bc

A Diary of My Friendship [Bahasa Indonesia]

book_age12+
452
FOLLOW
2.6K
READ
friends to lovers
tomboy
sensitive
student
drama
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Hai. Aku Joana Marshall McCartney. Ini catatan perjalanan hidupku, seorang anak blasteran keturunan Amerika-Indonesia yang sempat dijuluki ‘Kucing Brondong’, padahal biasanya orang berparas bule akan dikagumi. Miris bukan? Untung saja aku mendapatkan sahabat-sahabat yang selalu ada di sisiku. Hanya saja, kebahagiaan itu hanya sementara karena aku harus pindah ke Amerika akibat kondisi keuangan keluarga yang semakin terpuruk.

Yah, aku tidak bisa bercerita banyak disini. Aku biarkan kalian membaca kisah pribadiku ini. Jika kalian menemukannya, jangan hanya menyimpannya sendiri, oke? Setelah membacanya, aku harap kalian bisa membagikannya kepada orang lain. Disini kalian akan menemukan bagaimana persahabatan sejati menolongku bertahan hidup dan menyelamatkan keluargaku dari kehancuran. Akan kuceritakan juga bagaimana aku mendapatkan cinta sejatiku. Selamat membaca!

chap-preview
Free preview
#0
[ Hai. Aku Joana Marshall McCartney. Ini catatan perjalanan hidupku. Jika kalian menemukannya, jangan hanya menyimpannya sendiri, oke? Setelah membacanya, aku harap kalian bisa membagikannya kepada orang lain. Disini akan kuceritakan kepadamu bagaimana persahabatan sejati menolongku bertahan dalam kehidupan dan menyelamatkan keluargaku. ]   - ADOMF -   Papaku berasal dari Amerika, kulitnya putih, tubuhnya tinggi dan tegap, matanya biru dan rambutnya coklat kekuningan. Mamaku asli dari Bali, rambut dan kulitnya berwarna sawo matang, membuatnya sangat eksotis. Gen papaku lebih kuat menurun padaku, sementara gen mamaku kuat pada adikku. Itulah kenapa aku tampak sangat berbeda daripada orang-orang di sekitarku. "Ya ampun kamu cantik banget sih? Kamu Indo ya? Campuran sama apa? Ih seneng deh liatnya." Pujian-pujian semacam itu wajar terdengar jika memiliki wajah blasteran di abad milenial. Selain bisa merasa senang mendengarnya, itu juga merupakan sebuah keuntungan. Kau bisa mendapatkan ketenaran dengan mudah melalui sosial media dengan paras bule. Tetapi lain ceritanya kalau kau lahir di satu dekade yang lalu. Teman-temanku berkata bahwa mataku seperti kucing dan rambutku seperti rambut jagung hingga julukan ‘Kucing Brondong’ melekat padaku. "Teman-teman, lihat itu ada Kucing Brondong. Dia datang pakai celana monyet." "Wah, jadi dia itu kucing apa monyet?" "Dia sih siluman campuran kucing sama monyet!" "Eh, eh. Badannya juga tinggi banget, kaya orang dewasa. Keturunan raksasa kali ya?" "Paket komplit dong! Udah Kucing Brondong, campuran monyet, raksasa lagi!" Aku masih sangat ingat momen itu semasa di bangku kelas dua SD. Rasanya aku ingin marah dan meluapkan kekecewaanku pada mereka dengan kata-kata. Namun hanya tanganku yang refleks mengambil pensil dan kulemparkan ke arah mereka. Tanpa kusangka pensil itu mengenai mata salah satu anak perempuan itu sehingga ia menangis. Untung saja tidak terjadi sesuatu yang serius, tetapi aku mendapat surat teguran dari sekolah. Yang paling aku benci adalah ketika kedua orang tuaku harus meminta maaf karena kejadian itu kepada pihak keluarga dari siswi yang terluka. Kejadian serupa sempat terulang setelah aku lulus dari bangku SD. Saat itu aku mendapati beberapa siswa mencontek saat menjalani tes seleksi masuk salah satu SMP paling favorit di Bali. Pendidikan kejujuran di dalam keluargaku membuat aku tidak bisa menerima kejadian seperti itu. Aku tidak tinggal diam begitu saja dan mengangkat tangan untuk melaporkan kejadian tersebut. Salah satu dari mereka yang rupanya berasal dari SD yang sama denganku langsung menceletukkan, "Dasar Kucing Brondong nggak tahu diri. Mentang-mentang pinter, sukanya halangin orang lain untuk sukses." Beberapa siswa lainnya yang terlibat dalam aksi tidak jujur itu memberikanku tatapan yang tidak suka juga. Mereka seolah mendukung ledekan mantan teman sekolahku itu dan tertawa dengan menyebut-nyebut julukan itu untuk menjatuhkanku. Kelas pun berubah menjadi cukup ricuh dan kedua guru pengawas tampak tidak segera bertindak. Ini membuatku sangat geram. Lagi-lagi mulutku hanya diam tetapi tanganku mengayun cepat melemparkan botol minum padanya. Kekuatanku yang bertambah dan fokusku yang baik rupanya sukses membuat tembakanku tepat sasaran. Botol itu mengenai dadanya sampai ia terbatuk-batuk dan tidak bisa melanjutkan tes. Orang tua kami berdua dipanggil untuk mengatasi masalah di antara kami. Namun kali ini aku agak beruntung karena guru pengawas di kelas itu menceritakan jalan cerita kejadian yang sebenarnya. Alhasil kami berdua tidak diijinkan untuk sekolah di tempat itu, padahal Papa sudah membayar biaya pendaftaran tes yang cukup mahal. Sejak saat itu aku berusaha untuk berhati-hati mengatur emosi. Bukan karena aku takut melukai orang lain atau diriku sendiri, tetapi takut mengecewakan kedua orang tuaku. Hanya saja, itu terlalu sulit dilakukan sehingga aku memutuskan untuk bersikap cuek dan menyendiri, tidak berusaha bergaul dengan siapapun. Jika ada seseorang yang berusaha bersikap ramah kepadaku, tanpa satu kata terucap aku berlari menghindar. Semua orang menjadi tidak suka padaku, menganggapku aneh dan membiarkanku berada dalam duniaku sendiri seperti pengidap autisme. Dalam kesendirianku itu, seringkali aku berharap agar aku lahir dengan kulit dan rambut yang lebih gelap. Maka dari itulah aku mencoba berjemur di bawah matahari untuk menggelapkan kulitku. Hanya saja usahaku gagal karena justru kulitku terbakar dan sempat berdampak serius sebagai hasilnya. Yah, setidaknya aku masih memiliki keluarga yang mendukungku dalam segala hal. Papaku berkata bahwa menjadi berbeda itu baik. Aku mempercayai ucapannya, meskipun pada kenyataannya aku masih tetap rendah diri. Itulah alasannya aku lebih suka berada di rumah bersama dengan keluargaku ketimbang menghabiskan waktu di luar rumah, apalagi bersama dengan teman-teman. Di rumah aku bisa tertawa dan menjadi sangat cerewet sementara di luar aku dingin seperti zombie, seakan-akan memiliki kepribadian ganda. Pola rute ‘rumah-sekolah-rumah’ selalu kujalankan setiap hari dan baru berubah pada masa SMA. Di masa inilah aku bertemu dengan Bryan, Maggie, Lisa dan Doni pada saat menjalani orientasi siswa selama seminggu. "Kenapa kalian biasa aja? Nggak malu kumpul sama aku?" "Kenapa harus malu?" Maggie menyahut. "Penampilanku kan nggak kaya orang Indonesia kebanyakan. Genter kaya tiang, rambut terang, mata biru, dan pernah kasar sama kalian." "Hah? Itu kan normal karena kamu blasteran. Kamu sama Bryan juga tingginya sama," timpal Lisa. Ia lalu menepuk punggungku dengan sedikit keras. "Jadi, kamu nggak perlu jalan bungkuk kaya gitu. Mata pandang ke depan, bukan ke bawah. Kamu itu cantik." Doni menyikutku. "Siapa yang bikin kamu jadi rendah diri kaya gini sih? Hajar aja tuh orang," ucapnya ikut tak terima akan apa yang terjadi padaku. Aku tertawa mendengarnya. "Mungkin kamu baru kenal sama kami berempat. Tapi secara pribadi aku mau bilang kalau aku akan selalu ada untuk kamu. Mulai saat ini, kamu sahabatku," perkataan Bryan membuatku benar-benar tersentuh, dan kemudian disetujui oleh ketiga temanku lainnya yang juga mengatakan hal serupa. "Kita sahabat selamanya!" Itu alasannya meskipun dalam waktu sesingkat itu, mereka mampu membuka hatiku yang sudah tertutup rapat-rapat untuk orang lain dengan karakter unik mereka masing-masing. Dengan berjalannya waktu, mereka juga membantuku menemukan jati diri dan talenta dalam bermusik yang telah lama terkubur. Aku mulai bisa menikmati hidup bersama dengan mereka. Berkat mereka pula, aku terbentuk menjadi seorang kakak yang baik untuk adikku, Bill. Aku tidak bisa berpikir bagaimana jadinya jika tidak ada keempat sahabatku yang mengubah kerenggangan di antara kami karena sikap dinginku saat di sekolah. Memang sejak ia lahir, aku sangat dekat dengannya sampai-sampai ketika ia menangis meminta makan atau minum s**u, ia tidak berlari kepada Mama tetapi padaku. Semua itu gara-gara aku selalu bisa menerjemahkan omelannya yang tak dimengerti oleh Papa dan Mama. Hal itu lah yang akhirnya membuat Papa dan Mama selalu menyekolahkan kami di tempat yang sama. Hidupku terasa lebih sempurna lagi ketika orang-orang mulai menghargaiku. Julukan ‘Kucing Brondong’ telah tergantikan dengan ‘Primadona Sekolah’ atau 'Princess McCartney'. Banyak yang memandangku dengan penuh kekaguman bukan hanya karena paras bule ini, tetapi juga prestasiku dalam bidang akademik dan kemahiranku bermain piano. Belum lagi ketika ada banyak lawan jenis yang berebut untuk mendapatkan hatiku, namun tidak mungkin aku membiarkan reputasi baik ini rusak begitu saja karena salah memberi respons. Untung saja para sahabatku, terutama Bryan, selalu menjadi tameng bagiku ketika aku tidak tahu bagaimana caranya untuk menolak mereka tanpa menyakiti. Jika diperhatikan, sahabat laki-lakiku yang satu ini memang selalu memasang badan di antara aku dan anak-anak laki-laki yang mengejar-ngejarku hingga semua orang berkata bahwa ia adalah pacarku. Ia memang benar-benar menepati janji yang diucapkannya sedari awal kami memulai persahabatan. Baik aku maupun Bryan tidak menyangkal rumor itu karena terus terang kami menaruh perasaan satu sama lain meskipun masih malu untuk mengungkapkannya. Doni, Maggie dan Lisa yang mengetahuinya pun mendukung kami sepenuhnya. "Eh, eh. Si ganteng Bryan itu udah ada yang punya ya ternyata? Sayang banget. Padahal kalo dia jomblo kan bisa banyak yang punya kesempatan untuk kejar dia." "Ih, kalo aku sih main tabrak aja. Udah punya cewek no problem dong. Selama janur kuning belum melengkung, sah-sah aja kalo ada yang mau berusaha rebut." "Iya, apalagi yang deket sama dia itu dulu cupu. Sebutannya Kucing Brondong, terus orangnya anti sosial gitu. Kalian nggak tahu kan?" Percakapan semacam itu juga sering sekali kudengar dari mulut para siswi gedongan yang biasanya datang ke sekolah hanya untuk memamerkan status dan kecantikan. Mereka bahkan tega dan tidak malu berbisik-bisik dengan jelas di depanku. Namun berkat dukungan keempat sahabatku, aku hanya tertawa di atas nyinyiran mereka yang tak kunjung habis itu. Belum lagi aku justru bisa menjadikan hal itu sebagai sebuah candaan dengan pelesetan singkatan SMA 'Sekolah Menggosip Asik', merujuk pada kelakuan para gadis itu. Dalam hal ini, Bryanlah yang paling bangga akan caraku menanggapi masalah. Pasalnya, dia yang paling sering menasehatiku untuk tetap tegar sambil menutup telinga. Terkadang aku berandai-andai bagaimana jadinya masa depanku nanti bersama dengan Bryan. Dia menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan film, sementara aku menyukai musik. Meskipun kami memang berbeda, entah bagaimana kami menemukan kecocokan satu sama lain. Misalnya, kami seringkali lupa waktu saat membahas mengenai film dan soundtrack-nya. Sempat kami mengutarakan sebuah cita-cita dimana Bryan akan menjadi sutradara film dan aku yang menjadi pencipta serta penyanyi lagunya suatu hari ini. Bukankah itu terdengar indah? Mungkin kami bisa menjadi pasangan yang menginspirasi banyak orang seperti. Oh, betapa sempurnanya hidupku. Aku benar-benar bersyukur dengan keadaanku saat ini. Terkadang aku menyampaikan harapan konyol kepada keempat sahabatku bahwa aku ingin waktu terhenti di masa indah ini. Begitu pula setiap aku berdoa sebelum tidur. Aku meminta pada Tuhan agar kami bisa terus bersama sampai rambut kami memutih. Namun sayangnya, apa yang terjadi selanjutnya bukanlah sesuatu yang kuharapkan sama sekali. ~ ADOMF

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MANTAN TERINDAH

read
6.9K
bc

Loving The Pain

read
2.9M
bc

When The Bastard CEO Falls in Love

read
370.0K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
399.9K
bc

The Prince Meet The Princess

read
181.7K
bc

The Seed of Love : Cherry

read
111.6K
bc

Everything

read
278.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook