bc

EARLY MARRIAGE

book_age16+
1.0K
FOLLOW
5.8K
READ
forbidden
love-triangle
family
badgirl
drama
city
others
first love
friendship
slice of life
like
intro-logo
Blurb

"Kenapa harus ada perjodohan di dunia ini?

Tak bisakah aku memilih jodohku sendiri? Menikah dengan orang yang aku cintai, dan dia juga mencintai aku. Itu pasti akan lebih indah, bukan? Bukankah menikah harus sama-sama saling cinta, agar rumah tangga bahagia?" - Syeril Anastasya

Dia menolak mentah-mentah perjodohannya dengan Reval. Selain tak mengenal pemuda itu, dia juga sudah punya gebetan, yakni Rafael. Namun, perjodohan tetap terjadi meskipun Syeril sudah berjuang menolak. Lalu, bagaimanakah kisah mereka mengarungi bahtera rumah tangga? Akankah Reval mampu membuat Syeril jatuh cinta? Ataukah Reval melepaskan Syeril pada Rafael?

chap-preview
Free preview
Bab 1 : Awal Sebuah Pertemuan
"Idih, cowok kek gitu kok bisa masuk distro sekeren ini, sih? Norak, kampungan, cih!" Gadis ini mencibir pelan dengan mimik wajah jijik ketika melihat seseorang dengan baju alakadarnya. Jika dilihat memang sangat kontras dengan distro Love ini. Baju, sepatu, dan aksesoris di sini sangat fashionable dan terbilang mahal. "Lo kenapa, Ril?" tanya Faivi. Arah pandangnya mengikuti sorot mata Syeril. Namun, Faivi tak melihat siapa pun di sana. "Enggak apa-apa." Tangan Syeril kembali bergerilya memilah cardigan rajut, setelah tadi sempat terhenti. "Itu lho ...." Syeril menunjuk pemuda yang dimaksud, yang ternyata sudah berada di luar distro. "Kok bisa sih dia masuk distro ini?" lanjutnya. "Lah, emang kenapa? Ini tempat umum kali, Non," jawab Faivi. Dia juga sibuk dengan wedges tak jauh dari tempat Syeril berdiri. "Bukan gitu. Liat deh, dia norak banget, 'kan?" Mendengar ucapan Syeril, Faivi memicing. Dia mengamati orang yang dimaksud Syeril. Faivi tak menemukan kata norak ketika melihat pemuda dengan kaca mata, kemeja kotak putih campur biru dongker. Terlihat tampan, apalagi kaus putih bergambar gitar yang dikenakan itu. Sangat pas. "Norak apanya? Orang ganteng gitu, rapi lagi." "Ck, ish! Mata lo rabun, ya, Fai? Udah, ah, males gue." Syeril ngeloyor pergi ke rak sebelah ketika tanggapannya disanggah oleh Faivi. "Dih, dia yang ngajakin ngebahas, malah sewot sendiri. Aneh!" decak Faivi, kesal. "Ada apa, sih?" tanya Adel yang baru saja bergabung dengan Faivi. "Dari mana lo?" Bukan menjawab, Faivi malah balik bertanya. "Abis ketemu cowok ganteng." "Norak!" cibir Faivi diselingi tawa renyah. Adel memasang wajah kesal. Sementara itu, Syeril di ujung sana yang mendengar ucapan Adel ikut tertawa. Pasalnya, gadis berambut panjang di bawah bahu, dengan warna coklat kehitaman itu belum pernah melihat Adel memuji seorang cowok. * Setelah puas menghamburkan uang, Syeril dan teman-temannya melepas lelah di Sturbuck Kafe. Syeril begitu bahagia, hari ini benar-benar menyenangkan untuknya karena bisa belanja barang-barang yang dia inginkan semalam. Kebetulan saat dia membuka ponsel dan berselancar di sosial media, dia melihat promo dan diskon besar-besaran di distro favoritnya ini. "Eh, gue ke toilet dulu, ya," kata Syeril. Faivi dan Adel menjawab oke secara bersamaan. "Nitip bentar, ya." Syeril menyerahkan beberapa paper bag pada Faivi dan Adel. Sejurus kemudian, dia melenggang meninggalkan kedua sahabatnya. "Jangan lama-lama!" pesan Adel. "Iya, bawel lu, ah!" "Yee, elo kan kalau di toilet berjam-jam," seru Adel sambil membenarkan anak rambutnya. Faivi hanya tertawa melihat itu. Setelah selasai berurusan dengan tolilet, Syeril kembali menemui teman-temannya. Ia bejalan menunduk karena membenahi ikat pinggang berbahan seperti rantai yang lepas dari pengaitnya. Otomatis rambut Syeril menutupi wajah dan pandangannya, sampai ia salah jalan. Dug! Kepala Syeril menabrak sesuatu, dan kopi itu mengenai flat shoes-nya yang baru kemarin dia beli. Tentu saja Syeril kaget dan berteriak. "Aaa, apa-apaan, nih?!" serunya dengan wajah kaget dan sebal sembari menatap flat shoes yang basah. Seorang pemuda berdiri di depannya dengan wajah dingin. Syeril menatap pemuda itu. "Eh, lo kalau jalan liat-liat, dong! Liat nih sepatu gue, kotor tau nggak?!" bentak Syeril tidak jelas. Pemuda itu masih tak berkutik. Dan wajahnya masih sama, dingin. "Eh, kok lo diem aja? Lo b***k, ya? Ini tuh sepatu mahal. Gue nggak mau tau, lo harus ganti rugi!" "Eh, bentar deh. Elo kan ...." Syeril teringat siapa pemuda itu. "Elo yang di distro itu, 'kan? Iya, gue inget banget," katanya membenarkan pemikirannya sendiri. "Eh, lo! Lo harus gantiin sepatu gue, titik!" "Maaf, mata lo nggak rabun, 'kan? Jadi, bisa melihat mana tempat untuk berjalan dan duduk, 'kan?" jawab pemuda itu tenang. Syeril melihat sekeliling, alangkah malunya dia saat itu. Ternyata dia benar-benar salah jalan, dan berakhir menabrak meja pengunjung kafe. Alamak! Sial nian! Syeril seperti tak punya muka di depan pemuda itu. Syeril menatap pemuda berkacamata baca tersebut, malu sekali. Pemuda itu pun hanya berwajah datar dengan mengangkat salah satu alisnya. Seolah dia berkata, "Jadi, siapa yang salah?" Syeril benar-benar menciut. Namun, tetap saja yang namanya Syeril tidak akan ada matinya. Dia tak mau kalah, apalagi sampai mengalah. No! "Oke, gue salah, tapi tetep aja itu minuman lo. Dan lo harus ganti rugi karena sepatu gue kotor." "Ganti rugi? Nggak salah? Seharusnya lo yang mengganti minuman gue. Karena atas kecerobohan lo, minuman gue tumpah." Jleb! Baiklah! Kali ini Syeril harus kalah dan terlihat bodoh di depan pemuda yang menurutnya tak berkelas itu. "Oke-oke, gini aja. Lupain sepatu gue. Dan kita impas. Oke? Permisi!" Syeril segera pergi. Dan pemuda itu hanya menggeleng sembari membuang napas. * Hidup Syeril memang serba cukup, bahkan terbilang sangat cukup. Apa yang dia mau selalu ada dan dituruti oleh kedua orang tua. Barang-barang branded keluaran terbaru selalu bisa dia jangkau dengan mudah. Menjadi anak satu-satunya keluarga Johan dan Mariana Pangestuti membuatnya makmur. Tak punya saiangan untuk berebut uang saku dan sebagainya. Seperti hari ini, dia mendapatkan apa yang dia mau, dan memamerkannya pada sang mama. Ruang keluarga selalu menjadi sarana ternyaman untuk berkumpul. Syeril dan kedua orang tuanya berada di sana dalam suasana hangat nan harmonis. Sang papa menyeruput kopi buatan sang istri, sedangkan Mama Ana duduk sambil merapikan beberapa majalah yang habis dia baca. Kedua orang tua Syeril jarang sekali di rumah, hal itu juga yang membuat Syeril bebas foya-foya. "Ma, tadi aku beli baju. Kereeeen banget, Ma." "Kamu itu jangan boros, simpan uang kamu. Ditabung bila perlu," kata sang mama. "Ih, Mama. Orang cuma baju doang." "Iya, Sayang. Cobalah lebih menghargai uang. Nggak mudah buat dapetin uang, walaupun seribu rupiah," timpal samg papa. "Papa kok ikut-ikutan sih?" sewot Syeril. "Coba deh kamu liat, di luaran sana ada banyak banget anak jalanan yang harus kepanasan, kehujanan, ngamen sana-sini, jualan koran, menembus terik matahari, dan menerobos lalu-lalang kendaraan. Kamu pikir untuk apa? Untuk sesuap nasi. Dan apa itu mudah? Enggak, Sayang." Syeril menunduk sejenak. Memang benar kata-kata sang papa. Namun, da tidak terlahir sebagai anak jalanan bukan? Bahkan hidupnya serba lebih. "Tapi aku beda dari mereka, Pa, Ma. Aku punya Papa sama Mama yang sayang sama aku." Syeril memeluk kedua orang tuanya. Dia terlihat begitu bahagia tanpa beban. Sementara itu, sang papa menatap sendu pada istrinya. Seperti ada sesuatu yang telah mereka rencanakan. "Ada apa, sih, Ma?" tanya Syeril yang mencium sesuatu kejanggalan. Namun, Papa Johan dan Mama Ana tak mengatakannya. Mereka ingin Syeril tahu nanti saja setelah semuanya benar-benar terencana dengan matang. "Nggak ada apa-apa. Mama cuma mau ngingetin aja, jangan sampai keborosan kamu ini membawa masalah dalam hidup kamu sendiri, ya. Mama dan Papa nggak mau tanggung jawab. Karena Mama dan Papa udah capek nasihatin kamu. Kalo kamu masih gini terus, maaf-maaf aja kalo kami jadi tega." Syeril merenggangkan diri dari pelukan sang mama. Dia menatap kedua orang tuanya bergantian. "Syeril nggak ngerti deh maksud Mama." "Udah, intinya kamu jangan suka hambur-hamburin uang. Belajar hemat!" timpal Papa Johan dengan tegas. Syeril tak berkutik lagi. "Besok Syeril ada praktek, Ma. Syeril tidur dulu, ya. Biar nggak kesiangan." Setelah berpamitan, gadis ini melenggang begitu saja menuju kamarnya. Dia meletakkan tas belanjanya di meja rias. Sedetik kemudian dia menghempaakan tubuh ke kasur. Jam di ponselnya menunjukkan pukul sembilan malam. Matanya berusaha terpejam, tetapi terasa begitu sulit. Diraihnya ponsel yang baru saja dia geletakkan. Jemarinya lincah sekali menggeser-geser layar ponsel. Sebuah gambar menciptakan lengkungan di bibirnya. "Kenapa lo bisa seganteng ini, sih, Kak?" gumamnya sembil meraba layar ponsel, sudah seperti menyentuh langsung si pemilik wajah saja. Sebuah foto seorang cowok bermata sipit, terlihat begitu tampan dengan setelan jas berwarna cokelat sussu, dipadu kaus dalam berwarna hitam, senada dengan pantofel yang dia kenakan. "Kak Rafael, kapan gue bisa ketemu sama lo?" Syeril kembali merebahkan tubuhnya. Kali ini matanya mengawang dengan ponsel di daada. Khayalannya setinggi langit tentang cowok yang bernama Rafael itu. * Pagi ini, Syeril bangun lebih awal dari biasanya—yang selalu kesiangan setiap akan berangkat sekolah—karena akan ada praktik biologi. Kegiatan yang telah lama dia tunggu, sebab ada Rafael di sana yang akan menjadi pemandu praktikum. Syeril sudah tak sabar menanti kehadiran Rafael di sekolahnya. Segala kehaluan telah menyergap pikirannya sejak dia tahu, bahwa yang akan datang ke sekolah adalah para mahasiswa dari kampus ternama. "Hari ini gue harus keliatan cantik. Eh, lipgloss gue mana, ya?" Syeril mengobrak-abrik laci meja riasnya, berharap menemukan lipgloss yang menjadi favoritnya. Setelah ketemu, dia langsung memoleskan pewarna bibir alami itu ke setiap lekuk bibirnya, tipis saja. Sesuai aturan sekolah, semua siswi tidak boleh ber-make up menor ala ibu-ibu sosialita. Hanya diperbolehkan memakai bedak tipis dan rambut harus rapi. Syeril berpamitan kepada kedua orang tuanya sebelum meninggalkan rumah. Sementara itu, di halaman sudah terparkir brio putih. Sudah bisa dipastikan bahwa itu mobil Faivi, yang tentunya Adel juga telah berada di dalamnya. "Pagi, Boskuh!" sapa Adel ketika Syeril membuka pintu. "Eh, wangi amat, Mbak?" ledek Faivi. Dia menatap Syeril dari kaca spion yang menggantung di plafon bagian depan mobil. Syeril melebarkan senyum. Dia duduk dengan santainya di jok belakang. "Iya, dong. Hari ini, kan, hari yang udah gue tunggu-tunggu." "Idola dia bakal datang, tuh!" cibir Faivi sembari membetulkan duduknya. "Iya kalo dia ikut, kalo enggak?" Dengan polosnya Adel menimpali. "Kecewa deh!" timpal Faivi dengan nada super meledek. "Kalian kok bikin semangat gue surut?" Syeril mencebikkan bibirnya. Pikiran gadis ini teracuni oleh perkataan para sang sahabat. Mendadak wajahnya menjadi gelisah. Tentu saja hal itu membuat Faivi dan Adel terpingkal-pingkal. Mobil riuh dengan gelak tawa mereka. Tak peduli lagi dengan Syeril yang masih mencemaskan kehadiran Rafael nanti.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook