bc

You Are My Big Deal

book_age18+
121
FOLLOW
1K
READ
body exchange
king
bxg
mystery
pack
another world
others
lies
lonely
office lady
like
intro-logo
Blurb

Author POV

Hidup Jya benar-benar berubah 180 derajat. Tempatnya berada, mahluk di sekelilingnya terasa seperti mimpi, jauh dari akal sehat. Bahkan beberapa kali dia terseret ke gerbang maut akibat aksi nekat yang sama sekali bukan dirinya. Adrenalinnya terpacu untuk terbang bebas di angkasa, menyelam jauh ke bawah riak biru samudera dan.. meluluhkan hati pemimpin klan terkutuk.

Frederick, mahluk aneh yang punya sayap sekaligus sisik-sisik hitam. Di dadanya sebutan "pemimpin klan terkutuk" tersemat lekat. Namun, semua tau klan elang bukanlah klan terkutuk. Dia yang menyeret paksa orang-orangnya menderita bersama. Menderita karena gelap mata, tidak mampu merelakan wanita tercinta yang konon mengorbankan nyawa untuk kedamaian klan itu.

Karena Jya, hidup Frederick juga berubah tiga kali 180 derajat. Berputar-putar hanya untuk mendapati titik yang sama. Jya hadir bagai sinar takdir. Terang menelanjangi sisi tergelap hidup, mengubah semua rencana dan taktik yang tersusun rapi, bahkan membawa kilas sosok ter-rindu.

Frederick dan Jya bagai dua sisi koin berbeda. Disatukan oleh luka sakit kehilangan. Tanpa sadar, benang takdir membawa hati mereka menyatu. Namun, jiwa yang sekarat seolah tidak mau mengalah begitu saja.

Akankah mereka bisa berdamai dengan luka dan rasa sakit mereka? Cukupkah rasa cinta untuk mengalahkan kutukan, rahasia dan masa lalu?

chap-preview
Free preview
Part 1 *Sebenar-benarnya luka
Yang ingin kutanyakan, Wajarkah jika seseorang seperti aku terus bermimpi aneh tiap malam, sampai-sampai tidak nyenyak tidur, yang bahkan aku sendiri kesusahan untuk tidur? Pertanyaan pertama. Kedua, wajar jugakah jika setelah sekian tahun sosok  -yang telah tiada- itu terus memblokade pintu hatiku hingga tidak membiarkan seorang pun masuk? Kata seorang pun, tolong diunderline. Hal itu mungkin sudah sejuta kali kutanya pada diri sendiri. Mencari sebab, apakah ini memang salah takdir atau dampak keegoisan. Namun, dengan jawaban yang sama pula, kuyakinkan diri sendiri. 'Tidak apa-apa, kau baik-baik saja Jya. Hanya perlu waktu lebih lama untuk menenangkan diri.' Selalu seperti itu, Bahkan saat hal-hal seperti ini terjadi. ----- Aku benar-benar berdiri di antara karyawan kantor, dalam sebuah ruangan besar yang terkesan mewah. Suasana terasa aneh sekalipun mawar, anggrek, dan lili hidup terlihat indah menghiasi setiap sudut. Ditambah tampilan gelas anggur antik menghiasi jamuan makan formal.  Kutebak, aku berada di tempat yang istimewa. Walau tidak tahu, mengapa aku berada di tempat seperti ini. Sama sekali bukan gayaku. Dengan seragam kantor biasa pula. Sementara yang lain tampak memukau dengan gaun mahal dan jas andalan masing-masing.  Mereka sibuk bercengkrama. Bahkan, beberapa kali terdengar suara tawa. Mungkin karena sebuah lelucon atau 'hal lain' yang menarik perhatian. Seperti kebiasaan lama, aku menatap sekitar dan mulai tidak nyaman. Lalu mencari arah pintu keluar, dan cepat-cepat melangkah kesana. Dalam kondisi seperti ini, aku memang hanya merasa sendirian dan gelisah. Di tengah keramaian yang menyesakkan. Belum sampai setengah jalan, seruan lantang terdengar. "Hei, Jya, kau mau kemana?"  Langkahku terhenti menoleh ke sumber suara.  Itu dia di sana. Jimmy  -karyawan terperhatian di kantor-  melihatku. Di wajahnya tersirat rasa khawatir. Jimmy  -sepanjang aku mengenalnya- adalah rekan yang suka sekali bertanya, membantu dan mengerti perasaan orang lain. Karena itu dia mendapat predikat yang tadi kusebutkan. Ku-ulas senyum hangat kepada Jimmy, walau perasaan hati mulai tidak nyaman. "Oh, aku hanya keluar sebentar, lagi pula acaranya masih lam-" "Kau mau langsung pulang kan?"  nada Jimmy terdengar dingin, tidak seperti biasa.  Aku masih diam. "Ugh.. Dasar cupu! Untuk apa kau datang, hah?" Jimmy membentak. Aku menganga, sedikit tersentak dengan perubahannya yang tiba-tiba. Antara yakin-tidak yakin atau salah dengar.  Tapi tindakan Jimmy selanjutnya menjelaskan semua.  Jimmy mendekat, "Kenapa kau tidak pernah bicara dengan yang lain, hah? apa kau jijik?  tidak sudi? sombong sekali dirimu! Pantas kau tidak punya teman selama ini!!!" ucapnya tajam. Senyum menghina tercetak jelas di wajah itu. Aku sudah terbiasa dijauhi dan dianggap aneh. Tidak masalah, karena hal itu tidak sepenting perasaanku yang harus kulindungi.  Tapi yang ini berbeda, Jimmy menyinggung hal sensitif di tengah kerumunan -tentang aku yang mulai menjauh dari semua orang setelah kejadian itu, tentang aku dan egoku yang selangit. Karyawan lain di sekitar kami mendekat, tertarik. Mereka mengelilingiku dan Jimmy. Satu per satu bahkan tidak segan menatapku sinis dan melempari kata-kata serupa. Tanpa sadar, aku gemetar. Sepertinya aura gelap mereka mulai mempengaruhiku, membuat pandangan kabur. Otakku terpicu membentuk berbagai halusinasi liar. Mereka  semua bertambah besar, tertawa keras dan berputar-putar ingin menelan korbannya hidup-hidup.  "Jangan! jangan!" Ucapan lirih keluar dari mulutku dengan  tubuh yang tidak henti tremor. Rasanya diri ini semakin menciut dan hilang kendali. Karena yang kulakukan hanya memejamkan mata erat-erat, menutup telinga kuat-kuat dan terus menggelengkan kepala. Entah berapa lama, sampai kurasakan sebuah tangan menarikku keluar dari neraka itu. Trap. Kakiku berlari mengikuti, sampai terjengkang beberapa kali, sementara aku belum berani membuka mata bahkan sekedar mengintip. Aku hanya terus berlari. Gila memang, bagaimana aku menaruh seluruh harapan pada sosok itu. Yang menggenggam tanganku kuat-kuat membawa kami menjauh dari tempat sebelumnya.  Aku ngos-ngosan juga mulai merasa dingin. Angin malam menusuk kulit sampai ke tulang.  Kami berhenti, tanganku tak lagi ditarik. Aku terdiam beberapa saat, sibuk menerka-nerka yang terjadi. Hingga genggaman itu dilepas, hati diterpa rasa tidak rela.  Kuberanikan membuka mata, suguhan punggung tegap dua meter di depan sana yang entah kenapa membuat hati tenang. Yang kusyukuri setidaknya yang membawaku bukan salah satu dari mahluk gaib.  Mengamati dari postur tubuh, kuyakini dia laki-laki. Walau tudung jaket menutupi kepalanya. Aku melangkah mendekati, bermaksud mengucapkan terima kasih. "H..Hei-" ucapku hendak menyentuh bahunya yang terasa jauh walau kakiku terus melangkah. Tapi hei, kenapa suaraku tercekat?  "HEI-" kucoba lagi memanggilnya sekuat tenaga.Tetap sama. Suara apa pun tidak keluar.  Langkahku berhenti. Telapak tanganku meraba-raba leher. Memastikan apakah ada luka di sana atau tidak.  Baik-baik saja. Lalu, mengapa suaraku hilang begini? Aku melihat lagi sosok itu, yang ternyata sudah lebih dekat. Hanya berjarak satu meter lagi. Aku mengangkat tangan hendak menyentuh bahunya. Kurang beberapa centi dan rasa panas seketika menyerang leherku menimbulkan sensasi terbakar. Panas itu membuat ludah sulit ditelan dan nafasku mulai pendek-pendek.  Dia tiba-tiba sudah ada di hadapan, berbalik dan mengamatiku yang sedang kesakitan.  Astaga, dia... Dia... Mataku terpaku melihatnya, mengabaikan rasa tersiksa yang nyatanya terasa semakin sakit. Seluruh sel dalam tubuh ikut berteriak. Ingin berlari ke arahnya. Namun, ya Tuhan kenapa sekarang tubuh ini sekaku tembok?  Dia tidak bersua, apalagi bersapa, pun tidak melihatku. Dia hanya terdiam laksana patung. Sementara aku? Air mataku turun tak terbendung, mengalir begitu saja, kerinduan meluap di hati. Ketika tangan kanannya terangkat mengisyaratkan selamat tinggal, aku berteriak tidak rela.  "Aku... aku...ingin ikut!" ----- Yaa, itu salah satu cuplikan mimpi terbaruku tadi malam.  Masih fresh diingatan bagaimana kesadaranku ditarik paksa melewati gelapnya portal mimpi menuju kenyataan.  Kewarasanku kembali, ketika menatap langit-langit kamar yang gelap. Setelahnya, air mata tidak berhenti keluar membasahi pipi dan bantal sampai pagi menyapa. Bukan meratapi Jimmy, melainkan lelaki tiada bersapa tadi. Duhai, hati ini teramat sakit, teriris oleh kerinduan semua kenangan yang berlomba memenuhi memori. ----- Malam ini, kembali pertanyaan-pertanyaan itu muncul. 'Wajarkah semua mimpi hanya berujung pada satu orang -lelaki tiada bersapa itu?' 'Bagaimana jika aku memang sudah sekarat?' 'Apakah aku memang sudah gila? menciptakan sendiri bayangan alam bawah sadar?' Aku masih merenung di atas sofa empuk dengan celana pendek dan kaos longgar. Sedang mencari jawaban. Alarm menyentak dan menghentikan lamunanku. Mengingatkan jadwal meminum obat. Dengan malas, aku mendekati nakas. Meraih botol obat. Mengambil beberapa pil. Lalu, meneguknya dengan segelas air.  Aku melangkah lagi menuju sofa, hendak melanjutkan aktivitas yang tertunda -merenung. Namun, kilat  yang menyambar mengurungkan niat. Di luar sana sudah turun hujan lebat. Lantas, aku merebahkan tubuh di bed. Menatapi langit-langit kamar apartemen yang kubeli setelah 2 tahun bekerja sebagai konsultan pajak. Suasana tampak remang dan hanya ada lautan kehampaan.  Detak jam beradu dengan suara jantung, berjam-jam berlalu. Diri ini masih sulit tidur.  Pandanganku terus terpaku ke arah jendela yang terbuka. Membuat angin malam bebas berhembus menggerakkan tirai-tirai. Entahlah, mungkin kainnya sudah basah sekarang terkena cipratan air hujan. Saat seperti ini tiba, aku dan pikiranku selalu berada di tempat dan masa yang berbeda. 'Lalu apa yang harus kulakukan jika aku memang gila?'

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

RAHIM KONTRAK

read
418.2K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
52.9K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

The Prince Meet The Princess

read
181.7K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.1K
bc

Papah Mertua

read
530.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook