Sebuah tangan yang putih nan halus menepuk lembut wajah Samsul, kemudian dengan nada menggoda Intana berbicara.
"Kamu selalu hadir di mimpiku Beb ... "
Nafas dari pemilik suara itu tercium bau alkohol yang menyengat, Samsul pun mengernyitkan dahi menciumnya.
Kemudian lengan halus nan gemulai dari wanita cantik itu melingkari lehernya, bibir merahnya yang tipis tersungging sedikit, menampakkan senyum anggun dan menggoda.
Debar jantung Samsul seketika memuncak.
"Ayolah Beb. Aku kesepian ... "
"Kamu sudah gila! Lepaskan aku!"
Samsul menolehkan kepala seraya menghindari serangan dari bibir merah merona wanita masa lalu nya itu. Kemudian dengan suara seraknya Samsul berkata.
"Cukup Intana! Aku tak mau sakit seperti dulu lagi! Menjauh dariku!"
"Apa kamu sudah tidak tertarik lagi padaku?"
"Tidak!"
"Oh. Mungkin kamu bukan pria normal ... "
Perkataan Intana memancing emosi Samsul. Kalimat yang diucapkan Intana merupakan provokasi terang terangan dari Intana.
Samsul menyipitkan matanya, kemudian membalikkan tubuhnya, hingga posisi keduanya bertukar. Samsul diatas, menindih Intana yang berada di bawahnya.
"Aku normal atau tidak! Itu bukan urusanmu!"
Intana yang masih terpengaruh alkohol tidak bisa mendengar jelas perkataan Samsul.
Gegas Samsul keluar dari mobil menghindari gairah Intana yang kian tak terkendalikan.
Wanita itu terlihat menggeliat sendiri di dalam mobilnya. Samsul semakin panik. Tak mungkin ia tinggalkan Intana dengan keadaan yang menyedihkan. Wanita itu sepertinya mabuk berat saat tadi menemuinya. Terlihat dari sikapnya yang tak malu menyatakan cintanya. Walau sudah sekian tahun ia tak pernah bertemu dengan gadis yang dulu telah mengisi hatinya.
Terpaksa Samsul kembali mendekati Intana untuk menyadarkannya.
"Intana! Bangun! Ayo pulang," Samsul masuk ke dalam mobil dan menyambar tubuh yang terkulai lemas itu dengan wajah yang sudah tampak pucat.
"Tidak Beb! Aku tak mau pulang! Biarkan aku sendiri, kalau kamu tak mau menemani aku! Sana pergi!"
Hentakan kaki Intana membuat Samsul hampir saja terjatuh.
Plak!
Sebuah tamparan keras menghantam pipi Intana. Membuat Intana terhenyak seketika dan menangis lirih menenggelamkan wajahnya di d**a Samsul.
"Tampar lagi aku Beb! Aku memang pantas menerimanya ... hiks ... hiks ... " tantang Intana diiringi tangisan lirih.
"Ck, nggak usah ngomong aneh- aneh! Aku antar kamu pulang sekarang juga! Dimana rumah kamu!" Samsul memapah Intana menuju pintu depan mobil.
"Badanmu kecil tapi berat banget!" celetuknya saat memasukkan Intana ke dalam mobil.
Samsul menarik nafas dalam dalam dan membuangnya dengan cepat. Ia lalu menutup pintu mobil belakangnya dan melangkah menuju bagian kemudi. Tanpa pikir panjang, Samsul langsung melajukan mobilnya dan membiarkan Intana berbaring di sisinya.
"Bangun Intana! Dimana rumahmu?" pinta Samsul.
Intana tak menyahut.
"Intana! Katakan! Dimana rumahmu!"
"Aku tak mau pulang!"
"Kamu ini gila, apa? Istriku sebentar lagi kembali! Kunci rumah ada padaku! Bagaimana kalau istriku pulang nanti!"
"Aku tak peduli. Hidupku sudah hancur, aku kesepian. Suamiku jarang di rumah. Aku tak tahan lagi dengan ulahnya, setiap hari dia pulang malam dan tak pernah perhatian padaku ... " ucapnya dengan pandangan kosong lurus ke depan.
Samsul menoleh ke arah Intana sambil menggelengkan kepala perlahan.
"Apa kamu tak bahagia ... "
Seketika itu juga Samsul menghentikan laju mobilnya.
"Hmm ... " Intana berguman sambil memejamkan mata. Air mata mulai menitik di kedua matanya.
"Apa kamu tahu Beb. Jangan pernah biarkan istrimu kesepian, aku bisa merasakan bagaimana sakitnya jika seorang wanita di abaikan begitu saja," ucapnya dengan nada penuh sendu.
Untuk sesaat bibir Samsul terdiam. Mendengar pengakuan Intana. Jauh sebelum nya, ia pernah mengabaikan Mila yang saat itu selalu mengeluh tentang perhatian yang kurang ia berikan.
Ternyata wanita itu semua sama. Selain materi, mereka juga butuh sedikit kasih sayang dan cinta.
Bertemu dengan Intana. Sekilas lalu mengingatkan akan sikapnya dulu. Tiap hari ia kerja lembur pulang malam. Tanpa menyadari perasaan yang di rasakan istrinya.
Kini ia menyadari kesalahannya selama ini. Nafkah batin juga wajib ia penuhi demi harmonisnya hubungan suami istri.
"Kenapa kamu diam?"
Pertanyaan Intana menyadarkan lamunan Samsul.
"Eh ... anu ... itu ... kemana saya harus antar kamu pulang." Samsul menjawabnya gelagapan karena gugup. Intana telah menampar batinnya. Sungguh Samsul merasa bersalah pada Mila, ia tak kenal waktu mencari materi dengan tidak mengindahkan permintaan istrinya kala itu.
Mila sering memintanya untuk memberi sedikit waktu agar bisa menemaninya di sepanjang harinya yang selalu sibuk mengejar harta duniawi.
"Kembali saja ke rumah kamu, kasian istrimu ... " pinta Intana kemudian.
"Tidak! Aku yang akan antar kamu pulang! Aku bisa naik ojek dari sini," tolak Samsul.
"Baiklah."
Intana kemudian menyuruh Samsul untuk melanjutkan perjalannya menuju arah rumahnya.
Tak berapa lama. Mereka berdua sampai di depan rumah besar nan mewah bepagar tinggi menjulang.
"Jadi ini rumahmu?"
"Iya. Mampirlah sebentar, nanti aku buatkan kamu teh hangat kesukaanmu dulu," tawar Intana seraya keluar dari dalam mobilnya untuk bertukar tempat.
Samsul pun turun dari mobil dan berjalan menjauh dari mobil Intana.
"Ayo, masuklah, tak ada siapa-siapa di rumahku. Hanya ada beberapa pelayan, suamiku entah kapan pulang," kata Intana sambil meraih lengan Samsul hendak membawanya memasuki halaman luas ruangan rumahnya.
"Tidak! Lain kali saja, istriku menunggu di rumah."
Dengan cepat Samsul menepis tangan Intana lalu bergegas ingin segera pergi dari sana. Tapi sebelum itu terjadi, Intana memberi kartu nama pada Samsul agar sewaktu waktu Samsul mau menghubunginya.
"Hubungi aku, ya? Jika ada waktu. Kamu sangat setia pada istrimu," ucap Intana sambil menyelipkan kartu namanya ke jemari tangan Samsul.
Samsul menatapnya heran sambil melihat ke arah kartu nama yang di pegangnya.
"Baiklah aku pulang dulu."
Tanpa ada lagi kata yang terucap dari bibir merahnya. Intana memandangi Samsul sampai lelaki itu menghilang dari pandangannya.
Tepat di jalan raya besar. Samsul segera mencari ojek untuk pulang. Rumah Intana ternyata tak jauh dari tempatnya bekerja. Hanya satu jam dari rumahnya.
Kartu yang di pegangnya sejak tadi. Ia masukkan ke dalam dompetnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Samsul sampai juga di depan rumahnya. Rasa lapar yang tadi menyerangnya hilang seketika saat tidak sengaja ia bertemu Intana.
Wanita itu masih cantik seperti dulu.
Dan adegan yang hampir membuatnya berdosa pada Mila. Beruntung ia bisa menghindarinya. Hasrat menggelora Intana untuk sesaat membuat ia terlena. Tapi Samsul dapat mengatasinya, karena ia ingin jadi lelaki setia untuk istrinya.
Rumah masih sepi. Sepertinya Mila belum juga tiba dari pasar.
Kemana Mila. Ke pasar lama sekali, memangnya apa saja yang mau di belinya, sampai jam segini istrinya belum juga datang. Samsul berguman.