Di suatu sore, seorang lelaki yang memakai kaos hitam sedang duduk di taman belakang rumahnya. Matanya tertuju pada air mancur kecil yang ada di atas kolam ikan di sudut taman. Walau memandang kesana, tapi pikiran lelaki itu sesungguhnya tidak berada disana.
Derasnya air mancur kecil di atas kolam terlihat seperti pahatan indah nan cantik oleh pandangan matanya. Tampak seorang gadis berjilbab cream dengan gamis berwarna kuning kunyit sedang tersenyum menatap ke arahnya. Senyum gadis itu begitu manis walau tanpa lesung pipi. Hidungnya tinggi dan manik matanya berwarna hitam pekat.
Ya, dia adalah Ibtisam Kamila Bafaqih, yang biasa dipanggil Ibi. Gadis keturunan Arab yang berdomisili di kota M, di Pulau Sumatera.
Aku gak bisa lupain kamu, Bi. Bahkan setelah sekarang pun aku masih terus teringat dengan kamu. Semua kenangan tentang kamu masih tersimpan rapi di memori otakku. Tidak berkurang bahkan terus saja terekam ulang.
Dan lelaki yang sedang termenung dan berkomunikasi dengan batinnya itu adalah Sadewa Handaru, lelaki yang sekarang sudah berusia tiga puluh enam tahun. Memiliki seorang istri dan dua orang anak. Delapan bulan lagi dia juga akan segera memiliki anak ketiga, sebab istrinya sedang hamil muda.
Dewa kembali termenung, menatap ke tempat yang sama. Pikirannya masih terpaku pada seorang gadis yang teramat dia kagumi. Tidak hanya kagum, bahkan dia mencintai gadis itu dengan begitu dalam. Gadis manis yang dikenalnya saat masa perantauan dulu di kota M, yakni Ibtisam.
Senyum Ibtisam terpatri jelas diingatan Dewa. Suara tawa ibtisam juga masih terdengar kencang ditelinganya. Bahkan senandung Ibtisam ketika menyanyikan lagu barat favoritnya pun terus saja terngiang, menemani setiap tarikan napasnya. Membuatnya tidak bisa lepas dan bebas. Dewa terus saja terikat oleh cinta, cinta yang dia miliki sendiri, cinta yang dia rasakan sendiri, dan cinta yang dia ciptakan sendiri dengan begitu besar untuk seorang Ibtisam.
Cinta itu mengukungnya. Menjeratnya dalam balutan siksaan yang tidak pernah lepas. Bukan karena dia tidak bisa tetapi karena dia tidak mau. Dewa mengunci dirinya sendiri dalam sebuah penjara, penjara cinta Ibtisam.
Akankah kita bisa bertemu lagi dan kembali seperti dulu, Bi? Aku ingin, aku sangat ingin …
Jangan tanya dimana kunci untuk membuka penjara itu, sebab Dewa sudah membuangnya jauh entah kemana dengan sengaja, agar sampai kapanpun dia tidak lepas dari sana. Ini menunjukkan bahwa rasa cinta yang dimiliki seorang anak manusia dapat menyiksa dirinya sendiri jika tidak dibarengi dengan rasa syukur dan berserah diri kepada Yang Maha Kuasa.
Cerita bermula sejak sepuluh tahun yang lalu. Saat itu sedang trend warung internet di kalangan pelajar, baik SMP maupun SMA. Warung internet yang biasa disebut dengan warnet itu begitu digemari hingga menjadi tempat incaran pertama yang dituju setiap pulang sekolah.
Untuk apa? Banyak hal bisa mereka lakukan di warnet. Ada yang bermain game, ada yang browsing banyak ilmu pengetahuan, dan ada juga yang masuk ke aplikasi chat, yakni aplikasi kenalan secara online. Saat itu yang sangat tren adalah MIRC.
Ibtisam termasuk salah satu dari pelajar yang mengikuti tren. Setiap pulang sekolah dia mampir ke warnet. Kebetulan ada warnet di dekat rumahnya, hanya berjarak tiga puluh meter.
Hari itu Ibtisam bersama sahabatnya baru saja sampai. Mereka masuk ke bilik komputer yang bertuliskan nomor urut lima. Ada dua puluh bilik komputer disitu. Dan beberapa diantaranya sudah terisi oleh pengguna. Entah siapa saja Ibtisam tidak bisa melihat, sebab setiap ruangannya disekat dengan dinding triplek.
Tujuan Ibtisam dan temannya di warnet berbeda. Ibtisam senang melihat model fashion yang sedang populer di luar negeri, sementara temannya yang bernama Zara lebih suka bermain aplikasi chat, berkenalan dengan banyak orang secara online.
Selesai Ibtisam mencuci mata dengan melihat trend pakaian, giliran Zara yang menguasai komputer. Gadis itu langsung masuk ke aplikasi chat, mendaftar lalu otomatis bergabung ke dalam grup chat. Hanya dalam waktu satu menit sepuluh chat masuk ingin berkenalan. Dan semuanya berasal dari cowok.
“Tuh, liatin tuh, Bi. Kayak gini kalo ke warnet, chattingan, jangan malah ngeliatin baju-baju terus. Siapa tau bisa dapet kenalan cowok ganteng, kan asik.” Zara menjelaskan dengan antusias pada Ibi, nama panggilan Ibtisam.
Ibi hanya senyum dan mengangguk. Dia tidak senekat Zara. Berkenalan dengan cowok lewat aplikasi chat malah menakutkan baginya. Takut ditipu, takut dijebak, ataupun dugaan buruk lainnya. Sebab mama Ibi sering sekali menasehati kalau anak perempuan harus selalu hati-hati jika berkenalan dengan lawan jenis.
“Ya udah, kamu buruan ambil ruangan lain sana, Bi. Join aplikasi chat juga, biar dapat kenalan.” Zara menyarankan sekaligus mengusir Ibi secara halus.
Dengan polosnya Ibi menurut. Dia pindah ke ruangan komputer yang masih kosong lalu kemudian membuka website fashion. Ya, apalagi, hanya itulah yang Ibi sukai di warnet. Tapi lima menit kemudian, Zara datang mengecek.
“Ya ampun, Bi. Kan udah aku bilang jangan ngeliatin ginian terus. Udah ah, sini, biar aku daftarin.” Jemari Zara dengan lihai mendaftarkan Ibi ke aplikasi chat. Hanya dalam waktu dua menit, nama Ibi sudah terdaftar dan masuk ke grup chat di aplikasi.
“Udah tuh, tinggal kamu tungguin aja. Ntar pasti ada yang nge-chat ngajak kenalan.” Zara kemudian meninggalkan Ibi kembali ke bilik komputernya.
Ibi yang sejak tadi diam, sekarang menggerutu.
Ih, dasar Zara! Dia yang hobi kenalan, malah aku yang jadi ikut-ikutan!
Clink! Tiba-tiba sebuah chat dari seseorang bernama Dewa, masuk menyapa Ibi.
“Hai cewek, kenalan donk.” Ibi terkejut. Lalu kemudian dia tersadar dan segera mengganti namanya yang terdaftar disana menjadi nama laki-laki, yakni Samy
Clink! Chat kembali masuk dari orang yang sama.
“Kok namanya diganti? Aku tahu kok kalau kamu cewek. Iya 'kan?”
“Sok tahu!” Ibi menjawab singkat.
“Pasti kamu masih anak sekolahan.” Ibi terkejut kali ini. Bagaimana mungkin orang yang memakai nama Dewa itu tahu kalau dia anak sekolahan.
Ah, dia pasti cuma nebak-nebak.
“Enggak!” Ibi memilih untuk berbohong.
“Kamu kelas berapa?” Dengan santainya orang yang bernama Dewa itu lanjut bertanya. Bukan tanpa sebab dia menebak Ibi sebagai anak sekolahan, sebab hanya anak sekolahan yang labil, suka menggonta ganti nama di aplikasi chat.
“Aku ibu-ibu. Udah punya suami dan dua anak.” Entah dapat ide dari mana tapi Ibi menjawab demikian.
“Oh ya, kapan nikahnya? Kok gak ngundang aku?” tanya Dewa lagi. Dia tidak percaya dengan pengakuan Ibi.
Ih, apaan sih, ni orang?!
“Kita 'kan gak kenal, ngapain aku ngundang kamu?” jawab Ibi polos.
“Ya udah, kalau gitu sekarang kita kenalan, yuk,” ajaknya.
“Gak mau.” Ibi menolak.
“Duh, sombong banget, sih. Dosa loh kayak gitu. Allah benci dengan sifat sombong.” Kalimat Dewa kali ini seperti menampar Ibi. Memang benar yang dia katakan bahwa Allah benci dengan sifat demikian. Tapi ini terjadi bukan karena Ibi memang benar sombong, melainkan dia hanya takut.
Ibi terdiam agak lama untuk berpikir, menimbang-nimbang apakah dia harus menyetujui permintaan Dewa atau tidak, sampai akhirnya chat Dewa masuk lagi.
“Tapi entah kenapa aku yakin, kamu pasti bukan orang sombong. Bener 'kan?” Senyum kecil tersungging di bibir Ibi. Membaca chat itu, ada sedikit celah di hatinya menghilangkan rasa takut terhadap teman online.
“Sok tahu.”
“Itu buktinya chat aku masih terus dibalas. Walau kamu kelihatannya jutek tapi kamu mau peduli. Dan orang yang peduli itu, jelas bukan sombong.” Asumsi Dewa ada benarnya. Sekali lagi Ibi tersenyum kecil. Ketakutannya pun perlahan pudar.
“Ya, terima kasih.”
“Buat apa? Aku 'kan belum kasih kamu apa-apa.”
“Terima kasih karena sudah berkata-kata baik. Karena sejujurnya aku takut berkenalan dengan orang lain lewat cara seperti ini.” Ibi menjawab jujur.
“Jadi kamu mau kita kenalan secara langsung? Aduh, aku belum siap. Malu.”
Ih, siapa yang ngajak?! Kepedean banget, sih!
“Hahaha, enggak kok, aku Cuma becanda. Sekarang terserah kamu maunya gimana. Insya Allah, aku bukan orang jahat kok. Kamu bisa percaya sama aku.” Dewa menambahi chatnya.
“Oke, aku coba untuk percaya.” Pembicaraan Dewa dan Ibi menjadi lebih lunak sekarang. Pelan-pelan Ibi menjawab pertanyaan Dewa lalu kemudian dia menanyakan hal yang sama. Seputar nama dan kegiatan. Sebelumnya Ibi mengira kalau Dewa adalah pelajar sepertinya. Namun ternyata Dewa adalah seorang pekerja. Dia mengaku berkerja di perusahaan listrik negara.
“Jadi kamu jauh lebih tua dari aku donk,” tanya Ibi.
“Iya, tapi ya gak tua-tua banget 'lah.” Dewa menambahkan emoticon senyum di ujung kalimatnya.
“Tiga puluh tahun, ya?” tebak Ibi.
“Waduh, itu sih kejauhan. Hahaha, enggak lah. Aku beneran gak setua itu. Aku masih dua puluhan.” Dewa mengaku walau samar. Sebab dia tidak menyebut pasti usianya.
“Kalau gitu, aku panggil apa nih? Kakak atau Abang?” Ibi sadar posisi. Usianya jauh dibawah Dewa dan secara otomatis dia wajib menghormati lelaki itu.
“Gak usah. Cukup panggil Dewa aja. Biar kelihatan kita seumuran, hahaha.” Tapi Dewa adalah lelaki periang, dia senang bercanda.
“Oke.” Obrolan lewat chat antara Ibi dan Dewa ternyata berlanjut di hari-hari berikutnya.