Kilatan flash disertai suara khas kamera memenuhi studio. Job pertama Theo tengah berlangsung. Tante Keke yang berperan sebagai pemilik agensi, manajer, sekaligus coordi, terlihat tersenyum puas. Jika saja dari dulu anak itu mau, pasti sekarang ia sudah menjadi model ternama dengan gaji fantastis. Sayangnya baru sekarang ia setuju, karena terdesak keadaan. Tapi tak apa, sih. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
"Oke!" seru juru kamera setelah memastikan semua hasil fotonya cukup.
Tante Keke memberi kode pada Theo untuk menghampirinya. Anak itu harus berganti baju untuk pemotretan selanjutnya.
Job pertama ini didapat dari salah satu teman Tante Keke yang hendak membuka butik. Tante Keke menawarinya untuk menggunakan Theo sebagai model, ia langsung setuju tanpa pikir dua kali. Apalagi untuk biaya, Tante Keke tidak membandrol harga tinggi, karena masih promo.
Kedua pihak sama-sama diuntungkan. Tante Keke mendapatkan klien. Dan si Klien mendapat model kelas wahid dengan royalti yang ramah di kantong.
"Ganteng banget kamu!" Tante Keke memuji-muji Theo yang sedang didandaninya.
"Udah jadi rahasia umum, nggak usah dipertegas gitu, deh!" jawab yang bersangkutan.
Tante Keke memukul kepala Theo. Empunya kepala meringis kesakitan, mengelus-ngelus batok kepalanya yang ngilu. Dasyat sekali pukulan dari tantenya ini. Benar-benar tidak berperi-keponakan.
"Kamu ganteng, tuh, karena didandanin sama Tante. Aslinya mah, biasa aja!" elak Tante Keke.
"Iya, deh, iya. Yang penting Tante senang!" Theo pasrah jadinya.
"Theo!" seru juru kamera. Tanda bahwa pemotretan selanjutnya akan segera dimulai.
Tanpa mengulur waktu, Theo segera ke sana. Theo ingin cepat pulang. Rasanya sungguh rindu pada bantal dan kasur. Padahal ini hari pertama kerja--sekali lagi, job pertamanya--tapi ia sudah lelah luar biasa. Mungkin pengaruh kejadian beberapa hari ini yang membuat batinnya tertekan.
"Ke, ponakan lo mukanya sendu-sendu gimanaaaaa gitu, ya." Juru Kamera terkikik menunjukkan salah satu hasil foto.
Jujur dari hati yang paling dalam, Tante Keke setuju. Tapi memang sudah dasarnya tante dan keponakan itu tak pernah akur, jadinya wanita itu tetap berusaha mengelak.
"Lo, tuh, belum ngerti aslinya aja, Ndra!" Tante Keke sengaja melirik Theo, agar ia tersinggung.
Theo hanya mencebik kesal. Malas menanggapi ejekan tipis-tipis ala tantenya.
"Emang kamu aslinya gimana, Yo?" Juru Kamera yang bernama Chandra itu malah jadi kepo.
"Ya gini, Oom. Jangan dengerin Tante Keke! Muka saya emang ganteng sekaligus melankolis dari sananya," jawab Theo sekenanya.
Akibatnya, ia lagi-lagi terkena serangan kekerasan dari sang Tante, berupa pukulan di lengan dan pundak. Theo tak bisa melakukan apapun kecuali mengaduh kesakitan.
Oom Chandra hanya melihat dengan segenap rasa maklum. Karena sepasang tante dan keponakan di hadapannya ini, memang terlihat tak akur dan selalu berdebat--bahkan melakukan kekerasan fisik--sejak pertama datang tadi. "Masih ada lagi bajunya?" tanyanya kemudian.
"Udah habis, Ndra," jawab Tante Keke. "Next gue langsung call lo aja, ya, tiap kali ini anak dapet job. Pusing gue kalo disuruh nyari juru kamera lain!"
"Boleh, kalo gue lagi nggak repot tapi, ya!"
"Okelah."
Oom Chandra adalah pemilik tempat ini--studio foto terbesar di seantero kota. Jam terbangnya cukup tinggi. Dalam sehari saja, Oom Chandra bisa mendapat puluhan pelanggan yang datang kemari. Ia juga biasa dipanggil untuk acara pernikahan, pertunangan, wisuda, dan lain-lain. Makanya, kadang kalau sedang repot, ia terpaksa menolak job.
Sebenarnya Oom Chandra bisa saja merekrut juru kamera lain. Tapi ia belum menemukan orang yang sepadan kemampuan dengan dirinya. Memang untuk standar hasil foto, Oom Chandra amat detail.
Ada sebuah panggilan masuk ke handphone Tante Keke. Ia segera mengangkatnya. Entah apa yang sedang dibicarakan, yang jelas wajah Tante Keke sedang berbinar-binar.
"Kenapa, Tan?" tanya Theo begitu Tante Keke selesai bertelepon ria.
Tante Keke malah tersenyum dan tersipu-sipu. "Tante bilang juga apa? Padahal Tante belum promosiin kamu secara resmi, lho. Baru dari mulut ke mulut. Sama pasang foto kamu di grup Geng Mama Muda. Tapi kamu udah laku keras kayak cilok di perempatan gini!" Tante Keke seenak jidat memeluk tubuh menjulang keponakannya. Secara tidak langsung, Tante Keke mengatakan bahwa Theo barusaja mendapat job lagi.
Seharusnya Theo bahagia dengan berita itu. Tapi ia justru salah fokus pada cara Tante Keke mempromosikan dirinya. Theo sedang mengira-ngira apa saja komentar yang diberikan para Mama Muda pada foto yang dibagikan oleh tantenya di grup. Theo ngeri sendiri membayangkannya.
***
Seseorang mengguyurnya dengan air seember, tepat setelah ia menginjakkan kaki di rumah. Terang saja ia kaget. Beberapa umpatan kotor meluncur deras dan lancar dari bibirnya.
Seseorang yang mengguyurnya justru tertawa terpingkal-pingkal. Ia senang luar biasa karena rencananya berhasil.
"Apa-apaan, sih, Lang?" marah Theo sembari bersedekap, menggigil karena bajunya basah semua.
"Wanjiiiir, marah nih, ye!" ejek Elang dengan masih tertawa girang. "Ini, tuh, perayaan atas job pertama lo. Dikasih surprise malah marah!"
"Ngasih surprise, tuh, mbok ya yang elit dikit kenapa? Sama adek sendiri juga! Malah diguyur!"
"Ini udah yang terelit yang bisa gue persembahkan ke lo, Adekku."
"Basi lo, ah." Theo bergegas naik ke lantai atas, meninggalkan Elang yang masih bertahan di balik pintu masuk.
Elang cepat-cepat membuntuti adiknya itu, mengetuk pintu kamarnya beberapa kali. "Woy, nggak makan dulu lo? Tinggal manasin doang!"
"Kalo lo berperi-keadek-an, harusnya udah lo panasin dari tadi, nyampek rumah gue tinggal makan!" sindir Theo.
"Kalo mau makan, ya panasin sendiri! Kalo nggak, yaudah! Gitu aja kok repot! Gue banyak tugas kali!" Elang melenggang pergi, masuk ke kamarnya sendiri.
Theo mendengkus-dengkus di atas kasurnya. Dasar kakak tidak tahu diuntung! Mau dikembalikan lagi ke perut Mama juga tidak bisa. Mama, kan, sudah tidak ada.
Theo memejamkan matanya, menikmati aroma harum bed cover. Yas memang the best, ia pasti tahu kalau Theo kelelahan dan butuh kenyamanan sepulang pemotretan. Makanya sebelum berangkat ke pabrik, ia menyempatkan untuk mengganti bed cover adiknya.
Seharusnya semua kakak itu seperti Yas, tidak seperti Elang si Raja Tega.
***
Entah sejak kapan Theo terlelap. Bibirnya sedikit terbuka. Ia terlihat nyaman dengan posisi setengah tengkurap seraya memeluk guling kesayangan.
Sebuah telepon masuk ke handphone Theo. Mode getar tidak ada gunanya sama sekali, si Empunya handphone tetap terbangun. Jika saja yang menelepon orang lain, Theo akan mengabaikannya. Tapi ini adalah Oom Junot.
"Halo, Oom!" jawab Theo.
"Eh, kamu udah tidur ,ya? Maafin Oom, jadi bangunin!"
Theo bisa menangkap rasa tak enak dalam nada bicara Oom Junot. Padahal Theo sudah berusaha terdengar senormal mungkin, tapi suaranya tetap seperti orang baru bangun tidur.
"Nggak kok, Oom. Belum tidur aku, mah. Ada apa, Oom?"
"Kamu sama Elang hari Minggu bantuin Oom, ya! Lagi nggak ada acara, kan?"
Theo terlihat berpikir. "Minggu jam berapa, Oom? Kalo pagi aku kayaknya nggak bisa, diajakin Tante Keke akunya."
"Oh, iya, iya. Minggu-nya agak siangan, kok. Sekitar jam sebelasan."
"Oh, kalo jam segitu, sih, bisa."
Theo sebenarnya agak malas. Karena rencananya setelah pemotretan, ia ingin istirahat total seharian. Tapi sekali lagi, ini adalah permintaan Oom Junot. Theo tidak sampai hati menolaknya.
Selesai berdiskusi ini itu mengenai permintaan tolong Oom Junot, Theo segera mematikan handphone-nya. Ia tak mau ada telepon masuk lagi.
Kurang dari lima menit, Theo sudah terlelap kembali.
***
TBC