Waktu terus berlalu pergi meninggalkan aku. Aku yang tak begitu rela dengan waktu yang amat terasa singkat hari ini. Aku ingin hari ini waktu berjalan melambat, karena aku ingin lebih lama lagi berada di sekolah. Memikirkan tentang semua pelajaran, dan bercanda bersama dengan teman-teman adalah cara agar aku nggak memiliki waktu kosong untuk terus bisa mengeja tentang arti mimpiku tadi malam. Tapi semua itu sudah usai untuk hari ini.
Aku teringat pada semua ucapan Tia dan Dewi yang membantah ucapan Asep. Tapi ketika mengingat ucapan Asep, justru membuat aku nggak ingin menganggap sepele tentang mimpi itu. Saat membayangkan gerhana datang, tiba-tiba benda bulat empuk mendarat tepat di kepalaku yang sedang tiarap di atas tempat tidur aku yang tak begitu nyaman. Aku mengejang lalu berbalik badan dengan cepat ke arah pintu, "Yanseeen...!!!" teriakku pada adik laki-lakiku yang masih tetap berdiri di ambang pintu sambil terkikik tanpa ada secuil pun rasa berdosa. Aku mengambil bantal kecil berbentuk bola yang tadi mengenai kepalaku. Dan, shoot...! Aku melempar serangan balasan padanya.
"Wkwkwk..., nggak kenaaak!" ledek Yansen, ia dengan mudahnya mengelak.
"Jangan ganggu kakak, tolong dek...! Orang lagi belajar malah diganggu, iseng banget, sih!" protesku.
"Belajar tapi kok, bengong gitu!" katanya tak percaya jika memang aku sedang belajar, tapi dia benar, aku bukannya belajar tapi bengong alias melamun.
"ASTAGA... YANSEEEN...!!!" teriak aku satu kali lagi dengan lebih kencang namun suaraku tertahan karena tiba-tiba saja merasa ada bobot yang menimpa punggungku. "Yansen, berat tau...!" aku berontak dan hampir tak ada hasil karena adikku Yansen yang berumur enam tahun itu cukup gendut. Kami hanya dua bersaudara, dan Papi meninggal saat Yansen masih berusia tiga tahun. Jadi aku nggak boleh kasar kalau Yansen adik kecilku ini sedikit jahil karena dia hanya sedang cari perhatian saja. Kemudian Yansen turun dan mengambil posisi yang sama tepat di sebelah aku sambil memainkan bantal bolanya yang tadi ia lempar.
"Kenapa sih Kak, kok bengong gitu? pasti kakak lagi galau ya?" tanya Yansen yang sok tau.
"Ah, sok tau kamu dek, kayak ngerti aja galau itu apa-an!" sahutku memprotes pertanyaan tadi.
"Ya ngertilah...! Galau karena putus, kan?" katanya lagi, adik aku ini benar-benar sok tahu, tapi lagi-lagi dia benar, sih.
"Gimana mau putus, pacar aja Kakak nggak punya," balasku lagi.
"Ya berarti ... galau gara-gara jomblo, hayo ngaku!" nah, ini lebih benar lagi tapi apa? galau gara-gara jomblo? iuh... ogah ah!
"Mmm..., kasih tau nggak yaaa...!" aku berbalik badan dan merebahkan kepala di atas bantal. "Kakak memang jomblo ... tapi nggak galau juga kali. PUAS?! sekarang, keluar dari istana ini atau Kakak panggil ibu ratu? Ayo keluar dan belajar!" perintah aku. Aku mendengus kesal lalu duduk karena melihat Yansen berpura-pura tidur. "Oke." Aku mengeluarkan jurus andalan untuk menghadapi adiik kecilku ini. Lalu jariku beraksi untuk menggelitiki Yansen yang langsung menggeliat geli sambil terkikik.
"Ampun, Kak...! Mamiii...!!!" teriaknya.
"Nyerah?"
"Iya," jawabnya lemas.
"Bener...?" tanyaku memastikan.
"Hhh..., iya...!" seru Yansen menjawab.
"Oke. Ke-lu-ar!" peritah aku lagi.
Akhirnya si jahil pun pergi. Lumayan, sedikit menghibur pikiranku yang entah apa. Aku pun kembali konsentrasi belajar. Aku harus bisa dapat nilai yang bagus, sempurna, supaya aku bisa masuk perguruan tinggi UNILA tanpa tes. Kasihan Mami kalau aku sampai masuk Universitas swasta yang pasti akan lebih mahal. Mami aku membuka usaha menjahit dari uang pesangon peninggalan Papi. Jadi, aku tak mau memberatkannya dengan biaya kuliah yang selangit. Aku ingin meraih impian untuk menjadi seorang akuntan. Aku ingin cepat membantu Mami untuk mencari uang.
***
Hari berlalu tanpa jeda, meninggalkan aku yang masih terus berpikir tentang mimpi. Aku pun kembali bertemu dengan teman-teman di sekolah. Astaga! Aku lupa kalau hari ini ada kompetisi basket antara PPB dan SMA 3 atau sebutan kerennya SMANTHREE.
"Aak!" aku memanggil Asep yang baru saja keluar dari gedung olah raga sekolah.
"Hei Ci?" sahut Asep.
"Hari ini ya, kompetisi basketnya?" tanyaku untuk memastikan.
"Iya, jam dua siang nanti. Itu anak-anak cheers lagi pada latihan di dalem," jawab Asep.
"Oke, gue masuk ya!" aku pun beranjak meninggalkan Asep yang sudah memiliki sedikit kumis tipis yang membuatnya terlihat manis.
"Sip!" jawabnya sambil lalu.
Aku lihat dari kejauhan mereka sedang bersantai, duduk-duduk di lantai aula. Tapi ... seperti ada sesuatu yang serius di antara perbincangan mereka.
"Hai guys!" aku menyapa mereka kemudian menarik tas yang ada di punggungku.
"Hey, baru aja diomongin udah nongol...!" seru Tia.
"Ngapain ngomongin gue?" tanyaku curiga.
"Duduk aja dulu!" kata Tina.
"Oke," aku lalu duduk di tengah Tia dan Tina, lalu tersenyum pada tiga anggota cheerleader lainnya anak kelas dua yang sudah menggantikan Mila, Dewi, dan aku. Sementara belum ada yang bisa menggantikan Tina dan Tia. Rencananya nanti akan diadakan audisi untuk menggantikan mereka berdua sebagai anggota cheers, tentunya dikhususkan untuk anak kelas satu saja. Dan aku sendiri mengajukan diri sebagai pelatih sejak aku digantikan. "So ... what?" tanyaku. Aku yakin ini ada hubungannya dengan cheers.
"Umm..., pertandingan basket hari ini, sory banget gue nggak bisa ikut cheers," kata Tia dengan wajah penuh penyesalan.
"Masalahnya, apa?" tuntut aku yang merasa penasaran.
"Tia sakit," sambar Tina yang justru menjawab pertanyaan.
"Sakit? Sakit apa?" tanyaku lagi kali ini khawatir.
"Magh gue kumat, Sy. Kemaren gue ampe muntah-muntah gitu, gila lemes banget, deh! Seharian gue tepar di tempat tidur, ampe sekarang belum bisa makan selain bubur. Gue nggak mungkin bisa total. So, please ... gantiin gue!" kata Tia memohon.
"Iya Sy, lagian kalo yang laen gantiin kapan lagi mereka mau latihan? Kita tampil hari ini. Satu-satunya orang yang bisa gantiin Tia ya, cuma elo! Elo pelatih, otomatis lo udah kenal banget sama semua gerakannya. Kalo si Yeni katanya kakinya lagi terkilir nyusruk di got depan kelas." celoteh Tina menjelaskan.
"Iya oke gue ngerti. Mau gimana lagi, gue nggak bisa nolak," kataku pada akhirnya. Aku pun kemudian berpaling pada Tia, "elo yakin bisa tetap sekolah?" aku masih tetap mengkhawatirkan keadaan Tia.
"It's oke! Gue udah berobat ke dokter. Gue juga bawa obat, kok." Tia memberitahu sambil kemudian menunjukkan beberapa macam obat dari dalam tasnya.
"Bagus deh kalau begitu. Makanya elo jangan suka nahan laper, Tia. Ayo masuk kelas! Entar kalau udah istirahat kita latihan bentar biar kita bisa kompak. Kalian bertiga gimana? Udah pada hapal untuk semua gerakannya, kan?" aku berkata untuk memastikan agar semuanya nanti tetap bisa totalitas dan berjalan dengan lancar.
"Udah dong, kak!" jawab mereka semua termasuk teman aku yang hampir bersamaan.
"Sip! Yuk, cabut!" aku menggandeng lengan Tia. Aku sempat memandang wajahnya yang memang terlihat sedikit pucat. Ini sudah yang kesekian kalinya penyakit magh Tia kambuh. Tapi kali ini dia tetap masuk sekolah.
Terpaksa aku harus menggantikan posisi Tia di tim cheers. Ini demi tim basket sekolah kami. Ini juga menjadi pertandingan basket terakhir untuk anak kelas tiga. Jadi nggak mungkin aku nggak menyemangati mereka semua.
* * *