Keanehan Elang

1333 Kata
    Elang meletakkan kompres yang baru di kening Theo. Matanya nanar memandang wajah adiknya pucat pasi. Theo pasti sangat kesakitan, sampai keluar keringat dingin.     Pulang sekolah tadi ia bahkan masih sempat menggoda Theo ini itu. Padahal sudah jelas anak ini terlihat tak berdaya semenjak keluar dari UKS. Ia bahkan tidak bisa berjalan dengan benar menuju parkiran.     Yas sampai menegur Elang karena terus-terusan mengatai Theo manja. Elang tidak marah, karena ia memang salah. Biasanya Yas lebih sering menegur Theo. Dan jika Yas sampai menegurnya, berarti kesalahan yang dilakukannya memang sudah melebihi batas.     Elang semakin menyadari kesalahannya saat melihat Theo bersandar dengan mata terpejam di jok belakang. Menyadari bahwa dari tadi pagi, Theo memang aneh karena tak banyak menanggapi ejekannya.     Elang merasa buruk karena baru menyadari hal itu sekarang. Saat kondisi Theo menjadi semakin parah.     Theo langsung tidur saat sampai di rumah, dan belum bangun sampai sekarang. Tadi sebelum berangkat ke pabrik, Yas berniat menyuapinya makan, tapi Theo malah muntah.     Elang menggoyangkan lengan Theo pelan. Sesuai pesan Yas--pada jam tujuh tepat--Elang harus membangunkan Theo. "Bangun lo, waktunya minum obat!"     Theo melenguh, merasa terganggu. Saat ia membuka mata, ia segera mengatakan sesuatu entah apa. Elang mendekatkan telinganya supaya bisa mendengar dengan lebih jelas.     "Minum."     Elang segera mengambil sebotol air mineral di nakas, ia meletakkan sebuah sedotan ke dalamnya, dan membantu adiknya minum perlahan.     "Lah, jangan tidur lagi, minum obat dulu!"     "Gue nggak tidur. Mata gue merem sendiri."     "Yaudah, nih minum dulu." Elang menjejalkan satu tablet obat ke dalam mulut Theo, tak peduli adiknya kepahitan, yang penting obatnya masuk. Daripada ia jadi semakin parah nanti.   ***       "Oom belum bisa nengokin Theo, besok siang mungkin. Pasti kecapekan dia. Eh, kemarin malah Oom suruh jemput si Jodi."     "Nggak apa-apa, Oom. Anak itu biasanya tahan banting kalo masalah capek aja. Kata dokter sakitnya lebih karena pikiran."     Oom Junot mengangguk mengerti. "Pasti gara-gara masalah itu. Tapi kamu tenang aja. Oom yakin kalian bakal menang di kasus ini."     "Maksud, Oom?"     "Jodi, temen Oom itu, dia seorang pengacara hebat. Selama ini semua kasus yang dipegangnya belum pernah kalah."     "T-tapi, Oom, kalo dia sehebat itu, biayanya ...."     "Jangan mikiran itu! Oom sama Tante-mu sudah mikirin semuanya. Karena hubungan kami di masa lalu, Jodi pasti nggak bakal mau dibayar juga. Udah, kamu percaya aja sama, Oom. Karena ini solusi satu-satunya untuk masalah ini."     Yas benar-benar tak tahu harus bagaimana. Sudah berapa kali orang ini membantu keluarganya? Entah bagaimana hidupnya jika tak ada Oom Junot dan Tante Keke. Oom Junot kemudian berpamitan dari ruangan Yas.     Entah hubungan apa yang terjalin antara Oom Junot, Tante Keke dan si Jodi itu di masa lalu. Yang jelas pasti hubungan baik kan? Tapi kenapa wajah Oom Junot terlihat murung saat menyebut nama Jodi? Entahlah.     Yas segera mengemasi barang-barang karena shift-nya sudah habis.     Sebelum masuk ke kamarnya, dengan Namira yang tidur pulas di gendongannya, Yas ingin melihat keadaan Theo terlebih dahulu. Yas terkejut dengan apa yang didapatinya di dalam kamar Theo.     Sebuah pemandangan indah yang membuat Yas tersenyum sekaligus terharu. Elang pasti juga lelah sehingga tertidur di sebelah Theo seperti itu.     Kapan lagi melihat si kembar akur seperti ini? Andai saja mereka mau melanjutkan keakurannya setiap hari. Apa harus salah satu sakit dulu baru mereka mau damai?     Yas berjalan mendekat dan memeriksa suhu tubuh Theo, rupanya sudah turun. Yas juga senang karena wajah Theo sudah tidak sepucat tadi. Elang pasti merawatnya dengan baik.   ***       Tepat jam tiga pagi, alarm handphone Elang berbunyi. Ia segera bagun karena Theo harus minum obat lagi. Sebenarnya alarm itu tak terlalu berperan dalam membangunIkakan Elang, melainkan suara tangisan keponakannya yang rewel. Yas pasti sedang kerepotan di dalam kamarnya sana.     "Theo, bangun!" Elang mulai membangunkan adiknya. Tangannya sibuk mencari tablet obat yang harus diminum Theo.     "Theo!" Elang mengguncangkan lengan Theo lebih keras. Tapi Theo tetap belum bangun. Merasa curiga, Elang meletakkan plastik berisi obat-obat itu begitu saja.     Ia merasa takut karena Theo terlihat aneh. Sebelum tidur tadi kondisinya sudah jauh lebih baik kan. Tapi kenapa sekarang wajahnya kembali pucat pasi? Suhu tubuhnya juga meninggi lagi.     "THEO!" seru Elang lebih keras. Sayangnya Theo tetap belum mau membuka matanya.   ***     Elang berlari menuju ke kamar Yas. Seperti biasa, ia tak pernah mengetuk pintu terlebih dulu. Namun karena sekarang masih jam tiga pagi, wajar jika Yas kaget dengan kedatangan Elang yang tiba-tiba. Jujur, ia sedikit kesal dibuatnya.     Namira sedari tadi rewel, ia belum tidur sama sekali, dan Elang menambah buruk semuanya.     Elang sendiri bisa menangkap siratan kekesalan itu di wajah Yas. Tapi sekarang prioritas pertamanya bukan itu.     "Yas, Theo ...." Elang terlalu panik hingga tidak bisa bicara dengan baik. "Theo ... gue bangunin dia buat minum obat ... tapi ... t-tapi dia nggak bangun-bangun!"     Mendengar hal itu, entah ke mana hilangnya segenap rasa kesal Yas. Ia segera berlari mendahului Elang. Ia bahkan meninggalkan putrinya yang belum berhenti menangis.     Sampai di kamar Theo, ia segera menghampiri adiknya itu. Yas semakin panik melihat rona Theo. Ia sangat pucat, seperti tak ada aliran darah sama sekali di wajahnya.     "Dek!" Yas mencoba membangunkannya. "Theo!"     Elang berdiri dengan cemas di samping ranjang, menunggu reaksi lebih lanjut dari adik kembarnya.     Yas masih belum menyerah. Ia menggoyangkan lengan Theo dengan lebih keras. Ia juga tak berhenti menyerukan namanya.     Baik Yas ataupun Elang, keduanya merasa amat lega saat mata Theo mulai terbuka perlahan. Theo mengerjap beberapa kali. Hingga ia menangkap raut khawatir kedua saudaranya.     "Kamu nggak apa-apa?" tanya Yas masih dengan segenap kepanikannya.     "Emangnya gue kenapa?" Theo malah bertanya balik. Suaranya amat lirih, hampir tak terdengar.     Yas dan Elang saling berpandangan. Mereka jadi bingung sendiri. Mereka tadi panik, mengira Theo tidak sadarkan diri atau apalah itu. Mereka bingung ... Theo tadi benar-benar pingsan atau memang hanya tidur terlalu lelap karena pengaruh obat?     "Sekarang apa yang kamu rasain?" tanya Yas lagi.     Theo tak langsung menjawab. Ia memejamkan matanya lagi, seperti menahan sakit.     "Dek!" Yas panik lagi.     "Gue ... laper."     Terang saja Yas dan Elang melotot. Mereka sudah khawatir dan panik luar biasa, takut Theo sakitnya semakin parah atau bagaimana. Eh, malah Theo menjawab dengan hal konyol seperti itu.     Tapi tidak konyol juga, sih. Wajar kalau ia lapar. Sejak kemarin ia tidak makan dengan benar. Sudah begitu, ia muntah berkali-kali. Jadi, saat ini perutnya pasti benar-benar kosong.     "Yaudah, Mas panasin buburnya dulu." Yas beranjak dari sana.     Elang segera menduduki tempat Yas tadi. Ia melanjutkan mencari tablet obat yang harus Theo minum. Sekarang, atau Theo akan semakin telat meminum obatnya.     "Ini diminum!" Elang menyerahkan beberapa tablet pada Theo.     Theo menerimanya sembari menatap wajah Elang. Anak itu kemudian tersenyum miring. "Lo khawatir banget sama gue ya, Kak? Elah, so sweet banget, sih, lo!" Theo malah asyik menggoda Elang.     Jangan salahkan Elang jika ia langsung naik pitam dan memukul adiknya. "NAJIS!"     "Ya ampun, teganya sama orang sakit." Theo meringis-ringis memegangi lengan malangnya.     "Buruan diminum!"     Theo segera menuruti perintah Elang, atau ia akan terancam dianiaya lagi. Ia menelan tablet-tablet itu sekaligus. Untung air putih sudah siap sedia di atas nakas. Kalau tidak, Theo bisa lewat karena tablet-tablet itu menyumbat kerongkongannya.     Nyatanya, Elang benar-benar mengerikan saat sedang marah.     Yas kembali dengan membawa satu nampan berisi bubur hangat. Ia meletakkan nampan itu di atas meja kecil, kemudian menaruhnya di sebelah Theo. "Kamu masih mual?"     "Nggak."     "Yaudah, kalo gitu buruan ini dihabisin! Biar ada tenaga," jelas Yas. "Sementara makannya itu dulu, belum boleh yang aneh-aneh. Nanti asam lambungnya naik lagi."     "Iya." Theo menurut saja.     Tanpa sepengetahuan Theo, Yas tengah tersenyum karena sifat penurut mendadak dari Theo. Theo yang penurut, sungguh menggemaskan baginya. "Buruan dimakan! Apa mau Mas suapin?" Nah, Yas malah berakhir menggodanya.     "Najis!" tanggap Theo.     "Lhoh, kemarin aja Mas nyuapin kamu, lho!" goda Yas lagi.     "Itu, kan, terpaksa! Lagian habis itu gue muntah, kan? Bukan karena asam lambung, tapi karena lo nyuapin gue. Sorry, ya. Perut ini menolak!" Theo menepuk-nepuk perut kosongnya.     Yas malah tergelak. "Yaudah, kalo gitu Mas langsung balik ke kamar, ya! Nami nangis terus itu."     "Iye sono, urusin itu si Tahu Bulat!" Theo mulai menyuap satu sendok ke mulutnya.     Sambil mengunyah bubur hambar itu, Theo menatap Elang yang masih diam. Wajahnya murung, dan sedari tadi juga hanya diam, seperti ada yang dipikirkan.   *** TBC  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN