Sekarang tiap kali melihatnya, hati terasa berbunga-bunga. Melihat wajahnya, bagaikan sinar mentari di pagi hari yang penuh harapan. Melihat rambut kritingnya, bagaikan bertemu dengan benih-benih cintanya di masa depan. Melihat kaca mata kudanya, bagaikan mimpi yang selangkah lebih dekat.
Si Kriting Kesayangan sedang melamun di base camp mereka. Base camp? Anggap saja begitu. Tempat ini dinamakan BS2DRG, singkatan dari Balik Semak-semak Depan Ruang Guru. Alasan menjadikannnya base camp, karena di sinilah semuanya berawal.
"DOR!" Theo sengaja menggunakan intonasi maksimal.
Chico terjungkal dari duduknya, dan dengan segera ia mengeluarkan suara latah yang tidak biasa. "Yaasiin, wal qur'anil hakim, innaka laminal mursalin!"
Theo tertawa terpingkal-pingkal, menatap si Kriting kesayangan tersungkur di atas rumput sambil memegangi d**a saking kagetnya. Beberapa orang yang lewat menyilangkan telunjuk di kening, menganggap Theo dan Chico sudah miring.
"Latah lo bener-bener dah, mulia sekali! Dikit-dikit yasinan."
"Lo, mah, ngagetin muluk!" Chico akhirnya sanggup bersuara. Ia bersyukur karena jantungnya tidak jadi copot.
"Jadi gimana?" Theo segera mengutarakan maksud kedatangannya. Semenjak mengetahui bahwa mereka sama-sama terindikasi Oedipus Complex, dan semenjak Chico membisikkan sebuah fakta bak kotak Pandora, alhasil mereka menjadi sedekat ini.
Beberapa hari yang lalu, Theo meminta tolong pada Chico untuk membantunya melakukan sesuatu. Dan sekarang ia ingin mendiskusikan tentang hal itu lebih lanjut.
"Kok malah lo yang tanya gimana? Gue dong yang seharusnya tanya. Kan lo yang butuh!" protes Chico.
"Oh, iya juga, ya! Yaudah buruan tanya!"
"Jadi gimana?" tanya Chico, meng-copy dari pertanyaan Theo sebelumnya.
"Gini, gue mau bikin sebuah momen tak terlupakan yang penuh kesan, yang akan bikin Bu Alila merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia, dan ulang tahun ke-27 itu, akan menjadi ulang tahun yang terbaik seumur hidupnya."
Chico mengangguk-angguk. "Bagus, itu baru namanya lelaki. Rela melakukan apapun demi membahagiakan wanitanya."
Theo tersenyum dengan penuh kesombongan, sambil menaik-turunkan alis. Sayang, sebuah fakta buruk tiba-tiba melintas di pikiran, membuatnya murung seketika. "Tapi, Co, masalahnya tuh ...."
"Apa masalahnya?"
"Hutang keluarga gue. Beuh ... kalo lo tahu nominalnya, pasti langsung ayan, kejang-kejang, mulut berbusa. Kasarannya, kalaupun gue, Yas dan Elang udah kerja rodi seumur hidup, baru, deh, bisa lunas hutangnya."
"Terus?"
"Ya gitu, meskipun sekarang gue ada penghasilan dari model, tapi sebagian besar duitnya gue kasih ke Yas buat bantu bayar hutang. Jadi, gue bingung lah, gimana cara mewujudkan rencana spektakuler untuk ulang tahun Bu Alila, tapi dengan budget yang minim."
"Tenang, Yo, tenang! Gue bakal bantuin lo semampu gue. Dan perlu dicatet! Yang istimewa, nggak harus mahal. Percaya, deh, sama gue. Ntar kita pikirin bareng-bareng, hingga mencapai kata mufakat," ucapnya bak politikus.
"Oke, deh." Theo yang sedari tadi menunduk, kini mengalihkan pandangannya pada wajah Chico.
Ada yang tidak biasa. Wajah Chico kusut sekali bak keset, kantong matanya mempunyai kantong mata, dan lihatlah, ada lingkaran hitam di sekitar matanya.
"K-kenapa muka lo jadi mirip jin botol begitu?"
Chico langsung memukul punggung Theo. "Sembarangan aja ngomongnya! Kalo gue jin botol, berarti lo jin ifrit!"
Theo malah tertawa. "Tapi serius lo kenapa?"
"S-sebenernya bukan cuman lo yang lagi butuh duit, sumpah!" Chico memberi jeda sebentar sebelum memulai sesi curhat. "Di dunia ini semua orang punya masalah, Yo. Bahkan cogan pun punya masalah. Meskipun dianugerahi wajah yang tampan dan rupawan, tak menjadikan kita lepas dari masalah. Masalah ada cabang-cabangnya, Yo. Misalnya, masalah percintaan, masalah keuangan, masalah kekosongan hati, dan sialnya semua itu sedang kita alami dan hadapi bersama sekarang. Tapi kita tak bo- ...."
Theo dengan cepat mencubit pinggang Chico, kalau tidak begitu, ia tidak akan sadar. "Langsung pada intinya, Co!"
Chico meringis-ringis memegangi pinggangnya. Tapi ia menjawab juga. "Udah seminggu ini gue nggak bisa tidur. Kipas angin gue satu-satunya ... rusak! Tahu sendiri, kan, kamar kost, tuh, minim ventilasi, pengap! Jadi tambah gerah, dan nyamuk makin buannnyaaaaaaak!"
"Ya dibawa ke reparasi, lah!"
"Udah, kata mekaniknya, rusaknya udah parah. Ia tak tertolong lagi, Yo!"
"Beli lagi dong! Elah, gitu aja kok repot!"
Chico sudah hendak memukul kepala Theo dengan pot yang ia duduki ini, tapi ia takut masuk penjara, takut masuk neraka juga. "Ya makanya itu, gue lagi butuh duit buat beli kipas angin, Ogeb!"
"Oh, jadi gitu." Theo mengelus-elus rambut kriting Chico, tak peduli dengan Chico yang menahan amarah, karena loading-nya yang benar-benar lama. Dan dengan lancang malah menasihatinya pula. "Sabar, Co, tiap masalah pasti ada solusinya."
Theo kembali menatap wajah Chico. Theo menyipitkan matanya, ia semakin lekat memperhatikan wajah Chico.
Iya, kan? Padahal tadi pagi Theo sendiri yang memutuskan untuk tak ambil pusing tentang masalah ini. Biar semua jadi urusan Tante Keke sebagai pemilik agensi. Tapi nyatanya, Theo tetap memikirnya, bahkan sepertinya sekarang ia sudah menemukan solusi yang tepat.
Theo mengangguk-angguk penuh kepuasan, seperti baru saja menemukan harta karun di makam Raja Firaun.
"Pucuk disayang, ulam pun senang!" seru Theo.
"Pucuk dicinta, ulam pun tiba, Kakak!" koreksi Chico.
"Itu udah mainstream, Chico sayang!"
"Emang ada apaan?"
Berawal dari bisikan maut Chico pada Theo waktu itu. Kini Theo membalasnya dengan bisikan maut lain, yang mungkin bisa membantu kelangsungan hidup si Kriting kesayangan ini.
***
"Jadi kamu udah nemu partner buat job besok?" Suara Tante Keke terdengar sangat girang.
"Yeah!" jawabnya sok bule.
"Siapa-siapa? Tapi ganteng, kan? Tante harus jaga kualitas produk agensi dong!"
"Tenang, Tan. Meskipun orangnya agak culun nan katrok serta udik, tapi dia ganteng. Tinggal dipoles dikit pasti langsung semriwing. Tante percaya aja deh sama aku."
"Oke, deh, oke. Kalo masalah poles-memoles aja sih, Tante jago sekali!"
"Sip, Tan. See you tomorrow."
"See you."
***
Yas, Oom Junot, dan Jodi sudah berada di dalam ruang sidang. Beberapa orang yang membela pihak penggugat dan juga pihak tergugat, sudah hampir memenuhi kursi yang tersedia.
Yas melihat arlojinya, setengah jam lagi sebelum waktu sidang dimulai.
Majelis hakim baru saja memasuki ruangan dan kini sudah duduk di singgasananya. Suasana meja hijau yang menegangkan semakin terasa.
Oom Junot beberapa kali menyentuh pundak Yas, sekadar untuk menenangkan keponakannya. Rasa rakut, khawatir, cemas, semuanya melebur menjadi satu, terasa mengganggu dan tak bisa dihindari.
Yas percaya pada kehebatan Jodi, tapi sekali lagi, lawan mereka bukanlah orang biasa. Seperti apa yang dikatakan Jodi waktu itu, Zidan pasti punya banyak koneksi. Ia akan menghalalkan segala cara untuk menang, termasuk bekerja sama dengan aparat-aparat yang merupakan salah satu dari koneksinya.
Orang yang paling ditunggu pun tiba, si tergugat, Zidan. Ia datang bersama dengan pengacara, dan beberapa bodyguard yang mengawal. Semua pasang mata segera tertuju padanya. Memperhatikan bagaimana lelaki tinggi itu berjalan dengan auranya yang sangat kuat.
Perasaan campur aduk yang sedari tadi mengganggu Yas, terasa semakin parah. Setelah melihat orang itu secara langsung, semuanya terasa dua kali lipat lebih berat.
Namun kali ini perasaan mengganggu itu tak hanya dialami oleh Yas, melainkan juga Oom Junot. Lelaki itu semakin merasa ketakutan, kala Zidan berjalan melewatinya, dan menyeringai padanya.
Oom Junot segera teringat semuanya. Pikirannya kembali pada waktu itu. Sudah sangat lama, kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu.
Bukankah ia adalah si Orang Hilang?
***
TBC