BAB 2

1334 Kata
Bagian 2 Semuanya gelap saat pertama kali Mia tersadar. Adrenalin langsung memicu kesadarannya. Matanya di tutup oleh secercah kain hingga ia tak dapat melihat apapun. Entah berapa lama ia tak sadarkan diri. Mulut nya di sumpal hingga membungkam segala protes yang akan ia lontarkan. Tidak hanya itu saja, bahkan kedua tangannya diikat dengan keras hingga membuat tangannya terasa kebas. Suara mesin mobil yang sedang berjalan itu menjadi satu-satunya petunjuk yang Mia tahu saat ini. Tubuhnya sudah penuh dengan keringat, dan ia merasakan dua orang bertubuh besar menghimpit tubuhnya yang mungil tanpa pergerakan. Benaknya bertanya-tanya apa yang akan di lakukan orang-orang ini padanya? Dan akan di bawa kemana ia pergi? "Mmph, mmmh..." Sekuat tenaga Mia mencoba memberontak walaupun ia tahu usahanya hanyalah sia-sia saja. Dua orang yang menghimpitnya itu sama sekali tidak bergeming seakan sudah tahu bahwa yang di lakukan Mia saat ini tidak akan menghasilkan apapun. Suara mesin mobil berhenti, orang-orang yang menghimpitnya kini berganti menarik Mia keluar dengan sangat kasar. Kaki telanjangnya merasakan ubin dingin yang tiba-tiba saja membuat tubuhnya terasa menggigil. Saat masuk ke dalam sebuah ruangan dua orang yang menyeretnya mendorong tubuh Mia hingga tersungkur jatuh dan menimbulkan suara yang cukup keras. Setelah itu, seseorang membuka kain yang membekam mulutnya hingga Mia langsung menggunakan mulutnya untuk bernafas—terlihat begitu terengah-engah. "Siapa kalian?! Apa yang kalian inginkan dariku?!" teriak Mia dengan suara yang terdengar bergetar. Ia tidak dapat menyembunyikan ketakutannya saat ini. Tapi tidak ada jawaban, hening setelah ia mendengar orang-orang kasar itu pergi dan menutup pintu dengan cukup keras. "Seseorang jawab aku! Apa yang kalian inginkan dariku?!" Mia masih belum menyerah. Ia sangat yakin jika di ruangan ini masih ada seseorang yang mengawasinya. Dan tak lama, dugaannya benar, Mia mendengar suara seseorang yang beranjak dari tempat duduknya membuat wanita itu langsung memasang ancang-ancang pertahanannya. "Kau! Kenapa kau diam saja?! Katakan padaku, apa maumu?! Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa kau salah orang? Apartemen itu bukan milikku, sungguh aku baru sehari menempatinya, dan aku bersumpah tidak terlibat apapun, aku tidak tahu apa-apa." kata Mia berharap pembelaannya itu dapat membebaskannya segera. Ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat kearahnya, semakin dekat, sampai Mia bisa merasakan orang itu berada di dekatnya sekarang. Ia semakin terengah-engah, menunggu apa yang akan di lakukan orang itu dengan jantung yang begitu berdebar. Orang itu berjongkok—ya, Mia sangat yakin saat merasakan hembusan nafasnya yang pelan dan teratur menerpa wajahnya—lalu tangan yang dingin menyentuh pipi nya yang berkeringat membuat Mia merasa tersengat dan langsung menjauh. Tangan itu beralih untuk membuka ikatan kain yang menutup kedua matanya. Mulanya ia tak dapat melihat dengan jelas—begitu buram dan juga berbayang. Lalu setelah ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali barulah ia dapat melihat seseorang yang berada di hadapannya ini. "Aku tidak pernah salah, aku tahu itu kau." orang itu akhirnya membuka mulutnya, berkata dengan suara yang pelan dan juga dingin. Dia seorang pria—yang entah kenapa terasa tidak asing lagi untuknya—umurnya sekitar awal 30-an, memiliki badan tegap yang begitu atletis, memakai raglan berlengan panjang dengan jeans berwarna hitam. Dia menatap tajam ke arah Mia tanpa ekspresi. Dan yang membuat Mia terpana adalah mata abu nya yang begitu pekat dan dalam. Seakan jika Mia tidak memutuskan pandangannya sekarang juga, pria itu akan menenggelamkan dirinya dan menghilang ke dalam matanya yang kelabu itu. Pria itu tersenyum, senyum yang langsung membuat Mia tersadar jika pria di hadapannya ini sama sekali bukanlah pria baik-baik. "Senang bertemu denganmu kembali Mia Clark, apa kabarmu?" mata nya menatap Mia dengan kilatan benci yang begitu kentara. Mia sedikit tersentak saat pria itu menyebut namanya. "Siapa kau? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" kali ini Mia bertanya dengan hati-hati. Sekilas Mia dapat melihat ekspresi terkejut yang pria itu tunjukan padanya—tapi hanya sekilas—sehingga Mia sendiri tidak yakin dengan penglihatannya sendiri. "Apa kau yakin dengan ucapanmu ini?" pria itu bertanya dengan ekspresi yang keras. "Apa kita saling mengenal dulu? Maaf, aku tidak memiliki banyak memori untuk di kenang saat dulu, tapi kumohon katakan siapa kau sebenarnya dan apa yang kau inginkan dariku?" Mia memohon, kali ini dengan sopan. "Kau akan tahu nanti, yang perlu kau tahu sekarang hanyalah sekarang kau disini untuk membayar sesuatu dan mungkin kali ini bayarannya lebih tinggi lagi." katanya yang sama sekali tidak di mengerti Mia. Membayar? Membayar apa? "Apa maksudmu? Kumohon jangan membuatku bingung, apa ini semua ada hubungannya dengan Papaku?" "Aku memang sengaja membuatmu bingung." katanya sambil beranjak berdiri lalu pria itu menepuk kedua tangannya pelan, dan tak lama setelahnya dua orang wanita dengan setelan pelayan langsung datang. Pria itu terlihat mengisyaratkan sesuatu yang langsung di patuhi dua orang pelayan itu. Mereka menarik Mia tanpa ijin dan memaksanya untuk mengikuti langkah mereka, sebelum Mia di bawa keluar ia langsung melihat ke arah pria misterius yang juga masih menatapnya tanpa ekspresi sekilas. Mia kembali mencoba memberontak, tapi para pelayan yang menggiringnya itu ternyata lebih kuat dari kelihatannya saat ini. Mereka langsung mengeratkan pegangannya dan membawa Mia ke sebuah kamar. Kamar dengan nuansa serba putih. Tanpa kecuali. "Ka-kalian, apa kalian tahu kenapa aku di bawa ke tempat ini?" Mia bertanya dengan putus asa saat salah satu dari mereka sedang berusaha membuka ikatan tali mati yang mengikat pergelangan tangannya. Kedua pelayan itu hanya menggeleng singkat. Terlihat tidak berniat untuk mengeluarkan suaranya sedikitpun. Wajah mereka pun dingin tanpa ekspresi sama sekali tidak terlihat bersahabat. "Ah jika kalian tidak tahu, katakan siapa pria itu, pria pemiliki rumah ini, kumohon beritahu aku!" Mia terus berusaha mengorek segalanya walaupun kemungkinannya sangat tipis. Sepertinya pemilik dan orang-orang yang bekerja di tempat ini tidak suka bicara. Dua wanita itu saling memandang sekilas, lalu mereka terlihat menyepakati sesuatu dengan anggukan yang terlihat samar—Mia mengumpat dalam hati, mereka terlihat seperti dua orang i***t yang sedang bertelepati. "Tuan Alex namanya, Alex Abraham." salah satu di antara yang berambut bergelombang menjawab dengan singkat. Alex? Mia mengernyit, dia benar-benar tidak mengenal pria itu. Kenalannya yang bernama Alex adalah dosen di universitas nya dulu yang kini umurnya sudah mencapai setengah abad. Dua orang wanita itu tampak akan meninggalkannya setelah berhasil membuka simpul mati yang mengikat tangannya. "Kalian mau pergi kemana? A-pa kalian benar-benar tidak tahu menahu tentang semua ini? Jawab aku!" Mia tak dapat mengendalikan dirinya lagi, tapi dua pelayan itu sama sekali tak peduli, mereka mengabaikannya dan pergi dengan mengunci kamar yang Mia tempati saat ini. Mia mencoba membuka pintu kamar ini untuk memastikan jika pendengarannya tidak salah. Dan benar saja, dua orang i***t itu menguncinya di kamar yang memuakkan ini. Mia terus membuka knop pintu kamar itu secara paksa. "Sialan kalian para penjahat! Keluarkan aku dari sini!" teriak Mia sambil menggedor-gedor pintu nya dengan sengaja. Tapi pemberontakannya sama sekali tidak menggentarkan siapapun membuat Mia berhenti melakukannya. Wanita itu menghela nafasnya frustasi, menyampirkan rambut panjangnya yang tatanannya sudah tak beraturan bercampur dengan keringatnya sendiri. Mia kembali mencoba untuk tenang. Setidaknya dia tahu bahwa si penjahat itu—Alex atau siapapun namanya tidak berniat membunuhnya. Walaupun kemungkinan pria itu akan membunuhnya sewaktu-waktu saat melihat tatapan benci yang tidak segan pria itu jatuhkan kepadanya, Mia tidak tahu. Pria itu hanya menyanderanya entah untuk alasan apa. Dia bilang tentang membayar sesuatu. Apa mungkin ia pernah memiliki hutang yang ia lupakan begitu saja? Mia benar-benar lelah untuk memikirkan banyak kemungkinan itu, ia terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia akan baik-baik saja dan segalanya akan segera berakhir seperti mimpi. Mungkin ini hanya kesalahpahaman toh Mia juga sama sekali tidak mengenal pria itu. Benar, itu benar. Rasanya alasan itu sangat tepat untuk menghubungkan segala kejadian yang menimpanya hari ini. Sambil terus mencoba berpikiran positif, mata Mia menjelajah ke seluruh ruangan ini. Tidak ada warna lain selain warna putih di ruangan ini. Seperti sengaja pria itu memasukkannya ke kamar ini agar ia mati karena bosan dengan suasana serba putih yang membuat Mia merasa seperti terintimidasi dan juga tertekan. Tidak, Mia tidak boleh kalah dengan hal sepele seperti ini. Pria misterius itu mungkin sedang merencanakan sesuatu yang tak akan ia sangka-sangka. Dia lebih berbahaya di banding kelihatannya. Dan apapun keinginannya, Mia akan siap dan segera tahu. Secepatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN