4. Es Buah Pak Ucup

2238 Kata
"Parah laku keras lo Kris!" Rara berseloroh heboh seraya menumpuk coklat-coklat dalam berbagai bentuk ke dalam kantung kertas. "sebanyak ini lumayan bisa dapet untung banyak gue." Ia terlihat senang dengan menghitung kira-kira uang yang akan ia dapat saat berhasil menjual semua coklat-coklat itu nanti. Coklat-coklat itu adalah hadiah valentine untuk Kristi dari beberapa cowok-cowok baik dari Kakak kelas, teman beda kelas, adik kelas, hingga anak sekolah sebelah. Coklat-coklat yang Kristi dapat dikumpulkan oleh Rara ke dalam kantung kertas yang sudah gadis itu persiapkan, setelah disusun rapi semua coklat-coklat itu muat dalam satu kantung kertas ukuran sedang. Kristi suka coklat tapi, kalau mendapat sebanyak itu Kristi jadi eneg. Alhasil ia memberikan semuanya pada Rara untuk dijual kembali oleh gadis itu dan hasil uangnya Rara bilang akan mentraktir Kristi makanan dan untuk usaha salon kukunya nanti. Kristi sebenarnya tak sadar kalau hari ini hari valentine. Yang Kristi tahu hari ini adalah hari selasa dan akan ada kuis matematika. Pantas saja sejak pagi-pagi sekali, ke dua orang tua Kristi sudah sibuk di dapur toko dan sampai tak sempat melihat Kristi pergi sekolah seorang diri, tidak dengan Amal. Biasanya di hari spesial ini, toko Olana's Bakery akan membuat roti spesial dan beberapa cookies coklat berbentuk hati. Limited edition, hanya dijual khusus untuk valentine. Kristi jadi tak sabar ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan mencicipi satu keping cookies. Setidaknya cookies tak akan membuatnya eneg. Jam pulang sekolah sekitar satu setengah jam lagi. Masih lama. Kelas Kristi sedang tak ada guru. Guru yang harusnya mengajar hari ini sedang cuti melahirkan, tak ada guru pengganti. Katanya sih, karena kelas Kristi termasuk kelas unggulan jadi Kepala Sekolah tak perlu mencarikan guru pengganti, sebab seisi kelas bisa belajar sendiri. Namun nyatanya tidak, teman sekelas Kristi memang tidak heboh membuat keributan seperti kelas Amal, tapi tak ada satupun yang belajar. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Seperti bermain game, mengobrol, menghias kuku dengan Rara yang menjadi tutornya dan ada juga yang sedang asik nonton drama Korea. Kalau Kristi sih sekarang lagi sibuk menjalin rambut Dina. Katanya, Dina ingin seperti Rapunzel berambut hitam. Karena Kristi memang pandai dalam hal menjalin rambut, Kristi menawarkan diri untuk melakukannya. Mereka jadi dekat setelah kehebohan yang terpaksa Kristi lakukan tadi pagi. Rambut Dina ini jenisnya kasar dan tebal, jenis rambut yang bagus untuk dijalin.. Kristi memulai perlahan, menyisir rambut Dina dengan sisir yang Dina bawa sendiri. Lalu mengambil sejumput rambut dari sisi kiri dan kanan, kemudian mulai menyilangkannya dan sesi menjalin rambut resmi dilakukan. Karena Dina duduk di dekat pintu kelas, otomatis Kristi yang duduk di meja belakang Dina bisa melihat halaman depan kelas mereka yang lengang. Kelas Kristi terletak di ujung koridor yang bisa menjadi jalan pintas menuju parkiran motor dan wc sekolah. Pohon palem yang di tanam di taman depan kelas sudah tumbuh hampir setinggi langit-langit. Cukup untuk membuat seseorang berlindung di sana dan tak akan terlihat oleh penjaga piket yang letaknya sejajar dengan pohon palem dengan jarak beberapa ratus meter. Kristi merasa bangga pada ketua kelas yang memberi ide untuk menanam pohon palem di sana. Jadi, sebagian besar aktivitas dalam kelas yang biasanya bisa dilihat lewat jendela dari meja piket, sekarang sudah tak bisa lagi. Kristi kembali fokus menjalin rambut Dina setelah melirik pohon palem di luar kelas. Sudah setengah jalan, hampir selesai. "Ikat rambut lo mana." Kristi mengulurkan tangan ke depan meminta ikat rambut pada Dina. Dina lalu memberikannya dan bercermin. Kristi selesai dengan mengikat kuat ujung jalinan rambut Dina. Ia lalu merapikan sedikit anak rambut yang mencuat keluar, dan selesai. "Lo udah ngerasa jadi Rapunzel rambut hitam gak?" Dina tertawa geli. "Gak cocok gue jadi Rapunzel yang kulitnya putih bercahaya dan rambut pirang, kalau diliat-liat gue lebih cocok jadi Mulan gak sih?" Kristi memandang Dina sebentar dan berpikir. Mulan yang merupakan tokoh Disney dalam film Mulan memang tak memiliki kulit seputih Rapunzel, tapi ia tangguh dan cantik. Kristi membayangkan wajah Mulan dengan rambut dijalin seperti rambut Dina sebelum tertawa dan mengangguk setuju. "Iya, lo lebih mirip Mulan." "Kristi!" Kristi terkejut dan menoleh cepat ke samping yang sialnya malah membuat ia menyakiti lehernya sendiri. Amal yang tadi menyapa Kristi segera mendekat dan menuntun Kristi untuk duduk di teras depan kelas. "Sorry." Amal terdengar menyesal seraya memijat leher Kristi yang masih menegang. Kristi tertawa kecil. Meringis sedikit dan sudah baik-baik saja berkat pijatan tangan Amal di lehernya. Dalam beberapa waktu Kristi memang sering mengalaminya, kadang di bagian sendi lain. Namun itu hanya sesaat, kata dokter sih karena penyakit bawaan orang tuanya. "Udah gak papa, kok." Kristi menurunkan tangan Amal dari lehernya. "lo ngapain ke kelas gue? Lagi gak ada guru ya." Amal menggeleng. "Lagi bahas Sosiologi sih, cuma gue ngantuk udah gak fokus lagi sama pelajaran. Makanya keluar." Amal lalu mengulurkan teh kotak dan mengulurkannya pada Kristi. "Makasih. Lo tau aja gue lagi eneg sama coklat." Kristi menerimanya dengan senang hati. Meskipun di beberapa kesempatan Amal sering memberinya susuu kotak rasa coklat karena Kristi suka coklat, tapi kali ini beda. "Lo pasti banyak dapet coklat ya?" Amal menebak. Kristi mengangguk dengan wajah memelas. "Iya. Eneg gue liatnya." "Untung gue gak beli ssuussuu kotak rasa coklat." "Iya, untung banget." Kristi menyedot habis teh kotaknya dan meremas kemasan kotak itu lalu melemparnya ke tempat sampaah terdekat. "Lo ke sini cuma mau ngasih ini aja?" "Ck. Lo kayak enggak suka banget gue ke sini. " Kristi terkekeh geli. "Enggak gitu Amal." "Gue mau minta maaf soal kemaren yang ngebentak lo di mobil. Maaf ya Kris." Amal menatap lekat Kristi, benar-benar terlihat tulus. Kristi pun luluh. Ia mengangguk pelan. Telah lupa kesedihannya kemarin setelah dibentak Amal. "Iya gak papa." "Kalau gitu nanti pulang bareng gue ya?" "Iya Amal." Amal tersenyum senang. Akhirnya ia tersenyum setelah seharian ini berwajah datar yang seolah ingin menerkam siapa saja yang mengganggunya. "Kalau gitu nanti pulang sekolah kita ke es buah Pak Ucup, gue yang traktir." "Beneran?" "Beneran dong!" "Yeay!!! Amal baik deh." ** "Kalau gini ceritanya gue gak bisa nolong lo bro." Fakhri berkata sungguh-sungguh kali ini. Namun, Amal masih tak percaya dan keukeuh meminta alasan yang bagus dari Fakhri. "Gue saranin nih ya, lo ngomong jujur sama Kristi. Gak ada rugi juga kan. Lagian lo putus sama Nadia di zaman cinta monyet, gak bakal pengaruh banyak. Yakin sama gue!" Fakhri menepuk pundak Amal dua kali. Di depan pintu kelas, mereka berpisah. Fakhri sudah ditunggui seorang gadis yang merupakan adik kelas yang memberikan sekotak coklat untuk Fakhri tadi pagi. Lihatlah mereka sekarang sudah akrab. Amal tak akan kaget kalau esok pagi berita tentang Fakhri dan pacar barunya akan tersebar seantaro sekolah. Amal tak habis pikir, kenapa temannya itu seakan sedang mengoleksi gadis-gadis satu sekolah untuk masuk ke dalam rentetan nama yang pernah dipacarinya. Paling lama Fakhri berpacaran dengan adik kelas itu hanya satu minggu, kalau beruntung bisa jadi dua minggu, kalau sedang sial palingsn cuma tiga hari. Berteman selama dua tahun dengan Fakhri, Amal jadi hapal kebiasan cowok itu yang tidak pernah bertahan lama untuk menjalin hubungan. Di depan kelas Kristi yang masih berlangsung pembelajaran, Amal bersandar pada dinding kelas sembari menatap lurus ke depan, menunggui Kristi. Amal yang terkenal punya wajah datar dan tampan serta cool banyak dikagumi diam-diam oleh para siswi perempuan baik adik kelas, kakak kelas ataupun yang beda kelas. Tak kalah dengan Fakhri memang, Amal juga populer. Dia merupakan anak klub sepak bola. Terlebih dengan sikapnya yang cool dan terkesan misterius membuat banyak dari siswi perempuan semakin menyukainya. Amal tak banyak bicara, tak peduli dengan sekitarnya beda dengan Fakhri yang ramah kepada semua orang. Amal tak begitu. Kalau tidak bicara dengan Fakhri atau teman sekelasnya dan teman klub sepak bolanya, Amal hanya akan bicara dengan Kristi. Makanya banyak yang iri dengan Kristi karna hal itu. Hanya saja, tak ada yang berani melakukan hal ekstream seperti pembulyan pada Kristi sebab selagi masih ada Amal tak akan ada yang berani mencelakai Kristi. Koridor kelas Kristi yang merupakan jalan pintas membuat beberapa siswa hilir mudik di depan Amal yang masih setia menunggui Kristi. Salah satunya adalah adik kelas yang memberi coklat pada Amal tadi pagi. Agaknya gadis itu hendak ke parkiran sekolah. Amal acuh saja saat gadis itu lewat. Tak peduli hanya menatap lurus ke depan. Namun sepertinya gadis itu punya nyali yang lebih. Ia berhenti di depan Amal dan menyapa Amal dengan senyum lebar. "Halo Kak Amal." Amal mengernyit. Terlihat terganggu dengan kehadiran gadis itu. "Hmm Kakak lagi ngapain di sini?" "Bukan urusan lo." Amal menjawab dingin. Gadis itu meringis pelan. Ucapan Amal membuatnya sedikit terluka. Bersamaan dengan itu kelas Kristi sudah selesai. Guru yang mengajar keluar lebih dulu disusul seisi kelas. Amal langsung siap siaga berdiri di sisi pintu. Adik kelas tadi menepi sedikit membiarkan teman sekelas Kristi lewat. Tak lama Kristi keluar kelas bersama Rara. "Eh cieee udah ditungguin." Rara berseloroh saat mendapati Amal lebih dulu yang berdiri di depan kelas. "kalau gitu gue gue duluan ya." Kemudian ia berlalu pergi sembari melambaikan tangan. Kristi balas melambai sembari tersenyum. "Yuk pulang!" ajak Amal segera dengan nada suara tak sedatar biasanya. Adik kelas yang masih berdiri di sisi koridor melihat semuanya. Ia menatap punggung ke duanya yang berjalan menjauh. Dengan tatapan iri pada Kristi dan tatapan sendu pada Amal. Namun sedetik kemudian ia berusaha tersenyum seraya mengusap d**a. Menyabarkan diri. "Gue pasti bisa!" serunya pelan dengan tangan terkepal. ** Gerobak es buah Pak Ucup ramai diserbu pembeli. Siang ini matahari sedang terik-teriknya. Cuaca panas yang membuat keringat mengucur deras memang cocok dengan makan es buah. Kristi menunggu Amal di dekat sepeda cowok itu yang diparkir di atas trotoar di bawah pohon Akasia. Sembari menunggu Kristi memerhatikan gedung samping sekolahnya. Gerobak es buah Pak Ucup memang sering mangkal di samping sekolah. Sekolah Kristi memiliki banyak gedung bertingkat. Yang baru dibangun tahun lalu adalah gedung olahraga indoor. Terdiri dari dua lantai, dengan luas bangunan hampir sama panjang dengan pagar samping sekolah. Kristi tak tahu berapa meter tepatnya, tapi gedung itu memang cukup panjang. Di lantai satu terdapat dua kolam renang besar. Lalu di lantai dua ada lapangan basket, lapangan voli, dan lapangan takraw. Terkadang yang ingin main futsal juga bisa, mereka akan membuka net sebelum bermain. Selagi melihat-lihat gedung sekolahnya. Seseorang datang dari arah berlawanan menuju ke tempat Kristi berdiri. "Halo Kristi!" Sapaan itu membuat Kristi menutup mulut yang menganga karna terkejut. Yang menyapanya adalah Kakak kelas yang selama ini Kristi idolakan. Namanya Fikri, dia ketua tim basket sekolah. Tubuhnya tinggi tegap, dengan senyum yang tak pernah luntur dari wajahnya membuat Kristi berpikir, bagaimana bisa ada makhluk ciptaan Tuhan dengan senyum semanis ini. "Lagi ngapain di sini sendirian?" "Emm lagi nunggu Amal beli es buah Kak." Kristi menjawab kalem. Ia menempatkan ke dua tangannya yang saling menggenggam di belakang tubuhnya sembari tersenyum manis pada Fikri. Fikri melirik sekilas pada gerobak Pak Ucup dan menemukan Amal yang sedang mengantri. "Kenapa gak nunggu di sana aja?" "Panas Kak. Rame juga. Mending di sini adem." Kristi mesem-mesem sendiri. "Iya sih di sini adem." Setelah bicara seperti itu, Fikri melihat ke gedung olahraga indoor. "Kakak mau ke gedung olahraga ya?" "Iya. Mau latihan." "Oh gitu..." "Hmm. Kalau gitu Kakak duluan ya." Fikri tertawa canggung sembari melambai meninggalkan Kristi sendiri. Cowok itu melangkah cepat dan sudah menghilang di balik gedung olahraga. Kristi yang masih berdiri di tempat yang sama, tersenyum-senyum penuh bahagia. Rasanya disapa dan mengobrol dengan seseorang yang disuka benar-benar luar biasa. "Eh kesurupan penunggu pohon lo ya, senyum-senyum sendiri!" Amal menyergah. Ia datang dengan dua mangkuk es buah. "Gue abis disapa Kak Fikri." Kristi senyum-senyum lagi. "Dih lebay." Amal berdecak, mengejek. "nih pegang dulu. Gue mau nyari kursi." Kristi mengambil alih dua mangkuk es buah dari tangan Amal. Tak lama Amal datang dengan dua kursi plastik. Mereka berdua lalu duduk dan mulai makan es buah dengan khidmat. "Minggu depan lo tanding ya Mal?" Kristi membuka pembicaraan. "Iya. Lawan sekolah sebelah. Biasa tanding persahabatan." "Oh gitu." Kristi mangut-mangut. "Lo dateng ya." Amal bicara dengan nada datar andalannya. Namun, Kristi tahu kalau sebenarnya cowok itu berharap ia datang dan memberi semangat. "Kayaknya gak bisa deh Mal. Lo kan tau gue harus belanja buat toko." "Yahhh. Kan malemnya bisa Kris. Gue yang temenin deh." Tuh kan. Amal benar berharap Kristi datang. "Kalau malem lo pasti capek. Gak usah, gue juga udah janji mau pergi bareng Rara." "Yakin lo?" "Yakin." "Oke deh." "Lo mau gue masakin apa minggu ini?" Kristi mengalihkan topik. Seperti biasa, jadwal akhir pekan mereka. Kristi akan mencoba menu baru dan memasak sesuatu untuk Amal. "Liat nanti deh Kris. Soalnya kalau menang kita bakal ditraktir sama pelatih. Kalau kalah ya gue bisa pulang cepet." "Gue gak tau harus doain lo menang atau kalah." Amal tertawa. Hal yang paling jarang ia lakukan. Namun, menjadi yang paling sering ketika sedang bersama Kristi. "Kok ketawa sih." "Lo lucu." Amal masih dengan sisa tawanya mengusak rambut Kristi. "Masih ada hari minggu lainnya kan? Lo masih bisa masakin gue nanti." "Eh iya ya... Hehe. Pokoknya buat minggu depan, lo harus semangat, harus menang pokoknya biar bisa ditraktir pelatih lo yang galak itu." "Siang Pak!" Tiba-tiba Amal berdiri. Bersikap sempurna dan menghadap ke sebrang jalan. Ternyata pelatih sepak bola Amal berada di sana. Entah sedang apa bapak pelatih itu di sana. Kristi terkejut dan tengsin. Semoga bapak pelatih itu tak mendengar ucapannya tadi. Bapak pelatih itu menganggukkan kepala ke arah Amal. Lalu menatap Kristi setelahnya. Kristi hanya mampu menundukkan kepala. Ia takut melihat wajah galak bapak pelatih itu. "Udah pergi Mal?" "Udah. Jangan nunduk terus." Kristi mendongak lagi. Menatap Amal yang tertawa. Agaknya cowok itu menyimpan semua tawa yang ia punya hanya untuk didengar oleh Kristi saja. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN