BAB 4

990 Kata
Bagian 4 Mia termangu sesaat, lalu setelah mendapat kesimpulan dari apa yang ia renungkan barusan ia mendongakkan kepalanya dengan berani, menatap pada pria bermata abu itu yang sepertinya sedang menikmati kemenangannya. Tapi belum, tidak semudah itu. "Aku sudah menanda tanganinya, tapi aku belum menerima sepenuhnya pernikahan ini sampai aku benar-benar yakin jika Papa ku akan baik-baik saja setelah ini." pernyataan itu langsung Mia lontarkan dengan lantang membuat ekspresi pria itu berubah muram karena tahu apa yang dilakukan Mia hanyalah membuang-buang waktu saja. "Aku benar-benar tidak akan melakukan apapun selama kau juga berbuat baik disini. Dan menuruti perintahku dengan cepat." kata Daren dengan sinis. Mia menatap Alex dengan tatapan tak percaya. "Aku tidak bisa menjaminnya, karena aku tidak percaya padamu." desis Mia. Alex terkekeh secara spontan dengan kenaifan wanita itu. "Jadi apa maumu?" Mia tersenyum miring dengan ketanggapan Alex. "Aku punya dua syarat sebelum pernikahan ini terjadi. Dan mau tak mau kau harus menyanggupinya. Aku tidak peduli dengan ancamanmu, kau ingin membunuhku papaku? Aku tidak peduli karena saat kau melakukan hal itu, di detik itu juga aku akan membunuh diri ku sendiri. Bagaimanapun caranya. Jadi kau tidak akan mendapatkan apapun. Karena aku berhak atas diriku untuk menentukan hidupku sendiri!" Mia berkata dengan lantang tanpa ekspresi takut sedikitpun. Sebenarnya ia juga tidak bersungguh-sungguh mengatakan hal itu. Kematian bukanlah jalan keluar utama yang ia inginkan, tapi ia tak mau pria itu terus memonopolinya dengan semena-mena tanpa memikirkan perasaannya dan juga dengan kebingungan yang sampai saat ini belum Mia ketahui. Rahang Alex langsung mengeras dengan ancaman yang Mia lontarkan itu. Tapi tidak, ia masih dapat mengendalikan dirinya dengan baik sampai saat ini hingga tanpa terduga Alex langsung memberikan senyuman terbaiknya, senyuman yang Mia artikan sebagai pertanda masalah lain lagi yang akan muncul. "Untuk calon mempelai wanitaku, katakanlah apa syarat mu itu? Anggap saja ini adalah hadiah pernikahan yang istimewa bagimu." kata Alex dengan tenang walaupun Mia tahu bahwa pria itu hanya sedang bersandiwara saja saat ini. "Pertama, aku ingin kau perlakukan Papahku dengan baik. Jangan sakiti dia, aku akan memohon jika perlu untuk hal yang satu ini. Dan yang kedua, aku tidak ingin kau terus mengurungku di dalam kamar putih itu! Aku bisa gila jika sehari lagi kau membiarkanku berada disana." Mia mengatakan permintaannya dengan lantang, membuat pria itu terdiam sesaat tampak memikirkan sesuatu, namun sama sekali tidak memperlihat apakah ia setuju atau keberatan dengan kedua syarat tersebut. Air mukanya tetap tenang, namun misterius. "Baiklah." katanya pada akhirnya membuat Mia sedikit terkejut dengan keputusan cepat yang pria itu ambil. "Tapi mungkin aku sedikit keberatan dengan syarat keduamu itu. Akan lebih menyenangkan untukku saat kau sudah menjadi istriku nanti jika kita berdua akan berlama-lama di dalam kamar. Bukankah begitu?" lanjut Alex dengan senyum miring khasnya menggoda Mia dengan sengaja hingga wanita itu langsung melotot ke arahnya. "Apa kau---" "Yah, karena aku sudah menyetujui kedua syaratmu itu, sekarang kita bisa memulai prosesi pernikahan kita?" sahut Alex tidak sabar memotong apa yang akan Mia sampaikan. Tidak ada lagi yang bisa Mia lakukan untuk mengulur waktu. Prosesi pernikahan itu berlangsung dengan cepat, seperti mimpi buruk yang tak pernah Mia inginkan. Pria itu memasangkan sebuah cincin emas sederhana di jari manisnya, dan Mia juga di haruskan untuk melakukan hal yang sama. Pernikahan seperti ini... Dengan pria asing yang sama sekali tidak ia kenal dan juga tak ia cintai, Mia tidak tahu akan seperti apa kehidupannya nanti setelah ini. Tapi ia berjanji, menuruti perintahnya sebagai istrinya bukan berarti ia telah tunduk kepada pria itu. Pernikahan ini hanya untuk menyelamatkan Papahnya. Dan Mia juga tidak akan tinggal diam karena semua ini masih terasa janggal untuknya, jika pria itu sama sekali tidak ingin menjelaskan apapun padanya. Dia sendiri yang akan mencari tahu kebenarannya. "Karena kalian sudah resmi menikah. Kau boleh mencium pasanganmu." Pria berkacamata yang memberkati prosesi pernikahan mereka berkata tanpa ekspresi pada kedua mempelai. Pria itu kelihatannya terpaksa melakukan pemberkatan ini karena ia sama sekali tidak memberi komentar apapun walaupun dia tahu pernikahan ini salah. Alex langsung menghadap ke arah Mia, memberikan sebuah senyuman menjengkelkan yang sekarang membuat Mia merasa muak. Pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah Mia berniat untuk menciumnya seperti hal wajib yang sering di lakukan seusai prosesi pemberkatan. Namun Mia dengan reflek memalingkan wajahnya, hingga bibir Alex hanya berhasil menyentuh pipinya. Pria itu kembali menarik sebuah senyuman dengan penolakan yang di lakukan Mia secara terang-terangan itu. Tanpa berkomentar apapun lagi, Alex menitah kedua pelayan wanita yang masih berjaga di ruangan itu untuk membawa Mia ke dalam kamarnya kembali. *** Malam itu Mia terbaring dengan gelisah. Memikirkan banyak kemungkinan yang akan terjadi setelah ia resmi menjadi istri dari pria itu. Mungkin saja, pernikahan ini adalah salah satu rencana jahat pria itu dalam permainan ini. Tiba-tiba saja, Mia semakin resah---bisa di katakan ia menyesal dengan keputusan yang ia ambil---walaupun pada kenyataannya ia memang tidak di beri sebuah pilihan. Dia sama sekali tidak mengenal pria itu. Pikiran-pikiran negatif tentangnya langsung bermunculan di benak Mia. Pria itu mungkin adalah psikopat yang suka menahan para mangsanya untuk berlama-lama tinggal disini dan mengikatnya dengan sebuah pernikahan, lalu ia akan berakhir saat pria itu sudah bosan padanya. Atau mungkin, sebenarnya pria itu adalah tahanan Rumah Sakit Jiwa atau buronan polisi karena dia seorang kriminal kelas atas. Sialan. Mia menghela nafas dengan gusar saat fantasi jeleknya mengganggu pikirannya saat ini. Pria itu menepati janjinya untuk tidak mengurungnya di dalam kamar ini lagi, karena sekarang pintu kamarnya sudah tidak terkunci lagi. Namun, Mia sama sekali belum ada niatan untuk keluar dari kamar ini karena entah kenapa malam ini ia merasa sangat takut. Apakah pria itu akan datang ke kamarnya malam ini? Apakah dia akan memaksanya untuk melakukan suatu hal yang biasa di lakukan pasangan baru menikah di malam pertamanya? Pikiran-pikiran itu jelas membuat Mia merasa sangat malu. Dia tidak memikirkan hal ini sebelumnya, dan sekarang ia sungguh tidak ingin memikirkannya lagi. Dengan perasaan yang campur aduk, Mia membenamkan seluruh wajahnya di balik bantal. Kembali berharap jika semua ini hanyalah mimpi buruknya. Mimpi buruk yang akan segera berakhir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN