bc

My Captain Till Jannah

book_age12+
1.2K
FOLLOW
6.5K
READ
others
fated
drama
comedy
sweet
humorous
lighthearted
first love
spiritual
sacrifice
like
intro-logo
Blurb

Azifa Azkayra Nabila, perempuan berusia 20 tahun itu hendak dijodohkan oleh orangtuanya dengan anak sahabatnya. Saat itu Azifa benar-benar bingung harus bagaimana. Satu sisi ia belum siap jika harus segera menikah. Tapi disisi yang lain ia juga tidak mau mengecewakan keluarganya.

Tapi ternyata perjodohan ini bukan jalan takdir hidup Azifa. Keesokannya ia mendapatkan kabar bahwa seseorang yang akan dijodohkan dengannya terlibat kecelakaan dan akhirnya meninggal dunia. Maka perjodohan ini otomatis tidak bisa dilanjutkan.

Tak lama kemudian datang lelaki bernama Muhammad Azril Al-Ghifari, dia adalah seorang pilot. Berawal dari kedatangannya pertama kali ke rumah Azifa. Tiba-tiba ia berniat untuk meminang Azifa. Ayah Azifa yang waktu itu memang sangat menginginkan menantu seorang pilot akhirnya meminta Azril untuk datang kembali besoknya jika memang seirius ingin menjadi menantunya.

Sesuai dengan rencana, Azril benar-benar datang membawa keluarganya. Akhirnya dengan izin Allah dan restu orang tua, Azifa menerima lamaran Azril. Dengan ini Azifa juga ingin membahagiakan kedua orangtuanya. Karena kedua orang tuanya akan merasa tenang jika putri mereka segera menikah.

chap-preview
Free preview
Azifa Azkayra Nabila
Suasana pagi ini sangat sejuk, ditemani dengan gemercik suara hujan dan kicauan burung-burung membuat siapapun yang masih terlelap rasanya sangat enggan untuk segera mengakhiri tidur. Udara kali ini benar-benar membuat mata enggan untuk terbuka. Tapi jika dibiarkan, maka para syaitan akan tertawa kegirangan dengan anak-anak manusia yang masih saja bermalas-malasan. Bukannya pagi adalah waktu yang baik untuk memulai hari ini? Begitupun dengan Azifa, gadis 20 tahun itu masih terlelap dalam tidurnya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi, harusnya ia sudah mulai membantu bundanya untuk menyiapkan sarapan. Sebagai seorang anak yang lebih titisan bundanya, Azifa termasuk yang jago dalam hal memasak, persis seperti bunda. Kelambu jendela Azifa sedikit terbuka oleh angin, hingga cahaya matahari mulai masuk menyelinap dari celah itu. Azifa mengernyitkan matanya karena silau, sembari menggosok-gosok mata ia mulai berusaha mengumpulkan sebagian nyawanya yang belum pulih. Kemudian ia bangun dan duduk di tepian kasur. "Astaghfirullahal 'adzim, ini udah jam berapa." Ia segera bangkit dari duduknya dan bergegas menuju kamar mandi. 10 menit berlalu akhirnya Azifa keluar dari kamar mandi. Ia memperhatikan sekelilingnya, mencoba menemukan sesuatu tapi hasilnya nihil. Ia berjalan ke arah nakas dan mengambil handphone, kemudian melihat lookscreen. "Alhamdulillah, ternyata hari ini hari Minggu. Pantesan bunda ga bangunin," Azifa bernafas lega. Jika bukan hari Minggu, pasti bundanya akan membangunkan. Karena Azifa harus datang ke tempat ia mengajar. Ya, setelah lulus SMA Azifa tidak melanjutkan kuliah. Tapi ia melanjutkan ke salah satu pondok Tahfiz Qur'an sembari belajar bahasa Arab. Setahun berlalu Azifa selesai menghafalkan Al-Qur'an dan telah di wisuda. Hingga oleh pihak pondok di rekomendasikan untuk menjadi pengajar di salah satu lembaga pembelajaran Al-Qur'an dan Bahasa Arab. Setelah itu ia mengambil khimar di lemarinya dan bergegas menuju dapur. Sesampainya di dapur, ia tidak melihat ada tanda-tanda kehidupan disana. Bunda yang biasanya memasak, ayah yang biasanya di meja makan, dan adik yang biasanya tertidur di sofa, semuanya tidak ada. Suasana dapur benar-benar sangat sepi. Azifa mengernyitkan dahinya, berusaha mengingat sesuatu. Sembari mengingat, ia berjalan ke arah ruang keluarga. Akhirnya, Azifa mengingat sesuatu. "Oh iya, semalem kan Ayah bilang pagi ini mau jalan-jalan keliling komplek,"sembari menempelkan lima jari ke dahinya. "Aduh, Azifa kebiasaan hari minggu bukannya bangun pagi buat olahraga. Tapi kenapa malah enak-enakan tidur," ia merutuki dirinya sendiri. Daripada terus merutuki dirinya sendiri, Azifa memilih kembali ke dalam kamar. Melihat kasur yang masih berantakan itu membuatnya ingin kembali merebahkan tubuhnya disana. Perlahan ia mulai melangkah, saat sampai di tepi kasur ia meloncat karena kaget. "Astaghfirullah," seru Azifa. "Ih, dasar cicak. Ngangetin aja," gerutunya kesal. "Kayaknya ini pertanda kalau aku nggak boleh tidur lagi." Dengan demikian Azifa bertekad untuk tidak tidur lagi. Ia memilih untuk merapikan kamarnya yang sudah seperti kapal pecah. Mulai dari menata kasur dan menghempaskan debu-debu disana. Kemudian beralih membersihkan meja belajar dan meja riasnya. Ah, sebenarnya Azifa bukan perempuan yang suka berdandan, di meja riasnya saja hanya ada beberapa rangkaian basic skincare yang sudah ia geluti sejak SMA. Setengah jam berlalu, kamarnya sudah jauh lebih baik. Azifa bernapas lega, ia beralih mengganti pengharum kamarnya yang sudah kering. Pantas saja sejak kemarin kamarnya tidak memiliki aroma apapun, ternyata pengharumnya sudah kering keronta. Untung saja bunda selalu menyetok kira-kira cukup untuk satu bulan, jadi Azifa tidak perlu bolak-balik membeli setiap habis. Sambil menunggu keluarganya pulang, Azifa berinisiatif untuk memasak di dapur. Ia memang suka memasak dan sudah terbiasa sejak kecil. Alhasil sekarang kemahiran Azifa memasak sudah seperti bundanya. Azifa mulai menyiapkan bahan-bahannya, satu persatu bahan ia keluarkan dari kulkas. Karena persediaan bahan makanan yang sedikit, hanya tinggal udang dan sayur akhirnya Azifa memutuskan untuk memasak nasi goreng udang. Dalam keluarganya, sayur adalah hal wajib yang dikonsumsi setiap hari. Jadi apapun makannya, sayur tak pernah luput. Dengan lihainya Azifa memasak, mulai dari menyiapkan perlengkapan, memotong sayur, membersihkan udang, hingga menumis bumbu. Step terakhir yang membuatnya sangat lega adalah menyajikan hasil masakannya di atas piring. Jika sedang memasak seperti ini, Azifa berlagak sebagai seorang cafe. Berbicara sendiri hingga memuji hasil masakannya sendiri. Tapi anehnya dia tak bercita-cita menjadi seorang koki. Ia bernapas lega, ternyata masakannya lebih dulu selesai sebelum keluarganya pulang. Jadi, ayah bunda dan adiknya bisa langsung menikmati bersama-sama. Jangan lupa, Azifa juga selalu menunggu pujian dari keluarganya. Bukan untuk menyombongkan diri, hanya saja ia perlu diapresiasi. Dengan begitu semangat memasaknya semakin membara, dan bunda pun akan jauh lebih santai jika ada Azifa yang menghandle permasakan. Azifa duduk di ruang tamu untuk menunggu kedatangan ayah, bunda, dan adiknya. Cukup lama menunggu tapi mereka tak kunjung pulang. Akhirnya Azifa memutuskan untuk bersih-bersih rumah, setelah itu baru ia mandi. Menurutnya lebih baik begitu, sekali capek, sekali gerah kemudian mandi. Setelah selesai mandi, Azifa menengok dari jendela kamarnya. Kebetulan kamarnya ada di lantai dua, jadi ia bisa melihat halaman rumahnya dengan leluasa. Tiba-tiba ia melihat adiknya hendak berlari menuju rumah. Buru-buru Azifa turun, karena pintunya juga masih ia kunci. "Kakakkk." Teriak adik sambil melambaikan tangan ke arahnya. "Bunda mana dek?" "Bunda lewat pintu belakang kak, soalnya tadi masih mampir ke rumah Tante Alya," dengan nada ngos-ngosan. Azifa menyuruh adiknya untuk mencuci tangan dan kaki terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, anak kecil pasti banyak tingkah diluar sana. Jadi debu-debu banyak menempel. Kemudian mereka masuk bersamaan. Azifa menuju ke dapur, ternyata disana sudah ada ayah dan bunda. Tapi tunggu, Azifa menemukan keanehan pada kedua orangtuanya. Mereka menatap Azifa sambil tersenyum. Gadis itu salah tingkah, tidak seperti biasanya ayah dan bunda menatapnya seperti itu. "Ini kamu yang masak?" Tanya bunda. "Iya bunda sayang, masa iya pesen lewat gojek," ujar Azifa terkekeh. "Yah, Azifa ini udah pinter banget ya, mandiri pula. Ditinggal sendirian di rumah aja sudah selesai masak dan beres-beres rumah," puji bunda membuat yang dituju tersenyum kegirangan. "Iya dong bun, anak siapa dulu," ujar ayah. "Anak kita dong," balas bunda. "Zif, bunda sama ayah mau ngomong penting sama kamu. Tapi kita sarapan dulu ya. Nanti keburu nasi gorengnya  dingin," timpal ayah sebelum Azifa membalas ucapan bunda. "Ada apa yah bun, kok pada senyum-senyum gitu. Oh aku tau, jangan-jangan ayah sama bunda mau kasih aku kejutan yaa," Azifa menampilkan raut wajah cerianya. Bunda dan ayah hanya menanggapi dengan senyuman. Mereka kembali melanjutkan makannya. Membiarkan Azifa berekspektasi sesuai dengan imajinasinya. Terlihat jelas ia senyum-senyum sendiri sambil makan. "Ayah, bunda. Ada apa sih?" Azifa sudah kelewat penasaran. "Ngga papa nak. Tunggu aja ya nanti," ujar ayah. "Bundaa, Azhar mau makan," ujar Azhar, adik Azifa yang masih berusia 5 tahun. "Yaudah sini," titah bunda. "Mau makan sama kakak aja bunda," rengek Azhar. "Iya boleh," ujar bunda. Azifa sudah menunggu di ruang keluarga, jujur perasaannya semakin lama semakin tak karuan. Bahagia, sedih, dan takut semuanya campur aduk. Pasalnya ayah dan bundanya tak pernah mengajaknya berbicara seserius ini. "Ayah, bunda, ayo katanya mau bicara," ujar Azifa sambil mengetuk-ngetuk meja. Tok..tok..tok.. "Assalamualaikum" Terdengar suara salam dari depan, bukannya membukakan Azifa malah lari mencari bundanya. "Bunda, bunda, ada tamu," ujarnya pada bunda yang baru turun dari lantai dua. "Oh tamu, yaudah siapkan minuman ya nak," bunda tampak tersenyum. Azifa heran dengan sikap bundanya, akhir-akhir ini jadi sering tersenyum. Tak ingin memperpanjang masalah, ia buru-buru ke dapur. Jika tidak bunda akan mengomelinya karena tidak bersegera menyajikan minuman untuk tamu. Beberapa menit kemudian Azifa sudah selesai membuat sirup, perlahan ia mulai beranjak menuju ruang tamu. Tapi baru sampai di ruang keluarga, ia sudah mendengar suara ayah dan bunda yang sedang asyik berbincang-bincang dengan tamu. Sepertinya mereka sudah kenal dekat, hal ini sudah tampak dari mereka yang sudah sangat akrab. "Permisi," ujar Azifa saat sudah memasuki ruang tamu. "Oh iya, kenalin ini putri kami. Azifa salim sama tante ya," titah bunda. Azifa mengangguk kemudian bersalaman pada tante berhijab di depan bundanya itu. "MasyaAllah cantik ya putri kalian." "Alhamdulillah, soalnya dia perempuan," semuanya terkekeh. Azifa hendak beranjak masuk, tapi tiba-tiba tangannya ditahan oleh bunda. Bunda menyuruhnya untuk duduk di samping ayah. Awalnya Azifa mengisyaratkan penolakan, karena sejujurnya ia malu. Tapi karena tatapan bunda yang agak aneh, Azifa terpaksa duduk. "Azifa, kenalin. Ini Om Adi dan Tante Intan, sahabat sekaligus rekan kerja ayah," ayah memperkenalkan kedua tamu itu. "Salam kenal om, tante, saya Azifa," ujar Azifa malu-malu. "Salam kenal juga Azifa. Om sama tante seneng banget bisa ketemu kamu," balas Om Adi. "Iya nih, apalagi sudah hafal Al-Qur'an, idaman banget kamu nak," puji Tante Intan. "Alhamdulillah om, tante. Semuanya juga karena Allah dan doa ayah bunda." "Mohon do'anya ya, semoga hafalan Azifa bisa terjaga dengan baik." "Aamiin," semuanya serempak. Setelah itu mereka kembali berbincang-bincang sampai pada hal yang sama sekali tidak Azifa mengerti. Rasanya ia ingin segera beranjak dari tempat ini, namun tidak enak juga jika tiba-tiba pergi. Akhirnya Azifa memilih tetap tinggal, sambil sesekali ikut tersenyum jika dibutuhkan. "Azifa, temenin Azhar di belakang ya nak," titah bunda. "Iya bunda. Yaudah om, tante, Azifa permisi," pamit Azifa. "Iya silahkan, terimakasih tadi sudah ikut ngobrol." "Sama-sama tante," Azifa tersenyum kemudian beranjak masuk. Azifa beranjak menuju taman belakang, tapi Azhar tidak ditemukan disana. Ah, Azhar selalu membuatnya bingung. Azifa mencoba mencari di dapur, hasilnya juga nihil. Tapi samar-samar ia bisa mendengar suara teriakan adiknya itu dari lantai atas. Buru-buru Azifa mengerahkan seluruh tenaganya untuk naik. "Azhar," teriak Azifa dari tangga. "Kak, ayo main perang-perangan." Azhar menyodorkan pistol mainan pada kakaknya. "Aduh Azhar, kakak capek. Gimana kalau kita main tidur-tiduran aja." "Mana ada main tidur-tiduran, Kak Zipa aneh," ujar Azhar. "Kak Ariq, Azhar kangen. Kak Zifa nggak seru," rengek Azhar. "Yaudah, tungguin aja sampe kakak kamu itu pulang. Paling juga bulan depan," ujar Azifa. "Kak kenapa Kak Ariq nggak pulang-pulang ya. Apa Kak Ariq benci sama kita?" Pertanyaan Azhar membuat Azifa tertawa. "Nauzubillahi min dzalik." Azifa mengelus dadanya. "Bukan gitu Azhar sayang. Kak Ariq itu kan tentara, jadi dia harus tinggal di Bandung dulu," Azifa mencoba menjelaskan. "Tentara tembak-tembak ya kak. Kak Ariq keren, kalau Kak Zifa cemen. Pegang pistol mainan aja udah takut," ejek Azhar. "Sabar Azifa sabar." Azifa mengelus dadanya. "Yaudah, ayo main tembak-tembakan," ujar Azifa malas. "Asyiikk," Azhar loncat-loncat kegirangan. Sebenarnya Azifa tak berselera dengan permainan ini, kadang ia berpikir kenapa adiknya tidak perempuan saja, supaya ia bisa mengajak adiknya bermain masak-masakan. Apalagi sejak Kak Ariq merantau dia lah yang menjadi sasaran utama adiknya. Setelah cukup lelah bermain perang-perangan, Azhar meminta dibuatkan s**u. Tanpa banyak basa-basi Azifa segera mengabulkan keinginan adiknya, baru setelah itu ia bisa bernapas lega. "Kak, Azhar ngantuk." "Yaudah bobo aja sana," Azifa kegirangan. "Dadah kakak," Azhar berpamitan sebelum masuk kamarnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook