bc

Merakit Perasaan [Sequel Black Tears]

book_age12+
813
FOLLOW
9.4K
READ
love-triangle
possessive
arranged marriage
drama
comedy
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Jevara memulai hidup barunya di Korea. Namun siapa yang menyangka jika ia bertemu dengan masa lalunya di Negeri Gingseng tersebut.

Takdir untuk memulai yang baru atau takdir untuk kembali ke kisah yang lama?

Bersama si kembar, Daska dan Prasta Wenas...

chap-preview
Free preview
1. Prolog
Belvara Raypraja. Semua orang yang menyayangi Belva berdiri mengelilingi pusara wanita itu, tempat peristirahatan terakhirnya. Tangis dan raut kesedihan tidak dapat di tutupi, tetas air mata tidak dapat dibendung lagi. Semua ang bersedih dengan caranya masing masing, mengungkapkan rasa kehilangan mereka akan sosok Belva. epegian yang di rasa terau cepat. Ibu Belva menangis tersedu-sedu di atas pusara anaknya, matanya yang sayu terlihat bengkak karena terlalu lama menangis. Ayah Belva bersimpuh di dekat istrinya, memeluk wanita itu memberikan kekuatan. Mencoba menjadi dinding yang bisa di jadikan sandaran oleh istrinya yang tengah kehilangan. Kehilangan terbesar seorang ibu adalah kehilangan seorang anak. Dan itu tengah dirasakan oleh Ratu saat ini. Selama 20 tahun lebih ia membesarkan seorang anak, lalu hari ini takdir merenggutnya dengan cara yang menyakitkan. Sampai detik ini ia tidak mengerti kenapa anaknya mengambil keputusan yang salah. Kenapa anaknya bunuh diri? Ia merasa menjadi ibu yang paling buruk karena tidak tahu apa apa tentang putrinya, ia merasa gagal menjadi seorang ibu. Ia merasa kasihan karena putrinya harus menderita sendirian, menanggung beban sendirian. Hingga pada akhirnya memilih jalan seperti ini, mengakhiri hidupnya sendiri dan meninggalkan orang orang yang menyayanginya. "Belva, maafkan Mama karena tidak bisa menjaga mu dengan baik. Maafkan Mama karena tidak mengerti masalah yang sedang kau hadapi. Maafkan Mama, Nak. Maafkan Mama." Ratu meraung di depan pusara anaknya. "Mama belum bisa menjadi ibu yang baik untukmu." "Sudah, Ma, sudah." Raja hanya bisa memeluk istrinya semakin erat. Rasa bersalah pria itu sama besarnya dengan rasa bersalah yang sekarang di alami oleh sang istri. Sebagai seorang kepala keluarga, ia juga merasa gagal. "Jangan menyalahkan diri Mama sendiri." Pelukannya semakin erat. Denta menatap pusara adik satu-satunya dalam diam. Tidak ada air mata di sana. Tidak ada seorang pun yang dapat menebak ekspresi Denta saat ini. Jeva yang menjadi salah satu bagian dari orang-orang yang menyayangi Belva menatap pria itu, menelaah arti tatapan kakak dari sahabatnya itu. Lalu perasaan bersalah muncul saat ia kembali mengingat cerita Belva, wajah sahabatnya yang terlihat sangat menderita. Tanpa terasa satu tetes airmata jatuh membasahi pipinya. Perempuan itu segera menghapus air mata itu sebelum orang lain melihatnya. Denta melirik ke arah Jeva yang masih menatapnya, pria itu lalu berjalan menghampiri perempuan itu lalu menariknya menjauh dari kerumunan. Denta mengajak Jeva untuk pergi dari area pemakaman lalu berhenti di area parkiran. Denta menatap Jeva dalam diam, seperti menuntut penjelasan. Tanpa perlu bertanya sebenarnya Jeva sudah tahu apa yang akan pria itu katakan, namun saat ini Jeva tak kuasa untuk menceritakan semuanya. Terlebih lagi ia tengah memegang janji yang di ucapkan oleh Belva sebelum ia meninggal. “Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Denta kemudian. Tenang namun berhasil membuat Jeva ketakutan. Satu karakter yang belum pernah Denta tunjukan kepada Jeva, semarah apapun dirinya. Namun Jeva tahu jika saat ini Denta tak lagi marah melainkan kecewa dan terluka. Setelah kematian Belva, pertanyaan ini yang terus mengganggu fikirannya. Apa yang harus ia katakan jika seseorang bertanya ‘apa yang terjadi’, 'kenapa Belva mengambil keputusan ekstrem ini?' 'Apa yang ia sembunyikan dari semua orang?'. Jeva mempertahankan ekspresinya setenang mungkin. Lalu menatap mata tajam Denta tanpa rasa takut. “Aku juga tidak tahu,” jawabnya kemudian. “Heh. Tidak tahu?” Denta mendengkus sinis. “Kalian bersahabat, Jev. Tidak mungkin kalau kau tidak tahu apa-apa tentang masalah ini! Belva pasti bercerita padamu! Dia tidak mungkin memendam masalahnya sendiri...,” geramnya kemudian. Kedua tangan pria itu mengepal di kedua sisi, ia sedang menahan amarahnya supaya tidak meledak di hadapan Jeva saat ini. Jeva diam sejenak. Tak mengalihkan pandangannya supaya Denta tak semakin curiga. Meneguhkan dirinya sendiri untuk tetap bungkam. “Aku benar-benar tidak tahu, Ta.” Jeva diam sejenak. "Belakangan ini aku merasa jika sikap Beva aneh, tapi tidak pernah menyangka jika ia akan melakukan hal ini." “BOHONG!” teriak Denta kalab. Jeva sempat tersentak mendengar teriakan Denta barusan. Denta menyadari raut terkejut di wajah Jeva, jadi ia diam sejenak. Pria itu berusaha mengatur emosinya. Ia meraih kedua tangan perempuan yang berdiri di hadapannya dan meremasnya pelan. "Jev, please!” Ia terlihat memohon. “Tolong katakan apa yang terjadi? Aku kakaknya, aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada adikku.” Denta menangis. Pria itu menangis di hadapan Jeva. Jeva melengos ke kanan, ia tidak kuasa menatap wajah nelangsa Denta. Pria itu hanya menunduk dan menangis di hadapannya. Sejujurnya ia ingin menceritakan semuanya kepada Denta tapi.... “Sungguh aku tidak tahu apa-apa, Ta. Aku tidak tahu apa-apa,” ujarnya lirih. Wanita itu kembali menatap Denta yang masih menunduk. Sekali lagi memilih untuk bungkam. "Kalau aku tahu masalah Belva, aku tidak mungkin membiarkannya mengambil jalan ini." Pengecut! Kau tahu masalahnya dan kejadian buruk ini tetap terjadi, jerit hati kecil Jeva. “Maaf,” lirihnya kemudian melepaskan tangan Denta sebelum berbalik pergi. “Kalau begitu apa kau juga tidak tahu kalau Belva hamil?” tanya Denta menatap punggung Jeva yang menjauh. Jeva sontak menoleh ke belakang. “Apa kau bilang?” tanyanya kaget. Tentu saja ia kaget, bagaimana bisa Denta tahu kalau Jeva hamil sementara ia dan Jeva sudah mengatakan kepada dokter yang menanganinya untuk tutup mulut. Darimana Denta tahu tentang masalah ini? Denta hanya diam mengamati ekspresi di wajah Jeva. Pria itu kemudian menghela nafasnya lelah. Menyakini kalau ekspresi kaget itu karena ketidak tahuan Jeva masalah kehamilan Belva. “Ternyata kau juga tidak tahu,” gumam Denta pelan. “Belva hamil, Jev. Aku yakin kalau Prasta tidak mungkin melakukannya pada Belva, tapi.... Oh, Jev. Aku harus bagaimana?” Pria itu terlihat bingung dan frustasi. Jeva memutuskan untuk menghampiri Denta. Setidaknya ia bisa menjadi penghibur untuk pria itu. “Aku tidak bisa melihat orangtuaku. Setiap melihat mereka menangisi Belva, hatiku sangat hancur.” Denta menatap mata Jeva dengan mata sayunya. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan mereka jika mengetahui bahwa Belva meninggal dalam keadaan hamil.” Tubuh Denta bergetar, ia menahan isak tangisnya. Jeva mengikis jarak di antara mereka, lalu merentangkan tangan untuk memeluk pria rapuh di hadapannya. Mereka saling berpelukan untuk berbagi kesakitan bersama. “Kalau begitu jangan katakan,” bisiknya pelan. Denta hanya diam saja. “Jika kebenaran bisa sangat melukai hati seseorang, lebih baik menguburnya dan melupakannya. Itu lebih baik, Ta.” Jeva berujar lirih. “Lagipula kita tidak tahu siapa yang telah menghamili Belva, semuanya akan bertambah rumit jika orangtuamu tahu.” Jeva semakin memperat pelukannya. Saat ini ia juga butuh penguatan. Denta membenamkan kepalanya di rambut Jeva. Memeluk wanita dalam pelukannya yang semakin erat. “Bagaimana cara kita menghadapi hidup setelah ini?” bisiknya kemudian. “Sulit. Tapi aku yakin kita bisa,” bisik Jeva dan ia sudah tidak dapat lagi membendung tangisnya. Dua orang itu saling berbagi luka dan menangisi orang yang sama. Memberikan kekuatan karena setelah hari ini, kehidupan mereka akan berubah 180 derajat. Dunia mereka tak lagi sama seperti sebelumnya. Terlebih lagi Jeva yang menyimpan rahasia yang begitu kelam. ***** Mobil Prasta dan juga Daska terparkir bersamaan di halaman depan rumah besar Keluarga Wenas. Dua pria kembar itu melangkah masuk ke dalam rumah, setelah sebelumnya Prasta berkendara tanpa tujuan, ia kembali pulang setelah fikirannya tenang. Begitu juga dengan Daska yang semalam menghabiskan waktu bersama alkohol. Kedua pria itu terlihat sama kacaunya. Kemeja yang sudah kusut, rambut acak acakkan dan yang paling jelas adalah wajah lelah mereka berdua. Tubuh mereka rasanya remuk dan utuh istirahat. “Lho, Tuan Prasta!Tuan Daska!" Sang pembantu di keluarga ini erari tergopoh gpoh menghampiri mereka di depan pintu. Ia terkejut saat melihat kedua anak majikannya datang, padaha berita besar baru terjadi. Bukankah seharusnya mereka ada di pemakaman juga? fikir wanita paruh baya itu. "Ada apa, Bik?" tanya Prasta, seraya memijat kepalanya yang nyaris meledak. "Kenapa malah datang ke rumah? Kalian tidak pergi melayat,” tanya Bik Marni kepada dua anak majikannya. Wanita paruh baya itu melirik Prasta dengan tatapan sendu. “Memangnya siapa yang meninggal, Bik?” tanya Daska pada pembantu di rumahnya itu. Bik Marni menatap Prasta prihatin. “Yang sabar ya, Tuan Prasta,” ujarnya kemudian membuat Prasta heran. “Maksud Bik Marni apa?” tanya Prasta tak mengerti ucapan pembantunya. Sejak kemarin ia mematikan ponselnya, ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Tuan pasti belum dapat kabar ya? Tadi pagi Nyonya sama Tuan dapat telfon, katanya....” Bik Marni diam sejenak, terlihat takut saat mengatakannya. “Katanya apa, Bik?” tanya Prasta menuntut. “Pras, tenang dulu,” ujar Daska pada kembarannya. Pria itu menoleh ke arah Bik Marni. “Jadi sebenarnya ada apa, Bik? Siapa yang menelfon dan siapa yang meninggal?” tanyanya kemudian pada wanita paruh baya itu. “Nona Belvara, Tuan. Calon istrinya Tuan Prasta sudah meninggal,” ucap Bik Marni lirih. Si kembar diam sejenak, mencoba mencerna ucapan Bi Marni barusan. keduanya diam terpaku di depan pintu. “B-bibi, bilang apa barusan?” Baik Prasta atau pun Daska sama-sama terkejut. "Nona Belva sudah meninggal, Tuan. Tadi pagi pihak keluarganya menelfon ke rumah dan memberitahu berita tersebut," jelas Bi Marni kemudian. Prasta memejamkan kedua matanya sejenak. “Bik Marni jangan bercanda!” teriaknya nyaris membentak. “S-saya tidak bercanda, Tuan. Memang benar kalau tadi pagi Tuan Denta menelfon Nyonya dan Tuan mengabarkan kalau Nona Belva telah meninggal,” ucap Bik Marni takut-takut. Daska hanya diam dan mengatakan apa apa. Ia terlalu terkejut dengan berita ini. “Pemakaman mana?” tanya Prasta pelan. Ia mulai bisa mengontrol emosinya. “J-jayabaya, Tuan.” Tanpa menunggu lebih lama lagi, Prasta bergegas untuk pergi ke makam tersebut. Tak perduli dengan rasa sakit di kepalanya yang semakin menusuk nusuk. Ia ingin membuktikan sendiri perkataan Bik Marni barusan. Daska juga mengikuti Prasta dan mereka naik satu mobil yang sama dimana Prasta yang menyetirnya. Mobil Audi milik Prasta bergabung dengan puluhan roda empat yang lain di jalanan Jakarta. Berusaha secepat mungkin sampai di pemakaman dan melihat sendiri kebenaran ucapan Bik Marni. Jalanan Jakarta pagi ini cukup lenggang. Membuat seluruh mobil berlomba-lomba menaikan tingkat kecepatan hanya untuk mengejar sesuatu yang sedang diburunya. Ada satu pegemudi yang membawa mobilnya dengan kecepatan di atas angka 90, Prasta yang kalut tak memikirkan lagi keselamatan dirinya. Daska juga tak memikirkan kecepatan mobil yang ia tumpangi. Fikiran mereka berdua melayang jauh entah kemana. Audi R8 melaju dengan kecepatan tinggi. Si pemilik seakan tak peduli dengan keselamatannya sendiri. Hanya mementingkan bagaimana ia bisa mencapai tempat tujuannya secepat mungkin tanpa mengalami keterlambatan waktu. Perjalanan mengerikan itu terus berlanjut hingga beberapa kilo meter ke depannya. Prasta terus menambahkan kecepatan pada mobilnya, namun sialnya, saat menyalin mobil di depannya ada sebuah truk melaju dari arah berlawanan. “Pras, awas!” teriak Daska melihat truk dari arah depan. Prasta menginjak pedal rem dalam-dalam untuk menghentikan mobilnya, membanting stir ke kiri dan dia berhasil lolos. Prasta dan Daska mengembuskan napas lega saat terlepas dari bahaya yang hampir memakan jiwanya. Saat mereka berhasil lolos, pengemudi SUV yang berada tepat di belakang Audi R8 tidak cukup awas untuk memperhatikan bahwa R8 tersebut tiba-tiba membanting stir ke arah mobilnya yang sedang melaju. Belum sempat pengemudi SUV itu menginjak rem, mobilnya telah menghantam R8 itu dengan dorongan kuat hingga Audi tersebut terpental jauh ke depan dengan kondisi terlempar lalu berguling beberapa kali hingga berakhir dengan atap mobil berada di aspal jalanan. Mobil Audi R8 nya terus berguncang hebat dan berguling beberapa kali hingga Prasta dan Daska merasa kepalanya berada di bawah sekarang. Pecahan kaca melukai wajah dan lengan mereka berdua. Mobilnya terus terseret hingga beberapa meter ke depan dan benar-benar berhenti saat mobilnya menghantam pembatas jalan yang membuat sisi kanan mobilnya hancur. Samar-samar mereka mendengar suara derap langkah mendekat ke arahnya sambil berteriak meminta tolong dan itu adalah suara terakhir kali yang bisa ditangkap telinga mereka. Dan setelah seseorang berhasil mengeluarkan mereka dari mobil, mereka bisa mencium dengan sangat peka bau amis yang berada di dekat hidungnya. Dalam sisa kesadarannya, Prasta dan Daska saling menatap satu sama lain, salin menilai luka orang yang tertangkap retina mata mereka. Lalu tak lama kemudian kesadaran mereka berdua benar-benar hilang. Semua menjadi gelap seketika.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dua Cincin CEO

read
231.3K
bc

My Soulmate Sweet Duda (18+)

read
1.0M
bc

Bastard My Ex Husband

read
382.9K
bc

Pengganti

read
301.7K
bc

Bukan Istri Pilihan

read
1.5M
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.1K
bc

Perfect Honeymoon (Indonesia)

read
29.6M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook