bc

Who Knows?

book_age18+
264
FOLLOW
1.3K
READ
badboy
goodgirl
drama
like
intro-logo
Blurb

Gue berbeda.

Gue bisa melihat mereka, bahkan gue bisa melihat masa lalu yang membuat mereka bergentayangan.

Gue berbeda.

Gue bisa melihat masa depan orang yang bersentuhan dengan gue. Ini menarik

Siapa yang tau bagaimana masa depan akan terjadi? Siapa yang tau bahwa masa depan dapat diubah? Tapi gue tau. Gue bisa melihat dan mengubah masa depan.

Ataukah gue hanya menghindari bagaimana masa depan itu terjadi?

But who knows?

chap-preview
Free preview
CHAPTER 1
"Saat keserakahan menguasai segalanya, di saat itu pula suatu energi yang seharusnya menjadi satu harus terbagi" "Energi itu hanya akan terbagi menjadi dua. Yaitu energi positif dan energi negatif" "Seperti yang kita tahu, positif akan menjadi energi kedamaian sedangkan negatif hanyalah menimbulkan kehancuran" "Hoaaaaaaaaaammm" uapan menjijikkan itu mulai terdengar. "Ngemeng paan sih dia dari tadi?" Keluhan juga semakin menyeruak. "Gue tidur dari tadi" "Jam berapa sekarang? Kapan pulang?" Gue melihat ke arah guru perlahan, dia terlihat menghembuskan nafas, menahan amarah. Yah, sekarang memang pelajaran sejarah. Tapi mengapa guru gue membahas tentang energi? Memang topiknya melenceng, tapi gue cukup menyukai pembahasannya kali ini. Di dunia ini memang hanya ada dua energi seperti yang guru gue sampaikan tadi. Dari mana gue tau? Gue tahu karena gue bisa merasakannya bahkan melihatnya. Anggaplah gue orang sakit yang kebetulan bisa berimajinasi melihat makhluk-makhluk aneh, seperti yang selalu mereka katakan. Dimana gue diasingkan dan dianggap aneh, hanya karena mereka tidak bisa melihat apa yang gue lihat. Cukup membuat gue tersenyum miris jika mengingatnya. Gue bisa merasakan energi setiap mahkluk (selain manusia) yang mendekati gue sejak gue kecil. Makhluk berenergi positif, membuat gue nyaman. Sementara makhluk berenergi negatif, hmm gue tak tahu bagaimana menjabarkannya. Jika makhluk yang mendekati gue berenergi negatif, perasaan gue menjadi gelisah. Sering kali kepala gue terasa sakit bahkan sampai mual dan muntah. Lebih parahnya gue bisa sakit berhari-hari. Bel tanda pulang telah berbunyi. Gue yang tadinya melamun segera merapikan barang-barang gue dan bersiap untuk pulang. Setelah berdoa, teman-teman gue segera keluar dari kelas dengan terburu-burunya. Gue mencoba untuk mengalah, dan membiarkan mereka keluar terlebih dahulu. Bukannya gue tak ingin pulang, hanya saja gue takut. Takut apa bila, kemampuan yang gue punya akan keluar. Jika gue berpapasan dengan makhluk selain manusia, bahkan bisa bersentuhan. Gue akan melihat masa lalu mereka. Walaupun tak semua masa lalu mereka menyeramkan, namun tetap saja itu membuat tak nyaman. Jika gue bersentuhan dengan manusia, terkadang gue bisa melihat masa depannya. Gue pertegas lagi, terkadang. Hanya terkadang gue bisa melihat masa depannya. Kebanyakan masa depan yang gue lihat, saat dimana mereka mendekati ajalnya. Mengerikan bukan? Dan semua itu sangatlah mengganggu. Gue tak takut kepada setiap makhluk yang sering kita sebut saja “hantu” walaupun perawakan mereka menakutkan. Gue hanya takut dengan energi negatif dan residual energi yang mereka punya. Residual energi adalah kumpulan memori dari masa lalu yang membentuk sebuah penampakan.. Keadaan itu membuat gue takut, panik, gelisah, intinya sangat mengganggu. Untuk menghilangkan rasa itu, kerap kali gue harus menolong mereka. Hampir semua makhluk (selain manusia) di sekolah ini pernah gue tolong. Jadi gue cukup mengenal “mereka” itu seperti apa. Gue bahkan berpikir, lebih nyaman berteman dengan mereka dari pada dengan teman manusia. Gue Lilian Dewi Anastasya. Gadis yang selalu di anggap aneh oleh teman-teman gue. Gue hanyalah gadis miskin yang mendapat keberuntungan bisa bersekolah disini, SMA Nusa Bakti. Sekolah impian semua orang, terkecuali gue sendiri mungkin. Karena keadaan inilah gue selalu mendapat cibiran tak mengenakkan dari orang-orang. Selama gue sekolah gue selalu menjadi bahan bully-an dari teman-teman gue. Gue tak pernah melawan bahkan melaporkan mereka. Toh ujungnya gue juga yang salah. Gue miskin sementara mereka, mengingatnya saja membuat gue tersenyum miris. Walaupun mereka yang salah mereka memiliki uang untuk menutupi kesalahannya. Licik? Namun itulah teman gue. Uang dan kehormatan masih menjadi prioritas di sekolah gue. Sampai-sampai keadilan dan harga diri terlupakan. Dan inilah kisah gue. *** Di waktu yang masih pagi ini, gue sudah berdiri menunggu bus di halte. Sekarang hari senin, walaupun masih pagi banyak orang yang terburu-buru. Apalagi pelajar, karyawan swasta dan juga PNS. Gue menoleh ke arah kanan dan kiri mencoba untuk tenang. Biasanya jam segini bus nya sudah datang, tapi sampai sekarang pun busnya masih belum ada. Tiba-tiba saja rok abu-abu gue di tarik oleh seseorang. Gue pun langsung menatap orang yang telah menarik rok gue. "Kak tolongin aku," ternyata orang yang menarik rok gue itu adalah seorang anak perempuan berusia sekitar enam tahun dengan seragam merah putihnya. "Ada apa?" "Ayah aku, bantu aku cari ayah aku" ujarnya dengan mata berkaca. "Memangnya ayah kamu kemana?" Dia hanya diam, menundukkan kepalanya. Gue menghembuskan nafas sebelum bertanya. "Terakhir kamu lihat ayah kamu gimana? Hmmm inget pakai baju apa?" tanya gue penasaran. "Ayah pakai sepatu kaya punya kakak," oh ayahnya pake sepatu pantofel. "Baju ayah kaya ibu itu," ucapnya sambil menunjuk seorang PNS disebelah gue. Jadi ayahnya PNS. Karena kasihan gue pun menanyakannya kepada ibu PNS itu. "Permisi, Bu. Ibu tau ayah dari anak ini? Ayahnya PNS, mungkin ibu kenal?" Ibu itu menatap gue bingung sampai alisnya bertaut. Setelah itu dia menggelengkan kepalanya. Gue berjalan lurus dan diikuti oleh anak tadi. Gue bertanya ke setiap orang yang gue temui. Tetapi nihil, jawabannya sama saja. Tidak ada yang tau keberadaan ayah dari anak ini. Jadi gue memutuskan untuk terus berjalan. Tak lama kemudian, di jalan yang akan gue lewati banyak orang yang berkumpul. "Ayah," teriak anak itu. Gue langsung menoleh ke arah samping. Benar saja, ada lelaki parubaya berseragam PNS dengan sepatu fantofel tengah berdiri disana. Sang anak pun langsung berlari dan memeluk ayahnya. Ayahnya juga melakukan hal demikian. Mereka sampai menangis saking bahagianya. Gue hanya bisa tersenyum melihat mereka. Anak itu akhirnya bisa bertemu dengan ayahnya. Mengingatkan gue pada papa yang telah tenang di atas sana. Damai rasanya bisa berguna bagi orang lain. Kerumunan orang tadi membuat gue penasaran. Gue pun mendekati kerumunan itu. Karna tubuh gue pendek, sementara kerumunan orang itu rata-rata lelaki yang badannya tinggi. Jadi gue tak bisa melihat ada apa sebenarnya. "Pak ada apaan sih?" Gue yang penasaran langsung bertanya kepada orang yang berada di samping gue. "Ada kecelakaan dek. Dua orang tewas di tempat. Bapak sama anak." "Ohh gitu. Makasih pak infonya," Bapak itu hanya mengangguk sebagai respon. Kasian, itulah yang gue rasakan sekarang. Gue menunduk untuk melihat korban kecelakaan itu. Tapi yang gue lihat hanya sepatu pantofel salah satu korban. Tunggu sepatu pantofel? Tiba-tiba saja gue merasa gelisah sendiri. Gue melihat ke ayah dan anak yang tadi gue tolong. Sepatu ayah dan korban kecelakaan itu sama. Gue melihat kembali ke arah korban. Kerumanan mulai sedikit dan gue dapat melihat tubuh korban. Baju PNS, itu lah yang gue lihat. Sekali lagi gue melihat ke arah ayah dan anak itu. Lagi-lagi baju mereka sama. Setelah itu gue lihat orang-orang menggotong seorang anak. Sepertinya anak itulah korban keduanya. Orang-orang itu menaruh si anak bersebelahan dengan ayahnya. Orang-orang mulai menjauh dari korban kecelakaan itu. Jadi gue dapat melihat dengan jelas kedua korban itu. Gue bisa melihat wajahnya sebelum ditutup dengan koran. Wajah kedua korban itu sama dengan anak dan ayah yang gue tolong tadi. Jadi yang gue tolong apa? Tiba-tiba kepala gue sakit dan... Seorang ayah yang membawa anaknya, mengendari motornya dengan kecepatan tinggi. Saat ingin menyalip angkutan umum, dari arah berlawanan ada sebuah truk juga dengan kecepatan yang tinggi. Karena waktu yang mepet akhirnya, kecelakaan pun terjadi. Si anak terlempar, sementara ayahnya terseret jauh. Si anak masih dalam keadaan sadar menyaksikan bagaimana truk itu menyeret sepeda dan ayahnya. Si anak berguman "Ayah... Ayah... Ayah..." berharap ayahnya akan selamat. Si ayah hanya bisa merutuki kesalahan yang menyebabkan anaknya merenggang nyawa. Sebelum akhirnya ia juga merenggang nyawa akibat kesalahannya itu. Kecelakaan itu memakan dua korban. Seorang ayah dan anak. *** Residual energi dari kejadian itu terlintas dibenak gue. Entah mengapa air mata gue telah mengalir. Gue melihat ke arah ayah dan anak itu. "Terima kasih" ucap keduanya. Si anak melambaikan tangan yang hanya gue membalasnya dengan senyuman. Gue merasa lega sekaligus damai setelah menolong anak itu menemukan ayahnya. Pantes aja, dari tadi orang kebingungan saat gue tanya. Ternyata anak yang gue tolong, hanyalah arwahnya. Setelah itu cahaya terang yang menyilaukan datang seakan menjemput kepergian mereka. Gue hanya bisa mendoakan semoga mereka diberi tempat terbaik disisi-Nya. "Kasian banget yah." "Iya. Maklum sekarang kan senin, Bu." "Lah memangnya kenapa kalau senin?" "Kan upacara. Mungkin si bapaknya takut anaknya telat atau gimana. Jadi ngebut deh." "Mangkanya bu mending pelan-pelan aja yang penting selamat" "Iyah bener." Gue memejamkan mata mendengar ocehan ibu-ibu itu. Gue melihat jam di tangan gue. Lagi-lagi gue memejamkan mata frustasi. Udah jam 08.00 gue udah telat dari tadi. Here come’s trouble. *** Gue sampai di sekolah dengan terengah-engah. Sekarang sudah jam setengah sembilan. Bagaimanapun itu, gerbang pasti sudah ditutup. Kalau gue lewat gerbang, ujungnya pasti gue masuk ruang BK. Jadi gue memutuskan untuk lewat belakang sekolah, meskipun gue harus lompat pagar. Tak peduli jika rok yang gue pakai ini tersingkap, yang penting gue bisa masuk sekolah. Setelah sekian menit gue memanjat pagar, akhirnya gue sudah berada di lingkungan sekolah. Gue berjalan santai menuju kelas. Saat tinggal beberapa kelas lagi yang harus gue lewati, gue bertemu Regar. Yah, Bayu Regar Afrilito. Cowok mendekati sempurna dan mungkin saja menjadi pujaan hati semua gadis di sekolah ini, termasuk gue sendiri. Dia sempat menoleh ke arah gue. Namun setelahnya dia melewati gue begitu saja. Lagi-lagi dia mengabaikan gue. Sebentar... Kenapa Regar keluar kelas? Gue berbalik arah untuk melihat kemana tujuannya pergi yang ternyata berujung pada ruang BK. Di depan sana dia telah disambut guru BK dengan tatapan horor. Apa lagi yang dia perbuat? Tak lama kemudian guru itu menatap gue dan gue pun langsung lari kalang kabut sebagai respon. Jika beliau mengetahui bahwa gue telat, bisa-bisa bertambah point perbuatan buruk gue. Gue sampai dikelas dengan ngos-ngosan. Gue mengetuk pintu lalu masuk. Gue lihat Chandra dan Kevin sedang berdiri didepan kelas. Mereka adalah teman-teman Regar. Sifatnya tidak berbeda jauh dari Regar. Usil dan suka bikin onar sana sini. Tapi jangan salah, tampang yang rupawan itu cukup membuat ketiganya lumayan famous. Lupakan hal itu! Gue melihat ke arah teman-teman, mereka menatap gue dengan pandangan khawatir. "Kamu telat?" tanyanya tegas. Kali ini  pelajaran fisika dan guru pengajarnya adalah salah satu guru killer yang kebanyakan tidak disukai oleh murid-murid. Mungkin Chandra sama Kelvin berdiri didepan kelas karena tidak ngerjakan PR.  "Mana PR kamu?" tanyanya yang langsung gue tunjukkan PR  yang gue kerjakan. "Kerjakan soal dipapan!" Perintahnya ketus, sambil memeriksa PR gue. Tanpa pikir panjang gue langsung mengambil spidol dan mulai mengerjakan soal di papan tulis putih itu. "Jawaban kamu benar, kamu bisa keluar sekarang." "Hah?" reflek gue kaget banget. Apa salah gue? Masa jawaban gue bener gue di suruh keluar? "Pak itu namanya ga adil. Dia kan udah telat, masa di suruh keluar duluan," protes Naya dengan emosinya. Naya adalah salah satu orang yang membenci gue. Dia bahkan terang-terangan membuat gue terlibat dalam masalah. Mungkin setan bisa saja sungkem sama dia, karena sifarnya yang melebihi setan sendiri. "Apa pelajaran selanjutnya?" Tanya Pak Guru ke gue sambil memberikan buku tadi. Dia mengabaikan Naya dan gue lihat Naya mulai memandang gue sinis. "Olah raga, Pak." "Ya sudah ganti baju, setelah itu ke lapangan," gue menatapnya bingung. "Kamu mau telat, mau ga ikut pelajaran saya, atau membenci saya sekalipun, saya ga masalah. Selama kamu mengerti pelajaran yang saya beri, itu sudah cukup bagi saya," ucapnya seakan menjawab kebingungan gue. "Anak yang diam di kelas tapi tidak mengerti pelajaran dengan anak yang telat tapi mengerti pelajaran. Saya lebih menyukai anak yang telat itu. Saya lebih suka anak seperti kamu" ucapnya terkesan menyindir. Gue hanya mengangguk mengiyakan ucapannya. Gue berjalan menuju bangku gue dan mengambil baju olah raga. Gue tak berani menatap teman-teman gue. Pasti mereka marah. Gue hanya berdiam diri duduk di bangku penonton yang ada di lapangan basket. Gue hanya melihat beberapa dari 'mereka' yang berkeliaran. Bosan, hanya itu yang gue rasakan. "Hai," tiba-tiba saja, Senju duduk di sebelah gue. Dia teman sebelah bangku gue di kelas. Hanya dia yang menganggap gue manusia di kelas. Di saat yang lain menyalahkan gue, tetapi Senju malah membela gue. Orangnya cukup baik, dia juga cantik dan imut. Hanya saja gue yang sedikit menjauh darinya. Karena gue takut, dia akan dibedakan juga kalau terus bersama gue. "Gue bisa jawab pertanyaan di papan tadi. Terus gue di suruh keluar deh," gue hanya mengangguk mendengar penuturannya itu. "Gue salut banget ke lo. Dari kelas sepuluh nilai lo ga pernah turun. Tanpa dijelaskan pun lo udah ngerti pelajarannya. Dua jempol deh buat lo." "Kan gue belajar" ucap gue sambil tersenyum. Dia hanya ber o ria. "Mau?" Tawarnya ketika mengeluarkan camilan dari sakunya. Gue menggeleng pelan. Lalu dia memegang tangan gue... Sepatu yang talinya tak terpasang berwarna putih Seorang anak SMA memasang tali sepatunya karna talinya terlepas Seorang anak SMA tertabrak hingga kepalanya bocor dan berdarah. Anak SMA itu tergeletak di jalan dengan darah yang terus mengalir *** Gue langsung melepas tangannya dari tangan gue setelah kilasan masa depan itu berputar di benak gue. Apa anak SMA yang tertabrak itu Senju? "Kenapa? Kok lo panik gitu?" Gue melihat sepatu yang Senju kenakan. "Jangan pakai sepatu itu!" "Hah kenapa sih?" "Jangan pakai deh pokoknya, lo pakai sepatu gue aja ya. Nih," gue melepas sepatu gue agar bisa dia gunakan. "Lo aneh banget sih, Li. Emang sepatu ini kenapa?" Ucapnya sambil terkekeh melihat tingkah gue. Oh iya, di bayangan gue kan cuma anak SMA. Anak SMA bukan berarti Senju yang tertabrak. Tapi bayangan itu terlintas saat Senju memegang tangan gue. "Ya udah deh lo pakai sepatu itu. Tapi talinya yang erat yah pasangnya. Ntar kalo copot, bisa..." gue tak tau bagaimana melanjutkan kalimat ini. Gue gelisah sekarang, bagaimana kalau anak SMA itu Senju? "Bisa apa?" tanyanya "Bisa jatuh, kalo lo kesandung tali sepatu lo sendiri kan lo bisa jatuh," jawab gue dan dia hanya mengangguk. Gue lihat teman sekelas gue sudah keluar dengan baju olah raga. Dari kejauhan nampak sekali kemarahan Naya. Naya dan teman-temannya menuju ke arah gue. Setelah itu, Naya mendorong gue sampai gue tersungkur di tanah. Ya Tuhan ada apa lagi ini? Saat gue terjatuh, gue menggunakan tangan sebagai tumpuan untuk menahan tubuh. Akibatnya, tangan gue memerah karena bergesekan dengan tanah. Sakit, hanya itu yang gue rasakan. "Lo apa-apaan sih?!" ucap Senju sambil mendorong Naya. Setelah itu Senju membantu gue untuk berdiri. Gue memejamkan mata, mengumpulkan tenaga untuk bangkit. "Oh, sudah punya pembela, Li?" tanyanya dengan nada yang dibuat-buat. Gue hanya diam menunduk. Naya mendekat ke arah gue lalu memposisikan tubuhnya ingin menampar gue. Namun tangan Naya di cekal oleh Senju. "Jangan ganggu dia!" ucap Senju penuh penekanan. "Lo tau, gara-gara si sampah ini kelas kita kena masalah lagi," ucapnya sambil mendorong bahu gue dengan telunjuknya. "Dengan sok pintarnya dia menjawab soal dipa-" "Dia memang pintar," ucap Senju memotong perkataan Naya dan langsung mendapat tatapan tajam darinya. "Lo siapa sih? Jangan ikut campur urusan orang!" ucap Jihan, teman Naya dengan nada meninggi sambil mendorong Senju. "Kelas kita kena masalah bukan karena Lili, tapi karena kalian. Kalo aja kalian belajar dan bisa jawab perta-" ucapan Senju terhenti karna Naya sudah menjambak rambutnya. Senju yang tidak terima pun menjambak Naya balik. Mereka pun saling jambak-jambakan sampai rambutnya berantahkan. Gue tak tahu harus berbuat apa. Anak-anak mulai mengerumuni kami. Bukannya memisahkan mereka malah semakin mengadu keduanya. Bahkan Maudy merekam aksi saling jambak mereka. Jean datang dan memisahkan keduanya. Jean adalah ketua kelas dan orangnya lumayan bijak dan juga ramah. Untungnya Jean datang tepat waktu, untuk memisahkan keduanya. Tak lama kemudian guru BK datang. Senju dan Naya di bawa ke ruang BK untuk diminta penjelasan. *** Kini gue di kelas sendirian. Kelas gue di lantai dua. Posisi duduk gue di pojok dekat jendela. Gue hanya melihat keluar jendela dengan pandangan kosong. Gue hanya memikirkan kilasan masa depan yang gue lihat tadi. Bagaimana kalau kejadian itu menimpa Senju? Apa yang harus gue lakukan? "Lili lo gapapa kan?" tanya Mark yang entah muncul dari mana. Gue hanya mengangguk. Kini dia sudah duduk di hadapan gue. Mark adalah sahabat gue dari kecil. Orangnya baik sih, tapi nyebelin. Tapi gue beruntung punya sahabat seperti dia. Di saat yang lain menjauh saat mereka mengetahui kelebihan gue, tetapi Mark berbeda. Dia akan selalu ada di samping gue. "Syukurlah," ucapnya sambil menghembuskan nafas. "Mark." "Hmm?" "Gue lihat masa depan lagi," ucap gue tetap melihat ke arah luar jendela. "Hmmm." "Gue lihat ada anak SMA yang tertabrak sampai bersimbah darah. Dan masa depan itu gue lihat saat Senju menggenggam tangan gue." "Terus?" "Kalau anak SMA itu Senju gimana?" "Terus?" "Yah gue khawatirlah. Teras terus mulu. Bikin kesel aja," bentak gue kesal. Dia terlihat kaget dan menunjukkan wajah bodoh sambil sedikit memundurkan tubuhnya. "Tenang," ucapnya sambil merapikan jasnya. "Gimana gue bisa tenang, kalau gue harus lihat teman gue sekarat." "Lo mending minum kaya gini," dia mengambil botol air minum gue. Gue menatapnya jengah. Dia meminum air di botol gue tanpa rasa bersalah. "Lo lihat. Air putih ini rasanya.." gue terus menatapnya. "Rasanya kaya air tawar," gue yang kesal pun langsung memukulnya. Dia hanya terkekeh sambil menghindari pukulan gue. Nyebelin banget sih nih orang. "Ini serius. Lo bisa-bisa bercanda di situasi kaya gini," ucap gue frustasi. "Itu mungkin bayangan lo doang, Li. Lo tau kan ajal itu di tangan Tuhan." "Kalo Tuhan menunjukkan masa depan Senju ke gue. Berarti gue harus menyelamatkan Senju kan?" "Yah itu lo ngerti." "Tapi masa depan ga bisa di ubah Mark," gue kembali menatap keluar jendela. Entah mengapa air mata gue telah membasahi pipi. "Hei ga usah nangis," Mark menangkup pipi gue dan menghapus air mata gue. "Kalau gue ga bisa menyelamatkan Senju, sama aja kaya gue yang membuat dia..." gue tak bisa meneruskan kalimat itu lagi. Gue menyembunyikan wajah di tangannya yang masih menangkup pipi gue. Namun, dia menahan kepala gue, memaksa gue untuk menatapnya. "Semua akan baik-baik aja okay. Jangan dipikirin," ucapnya penuh keyakinan. Gue tahu Mark pasti ga percaya dengan apa yang gue lihat tadi. Tiba-tiba ada yang menendang bangku sehingga menimbulkan suara yang gaduh. Mark melepas tangkupannya dari wajah gue. Gue pun langsung melihat ke sumber suara. Ternyata orang yang menendang bangku itu Regar. Gue lihat Regar berjalan menuju bangkunya dengan wajah penuh amarah. Terlihat sekali dari alisnya yang bertaut. Chandra dan Kevin yang ada di belakangnya pun sampai terlihat ketakutan. Tak lama kemudian bel tanda masuk berbunyi. Kenapa lagi anak itu? "Gue masuk kelas dulu yah, nanti gue tunggu depan gerbang,"  ucap Mark sambil mengacak rambut gue sebelum keluar dari kelas. Gue lihat teman-teman yang lain sudah mulai memasuki kelas. Nampaknya Naya dan Senju pun demikian "Lo gapapa kan?" tanya gue ketika Senju duduk. "Gapapa kok, santai aja. Orang kaya Naya emang pantes di kasih pelajaran," gue mengangguk mengiyakan penuturannya itu. *** Gue berjalan santai menuju gerbang. Kelas Mark masih belum keluar, jadi gue memutuskan untuk menunggu Mark di gerbang. Sampai di gerbang gue hanya melihat setiap anak yang pulang. Tak lebih baik dan semakin membosankan. "Duluan yah Li" "Oh iya," gue tersenyum saat Senju berpamitan. Cukup canggung, karena sebelumnya tak ada yang pernah seperti itu ke gue. Gue terus melihat Senju dari sini. Kenapa Senju tiba-tiba baik ke gue? Hmm entahlah. Gue bersyukur kalau dia mau jadi teman gue. Setidaknya ada yang mau menjadi teman gue selain Mark. Gue lihat Senju berhenti dan menatap sepatunya. Lalu dia berjongkok di tengah jalan untuk memasang tali sepatunya. Keadaan jalanan memang sepi kalau gue perhatikan. Tapi tiba-tiba ada mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi disaat Senju masih berada di tengah jalan. Tanpa pikir panjang lagi gue segera berlari ke arahnya. Gue menariknya untuk menjauh dari jalan. Gue yang tak bisa menahan tubuhnya, membuat kami sama-sama terjatuh ke pinggir jalan. Mobil dengan kecepatan tinggi itu telah melewati kami sambil membunyikan klakson.  Telat Pak!  Seketika gue ingat dengan kilasan masa depan yang gue lihat tadi. Jadi benar itu anak SMA yang tertabrak itu Senju. "Lo gapapa,Li?" tanya Senju khawatir. "Lo gimana sih? Kan gue udah bilang, ikat tali sepatu lo. Tadi aja lo hampir tertabrak karena tali sepatu lo terlepas," gue tak tahan untuk tidak memarahinya. Tindakannya itu sangat ceroboh dan bisa saja merugikan dirinya sendiri. Sementara itu, dia hanya menatap gue dengan alis bertautnya "Kok lo tau kalo sepatu ini akan membuat gue tertabrak?" Karna gue bisa lihat masa depan lo Sejenak gue terdiam mendengar pertanyaannya. Tidak mungkin gue memberitahunya, jika gue bisa melihat masa depan. Gue hanya menghembuskan nafas, terlalu kesal dan terlalu lelah untuk memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaannya itu. "Itu ga penting. Lo seharusnya bisa jaga diri," mendengar jawaban itu, dia semakin menatap gue tajam. "Lili. Lo gapapa kan?" tak lama kemudian Mark datang. Gue bangkit dan membersihkan sisa debu di rok gue. Mark membantu Senju untuk bediri. Gue lihat Senju sedikit meringis, mungkin tarikan gue terlalu keras sehingga kami terjatuh. "Lo gapapa kan?" tanya Mark, yang hanya di balas anggukan olehnya. Gue langsung pergi meninggalkannya. Entah mengapa, gue rasa ada batu besar yang mengganjal di hati gue. Terjebak bersama rasa kesal yang hanya berujung pada kesesalan. Bagaimana jika hal ini terulang? Sekarang gue bisa menyelamatkannya, dan bagaimana jika tidak? Gue tak ingin menanggung beban seberat ini.   Setelah itu gue merasakan pipi gue di tusuk-tusuk oleh jari seseorang. Gue tau pasti orang ini Mark. Sejak kapan dia nyusulin gue? "Udah dong, Mbak," ucapnya yang tak gue menghiraukannya. "Marah mulu, tambah jelek lo," gue langsung menghentikan langkah. Gue menatapnya kesal yang membuatnya bergidik ngeri. "A..ap...aaa?" tanyanya terbata-bata. Gue memegang bahunya lalu menunduk. "Benar kan? Masa depan yang gue lihat itu benar. Masa depan ga pernah berubah Mark. Kenapa Tuhan memberi gue kemampuan seperti ini? Gue ga mau selalu terbayang oleh masa depan orang-orang. Gue ga bisa Mark" "Li." "Senju juga. Udah dibilangin malah ngeyel" "Lili." "Gimana kalau dia kaya anak SMA di bayangan gue? Apa dia ga mikir gimana ora-" "LILI!" bentaknya keras. Gue langsung menatapnya dengan pandangan tak percaya. Bisa-bisanya dia membentak gue. Saat gue ingin memarahinya, dia meletakkan telunjuknya di depan mulut gue. Gue menepisnya kasar dan langsung berbalik arah. Gue berjalan cepat, namun dia memegang tas gue yang membuat langkah gue terhenti. Gue menatapnya tajam. "Semakin lo marah, semakin dia penasaran akan kemampuan lo," setelah itu dia melepas pegangannya dan berjalan mendahului gue. "Lo tau apa hah?" "Lo harus tetap rahasiakan kemampuan lo, kalau lo ga mau orang-orang memanfaatkan lo atau mungkin bisa lebih dari itu," ucapnya dengan nada serius. Setelah itu, dia terus berjalan tanpa menunggu gue. Kenapa sih tu anak? *** Sampai di rumah gue di kagetkan dengan tatapan tajam Mbak Airin. Mbak Airin adalah satu-satunya keluarga yang gue punya. Orang tua gue sudah lama meninggal, yang entah apa penyebabnya. Jadi, Mbak Airin harus banting tulang untuk menghidupi kami berdua. Mbak Airin itu cantik, tapi sering ngomel. Dan sekarang, dia menunjukkan sebuah surat. Gue mendekatkan diri untuk melihat isi surat itu. Astagah! Itu surat panggilan. "Itu..... Apa?" Mbak Airin langsung memukul-mukul gue. "Apa sih Mbak, aduh sakit. Kenapa aku di pukulin. Aduh berhenti, Mbak" mohon gue ke Mbak Airin. Bagaimana tidak, mulai dari lengan, punggung sampai p****t pun juga dipukuli olehnya. "Mbak di kasih surat panggilan, kamu masih tanya ini apa? Kamu ngapain aja disekolah hah?" tanyanya sambil terus memukuli gue. "Aku ga ngapa-ngapain, Mbak," lalu Mbak Airin menghentikan pukulannya. "Kalau kamu ga ngapa-ngapain, kenapa mbak nerima surat ini? Mbak tahu kamu tertekan, tapi setidaknya kamu ga buat masalah, Li." "Itu siapa yang ngasih? Kapan di kasih?" Mbak Airin menatap gue jengah sambil menghembuskan nafasnya kasar. "Itu ga penting. Masuk kamar! Belajar yang bener!" Haduuu apa lagi salah gue? *** Gue duduk sendirian di bangku taman yang ada di sekolah. Entah setan apa yang membuat gue jalan sepagi ini. Sekarang masih tak ada murid yang datang. Gue memilih untuk mendengarkan lagu dengan menggunakan headsets. Gue menyamankan posisi lalu memejamkan mata. Gue yang tengah duduk di kelas tersontak saat Regar memukul bangku gue keras. Gue mendongakkan kepala perlahan untuk menatapnya. "Lo" ucapnya penuh penekanan "Lo kan yang ngadu?" "Gu.. Gue cuma ga.. Ga pengen lo kenapa-kenapa," ucap gue terbata Lalu dia menarik kerah baju gue yang membuat gue mendekat ke arahnya. Dia menatap gue tajam. Terpancar sekali kemarahan dan kekecewaan di mata tajamnya. Gue menahan nafas saat ditatapnya seperti itu. Dia menghempaskan gue dan berlalu pergi. "Gara-gara lo dia di anggap berandal sekarang," kata Chandra. Setelah itu Kevin memukul bangku gue keras. Lalu mereka meninggalkan gue mengikuti langkah Regar. Gue membuka mata lalu menghembuskan nafas berat. Mengapa gue mengingat kejadian itu? Kejadian yang seorang pun tak ingin terlibat didalamnya. Kejadian yang terus membuat gue dikejar-kejar rasa bersalah. "Hei," mendengar sapaan itu, gue pun langsung menoleh ke arah samping. Hhh Senju lagi. "Lo sendiri aja. Mana Mark?" tanyanya antusias. "Lo gapapa?" tanya gue ketus "Gapapa kok. Btw makasih ya. Kalo ga ada lo mungkin gue udah mati." "Lo ngomong apa sih? Jaga diri baik-baik!" "Iya iya. Ke kelas yuk," ajaknya yang hanya gue  angguki. Kami pun berjalan beriringan menuju kelas. Gue bukan orang yang pandai membuat suasana menghangat. Selalu saja terasa canggung setiap berinteraksi dengan orang yang tak begitu akrab. Sampai saat ini pun kami masih senantiasa terdiam, terlalu sibuk dengan benak masing-masing. "Senju," panggil gue, mencoba untuk membuka obrolan. "Yah?" "Kenapa lo nyariin Mark?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut gue. "Nggk kok," ucapnya salting sambil menata rambutnya, padahal rambutnya masih rapi. "Lo suka ya" tebak gue asal. "Apaan si, Li," ucapnya sambil tersenyum seperti orang gila. Terlalu malu dengan tingkahnya, tanpa sadar dia pun medorong gue gemas.  Tersontak dengan dorongannya yang lumayan keras itu, membuat gue tak seimbang. Gue segera memegang bangku yang ada di depan, agar tidak terjatuh. Sialnya gue menyentuh tangan seseorang.  Gue harap masa depannya ga bakal muncul. Gue mengalihkan atensi gue dari tangannya dan menatap matanya langsung. Alangkah terkejutnya gue saat mata tajam Regar tengah menatap gue. Gue menghimpit Regar di tembok Gue menarik kerah baju Regar Gue menutup mata dan mencium Regar tepat di bibirnya *** Gue langsung melepas pegangan gue dari tangannya. Gue menunduk dan segera menuju ke bangku gue. Gue mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskaannya. Itu masa depan apaan sih?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Love Match (Indonesia)

read
172.9K
bc

Hubungan Terlarang

read
501.0K
bc

RAHIM KONTRAK

read
418.2K
bc

Perfect Honeymoon (Indonesia)

read
29.6M
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
15.6K
bc

MY ASSISTANT, MY ENEMY (INDONESIA)

read
2.5M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook