bc

ARUNA

book_age18+
8
FOLLOW
1K
READ
reincarnation/transmigration
time-travel
drama
heavy
bold
war
gay
like
intro-logo
Blurb

Kerajaan Aruna habis dilalap api. Raja dan ratu—tidak, ayah dan ibu—hangus. Tidak ada lagi rakyat, pun seluruh prajurit kalah sepenuhnya. Singkatnya, Aruna telah runtuh. Aku, Putra Mahkota, Arkananta Jayendra, memeluk seorang abdi yang paling setia, Aryawira, "Arya, maaf. Maaf, aku tidak bisa menyelamatkanmu."

Aku tidak lagi punya arah. Yang aku lakukan hanyalah menyusun keris-keris milik Arya, meletakkannya satu per satu di dinding gua. Tidak ada sesembahan apa pun. Tidak ada doa. Tidak ada asa. Di dalam gua, aku bersemadi, mengucap maaf ribuan kali, atau mungkin— jutaan kali. Hanyut dalam rasa bersalah, mengabaikan realita, sampai akhirnya, aku tersadar. Keris di depanku telah berkarat. Namun, bajuku masih penuh bauan hangus, sisa dari istana yang terbakar.

Aku kesulitan berpikir, hingga akhirnya, aku menyadari satu hal bahwa: "Aku ada di masa depan?"

chap-preview
Free preview
PROLOG: TERLALAP API
       Hari itu, aku terbangun dengan genderang perang yang memekakkan telinga. Aku masih ingat— sangat-sangat ingat, bahwa Aryawira, seorang abdi yang bertugas untuk melindungiku di seumur hidupku, menggoyangkan tubuhku dengan sangat keras. Deru napasnya menyapa wajahku, ia berkata, "Pangeran, Pangeran Arkananta, bangun."     Aku mendengar samar pada suaranya. Akan tetapi, kantuk terus menerus menarik kelopak mataku untuk menutup, meyamankan diriku di bawah kain jarit, mengabaikan Arya yang terus berusaha membangunkanku.     Kurasakan adanya tepukan yang cukup keras di pipiku. Arya terus berkata, "Jayendra, bangun."     Jengkel rasanya ketika Arya memaksaku untuk membuka mata. Namun, ada satu kalimat yang langsung membuatku berjingkat bangun.     "Istana terbakar."     Kelopak mataku terbuka lebar, diiringi dengan terompet perang yang memenuhi gendang telinga. Kerajaan Aruna diserang.     "Arya, Arya, Arya," aku berkata panik, "Rama dan ibu? Mereka di mana?"     Aku menyaksikan bagaimana wajah Arya yang berubah dari panik menjadi muram. Keras ekspresinya melunak menjadi bentuk kesedihan yang tak ingin kuartikan apa maknanya. Arya tidak membuka suara sama sekali.     Benci mulai menguasaiku. Aku tak ingin memikirkan hal itu. Hingga yang aku lakukan hanyalah terus mengajukan pertanyaan yang sama. "Arya! Rama dan ibu ada di mana?!"     Berulang kali aku ingin bangkit dari ranjang, tapi pergerakanku dibatasi oleh tubuh Arya yang sialnya, pagi ini punya kekuatan lebih daripada aku. Ombak penyesalan seolah naik dan akan segera menerjangku. Aku tak tahu harus bagaimana. Diam dari Arya adalah sebuah bencana bagiku. Arya yang mengunci bibirnya adalah Arya yang tak mau menyakitiku. Yang mana artinya, bencana benar-benar sedang terjadi.     "Pangeran, di sini lebih aman. Di sini saja," ujar Arya.     Kepalaku menggeleng keras. "Rama... Ibu..."     "Tidak ada yang tersisa di sana. Pangeran beruntung dengan tidak berada di istana. Saya akan melindungi Pange—"     BRAK— Aku menendang perut Arya dan segera berusaha keluar dari pondok kecil tempatku bermalam. Aku tidak bisa berpikir secara jernih. Kepalaku hanya diisi dengan kalimatku semalam, "Ibu, aku ingin berburu di hutan belakang."     "Boleh Ibu minta agar kamu di sini saja, Nak?"     "Kenapa aku selalu dilarang? Aku hanya ingin bermalam satu malam saja. Janji, hanya satuuuu malam saja."     "Kamu pergi bersama Arya?"     "Tidak, Ibu. Arya... sedang marah."     "Mau mengajak Ibu atau Rama?"     "Tidak, tidak, tidak. Aku ingin sendiri. Malam ini saja."     "Hati-hati kalau begitu. Semoga kamu senantiasa dalam perlindungan Yang Mahakuasa."     Bodoh. Aku mengutuk diriku sendiri.     Di depan sana, meski tertutup pepohonan rindang, netraku masih jelas menangkap merah yang menyala-nyala. Diam-diam, aku menyesalkan kenapa jarak pondok ke istana bisa sejauh ini. Kakiku yang tak beralaskan apa-apa kubiarkan untuk menginjak batuan, ranting, tanah basah, dan apa pun yang ada di bawah. Kulit tipisku sepertinya mengenai ujung batuan lancip, tapi— persetan.     Arya turut berlari di belakangku. Abdi itu terus memanggil namaku tanpa henti. Ia berharap bahwa aku akan menghentikan langkah. Tetapi, anak mana yang tak ingin menyelamatkan orang tuanya? Putra mahkota mana yang mau bersembunyi, sedangkan prajurit dan rakyatnya mungkin sedang menderita di sana? Aku tidak bisa diam.     "JAYENDRA!!!"     Teriakan itu adalah teriakan terkeras yang pernah dilantangkan Arya kepadaku. Tepat di depan istana, akhirka aku berhenti berlari. Di sana, di depanku, semuanya telah musnah. Bendera itu, bendera merah putih yang berselang-seling, aku sangat hafal dengan wujudnya.     Majapahit. Aruna jatuh di tangan Majapahit, secara paksa.     "Aku tidak akan tunduk."     Samar, aku bisa mengingat bahwa rama pernah mengatakan hal itu kepada penasihat Kerajaan Aruna. Itu sekitar sepuluh hari yang lalu, di waktu aku sempat membuat rama pusing akibat kelakuanku yang merusak ketenangan aula dengan mengerjai Arya sampai marah.     Aku harusnya tahu. Aku harusnya sadar. Tapi, aku memilih untuk tetap berada di wilayah nyamanku, enggan tahu prahara dunia, dan akhirnya ditinggal dalam keputusasaan.     "Jayendra..." lirih Arya.     Jika Arya tak memanggilku dengan sebutan 'Pangeran', maka, apa yang dikatakannya adalah hal serius di mana aku harus benar-benar mendengarkannya.     "Aruna telah runtuh," lanjutnya parau.     Aku menolak untuk memahami.     "Raja dan ratu tidak selamat, maaf."     "Tidak, Arya!" Aku mulai meraung bak orang gila.     Arya berusaha keras untuk menahanku, tapi aku malah nekat masuk ke lautan api. Tak kupedulikan rasa panas dan kulit yang perlahan melepuh akibat menginjak bara api. Yang ingin kulakukan hanyalah masuk ke dalam istana, masuk untuk melihat rama dan ibuku.     "Rama... Ibu..."     Mataku memerah, pipiku berlinang air mata. Di tempat di mana rama duduk, di tempat di mana ibunya biasa memberi senyum, di tempat di mana rakyat bebas mengeluh dan bercanda kepada rajanya, di tempat di mana aku belajar, di sini, di aula utama, kusaksikan raga bersimbah darah dari pasangan yang harusnya memimpin sebuah kerajaan yang damai.     Banyak rakyat berteriak di belakangku. Mereka memohon ampun, mengharap belas kasihan, meminta agar tak diseret paksa agar tunduk kepada Majapahit.     Aruna hanyalah kerajaan kecil di ujung Jawa. Hanya mengharapkan kehidupan tentram tanpa patuh kepada siapa-siapa. Aruna siap berjanji untuk tak menginjakkan kaki di kekuasaan kerajaan lain. Namun, kenapa harus begini? Mengapa?     "Jayendra..."     Aku berusaha menulikan pendengaranku ketika Arya memanggilku.     "Jayen..."     Nama kecilku disebut, tapi aku masih berusaha memeluk dua tubuh yang tak lagi punya jantung yang berdetak. Aku membiarkan merah mengotoriku, menyalutku dalam kepedihan yang pernah sanggup untuk kujelaskan rasanya.     Di belakangku, Arya tidak lagi berusaha memanggil namaku. Akan tetapi, ada satu kejadian yang terjadi dengan begitu cepat— terlalu cepat, sampai otakku terasa mati jika dipaksa untuk mengingatnya.     "Arkananta Jayendra!!!" teriak Arya, memanggil nama lengkapku.     BUGH— tahu-tahu, ragaku dipeluk kuat-kuat. Arya jatuh menimpa tubuhku.     Anehnya, kulitku merasakan rasa basah yang hangat, berbau anyir, dan seolah terus menyebar tanpa bisa dihentikan. Otakku berhenti. Mataku terbelalak. Napasku tercekat. Arya tertusuk anak panah, tepat di titik krusial di mana darah akan menyembur tiada berhenti.     "A-Arya..." Aku terbata-bata.     "Aryawira..." lirihku lagi.     Ingin sekali aku meneriakkan rasa frustrasi dan kesedihanku. Tapi, keberadaan musuh di dekatku membuat bibirku terkunci rapat-rapat. Aku merasakan dilema. Rasanya seolah aku tak ingin lagi hidup, namun mati pun terasa segan untuk dilakukan.     Maka dari itu, di hari terburuk dalam hidupku, aku hanya bisa menuruti bisikan lembut dari Arya. Sebuah bisikan terakhir dari dia yang menjadi abdi, dia yang menjadi sahabat, dia yang satu-satunya bisa mengerti seluruh perasaanku.     "Jangan mati, Jayen. Jangan mati..."     ***     Api sepenuhnya padam setelah hujan turun di malam hari. Tubuhku bersimbah darah dan penuh bau dari asap kebakaran. Di luar istana, sudah tak ada lagi rakyat. Mungkin, mereka semua telah dibawa ke Majapahit.     Ada banyak mayat yang bergelimpangan di sana dan sini. Jumlahnya terlalu banyak sampai kepala terasa pusing luar biasa. Akan tetapi, meski nyawa seolah lepas dari ragaku, aku tetap menggalikan tanah untuk mereka, untuk rakyat yang rela berkorban demi Aruna.     Berhari-hari aku melakukan hal yang sama— sendirian. Aku menggali tanah, lubang demi lubang, mengubur mayat demi mayat, mendoakan mereka satu per satu.     Aku tidak mempedulikan perut yang meronta meminta makanan. Pun tidak mengindahkan rasa sakit di sekujur tubuh akibat luka melepuh, goresan, dan sebagainya. Biarlah perih ini menjadi tebusan dari aku yang sibuk tidur saat mereka satu demi satu meregang nyawa.     Di hari kelima, aku selesai mengubur mereka semua. Dan kini, aku duduk diam di depan makam dari tiga orang yang aku sayangi.     Rama, Ibu, dan Arya.     "Maafkan aku. Tolong... maafkan Jayen," bisikku pilu.     Ludah kutelan susah payah. Mulutku terasa kering luar biasanya. Bernapas pun rasanya sulit untuk dilakukan. Seakan-akan, batu besar sedang menindih dadaku, dan di sekelilingku, aku mulai merasa bahwa pohon-pohon mungkin juga sedang meledekku. Meledek Putra Mahkota Kerajaan Aruna, Arkananta Jayendra, dengan kalimat, "Dasar manusia tidak tahu diri, tidak berguna."     Air mataku rasanya sudah habis, dihabiskan oleh rasa bersalah dan kesedihan yang tak akan menemui surut.     "Maaf..." Hanya ini yang bisa kuucap.     Di penghujung hari, kakiku tiba-tiba memilih untuk melangkah ke tempat Arya tinggal, ke sebuah rumah kecil yang ajaibnya tak tersentuh api sama sekali. Aku masuk ke dalam, membiarkan otakku memutar kembali kenangan lama yang rasanya masih terjadi kemarin.     Aku sering mengganggu Arya di sini. Wajah lelaki itu begitu dingin dan kaku, mirip seperti tembikar yang tak pernah disentuh dan dibiarkan disapu angin sepanjang hari. Ketika aku berhasil mencuri atensinya, Arya pasti akan merengut, membuat tembikar dingin itu retak, dan kadang pecah menjadi tawa yang terdengar konyol.     Ah, masa-masa itu. Aku ingin kembali ke sana.     Tanganku kemudian menyentuh jajaran keris yang dipasang di dinding. Ketika ujung jariku bertemu pada logam berlekuk itu, yang bisa kujabarkan adalah: dingin— persis seperti empunya.     Jumlah keris di tempat Arya cukup banyak. Lebih dari sepuluh dan semuanya terawat dengan sangat baik. Rama sering memberi hadiah keris kepada Arya. Alasannnya sederhana, yaitu karena Aryawira adalah seorang maniak keris. Mengoleksi senjata keramat ini bisa jadi pelipur laranya yang paling mujarab.     Dan anehnya, aku justru mulai memungut keris itu satu per satu, menggendongnya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang, seolah mereka adalah benda kecil rapuh yang akan hancur jika disentuh sembarangan.     Mungkin, hal ajaib di sini adalah fakta bahwa keris itu tak melukai kulitku sama sekali. Bukan karena tak tajam, tapi mungkin, ada mantra tersendiri yang membuatnya jinak kepadaku. Padahal, keris-keris ini sangat tajam, bahkan punya kemampuan untuk membelah sehelai rambut menjadi dua secara vertikal.     Aku berjalan ke arah gua yang merupakan tempat persemadian dari keluarga kerajaan. Kuletakkan keris-keris milik Arya agar bersandar pada dinding gua. Diterangi oleh cahaya minim dari rembulan yang masuk ke celah gua, aku menata rapi benda-benda kesayangan milik abdiku.     Begitu selesai, entah mengapa, sudut bibirku terangkat ke atas. Ini adalah kali pertama aku tersenyum sejak hal mengerikan itu.     Di tempat ini, dibasuh temaram bulan, dibalut oleh dinginnya malam, aku duduk sendirian. Tidak ada sesembahan. Aku hanya menutup mata, menetralkan napas, dan mulai bermeditasi.     Aku tidak berusaha memikirkan segala bencana yang mengekor menjadi penyesalan terberat di hidupku. Aku tak mau berharap apa-apa. Aku hanya ingin hidup, sebagaimana apa yang diminta Arya, namun aku ingin menghabiskannya di sini, sendirian.     Tidak ada asa yang ingin kupanjat. Dimulai ketika aku menggelapkan pandanganku, yang ada di pikiranku hanya satu. Maaf.     Aku mengucap maaf kepada rama, ibu, Arya, pasukan kerajaan, rakyat, dan semua orang yang kehilangan kedamaiannya di hari itu.     Maaf. Maaf. Maaf.     Aku terus mereptisinya.     Maaf. Maaf. Maaf.     Aku mengulangnya, dari diiringi tangis, disalut amarah, dirundung sesal, sampai akhirnya, "Maaf, maaf, maaf,"  bisa kuucapkan dengan lebih tenang.     Dari puluhan, ratusan, ribuan— atau mungkin sudah mencapai jutaan.     Aku terus mengucap kata yang sama. Hingga tiba-tiba, ucap maafku dihentikan oleh sebuah suara keras.     DUARRR!     Itu bunyi ledakan.     Seingatku, seharusnya, ini adalah siang hari dari hari kemarin. Seharusnya, ini masih terlewat satu hari dari hari di mana aku masuk ke dalam gua. Namun—     DUARR!     Bunyi itu kembali mengusikku. Yang mana akhirnya, aku terpaksa membuka mata.     Dan aku terkejut bukan main ketika melihat bahwa keris milik Arya, keris yang aku gendong kemarin, sudah dipenuhi oleh karat. Saat jariku menyentuhnya, rasanya seolah benda itu diletakkan di tempat tak beratap, diguyur hujan, dipanasi mentari, dibiarkan untuk membuat karat selama bertahun-tahun.     Aku menarik bajuku, mendekatkannya pada hidungku. Aku mengendusnya. "Masih bau hangus dan masih ada bau tanah segar."     Aku memiringkan kepala tanpa sadar, tanda bahwa aku bingung luar biasa. Belum lagi, gua tempatku bersemadi jadi penuh akan debu, bahkan terkesan tak terawat dan sedikit menjijikkan.     "Mungkin aku harus kelu—"     DUARR!     Monologku terpotong oleh bunyi ledakan yang sama seperti sebelumnya. Lama-lama aku tak tahan dan ingin menghardik siapa pun yang mengganggu meditasiku. Aku pun segera bangkit dan berjalan cepat ke mulut gua.     Sayangnya— BRUK! Aku jatuh dengan mengenaskan.     "Ugh, sejak kapan ada jurang di depan gua..." lirihku kesakitan.     Tidak ada yang aku rasakan selain sakit dan kesal karena badanku jatuh penuh ke tanah berlumpur.     Yang sialnya lagi, aku merasa bahwa kesadaranku menemui titik gelap. Aku yakin, sebentar lagi aku akan pingsan.     "Tolong..." pintaku tak berdaya.     Sayangnya, tak ada indikasi bahwa ada manusia lain yang akan menolongku. Sebelum aku menutup mata sepenuhnya, yang kuingat hanyalah teriakan samar berupa, "Nippon di sini! Nippon di sini!" *** To be continue.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Romantic Ghost

read
161.9K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.0K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.6K
bc

Time Travel Wedding

read
5.1K
bc

Kembalinya Sang Legenda

read
21.6K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
2.0K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
145.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook