bc

Bujang Lapuk

book_age18+
17.8K
FOLLOW
190.0K
READ
drama
sweet
serious
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Bujang, tiga puluh delapan tahun, tak lagi mengharapkan jodoh karena selalu gagal saat berniat menikah. Lalu bagaimana jika gadis cantik dan masih muda tapi patah hati menawarkan diri padanya? menikah tapi dengan beberapa kesepakatan.

chap-preview
Free preview
Satu
Bujang mengayun kapaknya dengan semangat. Membuat kayu besar yang sudah dipotong itu tebelah dalam satu kali terjang. Peluh yang menetes membasahi tubuh Bujang membuat kulitnya yang sawo matang mengkilap ditimpa cahaya matahari pagi. Lengan berotot keras, perut kotak-kotak yang terbentuk secara alami karena sering melakukan pekerjaan kasar dan mengangkat beban berat. Bujang memisahkan kayu yang sudah terbelah dengan tempat yang berbeda. Kayu itu harus dibentuk lagi sebelum dijadikan kayu bakar. Katakanlah Bujang kolot, memang, disaat orang memakai gas untuk memasak, dia malah mengandalkan tungku andalannya. Bukan dia tak memiliki uang, hanya saja pria yang kerap digelari Bujang lapuk itu merasa tak perlu membeli perabotan atau pun pecah belah. Bujang meletakkan kapaknya, lalu duduk di kayu yang masih utuh untuk menyalakan rokok. Asal rokok mengepul dari bibir gelap itu, sementara keringat membasahi rambutnya, mengalir ke pelipisnya. "Seharusnya cari istri saja," kata seorang laki-laki yang sudah memiliki rambut bawarna abu-abu. Kekehan mengejek itu sudah biasa bagi Bujang. Bujang mendengus. "Siapa yang mau denganku, gadis zaman sekarang lebih memilih pria kota dari pada laki-laki yang hidup di tengah hutan." "Ah, kau benar, mungkin kau perlu menunggu wanita ajaib yang menyasar ke sini, seperti film-film." "Dari tadi kau bicara saja, ayo bantu aku memasukkan perabot pesanan Abang Sholeh." "Tunggu dulu, Kopiku belum habis." "Dua menit lagi kalau kau tak bergerak, aku takkan mengeluarkan upahmu hari ini." "Aku tau kau kejam." Pria yang sudah berumur itu terpaksa bangkit. "Apa mejanya bisa diantar sekarang?" Suara halus nan merdu, mengalun berhasil menghentikan gerakan pria yang berbeda usia itu. "Jang! Wanita kesasar!" kata pria itu pada Bujang. Dan Bujang kembali mendengus. *** "Mana barangnya?" Bujang berjalan menuju gudang, perabot disimpan di sana. Wanita itu mengekorinya sambil mengamati sekeliling, lalu tersenyum kecil saat Luqman teman Bujang mengangguk padanya. Senyuman menggoda. "Ini dia," kata Bujang menunjukkan sebuah meja yang baru saja diberi cat pernis. "Loh? Kok begini, Bang? Saya mintanya bukan begini, saya minta mejanya agak tinggi karena mau dipakai buat meja belajar saya." Wanita cantik berambut panjang dan ikal itu menatap kurang puas. "Siapa namamu?" tanya Bujang, wanita ini masih muda, sekitar dua puluhan. "Saya Keke." "Anak Pak Iwan, kan?" tanya Bujang sambil melihat catatan bon di tangannya. "Iya," "Beberapa hari yang lalu, ayahmu yang ke sini, saya membuat sesuai pesanan ayahmu. Kalau yang datang hari itu kamu, tentu saya buatkan seperti yang kamu mau." Wanita muda itu, tampak belum puas dengan jawaban Bujang. Dia bahkan terlihat tak berminat pada meja yang dipesan oleh ayahnya. Bujang menanti tanggapan dari gadis berkemah kotak-kotak dan memakai celana jins selutut itu. Sepatu kets putihnya sudah kotor terkena tanah. "Terus gimana ini? Barangnya mau diantar langsung atau diperbaiki dulu?" tanya Bujang. "Antar yang ini dulu! Nanti buatkan lagi yang baru sesuai yang saya mau," jawab Keke menyerah, padahal dia sudah mengatakan berulangkali pada ayahnya, bahwa dia mau meja belajar, yang ukurannya sesuai dengan posturnya yang tinggi semampai, ini malah mirip meja belajar anak TK. Padahal dia belum memiliki keponakan, kakaknya saja belum punya anak sampai saat ini. "Baiklah! Kamu mau meja yang seperti apa?" "Tunggu!" Keke mengeluarkan smartphone-nya. "Aduh, nggak ada jaringan lagi, di sini," keluhnya. "Pokoknya sepeti meja belajar pada umumnya, tapi bikinin agak tinggi." "Baiklah!" "Uangnya saya kasih setelah barang sampai di rumah, ya, Bang." Keke berjalan menuju motor matic-nya. Gadis cantik itu memasang helm, dan menyalakan benda itu. "Rumah kamu yang mana?" "Abang ikuti saya saja!" jawab gadis itu melakukan motornya lebih dulu. "Ahay, rejeki nomplok, mengekori gadis cantik, mudah-mudahan kalian berjodoh," goda Luqman. Bujang hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Gadis kecil itu tidak mungkin jadi jodohku." "Bukan kecil, tapi kau yang ketuaan, dua tahun lagi sudah empat puluh." Bujang tak ambil pusing ocehan Luqman, mobil pick-up yang dipenuhi beberapa barang itu melaju mengikuti Keke. Dulu Bujang memang ingin menikah, menikah dengan gadis desa yang pintar memasak. Sayangnya beberapa kali meminang, selalu ditolak karena dia bukan orang kantoran. Lagi pula siapa yang mau diajak tinggal di atas perbukitan yang lumayan terpencil dari keramaian. Bagi Bujang, sosok istri ideal tak perlu cantik, yang penting santun dan pandai mengurus keluarga. Namun, keinginan untuk menikah itu sudah berhenti sejak tiga tahun terakhir, dia mulai berhenti berharap. Mungkin takdirnya hidup sendiri. Bujang mengelap keringatnya dengan handuk kecil yang diletakkan di bahunya. Jalan yang dilalui menurun dan dipenuhi kerikil, tapi tubuh langsing yang tak begitu jauh jaraknya dari mobil Pick-up, begitu lihai membawa motornya. Bujang sampai berpikir, gadis bergaya kota ini kenapa repot-repot menemuinya untuk menanyakan meja pesanan ayahnya. *** Rumah Keke atau rumah Pak Iwan terletak di desa seberang, sebuah rumah sederhana yang beratap genteng dengan bangunan semi permanen. Pak Iwan menyambut Bujang dan membantu pria itu menurunkan meja pesanannya. "Ayah, maksud Keke, bukan begitu model mejanya." Keke tak sanggup menyembunyikan raut kesalnya. "Loh, kan ini meja belajar juga, bedanya kalau menggunakannya, kau harus duduk lesehan." "Mana ada meja belajar lesehan, Ayah." "Lha? Ini buktinya ada kok." "Terserah ayahlah, yang jelas aku pesan satu lagi sama Abang itu." Keke berlalu dan masuk ke dalam rumah. "Harap maklum, dia walaupun sudah berumur dua puluh dua tahun, tapi masih sepertu anak-anak." "Iya, tidak apa-apa." "Kau tak bertanya?" kata Pak Iwan. "Menanyakan apa?" "Anakku, bukannya ini pertama kali kalian berjumpa?" "Pernah dulu, saat dia masih SD." "Oh, dia cantik tidak?" Bujang berhenti mengikat barang yang tersisa. Lalu memandang Pak Iwan sekilas. "Cantik." "Kau suka?" goda Pak Iwan lagi. Bujang tertawa kecil. "Jangan meledek saya, Pak! Keke lebih cocok jadi keponakan saya." "Mau tidak aku jodohkan kau dengannya?" "Permasalahannya, mau tidak Keke dijodohkan dengan saya? Jawabannya seratus persen tidak. Sudahlah, Pak Iwan, anak kok dijadikan candaan." Bujang naik ke kursi kemudi. "Ya sudah! Ini uangnya. Pesanan Keke berapa lama bisa diantar? Jangan tunggu dia mengamuk dulu, kau tak punya hp untuk dihubungi." "Kali ini saya akan tepat waktu, tiga hari lagi." "Baiklah, aku tunggu!" Jawab Pak Iwan ramah.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook