Karena Stigma

1311 Kata
    Theo mengangkat tumpukan buku besar menjulang itu, mengikuti Bu Alila di belakangnya. "Terima kasih, ya!" ucap Bu Alila begitu mereka sampai kantor, dan Theo sudah meletakkan buku-buku itu di mejanya.     "Sama-sama, Bu!" Theo tersenyum tidak jelas.     "Saya, tuh, seneng. Nilai-nilai kamu selalu bagus di dua mata pelajaran saya."     "Iya, dong! Saya selalu belajar Ekonomi dan Akuntansi dengan giat, lho!"     "Jangan cuman belajar Ekonomi dan Akuntasi aja, dong! Yang lainnya juga dipelajarin!"     "Habisnya, mata pelajaran lain yang ngajar bukan Bu Alila, sih!" gombal Theo. Ia tersipu-sipu sendiri dengan gombalannya.     "Kamu, nih, bisa aja!" Bu Alila kemudian mencari lembar jawaban Theo di antara tumpukan lembar jawaban dalam map. Ia sedang mengoreksi lembar jawaban itu, ingin membuktikan bahwa kali ini nilai Theo akan sempurna lagi.     Dan ternyata benar. Ia mendapatkan angka seratus bulat. Luar biasa! Padahal Bu Alila banyak memberi jebakan dalam soal-soalnya tadi.     "Nih, beneran, kan!" Bu Alila memperlihatkan hasilnya pada Theo. "Wah, kalo gini terus, kita bisa kerja sama di masa depan, Yo. Membangun sebuah perusahaan bersama, dan sukses bersama-sama. Gimana?"     Seketika muncul sebuah angin yang mengibar-ngibarkan rambut Theo. Mendadak juga muncul bunga-bunga berterbangan. Bu Alila baru saja mengajaknya membangun sebuah perusahaan bersama, dan kelak mereka akan sukses bersama-sama. Entah mengapa, Theo merasa bahwa secara tersirat, Bu Alila juga mengatakan bahwa ia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama Theo.     Maksudnya, selain membangun sebuah perusahaan bersama, mereka juga akan membangun sebuah rumah tangga bersama.     "Saya mau, Bu, mau. Mau banget!" senyuman riang gembira masih senantiasa menghiasi wajah Theo. Jumlah bunga yang berterbangan pun semakin bertambah. Dunia ini sungguh indah.     "YES! Bagus deh kalo gitu. Kakak ipar dan adek ipar, bisa sukses bersama-sama. What a family goals!"     Pak Saipul tiba-tiba masuk ke kantor. Ia tak sengaja memencet recorder yang berisi suara petir. Alhasil, suara petir itu terdengar lagi sekarang. Memnggelegar hebat, memporak-porandakan suasana. Tiupan angin yang tadi menyejukkan, berubah menjadi badai mematikan. Bunga-bunga itu jatuh bertebaran di lantai. Bersamaan dengan jatuhnya harapan Theo yang sebelumnya sudah sampai langit ketujuh.     Bu Alila masih belum berubah. Ia akrab dan dekat dengan Theo, hanya karena Theo adalah adiknya Yas. Yas yang ia anggap sebagai calon suaminya. Jadi otomatis, Theo adalah calon adik iparnya.     Benar kata Elang, kenyataan hidup memang pahit dan keras. Tapi apa benar bahwa Theo harus menerimanya begitu saja?     "Saya permisi, Bu!" Theo berbalik, bersiap pergi dari sana.     "Oh, iya-iya. Kamu pasti mau langsung ke perpustakaan, kan? Yang semangat jaga perpus-nya ya! Fighting!" Bu Alila melambai-lambaikan tangannya pada Theo.     Bukan menahan kepergiannya, Bu Alila malah bersikap seperti itu. Memang salah Theo sendiri yang terlalu berharap.     Tapi kenapa sih Bu Alila itu tidak peka sekali? Padahal selama ini Theo sudah sering memberikan kode dari kata-katanya. Ia serius mengucapkan rayuan-rayuan itu, tapi Bu Alila selalu menganggapnya bercanda.     Ia juga selalu menunjukkan kasih sayang dari caranya memperlakukan Bu Alila. Tapi seakan wanita itu tak menganggapnya. Theo mempercepat langkah. Ia harus segera sampai di perpustakaan. Ia akan bicara serius dengan Chico.   ***       Mereka berdua duduk berhadapan di salah satu bangku kedai kopi. Keduanya terlihat serius. Jodi tadi sempat ke sekolah. Ia ingin bicara dengan Yas tentang sebuah rencana. Tapi ia tak menemukan Yas di sana. Ia malah mengetahui sebuah kenyataan yang mengejutkan. Tentang sanksi yang diberikan Kepala Sekolah pada Yas. Jodi emosi pada awalnya.     Ia menganggap bahwa keputusan Pak Sunyoto itu terlalu berlebihan. Masa lalu Yas adalah urusannya dengan Tuhan, tapi kenapa mereka mengungit-ungkit hal itu lagi sekarang? Dan memberinya sanksi pula.     Tapi sekarang Jodi akhirnya mengerti, setelah Yas menceritakan dan menjelaskan semuanya. Jodi memang tidak berkecimpung di dunia pendidikan. Jadi ia tak pernah tahu etika-etika yang harus dipenuhi dalam dunia pendidikan.     Tadi setelah tahu bahwa Yas tidak ada di sekolah. Jodi berinisiatif untuk mencarinya. Tapi ia tak tahu harus mencari ke mana. Untungnya ia menyimpan nomor handphone Yas.     "Junot sama Kejora udah tahu?"     "Belum, gue belum kasih tahu mereka."     Jodi mengangguk mengerti, tak ingin mencampuri urusan pribadi Yas terlalu jauh. "Oke, deh. Tapi kalo boleh tahu, kenapa lo ada di Forest Gump?"     "Gue dulu sempet kerja di sana. Tapi nggak lagi setelah lulus SMA. Karena letaknya jauh sama kampus."     "Terus kenapa namanya Forest Gump? Macem filmnya Tom Hanks aja! Tapi huruf R-nya hilang satu, ya. Soalnya letaknya emang di hutan beneran."     Yas tertawa. Tak heran jika Jodi bertanya-tanya. Saat awal bekerja di sini dulu, ia juga heran setengah mati. "Gue juga nggak tahu sebabnya. Mungkin Kakek ngefans sama Tom Hanks, atau beliau emang suka sama film itu. Terus karena usahanya di tengah hutan begini, namanya diplesetin. Bukan Forrest Gump, tapi Forest Gump."     Jodi hanya ber-oh ria. Forest Gump adalah sebuah tempat pembuatan mebel dan furniture  dari kayu. Tempat ini agak terpencil letaknya. Pemiliknya adalah seorang lelaki tua yang sudah renta, dengan beberapa karyawan yang digaji ala kadarnya.     Tak jauh dari namanya, tempat ini memang berada di tengah hutan.     Bukan hutan sebenarnya sih. Hanya mirip. Di sini adalah area pegunungan yang dipenuhi pepohonan liar, jauh dari jangkauan, dan pastinya masih alami. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu tentang keberadaannya.     Meskipun begitu karya Kakek diminati oleh pelanggan-pelanggannya. Memang tak terlalu banyak, tapi beliau sangat menikmati pekerjaanya. Kakek seperti sudah menemukan tujuan hidupnya dengan membuka Forest Gump di sini.     Saat Jodi sampai tadi, Yas sedang mengamplas sebuah kursi kayu klasik. Jodi meminta izin pada pemilik Forest Gump untuk membawa Yas keluar sebentar. Dan mereka berakhir di kedai kopi ini.     "Dari sekian banyak pekerjaan yang pernah lo jalani, kenapa lo milih untuk kerja di tempat ini lagi?"     Yas tertawa geli. "Sederhana, sih, jawabannya. Karena gue suka sama hal-hal tentang mebel dan furniture. Dulu gue pernah bercita-cita pengen buka tempat kayak gini. Tapi udah dulu banget sih. Pas gue masih SD."     "Tapi gajinya kecil, kan, di sini? Lo yakin itu cukup buat bayar sekolah Theo sama Elang?"     "Gue nggak yakin, sih," jawab Yas. Karena sejujurnya alasan ia memilih tempat ini, tak hanya semata-mata karena rasa tertariknya tentang mebel dan furniture, juga bukan semata-mata karena cita-citanya saat masih kecil itu.     Ada alasan kuat lain yang mendasarinya.     "Ngomong-ngomong, tadi katanya lo mau bicara serius. Bicara apaan?" Yas sengaja mengalihkan topik pembicaraan. "Jujur gue kaget pas lo nelefon tadi. Gue pikir lo udah balik ke Jakarta."     "Ah, iya. Gue sampek lupa. Dan gimana gue bisa balik ke Jakarta, kalo kasus yang gue pegang, masih belum jelas juntrungannya?"     "Maksud lo?"     "Kasus keluarga lo sama Zidan, lah."     Yas menggeleng. "Lo balik aja ke Jakarta, Jod! Maaf banget udah banyak repotin. Dan terima kasih banyak. Kasus keluarga gue sama Zidan, udah gue anggep selesai. Gue nggak mau ungkit-ungkit masalah itu lagi."     Jodi keheranan. "Nggak bisa gitu dong, Yas! Kasus ini serius."     "Jod, lo udah berkoban banyak. Gue nggak bisa bales apa-apa. Gue justru bikin lo malu. Lo belum pernah kalah sidang. Sekalinya kalah, lo dipermalukan. Gue bener-bener nggak enak sama lo."     "Harus berapa kali gue bilang, lo nggak perlu bales apapun. Dan nggak perlu ngerasa nggak enak. Kalah dalam sidang, udah jadi resiko setiap pengacara. Kasus ini udah jadi tanggung jawab gue. Zidan nggak bakal berhenti neror kalian. Apa lo nggak berpikir, bahwa penyebar rumor tentang masa lalu lo, bisa jadi adalah Zidan?"     Pikiran Yas menerawang. Benar apa yang dikatakan Jodi. Kenapa ia tak pernah kepikiran?     "Kita harus selesaiin masalah ini sampai ke akarnya. Polisi dan aparat lain udah nggak bisa diandalkan. Mereka udah kong kalikong sama Zidan. Untuk itu, yang bisa kita lakuin adalah, membuktikan kebusukan Zidan pada masyarakat. Kita harus bisa bikin pandangan mereka pada Zidan berubah. Kita harus kasih tahu ke mereka tentang siapa Zidan sebenernya."     "Tapi Jod ..." Yas masih mengelak. "Kalo kita gagal, profesi lo sebagai pengacara akan terancam. Gue nggak mau itu terjadi. Gue bakal ngerasa bersalah seumur hidup."     "Tapi kalo sampai kita berhasil, grade gue justru akan naik. Pengacara merangkap detektif. Pengacara yang total mengungkap sebuah kasus besar yang udah jadi tanggung jawabnya. Gue juga bakal diuntungkan kalo itu sampai terjadi."     "Kalo gagal ...."     "Kita nggak akan gagal. Percaya sama gue. Gue udah memutuskan untuk memulai, maka gue juga harus menyelesaikannya."   *** TBC  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN