinya hadiah kecil karena sudah membuat sarapannya lebih mewah dan tidak biasa. Mia yang melihat Lili sedang mengangkat benda sisa makan itu langsung datang tergepoh-gepoh dan dengan segera mengambil bagian tugasnya. Ia tidak akan membiarkan Lili bekerja sendiri. Pagi ini saja Lili sudah memintanya untuk membuat sarapan sendiri. Mia tentu saja setuju dan membatu sedikit hal yang diijinkan oleh Lili. “Nona, biar saya saja.” Tanpa menunggu jawaban Mia langsung menggeser Lili dengan bokongnya dan mengambil alih untuk mencuci piring. “Kira-kira, pakaian seperti apa yang harus aku kenakan saat bertemu dengan Nyonya Alice?” tanya Lili. Alice adalah nama ibu dari Nico. Lili mengetahuinya saat melihat bagan silsilah keluarga itu. Bahkan keluarga Nico memiliki bagan yang jelas, sangat kontras dengan keluarganya. Tapi tentu saja dua keluarga ini tidak bisa dibandingkan dari sisi manapun. “Jadi Nona diminta Tuan untuk ikut menghadiri acara keluarga?” tanya Mia dengan antusias. Piring yang ia cuci sudah selesai dan kini hanya tinggal dingelap kering saja. Tapi Mia tak melakukannya. Ia justru menatap Lili yang berdiri tepat disampingnya dengan pandangan kosong. Seperti sedang memikirkan hal yang begitu berat. “Iya. Nanti malam,” jawab Lili dengan gamang. Dengan menjentikkan satu jarinya, Mia merasa ini akan menjadi hal yang menyenangkan. “Serahkan saja padaku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN