BAB 16

1749 Kata
Bagian 16 Mereka berdua sampai di pondok saat petang menjelang tiba. Pria itu telah siap menyalakan perapian saat Mia usai membersihkan tubuhnya. Alex tengah duduk memunggungi nya saat Mia datang, pria itu memamerkan punggung telanjangnya yang terdapat bekas luka memanjang yang kini telah berwarna hitam. Pemandangan itu membuat Mia terpaku selama beberapa saat sampai ia memutuskan untuk ikut bergabung di samping pria itu. Alex tak memberi komentar apapun saat merasakan kehadiran Mia di sampingnya. Pria itu sedang serius menatap api di hadapannya tanpa berkedip sedetik pun. Setelah Alex kembali mencuri sebuah ciuman darinya, pria itu kembali bertingkah aneh. Alex kembali pada pria yang pertama ia kenal di hari ia membawanya ke rumah putih itu secara paksa. Mungkin, Mia terlalu cepat berharap banyak jika pria itu tidak seperti apa yang ia pikirkan selama ini. Atau mungkin, selama ini sikap Alex yang terasa begitu hangat dan beberapakali membuat ia bersemu hanya delusi nya saja. Mia tidak akan pernah tahu apa yang pria itu pikirkan tentangnya, dan hal itu membuat nya merasa begitu frustasi. Ia terlalu cepat terperdaya oleh sikap pria itu yang harus Mia akui begitu memesona, bahkan Mia merasa malu karena ia dengan mudahnya membalas ciuman pria itu.  Seharusnya ia bisa memperlihatkan harga dirinya sedikit lebih tinggi di hadapan pria itu. "Kau tidak mau tahu?" Gumam pria itu menyadarkan lamunan Mia saat ini. "Hm?" Mia menoleh pada Alex yang tetap tidak mengalihkan pandangannya. "Luka ku." Mia menghela napas tak langsung menjawab. Sejujurnya, ia memang ingin tahu, tapi Mia lebih memilih untuk menyimpan pertanyaan itu di dalam hatinya saja. Jika ada sebuah keajaiban, mungkin pria itu akan memberitahukan hal itu dengan sendirinya. "Lagipula aku tidak yakin kau akan menjawabnya sekalipun aku benar-benar ingin tahu." Balas Mia. Pria itu tersenyum tipis mendengar jawaban yang Mia ucapkan. "Kau juga sudah tahu, malam itu kau pernah melihatku..." Ungkap Alex, mengingatkan Mia pada malam dimana ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat Alex melukai tangannya dengan sengaja. Mia merapatkan kedua kakinya yang ditekuk karena hawa dingin petang itu semakin melingkupi. "Aku tidak mengerti, semakin aku berspekulasi untuk menemukan jawabannya, aku semakin kebingungan dengan semua ini. Jadi aku berpura-pura tidak ingin tahu lagi. Aku pikir itu lebih baik." Ucap Mia dengan nada yang terdengar frustasi. Sudut bibir Alex berkedut. Kobaran api di perapian mulai mengecil, dan Mia baru menyadari jika suasana di pondok itu semakin gelap. "Aku membutuhkannya, Mia." Mia mengernyit. "Maksudmu?" "Apa yang aku lakukan, aku membutuhkannya." Kali ini Alex mengalihkan pandangannya ke arah Mia, walau dalam keadaan yang gelap, samar Mia dapat melihat rasa takut yang Alex tunjukan dari dalam bola matanya. "Aku berharap tidak pernah melihat bekasnya lagi, jadi yang  aku lakukan adalah menghilangkannya dengan cara membuat luka yang lain,, luka yang aku buat sendiri." Mia masih mencoba memahami apa yang tengah Alex ungkapkan padanya. "Semakin lama aku semakin terbiasa dengan rasa sakitnya, malahan jika aku tidak melakukannya, aku merasa lebih sakit dibanding saat aku menyayatnya, Mia." Ucap Alex dengan nada suara yang getir. Bibir Mia terbuka, ia ingin mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada suara yang berhasil ia keluarkan. Ini sebuah keajaiban. Apa maksud Alex menceritakan hal ini kepadanya? Apakah ini suatu hal yang baik? Mia memang masih tidak dapat mengerti secara keseluruhan, tapi satu hal yang dapat ia mengerti saat ini. Alex akan bercerita dengan sendirinya, tanpa sebuah paksaan. Mungkin ini sebabnya ia tidak suka menjelaskan sesuatu yang ia tanyakan terlebih dahulu. Tidak tahu mendapat keberanian darimana, lengan Mia terulur menyentuh bekas luka yang memanjang di punggung pria itu. Alex bergerak tidak nyaman saat jemari lembut Mia membelai tepat disana. Tapi pria itu sama sekali tidak memprotes, malahan matanya terpejam merasakan jemari itu bergerak menelusuri lukanya seakan saat Mia menyentuhnya, semua rasa sakit yang ia rasa akibat luka tersebut terserap sepenuhnya oleh jemari wanita itu. "Luka ini... Bukan ulahmu, kan?" Pria itu mengangguk, lalu menarik jemari Mia yang masih menyentuh bekas luka di punggungnya. Alex memainkan jemari Mia untuk sesaat, lalu berhenti tepat di cincin pernikahan yang tidak pernah wanita itu lepaskan lagi. Ia berpaling untuk melihat keadaan sekitar dan menyadari jika di tempat ini telah benar-benar gelap jika ia tidak menyalakan perapian. Alex beranjak untuk mengambil sesuatu, ia kembali dengan beberapa batang lilin lalu menyalakannya sehingga penerangan di pondok itu kini lebih baik daripada malam sebelumnya. Alex menyalakan sebuah radio dari tape kuno yang masih berjalan dengan baik. Sedangkan Mia hanya melihat pergerakan pria itu tanpa berkomentar apapun. "Tempat ini terlalu terpencil untuk mendapatkan sinyal radio," ucap Mia pada akhirnya saat melihat Alex yang tidak mau menyerah mencari saluran radio yang dapat ia dengar. "Aku bertaruh untuk hal itu." Ucapnya seraya tersenyum miring, dan tak lama usahanya membuahkan hasil. Terdengar suara lagu klasik membuat Alex menoleh ke arah Mia mengisyaratkan sudah aku bilang kan? Seusai lagu yang entah apa judulnya itu berakhir, seorang penyiar radio berbicara singkat dan kembali memutar sebuah lagu yang Mia tahu berjudul Sweet Jane dari Cowboy Junkies. Tiba-tiba saja Alex mengulurkan tangannya ke arah Mia yang masih duduk di hadapan perapian. Mulanya Mia hanya menatap lengan kokoh itu dengan tatapan bertanya-tanya, sampai ia menemukan jawabannya dari gerak mata Alex yang usil. Mia menggapai tangan pria itu dengan mantap, lupa jika sikap pria itu sebelumnya sempat membuat ia ingin jauh-jauh dari pria itu. Mereka saling merapatkan tubuh, memulai gerakan dansa yang sebenarnya tidak terlihat seperti sedang berdansa. "Kau bisa mematahkan kakiku jika cara berdansa mu seperti itu." Protes Alex karena beberapa kali Mia menginjak kakinya karena salah langkah. Mia terkekeh. "Aku kan sudah katakan jika aku tidak bisa berdansa, kau tetap mengajakku berdansa." Balas Mia tidak mau kalah. "Hmm," Alex tak memberikan komentar apapun, pria itu membiarkan Mia bergerak sesuka hatinya. Sampai sebuah kilat yang disusul dengan suara petir membuat Mia terperanjat hingga reflek memeluk tubuh jangkung Alex. Dan ketika ia tersadar akan posisinya saat ini, cepat-cepat Mia melepaskan pelukannya dengan wajah semerah tomat karena malu. "Penakut." Gumam Alex. Mia memalingkan wajahnya ke sembarang arah. Ia tahu tindakan impulsif nya itu akan menjadi bahan olok-olokan pria itu.  Karena tak ingin mendengar ejekan lain dari pria itu, Mia bergegas masuk ke dalam kamar lalu kembali saat menyadari keadaan kamar yang begitu gelap. Mia menundukkan kepalanya, tahu jika Alex sedang menahan tawanya saat ini. Mia akhirnya menyerah, sambil menghela napas ia memberanikan diri untuk menatap langsung pria itu dengan ekspresi memelas. "Kenapa?" Tanya Alex sengaja. Mia memajukan bibirnya pertanda kesal, ia memilih untuk tidak peduli lalu mengambil sebatang lilin yang sempat Alex bawa dan kembali masuk kedalam kamar. Mia membalut tubuhnya dengan selimut tipis yang berada di ranjang. Selimut itu sama sekali tidak membuat Mia merasa hangat, ia tetap merasa menggigil ditambah saat lengan Alex tiba-tiba saja melingkar di pinggangnya. Pria itu, entah sejak kapan menyusul Mia masuk ke dalam kamar, tiba-tiba saja ia sudah bergabung bersama Mia di atas ranjang yang sama. Entah karena Mia tidak terlalu fokus, atau karena Alex yang datang tanpa suara sedikitpun. Jantung Mia berdetak lebih kencang dari biasanya. Karena masih merasa malu dan tak ingin membahasnya, Mia tidak ingin memancing perdebatan diantara mereka. Jadi saat ini, Mia membiarkan pria itu memeluk dirinya tanpa perlawanan. Tidak ada yang bersuara selama beberapa saat. Hanya ditemani dengan satu penerangan dari lilin dan juga suara binatang-binatang malam, entah kenapa hal itu membuat Mia merasa bergidik takut sekaligus merasa nyaman. Mia tidak dapat melihat bagaimana ekspresi Alex saat ini karena posisi tidurnya yang memunggungi nya. Namun, hembusan napas pria itu yang menerpa ke sekitar tengkuknya membuat Mia tanpa sadar menggigit bibirnya. "Kau juga memilikinya." Kata Alex tiba-tiba. "Apa?" Jeda untuk sesaat, seperti biasa pria itu akan berpikir panjang terlebih dahulu sebelum bersuara membuat Mia menunggu dengan rasa keingintahuan yang besar. "Luka, bekas luka. Kau juga memilikinya." Apa yang Alex lontarkan langsung membuat Mia mengubah posisinya menjadi berbalik ke arah pria itu. Alex  sama sekali tidak memberikan ekspresi apapun, terlampau datar dan juga dingin. "Mak-sudmu?" Pria itu memberikan jawaban dengan jemarinya yang bergerak menyentuh pada bagian atas d**a kanan Mia yang tertutup pakaiannya. Alex menyentuh bekas jahitan pasca operasi transplantasi jantung belasan tahun lalu hingga Mia yang mendapat sentuhan itu terasa seperti tersengat sesuatu. Napasnya tercekat, ia ingin mengatakan sesuatu, namun yang ada mulutnya hanya terbuka tanpa mengucapkan apapun. Cepat-cepatntikan jemari Alex agar berhenti menyentuh di area tersebut. "Darimana kau tahu?!" Alex memberikan sebuah senyum misterius, mengingatkan Mia satu hal bahwa pria itu adalah pria yang patut ia waspadai. "Aku tahu semua tentangmu, Mia." Mata Mia membulat tidak puas dengan jawaban yang Alex berikan. "Semuanya. Bahkan setiap inci tubuhmu, aku mengetahuinya." Mia tidak tahu nada suara yang Alex tunjukan saat ini. Apakah ia sedang berkata terus terang atau hanya sedang memojokkannya saja. Namun apa yang Alex ucapkan barusan membuat sekujur tubuh Mia merasa panas, jika penerangan di tempat ini lebih baik, sudah pasti Alex akan melihat betapa merah mukanya saat ini. Setiap inci tubuhnya dia bilang? "Aku sudah mengatakannya, luka itu seperti sebuah rahasia. Dan luka ini adalah salah satu rahasiaku yang sekarang sepertinya bukan sebuah rahasia lagi." Desis Mia. "Kalau begitu, katakanlah." "Kau bilang kau sudah tahu semua tentangku!" Alex kembali memberi sebuah  senyum misterius. "Aku ingin mendengarkannya darimu, sekarang." Mia menatap ke dalam bola mata abu itu selama beberapa saat, tenggelam disana, mencari setitik cahaya mungkin. Tapi terlalu pekat, Mia cepat-cepat tersadar jika tidak ingin tersesat di dalam sana. "Ini adalah bekas luka pasca operasi transplantasi jantung saat aku berumur sepuluh tahun." Mia melirik Alex sekilas, ingin tahu bagaimana reaksi pria itu. Tapi lagi-lagi ekspresinya masih tetap sama, datar dan dingin. "Aku tidak terlalu ingat banyak, tapi saat aku bangun, Papah menjelaskannya seperti itu dan entahlah aku merasa seperti terlahir kembali, aku merasa tidak memiliki masa lalu saat itu." "Lanjutkan." Desak Alex. Mia menaikan sebelah alisnya, insting untuk membantah pria itu kembali hadir. "Apalagi memangnya yang ingin kau dengar?" "Semuanya." "Tidak mau." Tolak Mia dengan tegas. "Lagipula, kau juga bilang sudah tahu semuanya tentangku. Apa kau ini seorang stalker?" Sudut bibir Alex berkedut. "Lebih dari itu, mungkin." "Hmm?" Hening. Semuanya kembali hening, Alex sepertinya tidak berniat untuk melanjutkan perbincangan, namun mereka berdua masih belum mengalihkan pandangannya sedikitpun. Debaran aneh itu kembali dirasakan Mia, matanya langsung melihat ke sembarang arah saat tesadar ia sudah terlalu lama menatap pria itu. Sampai, sebuah belaian halus di pipinya membuat Mia kembali menatap pria itu. Kali ini, napas pria itu terdengar lebih berisik dari sebelumnya. "Apa yang kau lakukan padaku?" Bisik  Alex dengan nada suara yang terdengar frustasi. "Apa?" "Kau membuatku kehilangan akal sehat." Ucapnya berat masih membuat Mia tidak mengerti, dan sebelum ia mendapatkan jawabannya, Alex beranjak dari posisi tidurnya dengan gusar lalu melenggang keluar kamar meninggalkan Mia tanpa sepatah katapun. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN