Pembunuh Bermata Biru

1309 Kata
Brakk! Yoana menutup pintu dengan tergesa sehingga jatuhnya seperti setengah dibanting. Setelah menguncinya, dia menyandarkan punggungnya di sana. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat, dan tubuhnya gemetar karena ketakutan yang amat sangat. Pemandangan saat si pria tua berjas rapi itu melotot kesakitan memang mengerikan, tapi lebih mengerikan lagi ketika dia berhadapan langsung dengan si pemilik mata biru yang tak lain adalah pembunuh di balik wajah tampannya. "Kakak kenapa?" Yoana terhenyak. Secepat kilat dia menoleh ke sumber suara. Didapatinya Yohan yang dalam keadaan duduk di tepi tempat tidur tengah menatapnya penuh selidik. Yoana menghela nafas perlahan. Dia harus bisa mengontrol rasa ketakutannya saat ini juga. Yoana tidak mau Yohan mengetahui apa yang dialaminya barusan. Dia takut itu akan menimbulkan kekhawatiran adik laki-lakinya itu. Saat ini Yohan masih sakit. Dia menginginkan Yohan cepat sembuh dan bukan merasa cemas karena hal yang baru dialaminya. Selain itu, Yoana sudah berjanji pada si pembunuh bahwa dia tidak akan menceritakan apa yang sudah dialaminya barusan kepada siapa pun. Yoana memasang senyum. Dia lalu melepas jas hujan basah yang membalut tubuhnya sebelum kemudian digerainya di atas penyangga kursi kayu di dekat pintu. "Tidak apa-apa kok, Yo," jawab Yoana sembari mendekati tempat tidur satu-satunya itu di ruangan itu. Rumah mungil yang mereka tempati saat ini hanya terdiri dari satu ruang besar dan satu kamar mandi. Ruang besar itulah yang menjadi ruang tamu, kamar, sekaligus dapur. "Tapi kenapa kakak tampak begitu ketakutan seperti baru saja melihat hantu?" tanya Yohan sembari menatap Yoana dengan sorot mata penuh selidik. 'Hantu? Ah, mungkin ini pas untuk dijadikan alasan,' batin Yoana. Yoana mengambil mangkuk dari rak piring dan menuangkan bakso yang dibelinya ke dalam mangkuk tersebut. Setelah meletakkan sendok di atasnya, Yoana menyodorkan mangkok yang telah terisi bakso pada Yohan. "Ya, kakak memang ketakutan. Kamu tau sendiri area pertokoan yang terbakar itu terkenal angker. Tadi waktu kakak lewat, suasananya begitu mencekam dan horor. Bulu kuduk kakak dibuat merinding karenanya. Kakak lari karena merasa ada yang mengikuti," Yoana mengarang cerita. Jika saja Yohan tahu bahwa apa yang dialaminya lebih menakutkan dari pada melihat hantu, mungkin adiknya tersebut akan syok. Hantu mungkin bisa diusir dengan ayat kursi. Tapi tidak dengan pria pembunuh bermata biru tersebut. "Oh, aku kira kakak sedang dikejar-kejar seseorang." Yohan menerima mangkok berisi bakso yang disodorkan Yoana. Deg. Perkataan Yohan barusan membuat jantungnya kembali berdegup kencang. Bukan tidak mungkin, pembunuh bermata biru itu mengawasinya. Yoana memejamkan matanya untuk beberapa saat. Mencoba untuk menenangkan perasaannya yang masih ketakutan. "Makanlah selagi hangat. Kalau sudah dingin, mie-nya akan mengembang dan rasanya tentu tidak enak lagi untuk disantap." Yoana mengalihkan pembicaraan. Membicarakan area pertokoan yang terbakar membuat ketakutannya tidak akan kunjung hilang. "Iya, kak. Ini akan langsung aku makan." Yoana melangkah meninggalkan sisi tempat tidur. Dia mendekati lemari reyot, mengganti celananya yang basah dengan yang kering. Setelahnya dia membaringkan tubuhnya di atas kursi panjang yang sudah dialasi selimut butut. Dari situ, dia memperhatikan Yohan yang tengah makan bakso. Tampak lahap. Itu artinya Yohan sudah mulai sembuh dari sakitnya karena selera makannya telah kembali. Yoana menelentangkan tubuhnya. Dilihatnya atap rumahnya yang terbuat dari seng dan telah menggelap warnanya. Jika hujan, air hujan tersebut masuk karena terdapat banyak lubang kecil di seng tersebut. Mereka belum punya cukup uang untuk menggantinya dengan seng yang baru. Bayangan si mata biru menghujamkan pisau ke jantung pria tua berjas rapi itu terbayang kembali di pelupuk mata Yoana, membuatnya kembali gemetar ketakutan. Belum lagi saat ingat ujung pisau berlumuran dari itu berada di lehernya, membuat tubuhnya langsung mengeluarkan hawa dingin yang menggigit. Agaknya malam ini Yoana akan sulit tertidur karena terus teringat kejadian itu. Sementara itu di tempat lain, Asher masuk ke dalam rumahnya yang seperti sebuah istana. Sangat besar dan megah dengan halamannya yang super luas. Kedatangannya langsung disambut oleh John sang kepala pelayan, beserta beberapa pelayan wanita yang menunduk penuh hormat kepadanya. Brak. Asher membuka pintu kamar dan masuk lebih ke dalam dengan diikuti John dari belakang. Di depan John, Asher melepas semua pakaiannya tanpa terkecuali pakaian dalam. Pria berwajah tampan itu lalu menyelimuti tubuh bagian bawahnya dengan handuk bersih. "Bakar semua baju itu! Jangan sampai ada sebutir abu pun yang tertinggal!" John mengangguk. "Baik tuan." Dengan cepat John meraup baju Asher yang tergeletak di lantai, lalu membawanya keluar kamar. Asher masuk kamar mandi. Di bawah shower dia mengguyurkan tubuhnya yang bau anyir darah dengan air yang mengalir. Sisa darah dan bau anyir seketika lenyap dari tubuh Asher bersama aliran air yang mengaliri tubuhnya yang atletis dan tampak sangat kokoh. Dia sudah melupakan tubuh menggelepar kesakitan pria tua b******k itu. Tapi herannya tidak begitu dengan gadis yang menjadi saksi atas pembunuhan yang dilakukannya. Benaknya terus mengingat mata, hidung, dan bibir milik gadis itu. "Aarrggh, ini gila! Mengapa wajah gadis itu terus terbayang di pelupuk mataku?!" Asher meremas rambutnya frustasi. Dia tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Dia sering bertemu dengan banyak gadis cantik dan bertubuh indah. Bahkan artis papan atas sekali pun. Tapi tidak pernah ada yang sampai tersimpan kuat di benaknya seperti ini. Apa? Apa yang sebenarnya membuat otaknya terus menyimpan wajah gadis itu? Sepuluh menit kemudian, tubuh Asher sudah bersih dan harum. Setelah memakai baju, dia langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Mencoba terlelap. Sayang, 30 menit berlalu dia tidak juga terbawa ke alam mimpi. Bayangan wajah gadis itu masih saja memenuhi otaknya. Membuatnya melempar bantal dengan amat kasar. Wajahnya menyiratkan kemarahan. "MENGAPA WAJAH GADIS ITU TIDAK JUGA LENYAP DARI BENAKKU?!!" Asher menggeram dengan rahang yang mengencang. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun. Ingin diluapkan tapi tempat meluapkannya tidak ada. Asher benar-benar frustasi. Selama ini dia tidak pernah se-frustasi ini, karena apa yang dia impikan selalu bisa dia capai dengan mudah dan apa yang dia inginkan selalu dapat dia genggam dengan cepat. Asher mengambil ponselnya. Menelpon salah satu orang kepercayaannya yang tadi dia suruh untuk mengikuti gadis itu. "Leo, kau di mana?" "Aku berada tidak jauh dari rumah gadis yang menjadi saksi mata itu tuan. Memangnya ada apa tuan? Apa tuan ingin gadis itu aku habisi sekarang?" "Bukan. Aku hanya ingin kamu mencari tahu lebih banyak tentang gadis itu." Hening sejenak. "Tapi untuk apa tuan? Kalau anda merasa gadis itu cukup berbahaya, kita habisi saja sekarang." "Ah, tidak, jangan. Entahlah, wajahnya terus terbayang di pelupuk mata." Kembali hening. "Aku rasa, anda merasakan itu karena anda mengalami kekhawatiran yang berlebihan. Takut gadis itu akan membongkar kejahatan anda." Asher meremas rambut tebalnya untuk ke sekian kali. Pusing. Dia merasa bukan sedang mengkhawatirkan hal yang dikatakan Leo. Ada perasaan lain yang membuat hatinya cemas tidak jelas. "Hmm, aku tak yakin. Tapi sudahlah, yang penting kamu terus awasi dia. Tunggu intruksiku selanjutnya." "Baik tuan." Asher memutuskan sambungan telpon. Dia kembali membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan posisi terlentang. Wajah gadis itu kini tergambar di plafon kamarnya. *** Pukul setengah empat Yoana baru tertidur, tapi pukul lima gadis 20 tahun itu sudah bangun kembali. Dia sholat subuh dan kemudian masak. Dilihatnya Yohan juga sudah mulai sehat sekarang. Adik yang sangat dicintainya itu sudah bisa ke kamar mandi sendiri untuk mengambil wudhu. Yoana menaruh tumis kangkung cabai merah dan goreng tempe ke atas sebuah meja yang mereka sebut sebagai meja multifungsi karena meja itu dipakai untuk jadi tempat menaruh minuman tamu, meja makan, atau pun sebagai tempat berpijak ketika mengganti bola lampu yang mati. "Yohan, kakak sudah masak. Sarapanlah. Kakak mau mandi dulu." Yohan yang masih tampak lemas mengangguk. "Iya, kak. Nanti aku makan." Pukul setengah tujuh, Yoana pergi kerja. Tapi ketika melewati gang tempat pembunuhan terjadi, dia tidak lagi melihat jasad pria tua berjas rapi di tempat terbunuhnya. Bahkan setetes darah pun tidak ada. 'Pintar sekali pembunuh bermata biru itu menghilangkan jejak.' Itulah yang ada dalam pikiran Yoana saat ini. Tapi, dia tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Bulu kuduknya langsung berdiri begitu teringat kejadian semalam. Dan yang paling dia ingat adalah sorot mematikan yang terpancar dari bola mata berwarna biru sang pembunuh. Bersambung... Jangan lupa kasih loves biar aku semangat menulisnya lagi
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN