Edo Keras Kepala

2037 Kata
Edo menatap kesal tiga sahabat lucknutnya, seneng banget mereka ngeliat Edo yang di katain pak satpam. “Do! sttt …” Febian memberi kode kepada Edo. “Paan sih, lo!” Edo belum juga menoleh. Risky, Febian dan juga Leo berdiri. Edo masih nengkreng di atas motor ninjanya. Keknya ada yang nggak beres. Edo pun menoleh. Kaget juga dia dengan kedatangan si Nico. Mana tuh anak datang sendiri. Edo turun dari motornya, menyunggingkan senyumnya. Keknya belum kapok juga si Nico. Ketiga sahabatnya mendekati Edo, menatap tajam si songong Nico. Padahal kemarin udah dibuat babak belur sama Edo, dan sekarang masih belum kapok juga. “Ngapain lo kesini?!” Bukannya menjawab pertanyaan Edo. Nico malah tersenyum, senyum yang sarat ejekan. “Yang pasti bukan mo ngajak lo makan-makan.” Emang nih kunyuk paling bisa becanda di saat serius. Risky, Febian dan juga Leo menahan tawa. Dasar playboy cap sandal jepit. Emang mereka ngarep diajak makan-makan sama Nico? dasar aneh! sedangkan Edo jangan di tanya, Edo mana mau senyum, muka emang ganteng, tapi datarnya nauzubilah. Perasaan, senyum si Edo bisa dihitung deh. Edo menatap tajam Nico, gedeg banget sama Nico, kerjaannya cuman bikin masalah. LIhat aja sekarang, dah tau luka masih ada perbannya, masih saja sok-sok an muncul di depan Edo and the geng. “Udah, jangan bertele-tele, mau lo apa?!” Edo yang emang udah gedeg banget sama sosok Nico, akhirnya buka suara juga. Nico tersenyum, sumpah! bener-bener nyebelin. Pen rukiyah aja nih anak, biar agak warasan dikit. Sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di belakang Nico. Nih cowok songong makin menjadi, padahal dia sendirian. Pintu mobil terbuka, Nico makin jumawa. Ternyata dari dalam mobil keluar 6 orang pria berbadan tegap. Edo menyunggingkan senyumnya, ternyata ini … yang bikin Nico kelihatan songong. Nico bawa enam preman Cuy! Pantes aja berani banget nemuin Edo and the geng sendirian. Leo menyandarkan tangannya pada pundak Edo. Hanya bisa geleng kepala lihat kelakuan Nico. Cih! Nggak gentle banget. “Gimana? mampu nggak Boss!” Edo melirik Leo, tersenyum mendengar ucapan Leo. Di kiranya dia cemen, ngadepin cecunguk kek gini aja nggak bisa. Malu dong! “Lo lihat aja nanti, paling badan doang yang gede. Dalemnya juga hello kitty.” Leo mentonyor kepala Edo. “Bahasa lo, Jo!” Leo tersenyum. Edo seperti biasa, datar! Kek papan gilingan. Edo mengusap kepalanya, sebel juga dengan ulah Leo. “Kita lihat aja nanti.” Risky dan Febian mendekati Edo. Benernya mereka ngeri juga sama enam kingkong di depannya. Tapi selama ada Edo, aman aja. Edo ‘kan super nekat. Mati juga nggak takut, toh nggak ada yang peduli sama dia, termasuk Daddynya. Itu kata Edo selama ini lho! Keenam pria berbadan tegap, berdiri di belakang Nico. Nih bocah makin kelihatan ngelunjak, Nico menatap sinis Edo. Dia yakin … kali ini Edo bakalan babak belur kek dirinya. Yakin amat, Bang! “Ayo hajar mereka!” No debet, no start. Nico langsung aja nyuruh mereka menghajar Edo dan temen-temennya. Sialan benar si Nico, mana belum pasang kuda-kuda, suruh main hajar aja. Edo, Risky, Febian dan juga Leo maju. Meskipun nggak imbang, hajar aja dah! Meskipun posisi mereka di taman. Nggak peduli! Salah satu pria berusaha memukul muka Edo, untung nih cowok tamvan menghindar, coba kalau nggak! dah babak belur! Edo membalikkan badannya , dengan gerakan cepat, memutar tubuhnya, menendang punggung pria tadi dari belakang. Bughh! Aduh! alamak! tuh muka si abang kena ujung trotoar jalan, muka langsung bonyok, gigi rontok! Abangnya masih belum sadar. Si abang bangkit, meskipun kliyengan, tuh bibir dah penuh ama darah. Si abangnya mencak-mencak. “Dasar bocah Sedeng!” maki si Abang. Semua berhenti, menatap si abang yang posisi kliyengan, sambil mencak-mencak kearah Nico. Woi, Bang! Salah orang. Detik kemudian … “Bfffhhh … buaha … hahaha …!” tanpa aba-aba semua tertawa, benernya kasian juga sih, tapi muka si abang lucu banget, bibir penuh luka, mangap nggak jelas, dan satu yang bikin salah fokus, nggak ada gigi depannya lagi. Risky iseng maju, menoel pinggang si Abang. “Bang! lo salah sasaran, tuh gigi benerin dulu.” Benar-benar si Risky, tukang iseng. Sontak abang langsung pegang gigi dia. Bingung sama giginya yang rontok. Si abang memutar kembali badannya, jongkok di tempat tadi dia nyungsep, nyari gigi dia yang rontok. Hadeh! Bang … kurang kerjaan aja sih lo. Eits! tunggu sebentar, nggak diapa-apain, abangnya udah pingsan, bukan pingsan gara-gara gigi lho! tapi ini gara-gara sakit beneran. Suer kewer-kewer! Nico mendengus kesal, badan doang yang gede. Nggak taunya sama aja, mending tadi bawa temen dia aja, dari pada sewa preman mahal-mahal. Kembali mereka fokus, sekarang dah imbang. Ternyata kata Edo benar juga, cuman badan doang yang gede, tapi dalemnya hello kitty, lembek! Nico terlihat semakin cemas, satu demi satu, orang yang dia bayar sudah terkapar, tinggal satu orang, dan itu pun jadi bulan-bulanan si Edo dan temen-temennya. Diam-diam Nico kabur. Eh, tapi tunggu dulu … ada yang narik kerah baju Nico dari belakang. Nico menoleh, nyengir, ternyata Edo yang narik kerah baju dia, sedangkan abang preman yang dia sewa, udah K.O semua. “Mo kemana lo!” Edo menekan lengan Nico yang masih dibungkus perban. Nico meringis kesakitan. Nggak terima dong, bekas lukanya di tekan kek gitu. “Anjirr! sakit tau, lepasin!” Edo terkekeh, rupanya coro satu ini masih bisa nyolot juga. “Oke! lo pen gue lepasin?! nih, lihat! Gue lepasin beneran.” Edo melepas kasar Nico, sedikit mendorong tubuh Nico ke belakang. Sampa-sampai Nico terjengkang ke belakang. Edo nggak peduli, berlalu begitu saja dari hadapan Nico. Begitu pun dengan Risky, Febian dan Leo. Berlalu dari hadapan Nico, tapi mereka lain, nggak kek Edo yang cuman diem. Mereka sempat mengolok Nico. “Makan tuh sakit!” Nico menyeringai, menatap penuh dendam kearah Edo dan temen-temennya, Nico tidak akan pernah menyerah, suatu saat dia pasti bisa membalas Edo dan teman-temannya. Edo, Risky, Leo dan juga Febian kembali menaiki motor mereka. Dah males banget mo nongkrong lagi. Mereka pun meninggalkan taman. ‘’’’’ Kediaman Emmanuel Seorang satpam membukakan pintu gerbang untuk Edo, terseyum ramah kearah Edo. Edo sedikit menganggukkan kepalanya. Melajukan motornya ke dalam pekarangan rumahnya. Edo membuka helmnya, turun dari motor gedenya dan berjalan masuk ke dalam rumah. “Ini yang selalu kamu lakukan, kalau Daddy tidak ada di rumah?!” Edo memutar bola matanya jengah, dia benar-benar tidak tau jika Daddynya akan pulang secepat ini. Jika tau, dia tidak akan mungkin pulang ke rumah. Tidak ingin berdebat dengan Daddynya, Edo main ngluyur aja, sang Daddy tidak tinggal diam begitu aja. Mencekal kuat lengan Edo. “Dengarkan! kalau orang tua bicara!” Edo terpaksa berhenti, menarik paksa tangannya dari cekalan Daddynya. “Silahkan bicara, kalau sudah aku mo tidur!” Jonathan mengusap wajahnya kasar, kenapa semakin ke sini semakin susah diatur. “Hormati Daddy, Do! jangan jadi pembangkang seperti Michael, Kakakmu.” Edo mengepalkan tangannya erat, dia begitu benci nama itu, dia benar-benar membenci Michael. “Aku tidak pernah mempunyai Kakak, aku juga tidak tau siapa Anda Tuan Jonatahan Emmanuel. Aku hanya sendiri, nikmati saja hidup Anda, dan tolong! jangan pernah ikut campur kehidupan saya." Plakk!! Selalu, dan selalu berakhir dengan sebuah tamparan keras, darah segar keluar dari ujung bibir Edo. Tidak sedikit pun dia berniat membersihkan darahnya. Kenapa? sejak perceraian kedua orang tuanya, Daddynya selalu bersikap kasar kepadanya. Edo kecil harus merasakan kekerasan itu, di mana Daddynya yang dulu? yang selalu bersikap lembut kepadanya. Edo memilih pergi dari tempat itu, tidak peduli dengan teriakan Daddynya. Sedekit pun dia tidak menoleh ke belakang. Jonathan terduduk lemas di sofa, melihat telapak tangannya yang baru saja dia gunakan untuk menampar Edo. Apa semua sudah terlambat … wajar, jika Edo begitu membencinya, sejak perceraiannya dengan Rose, hatinya begitu hancur. Rose yang begitu dia cintai, tega berselingkuh di belakangnya, dan lebih parahnya lagi, Mike putra pertamanya begitu membela sang ibu, bahkan Mike lebih memilih hidup bersama Rose dari pada dirinya. Hati Jonathan begitu hancur waktu itu, dia hanya ingin dekat dengan kedua putranya. Jonathan yang hancur, melampiaskan kekesalannya dengan minuman keras, sampai dia lupa jika ada seorang putera yang harus tetap ia jaga hatinya. Bahkan akibat pengaruh minuman haram itu, Jonathan tidak segan memukul Edo kecil. Suara derap langkah kaki, membuat Jonathan menoleh, di sana … Edo sudah berganti pakaian, sepertinya dia bersiap untuk pergi lagi, apa lebih baik dia tinggal di apartemen saja, dari pada setiap dia kembali ke rumah, Edo akan selalu menghindarinya. Jonathan berdiri, Edo diam, bahkan dia sama sekali tidak mempedulikan Daddynya. Jhonatan berusaha bersikap lunak. “Do, mulai besok Daddy akan tinggal di apartement.” “Terserah …” Hanya itu yang Edo katakan. Jonathan kembali bersikap lunak, dia hanya ingin memperbaiki semuanya dari awal. “Untuk uang jajan kamu, Daddy langsung transfer ke rekening kamu.” “Nggak perlu, aku punya uang.” Hanya itu yang Edo katakan. Jonathan lebih memilih diam, dia tidak ingin membuat Edo semakin membencinya, mungkin dia harus lebih bersabar menghadapi Edo. Dia akan mencobanya perlahan. Edo benar-benar telah berubah menjadi sosok yang keras dan sulit diatur. Tanpa permisi kepada Daddynya, Edo pergi meninggalkan rumah mewahnya. ,,,,,,, Tempat Balap Liar Di sinilah Edo berada, di sebuah tempat balapan liar. Hari ini dia memang sengaja datang ke sini bersama Risky, Febian dan juga Neno. Baru kali ini dia datang ke tempat ini, biasanya dia akan menghabiskan waktunya di tempat dia nongkrong atau di sebuah club malam. Kali ini, dia dan ketiga temannya hanya ingin mencoba sesuatu yang baru, sesuatau yang bisa menghasilkan uang, jika dia bisa menjadi pemenangnya. Semua peserta balap liar sudah berkumpul, sebentar lagi akan di mulai. “Nyuk! ke sana yuk!” seru Febian. “Eh … bentar. Bukannya itu si Lusi? Samperin yuk!” ajak Leo. “Lo salah orang, nggak?! masa temen si Markonah nyampe sini?!” Leo, Risky, dan Febian mendengus kesal. “Andin, Do! cewek cakep kek gitu lo kasih nama Markonah.” Jelas Leo nggak terimalah, masa iya. Andin cakepnya kek gitu, di panggil Markonah, dasar Edo sedeng! Edo memutar bola matanya jengah, kenapa mereka jadi ngebela si Markonah? menyebalkan. Heran ‘kan! “Eh, lihat! Itu beneran Lusi. Keknya dia sama cowoknya deh! samperin yuk! sekalian kita kerjain cowoknya, gimana?!” Risky menaik turunkan alisnya lucu. “Keknya boleh juga ide lo!” Yang ini suara si Febian, dia emang paling demen ngerjain orang. Edo menyunggingkan senyumnya, dari pada dia pusing sama masalahnya, mending dia ikutan seneng-seneng sama temennya. Keempatnya bener-bener menjalankan motornya kearah Lusi dan seseorang yang mereka pikir cowok Lusi, padahal nggak taunya si pengedara motor gede, Andin sendiri. “Lusi … jalan sama Abang, yuk!” Andin dan Lusi menoleh ke sumber suara itu, jengkel juga, tau siapa yang datang menghampiri mereka. Nggak taunya si Import dan ketiga pasukan resenya. Memang sedikit pun Andin nggak pengin membuka helmnya. Dia cuman nggak pengen semua orang tau, kalau dia seorang cewek. “Lus! napa sih! lo demen sama yang cungkring modelan gini!” celetuk Leo asal. Sumpah Andin pen banget nenggelemin Leo di dasar samudra, biar sekalian buat santapan hiu. “Kalian ngapain ke sini?” tanya Lusi ketus. “Lah, lo! ngapain juga di sini? mana si Markonah?” Andin hampir saja turun dari motornya, untung Lusi berhasil mencegahnya, kenapa kalau deket sama si Import, bawaannya pen ngremes tuh mulut lemesnya. “Emang ngapain lo nyari Andin, kangen ya …” Andin semakin sewot, nih kenapa si Lusi ikut-ikutan mancing. “Kangen …? sorry aja ya … modelan gitu bukan level gue.” Nih import bener-bener kurang ajar. Emang dia pikir, Andin pecinta produk import kek dirinya. Najiss! “Gue yang kangen, Lus … coba lo ajak dia ke sini, entar gue kasih ena-ena an.” Ini suara si Febian. Ihhh … Andi benar-benar pen banget ngasih bogem tuh pasukan demit Import. “Eh! Lus, cowok lo ikut balap juga?” Edo kelihatannya penasaran sama sosok yang nengkreng diatas motor ninja. Kalau di lihat dari penampilannya, keknya dia ikut balap juga. “Iya! emang napa? masalah?!” Lusi keknya mulai kesel sama keempat cowok rese itu. “Lah! cungkring kek gitu, emang dia bisa?” celetuk Leo. Andin bener-bener pen banget buka helmya, kemudian ngremes tuh muka si Leo, sumpah bener-bener ngeselin! “Enak aja kalo ngomong, buktikan aja kalau lo berani!” Tantang Lusi. Edo dan ketiga temennya menyeringai, keknya asyik juga nerima tantangan Lusi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN