2. BAD FEELING

1720 Kata
Angin berhembus kencang. Menerbangkan beberapa dedaunan kering yang berjatuhan. Langit sore kali ini gelap pekat. Namun tidak ada titik air yang turun dalam bentuk hujan. Padahal ini masih jam 4 sore. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Wanita dengan kaos oblong kebesaran itu menatap halaman luar rumahnya dari balik jendela pantry dapur. Matanya menginvasi pada rumput hijau yang bertabur daun kering diatasnya. Halaman bersihnya berubah menjadi kotor dalam sekejap. Rencana bermalas-malasan hari ini sepertinya harus tertunda kembali. Menghela nafas pelan, ia akhirnya beranjak dari tempatnya berdiri. Ia beringsut berjalan kedepan untuk menyapu halaman kotor. Rasa letih yang tadi hinggap menguar seketika saat tangannya memegang gagang sapu. Padahal ia baru saja pulang dari kegiatan melelahkan versinya itu. Ya bekerja. Sebagai publik figur dengan penghasilan minimum memang melelahkan. Apalagi ia hanya sebagai tamu di negeri orang. Itu benar-benar tidak mudah. Seharian ini ia menghabiskan waktunya diluar rumah. Bukan tanpa sebab, ia hanya ingin menghilangkan pikiran-pikiran melanturnya sejak dua hari yang lalu. Apalagi sang kakak sudah kembali pada aktivitas rutinnya. Bekerja. Dan alhasil ia menjadi sendirian. Padahal ia saat ini sedang kesepian. Ia butuh teman untuk berkeluh kesah. "Kita bertemu nona Audrey" Audrey tersentak. Ia menolehkan kepalanya cepat pada sumber suara yang baru saja menyerukan namanya. Dan detik selanjutnya, nafasnya tercekat. Ada sebersit rasa takut yang menjalar pada hatinya ketika wajah laki-laki setengah abad didepannya itu tersenyum sinis menatapnya. Namun ia mencoba untuk tidak terlihat gentar. Atau pria tua didepannya ini akan semakin senang jika sampai melihatnya ketakutan. "Dilihat dari mimik wajahmu saat ini, kau masih ingat aku ternyata nona Audrey" "......" "Oh ckck! Tidak perlu seterkejut itu Nona Audrey Kinson. Kau terlihat semakin cantik ternyata" "b******n apa yang kau lakukan disini?" "Bertemu denganmu mungkin heheheh" "Pria gila! Apa maumu?!!" "Ouuh ... Rilex Baby. Aku hanya ingin mengunjungi putri cantikku. Ayahnya ini merindukannya" "Ckckck! b******n seperti mu tidak akan pernah memiliki rasa rindu! Jangan basa-basi! Katakan saja apa maumu b******k!" "Well, baiklah jika kau berkata begitu. Tidak ada basa-basi. Kalau begitu aku butuh uang 2 juta dolar. Dan kedatangan ku kemari untuk menjual Putriku" "b******n Gila!! Seekor binatang saja tidak akan tega memakan anaknya sendiri!" "Aku tidak perduli. Dan saat ini aku tidak butuh nasehat bijak darimu Nona Kinson. Aku hanya butuh Ara untuk menghasilkan uang. Jadi menyingkirlah! Jangan halangi aku!" "Aku tidak akan membiarkanmu membawa Ara dan menyiksanya!" "Kau tidak berhak sama sekali menghalangi ku Audrey! Kau bukan siapa-siapa ingat!!" "Aku berhak! Aku juga punya tanggung jawab atas Ara!" "Ha ha ha ha ya Tuhan kau lucu sekali. Atas dasar apa rasa tanggung jawabmu itu hah?! Atas dasar apa kau memiliki tanggung jawab untuk anak wanita sialan itu!!" "Ibunya sudah mempercayakan keselamatan Ara padaku!! Jadi aku berhak atas dirinya!" "Ibunya? Ibunya yang kau maksud adalah wanita malang yang sudah kau tikam hingga tewas beberapa tahun lalu?!!" "Tutup mulutmu sialan!" "Kau tetap bukan siapa-siapa selain pembunuh ibu Ara!" "Aku berhak atas Ara! Kau tidak beh sama sekali menyentuhnya!" "Jangan bercanda! Penjelasan mu sama sekali tidak logis dan tidak masuk diakal! Orang bodoh pun akan tertawa dengan perkataan konyolmu barusan!" "Cukup! Cukup penjelasan tidak berdasar mu tuan Arnold! Kau benar-benar gila! Kau bukan manusia!!" "Minggir! Jangan memaksaku untuk berbuat kasar padamu!" Laki-laki itu merangsek maju. Menerobos pertahanan Audrey. Namun beruntung Audrey masih bisa menghalau tubuh rentan pria tua didepannya itu. "Aku tidak akan membiarkan mu membawa Ara. Hadapi aku dulu!!" "Jangan konyol! Minggir atau aku akan--" "Akan apa?! Kau akan membunuhku?!" "Diam kau!" "Ckckck! Membunuh bukan keahlianku sayang. Bukankah membunuh adalah keahlian keluarga mu?" Membunuh Membunuh Membunuh Kalimat-kalimat itu seolah menamparnya pada dunia nyata. Mengingat kan dirinya akan kenyataan yang seharusnya tidak ia lupakan. Kenyataan sekaligus dosa besar yang tak seharusnya ia hindari. Ia pun kembali fokus dengan sapu ditangannya. Perlahan, tangannya bergerak untuk menyingkirkan daun-daun kering diatas rumput. Hingga setengah jam kemudian, halaman menjadi bersih. Dan detik itu juga sebuah motor Harley Davidson berhenti tepat disampingnya. "Hai kak Audrey" Wanita yang memegang sapu itu tersenyum kecil. Ia melambaikan tangannya membalas sapaan remaja laki-laki yang masih duduk diatas motor Harley didepannya itu, "Hai Sam. Terimakasih sudah mengantarkan Ara pulang" "Anytime kak. Bagaimana kabarmu? Sudah seminggu lebih ini aku tidak melihatmu" "Aku baik-baik saja Sam. Jadwal ku padat sekali jadi kita pasti jarang bertemu" "Aaah benar sekali. Sayang sekali padahal aku ingin tanda tangan darimu. Tapi sepertinya kau sedang sibuk" Wanita yang tak lain Audrey itu terkekeh kecil. Ia menyipitkan kedua matanya, menatap remaja tampan didepannya itu. "Kau menyindir ku ya" "He he he he . Aku hanya bercanda nona model. Jangan marah" "Dasar centil!" "Oke, baiklah kalau begitu aku pamit dulu. See you again" "Tidak ingin mampir dulu?" "Tidak usah! Aku ada urusan. Next time saja kak" "Ya sudah. Kalau begitu hati-hati dijalan. Sekali lagi terimakasih sudah mengantar Ara dengan selamat" "Sama-sama" Audrey kini beralih menatap Ara. Gadis mungil yang masih bergeming ditempatnya berdiri. Ia menatap dalam-dalam gadis remaja itu dari samping, "Apa ada yang tidak berjalan lancar hari ini?" "Apa itu penting? Kau kira aku bocah cilik yang harus kau tanyakan masalah sepele begitu?" "Siapa tahu. Kau di sekolah banyak musuh kan? Banyak yang membencimu. Aku tahu itu" "Ckckck! Kau berisik sekali. Itu bukan urusanmu! Kau sendiri kenapa jam segini sudah dirumah?" "Tidak ada jadwal. Jadi aku pulang cepat!" "Hell, apa model iklan Audrey Kinson sekarang bangkrut?" "Bocah sialan! Tutup mulutmu dan segera masuk rumah!" "Aku akan bekerja nanti malam" Tangan Audrey yang hendak meletakkan sapu pada tempatnya berhenti seketika. Ia mengerutkan keningnya sambil menatap Ara yang kini sibuk meletakkan beberapa perlengkapan sekolahnya. "Tugasmu bukan bekerja! Kau hanya perlu belajar dan lulus sekolah!" "Itu bukan urusanmu! Kau tidak berhak mengatur hidupku. Kau hanya menjalankan amanah hanya untuk membiayai hidupku bukan mengatur hidupku!" "Kerja apa malam-malam hah?! Jangan konyol!" "Aku bekerja! Bukan membuat lelucon jadi tidak ada konyol untuk kalimatku barusan!" "Aku tidak mengizinkamu!" "Dengan izinmu atau tidak aku akan tetap pergi" "Ara ..." "Aku bosan dirumah! Aku ingin menikmati waktuku" "Diluar berbahaya" "Aku bisa menjaga diriku" "Beri aku jaminan jika kau memang akan baik-baik saja diluar" "Kau mau ikut denganku hah?!!" "Ide bagus" "Dasar kolot! Jangan coba-coba mengikutiku ya kak! Atau aku akan benar-benar minggat dari rumah" "Dan kau akan menjadi gembel diluar sana" "Aku tidak perduli yang penting aku mendapatkan kebebasan" "Keras kepala!" "Aku tidak perduli!" Audrey menghela nafasnya pelan. Ia menatap Ara yang kini juga menatapnya. Sebenarnya ia juga bukan tipe orang yang protektif. Tapi ada alasan mengapa ia harus melakukan pengawasan ketat pada remaja itu. Ia juga tahu bagaimana tersiksanya gadis mungil itu. Tertekan dengan perasaan yang sulit dijabarkan oleh gadis seusianya. "Baiklah, jika kali ini terjadi sesuatu maka kau harus ikut denganku kemanapun aku pergi nantinya. Kau harus menurut" "Kita lihat nanti saja. Jika kau bersikap wajar dan tidak memperlakukan aku seperti bayi aku akan menurut!" "Oke deal" "Ya" ••••••••••••••• "Hai baby!" Audrey menoleh. Ia menatap sang kakak yang kini sudah mendudukkan dirinya tepat disampingnya. Lengkap dengan laptop yang berada di pangkuannya. Khas sekali laki-laki yang gila kerja. Ckckc! "Tidak bisakah sehari saja aku tidak melihatmu memegang komputer mini itu Brian?!" "Kewajiban sayang" "Bukan kewajiban! Tapi pemeras otak! Kau yang selalu bilang padaku jangan gila kerja! Tapi kau sendiri apa?! Dasar manusia tidak pernah introspeksi diri!" "Hey, aku memang benar. Lagipula ini kewajiban ku sayang. Dan gila bekerja kau memang dilarang untuk itu. Kau masih muda. Tidak perlu bekerja untuk menghidupi dirimu karena masih ada aku. Dan biarkan aku yang bekerja untuk kehidupan mu oke?" "Ckckck! Omong kosong macam apa itu? Kau fikir aku anak kecil apa!" "Sudahlah baby. Jangan marah-marah oke. Tolong biarkan aku menyelesaikan pekerjaan ku dahulu, baru kau boleh mengoceh oke?" "Dasar pria gila!" "Ooh terimakasih pujiannya adikku" "................" "Kenapa diam saja? Tidak ingin mengoceh lagi?" "Kau menyuruhku diam bodoh!" Brian terkekeh. Laki-laki itu sedikit melirik adiknya yang terlihat kesal lalu kembali fokus pada Laptop nya. "Kau menggemaskan" "Brian??" "Hmmm" "Bri ...." "Apa baby?" "Euumm kemarin aku ... Eumm itu kemarin aku bertemu dengan ... Itu ..m euhmmm" "Bertemu dengan siapa?" "Itu aku bertemu dengan ... Eumm paman Arnold" Seketika pergerakan jari-jemari Brian terhenti seketika. Laptopnya ia hiraukan dan bergantian menoleh menatap sang adik lekat-lekat. Rahangnya terlihat mengetat. Pertanda ia tengah menahan emosinya kuat-kuat. "Apa katamu?!" "Paman Arnold kemarin bertemu denganku. Tidak maksudku, kami tidak sengaja bertemu di depan rumah. Ia mencoba membawa Ara dan aku--" "Dan kau berhasil menghentikannya?!!" Audrey tertunduk lesu. Sudah ia duga sebelumnya jika Brian akan bersikap murka padanya. Kakaknya itu selalu sensitif dengan hal-hal yang menyangkut tetangga sebrangnya itu. Arnold. Laki-laki setengah abad yang menjadi mimpi buruknya dan sang kakak di masa lalu. "Aku tidak ada pilihan lain Bri. Aku hanya menolong Ara saja" "Kau memang tidak pernah punya pilihan apapun kecuali bersikap konyol pada keluarga sialan itu!" "Bri aku hanya menolong Ara. Gadis malang itu--" "Menolong, menolong dan menolong!! Alasan yang klise hanya untuk membangkitkan luka lama. Audrey Kinson, sadarkah kau atas semua hal konyol yang seharusnya tidak kau lakukan?!" "............." "Ini terakhir kali aku melihat mu berinteraksi dengan Ara! Aku tidak mengizinkan mu untuk menginjakkan kaki di rumah sebrang atau interaksi lainnya. Aku masih mengizinkan mu jika kau memang berniat balas budi membiayai hidup sebatang kara Ara. Tapi ingat! Jangan melebihi batas!" "Apa kau tidak ada alasan lain selain -- ya Tuhan Bri, kenapa kau begitu membenci Ara. Dia tidak bersalah Bri. Dia juga korban sama seperti kita" "Aku membencinya sebagaimana pria tua itu membuatmu hancur di masa lalu! Dan aku tidak akan pernah sudi memaafkan setitik pun yang berbau keluarga b******n itu" "Tapi aku baik-baik saja Bri. Aku sudah sembuh. Aku--" "Tidak ada bantahan! Aku tetap pada keputusan ku! Bersyukurlah aku tidak mencekik gadis remaja bodoh itu!" "BRIAN!!" "Good night and see you tomorrow" CUP Dan berakhir dengan Brian yang melangkah pergi meninggalkan Audrey. Laki-laki itu memberi kecupan singkat pada dahi sang adik sebelum menghilangkan tubuhnya dibalik tembok ruangan. Meredam emosinya kuat-kuat dalam kamar. Sedangkan Audrey, gadis itu hanya menghela nafas berat sambil menatap nanar punggung sang kakak. Seharusnya ia harus tahu. Seharusnya ia harus memendamnya. Brian memang seperti ini. Kakaknya itu akan selalu cepat murka jika sudah menyangkut kehidupan masa lalunya dengan tetangga sebrangnya. Apalagi jika ia membawa gadis mungil itu. Ara. Ia tidak ada pilihan selain menjalankan amanah yang sudah terlanjur ia sanggupi. Ia tidak bisa menjauhi gadis malang itu. Apapun alasannya. TO BE CONTINUED
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN