bc

Pathetic

book_age12+
687
FOLLOW
3.9K
READ
family
manipulative
sensitive
student
drama
sweet
straight
illness
school
tortured
like
intro-logo
Blurb

Banyak orang yang mengatakan hidup Ibran menyedihkan, tetapi selama ini Ibran tahu kalau ia hidup bukan dari perkataan orang lain.

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Alangkah indahnya, jika malam ini bisa Ibran habiskan bersama seseorang di meja makan. Namun, sama seperti hari lain, ia duduk seorang diri dengan makanan seadanya. Ia tidak tahu kapan pemuda pertengahan kepala dua yang menyandang status sebagai omnya itu akan pulang. Sudah hampir jam sembilan, tetapi manusia itu belum menunjukkan keberadaannya. Kalau sudah begini, alamat Anta––om Ibran––akan pulang dengan keadaan mabuk. Ibran menghela napas lelah. Kantuk sudah mulai mendera, tetapi ia belum bisa terlelap sampai Anta datang. Bisa marah-marah besok pagi kalau Anta tidak disambut oleh Ibran. Ya, karena memang pada dasarnya Anta itu pemarah sekali pada Ibran. Salah sedikit saja Ibran kena omel, tak jarang kalau suasana hatinya buruk Anta melampiaskan ke Ibran. Malang sekali kehidupan Ibran bersama Anta. Sebenarnya Ibran memiliki seorang om dan tante lagi. Namun, mereka sama-sama tinggal di luar negeri. Jadi, sekarang Anta adalah satu-satunya tempat baginya untuk berlindung. Kejora––tantenya––adalah desainer terkenal yang saat ini menetap di Korea Selatan. Tak hanya menjadi desainer, tetapi Kejora juga berkecimpung di dunia bisnis fashion. Sementara Angkasa––omnya yang satu lagi––membuka bisnis kuliner di Jepang. Bisnis Angkasa tidak bisa dikatakan biasa saja, dari berpuluh-puluh atau bahkan sudah merangkak ke ratusan cabang yang ia buka itu menghasilkan pundi-pundi uang yang jumlahnya fantastis. Tidak heran, karena mereka adalah bagian dari Mahawira. Seseorang yang menyandang nama belakang Mahawira pasti akan langsung membuat orang lain berpikir tentang darah emas. Well, yang dimaksud darah emas di sini karena keturunan Mahawira selalu memiliki kekayaan yang melimpah ruah. Bahkan bisa dibilang keluarga mereka itu crazy rich. Jangan tanyakan berapa banyak uang yang mereka miliki. Mungkin, untuk menghitung angka nol-nya saja kamu tidak akan sanggup. Di keluarga Mahawira, Anta adalah yang paling muda dan yang paling bengal. Ibran agak menyesal karena dulu malah memilih tinggal dengan Anta ketimbang kerabatnya yang lain. Meskipun begitu, Ibran sedikit bersyukur karena keluarga Mahawira bukanlah golongan manusia yang pelit. Ibran tidak pernah merasa kurang sama sekali saat tinggal bersama dengan Anta. Lelaki 25 tahun itu selalu memberinya uang cash setiap awal bulan, alih-alih kartu kredit. Karena Anta tahu tentang kebiasaan Ibran yang gemar jajan di warung pecel lele atau mie ayam. Kepala Ibran terangkat kala mendengar suara intercom. Lalu muncullah sesosok Anta yang begitu berantakan. Lagi-lagi Ibran menghela napas. Entah gadis mana lagi yang membuat omnya itu minum sampai jam segini. "Woy, Bran!" Anta tersenyum seperti orang sinting dan mencoba menggapai Ibran yang berjalan mendekat. Kemudian lelaki itu tertawa sumbang ketika tubuhnya ditarik oleh Ibran. "Lo ... itu anak haram, lo tau itu 'kan?" racau Anta tidak jelas. Dan yang Ibran lakukan hanya menghela napas. Toh, Anta sedang mabuk. Tidak ada gunanya menanggapi racauan lelaki itu. "You destroy my eldest brother's life. You, you destroy him! Lebih baik lo pergi dari dia. Jauh-jauh!" Anta menarik lengan Ibran lalu mendorong cowok itu agar menjauh darinya. Sorot mata Anta menyiratkan sebuah emosi yang membara. Ibran tidak sakit hati saat mendengar itu. Sudah kebal, maksudnya. Anta memang suka meracaukan keburukan orang yang ia temui dan kemudian marah-marah. Tidak dapat dihitung kali keberapa sudah ini. Pasti saat terbangun nanti Ibran akan mendengar ribuan kata maaf dari Anta. "Hahahah! Argasena Ibrani. Why there's no Mahawira in your last name? Oh, because you're unwanted baby. Am I right?" Raut wajah Ibran mulai berubah. Ia mendengus keras sambil mencoba menahan emosinya. "What a pathetic baby. Anak dari w************n yang nggak tahu malu." "Antariksa Gumelar Mahawira." "How dare you!" "Shut the f**k up or––" "Lo enggak bisa apa-apa, Bran. Ingat, kalau bukan karena gue. Lo enggak akan hidup sampai sekarang. Lo pasti bakalan mati! Nggak ada gunanya lo tetep hidup di dunia," sela Anta kemudian ambruk ke sofa dan kehilangkan kesadaran. Begitu juga tembok pertahanan Ibran yang runtuh. Pemuda itu mungkin bisa bilang ia tidak sakit hati, tetapi air matanya tidak bisa dicegah untuk turun. Hingga pukul dua pagi baru Ibran beranjak dari sana tanpa memindahkan Anta. Tidak lagi memiliki tenaga yang tersisa. *** Ibran tidak tidur cukup hari ini. Hanya dua jam setengah, lalu ia dipaksa bangkit karena sudah waktunya ia bersih-bersih seperti biasa. Ini hari Rabu dan Ibran memiliki jadwal rapat OSIS sebelum jam pelajaran dimulai. Ia harus cepat agar tidak kena semprot si ketua yang judes bukan main itu. Sudah cukup dua minggu kemarin ia dihadiahi bentakan setiap rapat, kali ini ia tidak mau. Sebelum jam enam ia harus sudah stand by di sekolah dan jujur sekarang ia keteteran. Rasanya saat ini Ibran ingin menggunakan jurus seribu bayangan milik Naruto agar bisa menyelesaikan semuanya dalam sekejap mata. Ibran bahkan belum membangunkan Anta yang tertidur pulas di sofa. Lelaki itu masih harus bekerja hari ini. "Ta, bangun, kerja!" pekik Ibran berteriak di sebelah telinga Anta. Jangan kaget kalau Ibran tidak memanggil Anta dengan embel-embel om atau yang lainnya. "Berisik, anjir. Lo aja sana sekolah. Tempat kerja gue 'kan punya gue," balas Anta seraya mengeliat di atas sofa. Ibran mendengus kasar. "Bangun dulu, kek. Pindah ke kamar. Punggung lo ga sakit emangnya?" "Oiya." Anta kemudian bangkit dengan setengah sadar dan masuk ke dalam kamarnya. Lanjut menyelami alam mimpinya. Namun, ia teringat sesuatu. "Bran, kalo duit yang kemaren udah abis ambil sendiri di dalam laci kamar gue!" Ibran hanya berdehem saja. Kemarin Anta barusan memberikan sejumlah uang dengan nominal yang tidak bisa dibilang sedikit sebagai uang saku untuk Ibran. Bagi cowok yang hemat dan pandai berhitung seperti Ibran, tentu saja akan membutuhkan waktu lama untuk menghabiskan uang tersebut. Namun, berbeda bagi Anta yang hobinya hura-hura dengan segenap kekayaannya yang melimpah ruah. Mungkin kalau dipakai keliling dunia berulang kali juga tidak akan habis. Ibran segera mengambil tas dan bersiap untuk berangkat sekolah. Lalu, ia ingat kalau sepedanya rusak. Dan Ibran tidak suka naik taksi online atau pun kendaraan umum. Jadi, jalan satu-satunya adalah berjalan kaki karena Ibran juga tidak bisa mengendarai kendaraan bermotor. Jarak apartemen milik Anta dengan sekolah Ibran sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi kalau dipakai berjalan kaki cukup memakan waktu. Namun, sepertinya keberuntungan memihak pada Ibran hari ini. Alka tiba-tiba saja datang menjemput dan Ibran bisa sampai di sekolah tepat waktu. Tanpa harus menghadapi omela si ketua yang kini malah batang hidungnya belum kelihatan. Ibran mendesah lega sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan akibat terburu-buru kemari. "Bran, file yang kemaren udah lo print?" Ibran menegakkan duduknya kala suara Esa––si ketua––menyapa indera pendengarannya. Ibran mengerutkan kening. "Lah, kan kemaren gue kasih ke elo, Sa. Gue udah bilang enggak bisa nge-print karena tugas gue numpuk." "Ck. Tadi malem gue udah ngabarin kalo gue juga enggak bisa nge-print karena ada pertemuan keluarga," balas Esa dengan alis menukik tajam. "Lo pasti enggak buka hape ya semalam?" "Udah gue bilang tugas gue numpuk. Kalo malem gue emang enggak buka hape, sampe pagi kadang." "Terus jadinya gimana? Itu file penting, lho," sahut Liana, yang malah membuat suasana di ruangan OSIS berubah menjadi panas. "Ibran, tuh, enggak bertanggung jawab banget. Lagian yang tugasnya banyak 'kan enggak cuma dia. Udah dikasih amanat tapi enggak bisa ngejalanin, enggak becus banget jadi wakil ketua," ujar Esa sambil menatap Ibran dengan tatapan mengejek. Cowok itu memang senang sekali merendahkan Ibran di setiap kesempatan. "Lo enggak bisa juga dong nyalahin gue. Gue 'kan enggak tau kalo lo minta gue yang nge-print semalem." "Halah! Bilang aja lo tuh, males 'kan?" Esa berdecih kemudian. "Seharusnya OSIS enggak merekrut wakil kayak lo. Enggak berguna sama sekali. Malah menghambat kerja." Brak! Ibran menggebrak meja kemudian bangkit dari duduknya. Menyorot Esa denga tatapan tajam. "Enak banget lo ngomong kayak gitu. Heh, inget, anjing. Pensi kemaren siapa yang banyak kerja? Yang ngurus ke sana sini siapa? Yang nyiapin ini itu segala macem siapa? Sedangkan kerjaan lo cuma ngadem di ruang OSIS dan nyuruh-nyuruh doang. Mentang-mentang lo anak salah satu donatur yayasan, lo bisa kayak gitu? Stupid." "Apa lo bilang?" Esa terperangah mendengar pembelaan Ibran. "Lo udah berani sama gue, hah? Udah bosen lo sekolah di sini?" "Iya, gue bosen! Apa lagi ketemu orang-orang kayak kalian yang bisanya cuma nyuruh-nyuruh. Berasa orang kaya banget. Padahal, itu masih harta orang tua." Ibran menatap seluruh anggota OSIS satu persatu. Napasnya memburu hebat. Pagi ini ia lelah dan emosinya tidak stabil. Biasanya Ibran hanya akan membalas sedikit lalu memilih mengalah. Namun, kali ini berbeda. "Argasena Ibrani!" Esa membentak cowok itu. "Lo mau cari masalah sama gue? Wah, udah bosen hidup nih orang." "Lo sadar diri dong, Bran. Lo itu disuruh-suruh karena lo yang paling miskin di antara kita. Tiap ada acara yang panitianya OSIS pasti selalu nyumbang duit dikit. Kalo beli apa-apa selalu minta duit kas lagi. Emang bener kata Esa, harusnya OSIS enggak ngerekrut wakil macem lo. Cuma disuruh kerja aja omongnya banyak." Emosi dalam d**a Ibran semakin membara. Harga dirinya terluka ketika mereka menyebutnya miskin. Well, biar bagaimanapun ada darah Mahawira yang mengalir dalam tubuhnya. Lalu, bisakah ia disebut miskin? Lagi pula Ibran melakukan apa yang barusan cewek itu sebut karena ia tidak mau pamer. Bukan karena ia pelit atau miskin. Mereka selalu berlomba-lomba mengeluarkan uang paling banyak agar dipandang kaya. Dan Ibran tidak suka melakukan itu. "Sinting. Organisasi ini enggak melulu masalah duit dan harta. Otak lo semua di dengkul apa gimana?" Ibran sudah tak mengerti lagi dengan jalan pikiran teman satu organisasinya itu. Ruangan OSIS langsung riuh setelah Ibran berujar begitu. Mereka sontak mencaci maki Ibran di tempat itu juga. Ibran sudah kebal mendengar berbagai macam cacian dan makian. Namun, masalahnya saat ini adalah ia sudah melewati batas. Tangannya mulai gemetaran dan banyak peluh yang menetes di wajahnya. Ia menghabiskan banyak tenaga hanya untuk berbicara pada manusia yang keberadaan otaknya masih dipertanyakan ini. Ibran hendak mendudukkan dirinya sebentar. Namun, Esa terlebih dahulu bangkit dan menarik kerah seragam Ibran. "Lo enggak bersyukur banget jadi orang. Selama ini lo dibaikin tapi balasan lo malah kayak gini. Yang sinting itu lo, anjing." "Get off," lirih Ibran sambil menatap Esa tajam. Ia tak memiliki tenaga untuk sekedar memberontak pada Esa. Esa malah tertawa melihat perubahan nada bicara Ibran. Ia berasumsi kalau Ibran mulai menyesal dan menyadari di mana kedudukannya. "Sejak awal lo salah karena sekolah di sini. Ini sekolah buat anak-anak orang kaya dan lo enggak termasuk. Lo di sini itu cuma kaya sampah, tapi anak OSIS berbaik hati dan enggak memperlakukan lo beneran kayak sampah. Harusnya lo berterimakasih." "Okay, but first get off your hands." Ibran melunak. Kehabisan tenaga lebih tepatnya. Napas cowok itu mulai berat dan ia takut kalau sesuatu yang buruk akan terjadi. Kepalanya pening.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.6K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
120.7K
bc

Everything

read
277.4K
bc

FORCED LOVE (INDONESIA)

read
598.5K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook