3. National Championship

792 Kata
Mata hitam nan tajam itu terus menatap ke arah lelaki paruh baya tanpa mengalihkannya sedikit pun. Alisnya bertaut ujung dengan menukik di bagian ekornya. Tebal dan sangat menawan. Mewarisi seluruh kegagahan milik Arsyasatya. Dia adalah pendiri SMA Aryasatya. Tidak nampak tua meskipun guratan halus terlihat di sekitar matanya. Lelaki itu nampak gagah memandangi cucunya dengan semburat senyum tipis. Hatinya tergelak kala mengingat kejadian dimana ia menyeret tubuh cucunya sendiri hingga sampai di Jakarta. Tidak mudah membawa seorang laki-laki yang tubuhnya jauh lebih kuat dari dirinya. Namun, Itu semua tidak menjadi kendala bagi seorang lelaki paruh baya yang bernama Raden Wijaya Aryasatya. Siapa yang tidak kenal dengan keluarga Aryasatya yang memiliki peran penting untuk membangun negara ini. Banyak cabang perusahaan yang bergerak di bidang properti maupun teknologi, termasuk SMA Aryasatya ini. Meskipun sekolah swasta milik pribadi, tetapi tetap saja tidak mencoreng predikatnya sebagai sekolah terfavorit. "Kakek, Alva bisa cari sekolah lain, tapi enggak harus SMA Aryasatya juga. Bagaimana kalau mereka tahu bahwa Alva cucu dari pemilik sekolah itu?" Setelah sekian lama memandangi wajah kakeknya yang tidak juga membuka mulut. Akhirnya Alvaro mengalah. Ia tahu, jika kakeknya ini adalah orang yang sangat otoriter. Apalagi menyangkut soal dirinya yang merupakan satu-satunya cucu penerus keluarga Aryasatya. "Kakek akan urus semuanya," kata Kakek Wijaya singkat. Melihat ketenangan dari Pak Tua Aryasatya membuat Alvaro sedikit geram. Bagaimana bisa Pak Tua itu tidak mengerti perasaan Alvaro. Sudah cukup dirinya dipuja hanya karena marganya. Ia tidak ingin masa remajanya ini akan hancur seperti masa kecilnya. Alvaro muak dengan orang-orang yang mendekatinya hanya karena ia tampan dan tentu saja banyak uang. Alvaro meraup wajahnya dan bangkit. "Terserah, Kakek." Kakek Wijaya tahu rasanya Alvaro yang dulu bukanlah Alvaro yang sekarang. Jika Alvaro kecil suka dengan segala fasilitas yang ia berikan. Alvaro yang sekarang justru muak dan tidak peduli dengan fasilitas yang dirinya berikan. Sedikit rasa bersalah menyusup di hati Kakek Wijaya. "Maafin, Kakek." Setelah mengatakan hal tersebut yang tidak akan didengar oleh Alvaro. Kakek Wijaya bangkit, ia harus menyelesaikan perpindahan Alvaro dengan tangannya sendiri. Dirinya harus menyaksikan bahwa identitas Alvaro tidak akan terkuak hingga laki-laki itu lulus dengan menyandang marga keluarganya yang terdengar agung. Sejenak para staf TU sibuk mengisi data-data Alvaro, sementara Kakek Wijaya dengan wajah berkharisma yang tidak pernah luntur memandangi satu per satu staf-nya. Ia tidak ingin membuat Alvaro tidak gembira. Ia harus membuat Alvaro senang. Kesenangan Alvaro adalah sebuah keharusan untuknya. Banyak yang harus mereka siapkan untuk memangkas habis data identitas Alvaro. Semua itu mereka lakukan demi Kakek Wijaya. Awalnya mereka mengira kedatangan Kakek Wijaya hanya untuk melihat kinerja dari masing-masing staf, tapi ternyata dugaannya salah. Lelaki paruh baya itu membawa sebuah tas tangan yang ia letakkan di atas meja dengan pandangan datar. "Saya ingin Alvaro sekolah di sini dengan posisi sama seperti yang lainya. Saya tidak mau salah satu dari kalian bersikap tidak adil. Kalau Alvaro nakal, hukumlah. Begitupun sebaliknya." Kakek Wijaya memandangi seluruh staf TU. "Baik, Pak." Suara Bu Sindy terdengar pelan. Wanita yang tengah hamil muda itu merupakan salah satu staf TU bagian data siswa, yang artinya Cindy memegang peran penting dalam keberlangsungan ketenangan hidup Daffa di sekolah ini. Setelah puas dengan kinerja para staf, Kakek Wijaya mulai meninggalkan ruang TU. Sepertinya Alvaro akan betah bersekolah di sini, walaupun laki-laki itu tidak akan pernah memandang dirinya sebagai sang kakek, melainkan Ketua Yayasan Aryasatya Group. Seketika pandangan matanya mengarah pada salah satu siswi yang terlihat serius memandangi mading. Langkah Kakek Wijaya tegas dengan wajah datar, namun sangat menawan. Itu adalah Akira. Salah satu murid kebanggaan sekolahnya. Mendengar langkah kaki mendekat, Akira menoleh dan tepat mengarah pada Kakek Wijaya yang tersenyum tipis. Ia tahu itu adalah Ketua Yayasan. Tetapi, untuk apa datang menghampiri dirinya? "Bapak dengar kamu ikut jurnas," kata Kakek Wijaya menghentikan langkahnya tepat di samping siswi kebanggaannya. Mata Akira mengerjap pelan sambil mengangguk kaku. Ia sedikit terkejut melihat lelaki paruh baya itu. Jika dulu ia senang, sangat berbeda dengan sekarang. Setelah insiden dirinya kalah dalam seleksi kota, Akira sangat malu berhadapan dengan pendiri sekolah SMA Aryasatya itu. "Bapak harap kamu sungguh-sungguh. Lupakan kejadian kemarin. Anggaplah itu sebuah pelajar untuk kamu lebih kuat lagi," ucap Kakek Wijaya memegang bahu mungil Akira. Ia sudah menganggap siswi itu adalah cucunya sendiri. "Tapi, Akira takut bakalan ngecewain Bapak lagi." Kepala Akira menunduk dalam. "Bapak percaya bahwa kamu bisa!" Kakek Wijaya menepuk bahu Akira pelan. Perasaan Akira sedikit menghangat dengan sikap Kakek Wijaya. Dengan mata yang berkaca-kaca Akira menatap wajah lelaki paruh baya di hadapannya sambil berkata, "Akira pasti lolos, Pak!" Melihat wajah bersemangat Akira membuat Kakek Wijaya tersenyum tipis dan mengangguk sebelum melenggang pergi meninggal siswi mungil tersebut. Ia yakin bahwa Akira pasti akan gemilang dengan mengikuti ajang ke jurnas yang akan di adakan di Batam nanti. Sebuah kebanggaan yang perlu diapresiasikan. Salah satu siswi didikannya menjadi juara nasional.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN