"Ibu kos nggak tinggal di sini?" tanyaku.
Monik tertawa kecil, "Om Ares masih single," katanya sambil membuka pintu kamar paling ujung.
Monik masuk duluan dan menyalakan lampu kamar, dia meletakkan tasku di lantai dan melambaikan tangannya, memberi isyarat agar aku masuk.
Aku melongo.
Kamar ini fasilitasnya udah kayak hotel berbintang, sih. Ber-AC dengan Queen size spring bed, ada nakas yang menempel ke dinding di kedua sisinya, terbuat dari kayu yang satu tema desain dengan headboardnya. Built in closet dengan meja rias, jendela kaca dan balkon yang menghadap halaman, belum lagi kamar mandinya yang dilengkapi bath tub, shower, water heater, dan wastafel marmer yang cerminnya aja harganya pasti di atas lima juta.
"Mampus, gak bisa bayar deh aku kayaknya," keluhku.
Monik cuma nyengir.
"Sini pus, tante hair dryer, biar Mama mandi dulu ...," kata Monik pada Pippo, aku tertawa dan melepas ranselku untuk kuberikan pada Monik.
"Namanya Pippo," kataku.
Monik meninggalkan kamar yang sekarang dan entah sampai kapan akan jadi milikku ini. Aku segera membongkar tas besar di di lantai untuk memisahkan barang yang basah dan kering, yang bersih dan kotor, serta menyiapkan toilet box dan makanan untuk Pippo. Setelahnya, aku mandi dan keramas dengan air hangat.
Barang-barang yang masih berserakan ini akan kubereskan nanti saja, setelah mandi.
Saat aku keluar dari kamar mandi, Monik sedang duduk di karpet sambil memangku Pippo yang bulunya sudah hampir kering. Tangan kanannya memegang hair dryer, sementara tangan yang kiri menyisir bulu Pippo dengan jari-jarinya.
"Udah cukup," katanya, Pippo melompat turun dari pangkuannya dan langsung menghampiri mangkuk makanannya, mengendus, dan makan dengan lahap. Kayaknya dia nggak perlu beradaptasi sama tempat baru yang nyaman ini.
Monik yang sudah menghapus semua makeup dari wajahnya, kini mengenakan kaus oversized warna putih dan celana bali pendek bermotif bunga-bunga warna hijau. Rambutnya dikuncir ekor kuda. Saat ini dia terlihat lebih imut daripada saat mengenakan 'seragam'nya.
"Makasih udah bantuin," ucapku sungkan. Aku mulai merapikan barang-barangku, tanpa kuduga Monik tetap disitu, mengarahkan hair dryernya ke kepalaku sambil menemaniku bekerja.
Kulihat Monik tersenyum. "4 tahun lalu aku diusir dari rumah. Aku gak punya apa-apa selain bakat ngedance. Om Ares tampung aku di sini, aku gak bayar kos sampek setahun kemudian. Tenang aja, kami bakal jadi keluarga baru buat kamu."
Aku terharu, sungguh. Tunggu dulu ...
"Terus kalau semua yang ngekos di sini cewek, maaf... apa yang gak ada yang kecantol sama si Om, secara—." Belum juga aku selesaikan kalimatku, Monik sudah tertawa.
"Kayaknya kamu yang bakal bisa meluluhkan hati Om Ares," katanya.
Waduh!
Aku mengangkat tanganku, "Bukan gitu maksudku—,"
Monik ngakak. "Elu kira gue gak liat apa, when you gawking on him earlier (kamu ngiler liatin dia tadi). Dan meskipun cuma sedetik, aku lihat si Om looking at you with the same way (menatapmu dengan cara yang sama). Muka lu merah, Mar! Hahahahahah! Sorry, gue lebih nyaman ngobrol pakai gua elu daripada aku kamu."
"Aku nggak berniat gitu, Moniiik!" cicitku.
"Belom ada yang bisa meluluhkan hati si Om,” ujarnya.
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Tapi tetap saja ada rasa curiga, cewek-cewek muda tinggal seatap sama om-om ganteng yang masih muda? Ayolah!
Monik yang rupanya mengerti apa yang ada di pikiranku menghela napas. “Gua lesbi, Mar. Lu pikir kenapa gua diusir?" dia tertawa kecut. "Bokap ngegeb gua ciuman sama mantan di mall. Gue open up ke ortu dan diusir. Waktu itu gua udah diterima masuk kuliah di Unair, untungnya uang gedung udah dibayar. Dengan uang yang gue punya waktu itu, gua nekat naik kereta dari Jakarta ke Surabaya. Lalu cari kos dekat kampus, dan ketemu rumah ini."
Wow.
"Sorry," ucapku. Monik menggedikkan bahunya. "Lalu kerja begini, nggak takut diapa-apain orang? Kamu cantik gini."
Dia tertawa, "Thanks. Gak ada yang bakal main-main sama gue, Mar. Gue jago karate," dia nyengir.
Aku berdiri untuk memasukkan buku-bukuku ke rak buku di samping lemari, dan Monik mematikan hair dryernya. Pippo sudah tidur di atas kasur dari tadi.
"Gue gak tau harus kerja apa lagi. Tapi untuk sekarang, ini cukup profitable. Gue bisa beli mobil, penuhin kebutuhan hidup, nabung ... gue harus nabung yang banyak cepet-cepet, karena beberapa tahun ke depan udah harus coas, mau gak mau gue harus berhenti kerja. Kalau udah buka praktek sendiri, gua udah janji ke diri sendiri gak bakal stripping lagi, kecuali untuk pacar dan diri gue sendiri."
Penjelasannya membuatku berpikir bahwa gak cuma aku di dunia ini yang hidupnya susah.
"Monik ambil kedokteran?" tanyaku, dia mengangguk.
"Spesialis anak, on the way," dia tersenyum bangga.
"Hebat!" pujiku.
"I know," dia mengedipkan mata, membuatku tertawa.
"Lalu pacar kamu yang sekarang?" tanyaku pada Monik, kurasa aku nggak perlu sungkan lagi untuk tanya tentang hal pribadi padanya, seperti dia padaku.
"Anna. Dia sekamar sama aku, nanti aku kenalin. Sekarang ayok ke bawah dulu, Ares udah nungguin."
Aku mengangguk dan mengikutinya kembali ke lantai satu. Di lantai satu, si Om yang sekarang sudah mengenakan atasan kaos fitted warna putih dan dilapisi apron, sedang sibuk di dapur.
Dia lagi masak.
Dia mengaduk masakan di dalam panci dengan sendok sayur, menyendok isi panci di, meniup, dan mencicipinya. Setelah itu diaduknya kembali isi panci, dan dimatikannya api kompor.
Ya Tuhan! Udah ganteng, bisa masak, tajir—
Tunggu dulu, sejak kapan aku doyan om-om?
Aku mikir apa, sih?!
Kayaknya otakku korslet gara-gara kehujanan, deh.
Pria yang rupanya menyadari keberadaan kami tersebut, menoleh ke belakang sambil melepas apronnya untuk digantung di samping oven mitt, di gantungan besi dengan desain rustic yang menempel di salah satu sudut dinding dapur.
"Duduk dulu," katanya sambil menggedikkan dagunya ke arah meja pantry.
Monik menarik tanganku untuk jalan ke arah situ, menyeret dua buah kursi, duduk di salah satunya, lalu menepuk kursi di sampingnya. Aku duduk di tempat yang ditunjuk Monik saat si Om menaruh nampan berisi tiga buah mangkuk di atas meja pantry, asap mengepul dari sup yang masih panas.
Dia mengambil satu-persatu dan meletakkan masing-masing mangkuk di hadapan kami, lalu kembali ke dapur untuk meletakkan nampan berbahan bambu tersebut di dalam bak cuci piring. Dia menarik kursi pantry dan duduk di seberangku.
"Ambilin minum, Nik. Aku air putih aja, kamu pilih aja apa yang ada di kulkas," titahnya pada Monik, "Mariska mau minum apa?"
Entah kenapa mendengar namaku terucap dari bibirnya membuat bulu kudukku berdiri. Aku benar-benar gak paham bagaimana bisa orang yang baru saja kutemui memiliki efek seperti ini pada diriku.
???
Author's note:
Kalian bisa membayangkan sendiri, seperti apa visual seorang Ares Dwipangga.
Well, for me he looks like a Greek God ?
Jangan lupa tinggalkan bintang, komen yang banyak, juga tips ❤