Tangan-Tangan yang Lain

1918 Kata
Entah apa alasannya, telinga Edbert tiba-tiba berdenging. Dengan kelopak mata yang masih berat, ia mengusap telinganya sebentar lalu kembali memeluk selimut putih tebal. "Tuan Muda Edbert, matahari sudah mulai naik Tuan Muda!" Belum juga Edbert kembali terlelap, suara Alcott memanggil namanya terdengar lagi. Tetapi, karena menganggap saat ini ia hanya sedang bermimpi, Edbert pun mengabaikan suara itu dan berusaha tidur lagi. "Tuan Muda, bangun Tuan Muda. Matahari sebentar lagi naik!" "Oh, sial." Edbert mendengus. Ternyata suara Alcott bukan mimpi. Ia pun bergumam dengan sangat malas. "Biar saja. Itu memang sudah tugas matahari. Pergilah, Alcott. Jangan ganggu tidurku." "Maaf tidak bisa, Tuan. Anda tidak ingat? Semalam Anda mengancam nyawa saya bila tidak berhasil membangunkan Anda sebelum matahari naik." "Oh ya? Kalau begitu anggap saja aku tidak pernah mengancammu. Kau boleh pergi dan hidup dengan tenang," kata Edbert lalu kembali ke posisi tidurnya yang nyaman. Ia sedang bermimpi indah jadi sayang jika tidak dilanjutkan. "Saya tidak akan pergi sebelum Anda bangun, Tuan." Melihat Tuannya yang belum juga membuka mata, Alcott menghela napas panjang. Terpaksa ia harus melakukan satu cara terakhir. Edbert memicing setelah seberkas sinar terang menyorot ke wajahnya hingga menembus kedua kelopak matanya. Ia hendak menarik selimut lagi, tetapi bayangan di kepalanya telanjur berputar-putar. Edbert terlonjak duduk dan menatap penuh rasa kesal dan emosi pada Alcott di dekat jendela sana. Menerima tatapan tajam itu, Alcott seketika membeku. Mungkinkah nasibnya akan berakhir sama seperti pelayan lain di pulau Tannin—yang melakukan kesalahan lalu hidupnya berakhir menjadi hiasan ketel, cangkir, tikus, atau bahkan diumpankan pada monster bergigi lautan Ambert? Jantung Alcott serasa berhenti berdetak membayangkan hal itu. Seluruh bulu di tubuhnya berdiri, ekornya tegak, dan sekujur badannya tegang. Dengan cepat, ia melepaskan tirai dalam genggaman cakarnya. "Syukurlah Anda sudah bangun, Tuan." "Kau tahu Alcott, aku sangat membenci caramu itu!" "Maaf Tuan," ucap Alcott, "tapi Anda tidak punya banyak waktu. Sebaiknya Anda segera bersiap-siap sekarang karena Yang Mulia Roland sudah kembali dari kerajaan Ealdas." "Apa?!" Edbert bergegas menurunkan kakinya. Ia menyambar segelas air di atas nakas yang biasa disediakan Alcott dan meminumnya dengan tegukan cepat. "Ambilkan baju!" "Pakaian Anda sudah saya siapkan Tuan." Alcott menunjuk bangga ke setelan kemeja satin berwarna hijau yang digantung di sebelah ranjang. Edbert ternganga. Baju hijau mengkilat itu adalah pemberian Dexter yang belum pernah ia pakai. Sebenarnya warna hijau baju itu bukan masalah besar bagi Edbert yang di kesehariannya lebih menyukai warna gelap. Tetapi yang menurut Edbert aneh, di bagian lengan baju itu terdapat rumbai-rumbai berbentuk daun, parahnya itu sangat lebat. "Kau ingin aku ke hutan Camden dengan pakaian seperti itu? Bajuku yang lain banyak. Kenapa harus satin hijau itu?" "Karena warna hijaunya mirip dedaunan, Tuan. Saya yakin baju itu akan sangat membantu misi Anda." "Argh! Kau membuatku terlihat memiliki selera berpakaian yang buruk," kata Edbert, yang meski keberatan tetapi akhirnya memakai pakaian itu. Setelah ia pikir-pikir perkataan Alcott ada benarnya juga. Melihat Tuannya telah selesai berpakaian, Alcott mendekatkan sebuah cermin besar. Dengan segera Edbert dapat melihat pantulan dirinya dari atas sampai bawah. "Anda terlihat tampan Tuanku," komentar Alcott. "Daripada tampan, bukankah aku lebih terlihat seperti TUMBUH-TUMBUHAN?" "Ampuni saya, Tuan." Alcott menunduk lesu. Sebagai pelayan setia, ia merasa tidak becus. Jika saja ia mampu menyeberangi samudra Erion, pasti ia akan membantu Tuannya lebih dari sekadar menyiapkan pakaian seperti sekarang ini. Sayangnya burung gagak hasil sihir transformasi sepertinya tidak akan bertahan hidup lama setelah menyeberangi samudra Erion. Entah apa sebabnya, bahkan Biddlestone belum berhasil meneliti. Rata-rata bulu burung gagak itu rontok, tidak lagi bisa terbang, dan berakhir mati. "Angkatlah kepalamu, Alcott. Kau tahu aku tidak membutuhkan pelayan yang terlihat lemah." Alcott melirik, dan kedua matanya melebar tatkala melihat raut kemarahan di wajah Edbert sudah hilang. Ia kembali menegakkan leher dan membusungkan d**a. "Siap, Tuan!" "Selama aku pergi, laksanakan tugas yang kuberikan semalam. Awasi pembangunan menara di dekat penjara Gregosus. Jangan biarkan para monster berkepala kerbau bersantai-santai!" "Baik, Tuan. Semoga Anda berhasil," kata Alcott sebelum Edbert menghilang dari hadapannya. *** Roland baru saja menyelesaikan ritual persembahan kecil. Ia berjalan meninggalkan meja besar di tengah altar menuju meja bulat di dekat pintu keluar untuk membersihkan tangannya yang berlumur darah dengan air sejuk dalam belanga dan mengelapnya dengan kain lembut yang telah disediakan pelayan di atas meja itu.  "Luar biasa! Semakin hari, Anda terlihat semakin kuat, Yang Mulia!" puji seorang pria yang sebenarnya sudah sejak tadi berdiri menunggu Roland di dekat meja.  Roland hanya menoleh kepada pria itu sekilas, lalu kepada dua pria lain yang juga berdiri mengapit pria itu. Tak ada senyuman terulas di bibirnya, tetapi tidak membuat tiga pria dari kerajaan Norwind yang telah menunggunya itu tersinggung. Malah, tiga pria itu tak berhenti tersenyum lebar. Selain pencitraan, mereka juga tak mampu menyembunyikan rasa bangga setelah berhasil menyerahkan hasil buruannya, yaitu remaja Albara usia 19 tahun. Kini mereka hanya tinggal menunggu Roland memberikan kertas berstempel pemimpin Yurza sebelum pergi ke Biddlestone untuk menukarkannya dengan enam monster. Sudah bisa dibayangkan hadiah yang akan mereka terima dari Raja Norwind. Begitulah yang berlaku di kerajaan barat. Satu remaja Albara usia 19 tahun berhak ditukar enam monster penjaga dengan kemampuan bertarung tinggi. Kerajaan mana yang tidak mau wilayahnya ditakuti karena memiliki banyak monster penjaga yang kuat? Seluruh kerajaan barat sangat menginginkan hal itu. Maka banyak di antara mereka mengabaikan rasa kemanusiaan dan berlomba-lomba mengirim penyusup untuk menyeberangi samudra Erion demi memburu remaja Albara. Energi sihir yang Roland dapatkan setelah menyelesaikan ritual persembahan kecil memang tidak sekuat yang didapat saat ritual bulan berdarah, tetapi cukup membuat kemampuan sihirnya menjadi lebih tepat sasaran. Tidak seperti Yurza lainnya, kemampuan sihir pemimpin Yurza hampir tidak pernah meleset. Karenanya, selagi masih menjadi pemimpin Yurza, Roland ingin menikmati kekuatannya sebelum benar-benar memindahkan kekuatan itu pada pemimpin Yurza yang baru saat ritual penobatan nanti. Meninggalkan urusan di altar, Roland kemudian duduk santai di ruang makannya, menghadap berpiring-piring hidangan lezat dengan aroma menggoda. Ia harus mengisi perut sebelum pergi lagi, karena Jacob sudah menunggunya di Biddlestone. Jacob mengatakan kalau akhir-akhir ini para penyusup Yurza berhasil menangkap remaja Albara lebih banyak, sehingga mau tak mau Biddlestone harus semakin lebih produktif menciptakan monster penjaga. Meski begitu, makhluk hasil rekayasa sihir tersebut selalu terlahir dengan naluri buas. Karena kebetulan hanya pemimpin Yurza yang mampu menjinakkannya, maka secara otomatis pekerjaan Roland pun bertambah. Setelah menghabiskan hidangan pembuka, Roland mulai menikmati sepiring daging steak sebagai hidangan utamanya. Ia duduk dengan punggung tegap di seberang meja panjang. Wajahnya nampak tenang seolah ia benar-benar sedang menikmati hidangannya, tetapi nyatanya pikirannya tidaklah setenang ekspresi wajahnya.  "Edbert Kinsey. Sepertinya aku harus tetap mengawasi anak itu. Bagaimana bisa di usianya yang hampir 22 tahun ia belum bisa diandalkan? Anak itu masih suka bermain-main. Tidak heran kalau saat ini banyak pihak yang meragukannya. Dia pikir aku tidak tahu kalau semalam misinya gagal?" Roland geleng-geleng kepala. "Hagburn, benarkah selama ini aku terlalu memanjakannya?" "Anda sudah melakukan hal yang semestinya sebagai seorang Ayah, Yang Mulia." Hagburn, si burung gagak yang merupakan pelayan setia Roland menanggapi. Ia bertengger di sudut meja. Bulunya hitam mengkilat, dengan ring emas melingkar di kaki kirinya. Roland sangat memperhatikan penampilan Hagburn, sehingga pelayan setianya itu masih terlihat awet muda, padahal usia Hagburn sudah sepuluh tahun lebih tua dari Alcott. Hagburn melanjutkan hasil pengintaiannya. "Kemudian ... tentang Tuan Muda Dexter—" Roland menginterupsi dengan mengangkat tangan kirinya. "Aku sedang tidak ingin mendengar tentang anak itu, Hagburn. Jadi sampaikan berita yang penting-penting saja." Hagburn menunduk. "Baik, Yang Mulia." "Bagaimana dengan pelayan yang bergosip itu? Sudah kau bereskan?" tanya Roland lagi. "Sudah, Yang Mulia. Dia pelayan baru pindahan dari mansion barat." "Sudah kuduga dia mantan pelayan Steadman. Apa yang pelayan itu sampaikan?" "Tidak ada, Yang Mulia. Bahkan meski sudah tertangkap basah menyebar gosip buruk mengenai Tuan Muda Edbert, ia masih saja belum mengakui sampai saya mengumpankannya pada para monster di lautan Ambert." Roland menyunggingkan senyum penuh ironi. Ditancapkannya garpu pada potongan steak, lalu mengiris olahan daging berbumbu itu menjadi beberapa bagian. "Sejak dulu kakakku itu memang terlalu gigih. Aku jadi kasihan. Sepertinya Steadman belum bisa menerima kenyataan kalau bukan nama putra pertamanya yang muncul di bola kristal." "Lalu bagaimana, Yang Mulia? Haruskah kita mengirim surat peringatan?" usul Hagburn. "Surat peringatan?" Roland tertawa mengejek. "Tidak perlu. Justru aku ingin memberinya hadiah." Sambil mengiris daging steaknya, Roland melanjutkan. "Hagburn?" "Ya, Yang Mulia. Saya siap menerima perintah Anda." "Ramuan penambah stamina dari Biddlestone masih tersedia di penyimpanan?" "Ya, Yang Mulia." "Kalau begitu, kirimkan beberapa botol untuk Tuan Steadman. Aku yakin, dia sedang membutuhkannya sekarang," kata Roland diakhiri tersenyum simpul. "Baik, Yang Mulia." "Oh, ya. Dan tetap awasi pergerakan setiap pelayan. Jangan biarkan ada pelayanku yang bermain api hingga akhirnya membakar Tuannya." "Saya mengerti, Yang Mulia. Kalau begitu saya undur diri," kata Hagburn lalu bersamaan dengan aroma belerang dan kepakan sayapnya yang senyap, burung gagak itu lenyap di udara. *** Tidak ingin terperangkap dalam tubuh kucing lebih lama, Dexter mencoba memanfaatkan kuku-kuku tajamnya untuk mendaki tebing sungai. Rencananya, ia akan keluar dari hutan Camden lalu pulang menemui Edbert. Namun, ternyata kenyataan tidak selalu berjalan sesuai rencana. Tanah tebing licin sehingga Dexter kembali terperosok. Tubuh berbulunya pun kini diselimuti lumpur coklat. Dexter terus mengumpat dalam hati. Menjijikkan! Perutnya juga tak bisa diajak kerja sama, terus keroncongan. Dexter melihat sekitar. Ia berada di tepian hulu sungai. Jika sebelumnya ia mencium aroma ikan goreng, pasti kemungkinan di sungai itu ada ikan. Bukankah ikan makanan kucing? Tapi Dexter buru-buru menggelengkan kepala. Tidak! Ia tidak mau, jika ikan itu mentah dan tidak dibersihkan. Lagi pula, ia tidak tahu caranya kucing menangkap ikan. Dexter memutar bola matanya pasrah, lalu berjalan mendekati aliran sungai yang tidak terlalu dalam, tapi mungkin arusnya cukup kuat untuk menyeret tubuh seekor kucing. Airnya jernih. Terlihat banyak bebatuan di dasar sungai itu. Sebuah insting membuat Dexter tak bisa menahan diri untuk menunduk dan menjulurkan lidahnya, meneguk air sungai itu sebanyak mungkin. Dexter mendongak dan tersenyum senang setelahnya. Tubuhnya terasa jauh lebih segar. Namun, tetap ia belum merasa kenyang. Ia pun berjalan menyusuri tepi sungai, kali ini ia akan mencoba menangkap ikan. Entah bagaimana nanti caranya, siapa tahu instingnya tiba-tiba bekerja. Dexter menuju sungai dengan arus yang tidak terlalu deras, lalu menunduk. Seketika pupil matanya membesar. Bukan ikan yang ia temukan, melainkan pantulan sosok mengerikan dengan mata melotot di permukaan air sungai itu. Ternyata sosok itu adalah dirinya. Refleks, Dexter mundur. Sungguh ia merasa buruk rupa dengan wajahnya yang dipenuhi bulu hitam. Terlebih lagi, ternyata ia kucing dengan tipe kaki pendek dan tubuh padat, semacam kucing munchkin. Selesai sudah, Dexter tak memiliki harapan hidup lagi. Edbert pun pasti juga sudah meninggalkannya. Sekarang, tak akan ada yang peduli. Dexter yang sekarang hanyalah kucing tak berdaya, bukanlah Dexter yang pangeran tampan seperti dulu lagi. Dexter memejamkan iris biru matanya karena putus asa. Sementara itu, kakinya bergerak maju—toh, jika ia mati sekarang tak ada yang tahu. Namun, HAP! Sepasang tangan kecil yang lembut merengkuh punggung Dexter dari arah belakang. Dexter terkejut dan melihat sepasang mata berkilauan sedang menatapnya. "Shira! Apa yang sedang kau lakukan, Nak? Cepat naik, Paman dan Bibimu akan berpamitan pulang!" teriak Harry dari atas tebing. Wajahnya nampak sangat khawatir. "Ayah, lihat! Aku menemukan seekor kucing hutan." "Tinggalkan kucing liar itu, Shira!" "Tidak, Ayah. Kucing ini nampak tidak baik-baik saja. Tubuhnya lemas. Aku merasa kasihan padanya. Bukankah suku Albara harus membantu yang lemah, Ayah?" Harry sempat ragu. Tapi tak lama kemudian ia menyerah. Masih dari atas tebing, ia mengangguk pada Shira yang sedang tersenyum padanya. "Baiklah, kau boleh membawanya. Ayo cepat naik dan pulang!" "Asyik! Terima kasih, Ayah!" seru Shira, lalu bergegas naik ke atas tebing menghampiri Ayahnya. Suku Albara bisa mendeteksi seseorang yang sedang melancarkan sihir di sekitarnya, tapi tidak untuk benda-benda yang dikenai pengaruh sihir. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN