chapter 1
Hari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari,
raja siang itu, akan masuk ke dalam peraduannya, ke balik Gunung
Sibualbuali, yang menjadi watas dataran tinggi Sipirok yang bagus itu.
Langit di sebelah barat pun merah kuning rupanya, dan sinar matahari
yang turun itu nampaklah di atas puncak kayu yang tinggi-tinggi, indah
rupanya, sebagai disepuh dengan emas juwita. Angin gunung yang
lemah-lembut itu pun berembuslah, sedap dan nyaman rasanya bagi
orang-orang kampung yang sedang di perjalanan kembali dari kebun
kopi, yang terletak di lereng gunung dan bukit-bukit yang subur itu.
Maka angin itu pun bertambahlah sedikit kerasnya, sehingga daun dan
cabang-cabang kayu itu bergoyang-goyang perlahan-lahan sebagai me-
nunjukkan kegirangannya, karena cahaya yang panas itu sudah bertukar
dengan hawa yang sejuk dan nyaman rasanya. Batang padi yang
tumbuh di sawah yang luas itu pun dibuai-buaikan angin, sebagai
ombak yang berpalu-paluan di atas laut yang lebar; sawah yang seluas
itu pun tiadalah ubahnya dengan lautan, sedang daun padi itu sebagai
air yang hijau rupanya.
Burung-burung pun beterbanganlah dari sana-sini, seraya ber-
kumpul-kumpul di atas cabang beringin-beringin yang berdaun rimbun;
masing-masing menyanyi memuji Tuhan dan memberi hormat kepada
raja siang yang sedang turun ke balik gunung yang tinggi itu. Dari jauh
terdengarlah bunyi kelintung kerbau berderang-derang, diiringi suara
dendang anak gembala yang membawa binatangnya itu ke kandangnya.
Di sana-sini nampaklah asap dari bubungan rumah orang desa, sedang
azan orang di menara mesjid besar yang ada di Sipirok itu pun
memperingatkan hamba Allah akan menyembah Dia dan mengucapkan
syukur sebab rahmatnya yang besar itu.
Jalan dan lorong makin sunyi, laki-laki sedang sembahyang magrib
dalam mesjid besar dan perempuan tengah bertanak hendak
menyediakan makanan untuknya anak-beranak. Akan tetapi siapakah
yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah yang beratap ijuk dekat
sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok itu?
Perempuan itu sedang muda remaja. Ia duduk memandang ke pohon
beringin yang di tepi sungai itu. Akan tetapi pandangnya itu lain, yakni
matanya saja yang menatap ke sana, tetapi daun beringin yang
bergoyang-goyang itu tak nampak pada matanya, karena ada sesuatu
yang dipikirkannya. Suara air yang mengalir di sungai yang berbelok-
belok itu pun tak kedengaran di telinganya, karena angan-angannya
sedang sibuk berkisar-kisar. "Belumkah ia datang? Sakitkah dia?
Apakah sebabnya ia sekian lama tak kulihat?" tanya perempuan itu ber-
ulang-ulang dalam hatinya.
Siapakah perempuan itu? Sabarlah dahulu, nanti akan kita kenal
juga dia, meskipun ia tak mengenal kita.
Kota Sipirok kataku... akan tetapi janganlah pembaca mem-
bandingkan negeri itu dengan Sibolga atau Padang. Tiadalah sampai
sedemikian besar dan ramainya Sipirok itu; sungguhpun begitu adalah
ia lebih besar daripada kampung atau dusun. Oleh sebab itu saya
menyebutkan "kota Sipirok"; tambahan pula itulah negeri atau
kampung yang terbesar di dataran tinggi yang luas itu. Kalau tuan
sebutkan juga, bahwa tiadalah pada tempatnya saya meletakkan
perkataan "kota" itu, biarkan sajalah begitu, dan bacalah kota itu
kampung atau dusun. Kalau kutulis dalam buku ini negeri Sipirok,
bacalah "kampung Sipirok", supaya jangan menjadi percedaraan antara
kita.
Akan sekedar menjelaskan bagi pembaca letaknya Sipirok, baiklah
saya terangkan dia.
Kira-kira pada pertengahan Keresidenan Tapanuli (sebenarnya
Tapian na Uli artinya "Tepian yang elok". Tepian yang indah itu
didapati orang dulunya dekat Sibolga; itulah sebabnya negeri atau
keresidenan itu disebutkan Tapanuli; nama itu asalnya dari tatkala
pemerintahan kompeni), di situlah terletaknya dataran tinggi atau luhak
Sipirok, yakni pada Bukit Barisan yang membujur sepanjang Pulau
Sumatera. Adapun bentuknya dataran tinggi itu kira-kira empat persegi.
Di sebelah timur diwatasi dolok (gunung) Sipipisan, di sebelah barat
Sibualbuali, gunung yang selalu memuntahkan asap karena berapi.
Simagomago berdiri agak di sebelah selatan, yang menjadi watas
dengan tanah Angkola. Simole-ole menceraikan dataran tinggi itu pada
sebelah utara dengan dataran tinggi Pangaribuan (Toba).
"Masih di sini kau rupanya, Riam," tanya seorang muda yang
menghampiri batu tempat duduk gadis itu.
Yang ditanya itu terkejut, seraya memandang kepada orang yang
datang itu. Ia terkejut, bukan karena suara itu tak dikenalnya, hanya
disebabkan ia tadi duduk termenung-menung dan pikirannya kepada
masa yang lampau, tatkala ia masih kanak-kanak.
"Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi saya menunggu-nunggu
angkang,"*) sahut gadis itu seraya berdiri dari batu besar itu, yang
biasa tempat dia duduk pada waktu petang. "Marilah kita naik,
Angkang!"
*) Angkang artinya kakak atau abang.
"Tak usah, Riam," jawab orang muda itu. "Saya datang ini hanya
hendak bersua dengan kau sebentar saja. Malam ini saya hendak pergi
ke rumah seorang sahabatku yang baru datang dari Deli."
"Apalah salahnya Aminuddin, naik sebentar, karena mak kita pun
sudah lama hendak bersua dengan kakak."
"Tak usah, saya sebentar saja di sini, kalau Riam suka, duduklah
sebentar, ada yang hendak saya cakapkan."
Kedua orang itu pun duduklah di atas batu yang besar itu. Sejurus
panjang lamanya tiada seorang yang berkata; anak muda itu
memandang ke tanah dan pada mukanya terbayang dukacita yang
memenuhi hatinya. Mariamin, begitulah nama gadis itu dan ia di-
panggilkan orang Riam, mengamat-amati muka orang muda itu, akan
tetapi sebab hari yang gelap itu, tak dapat ia melihat air mata yang
mengalir di pipi orang muda itu. Cuma ia mengerti, ada yang
disusahkan orang itu. Dengan suara yang lemah-lembut ia pun berkata,
"Katakanlah, apa yang hendak angkang katakan itu."
"Riam, jangan terkejut, cinta sayangku kepadamu bukan berkurang,
bahkan makin bertambah dari hari ke hari. Percayalah kau akan
perkataanku itu?"
"Mengapa angkang bertanya lagi?" jawab Mariamin, perempuan
muda itu dengan suara yang lembut, karena itulah kebiasaannya; jarang
atau belumlah pernah ia berkata marah-marah atau merengut,
selamanya dengan ramah-tamah, lebih-lebih di hadapan anak muda,
sahabatnya yang karib itu.
"Saya bertanya, bukan sebab saya menaruh bimbang akan hatimu."
Ia terdiam pula. Perkataan yang akan dikatakannya seolah-olah me-
nahan napasnya dan kelulah rasa lidahnya akan bercakap. Kemudian ia
pun mengeraskan hatinya, sambil ia menyapukan setangannya yang
basah oleh air matanya itu, ia pun berkata perlahan-lahan, "Anggi*)
Riam! Beratlah rasanya hatiku akan berkata ini. Akan tetapi apa boleh
buat, lambat laun akan kauketahui juga, apalah gunanya kelengah-
lengahkan. Saya bermaksud henk dak pergi ke Deli mencari pekerjaan.
Itulah sebabnya saya datang malam-malam ini ke mari, yakni hendak
pergi ke rumah seorang sahabatku, yang baru datang dari Medan. Saya
hendak menanyakan hal pencaharian orang di Deli, karena saya sudah
merasa, lambat launnya saya akan pergi juga dari sini; saya pergi
bukanlah meninggalkan engkau Mariamin. Percayalah engkau akan
saya. Ah, kalau sekiranya Riam tahu, betapa isi hatiku, adalah senang
sedikit perasaanku. Berapa tahun, berapa bulanlah saya sudah
mengandung kenang-kenangan akan bersama-sama dengan engkau,
akan tetapi barulah kuketahui, mustahillah rupanya saya mencapai
*) Anggi artinya adik
maksudku, kalau tiada dengan jalan yang lain, yakni saya harus pergi
ke tanah lain akan mencari pekerjaan. Janganlah terkejut, jangan
berdukacita engkau Riam; ingatlah saya pergi bukan meninggalkan
kau, tetapi mendapatkan kau."
Perkataan yang penghabisan itu dituturkan orang muda itu dengan
suara putus-putus; beratlah baginya melawan hatinya yang pilu itu,
apalagi sesudah kedengaran pada telinganya, orang yang dilawannya
bercakap itu menangis tersedu-sedu.
Kedua orang itu duduk berhadap-hadapan di tempat yang sunyi itu.
Seorang pun tiada yang bercakap, masing-masing tepekur memikirkan
nasib persahabatan mereka itu.
Hari makin gelap, cahaya bulan tak nampak, hanyalah bintang-
bintang yang mengilap itu mencoba-coba mengurangkan kegelapan,
yang menyelimuti bumi ini. Kelam rupanya langit itu, muram nampak-
nya muka orang muda itu. la duduk tiada bergerak, tetapi pikirannya
tiada berhenti, berkisar-kisar sebagai roda yang digulingkan. Adalah ia
sebagai orang yang hanyut di lautan kesusahan, sebentar-sebentar
hendak tenggelam, karena kekuatannya hampir-hampir habis, sedang
ombak gelombang amatlah hebatnya. Dengan pandang yang sedih, ia
melihat ke kanan dan ke kiri, kalau-kalau ada kapal yang dekat, tempat
meminta pertolongan, akan membawa dia ke negeri yang ditujunya itu.
Suara orang bang kedengaran pula dari menara mesjid besar, karena
sudah waktunya akan sembahyang isya. Kedua orang itu terkejut dan
barulah mereka ingat akan dirinya.
"Wah, sudah pukul setengah delapan rupanya," kata orang muda itu,
"bagaimanakah penyakit ibu kita?" tanyanya, sambil ia berdiri.
"Mudah-mudahan sudah berkurang," sahut Mariamin, "cuma tinggal
batuk saja yang menyusahkan dia."
"Ah, tak sempat lagi saya akan bersua dengan beliau. Nanti saya
datang, kalau dapat. Selamat tinggal Anggi! Jangan kau bersusah hati,
mudah-mudahan baik juga kelak kesudahannya. Marilah kita me-
nyerahkan diri kepada Tuhan Yang Esa," ujar orang muda itu, seraya
menjabat tangan anak dara kecintaannya itu.
Mariamin memandang anak muda itu, sampai lenyap dari peng-
lihatannya. Dengan langkah yang berat naiklah ia ke rumah, terus
masuk ke bilik tempat ibunya, yang sedang terletak di atas tempat
tidurnya.
"Sudahkah berkurang sesaknya d**a Ibuku itu?" tanyanya sambil
dirabanya muka ibunya yang sakit itu. "Syukurlah, badan Ibu tiada
berapa hangat lagi. Mudah-mudahan dua tiga hari lagi dapatlah Ibu
turun barang sedikit-sedikit."
"Ya Anakku! Sudah jauhlah berkurang rasanya penyakitku,
kekuatanku pun sudah bertambah," jawab si ibu dengan suara yang
menghiburkan hati anaknya. "Riam di manakah adikmu? Suruhlah dia
ke mari, janganlah dibiarkan ia tinggal di luar, hari sudah malam, nanti
ia kemasukan angin."
"Tidak, Mak; ia ada di dapur, nanti kusuruh dia ke mari, supaya ada
kawan Mak di sini."
Setelah Mariamin menuangkan obat maknya ke dalam cangkir dan
cangkir itu diletakkannya dekat si sakit, ia pun pergilah ke dapur akan
bertanak. "Tinggallah dahulu Ibu sebentar, saya hendak bertanak. Tadi
saya ada membawa sawi dan ko1 dari kebun kopi, barangkali sudah ada
nafsu Ibu akan makan. Ah, sudah berapa hari Mak tidak makan!" kata
Mariamin.
Si ibu yang sakit itu tiada menjawab perkataan anaknya itu. la
memandang muka Mariamin dengan mata yang menunjukkan, betapa
besar cintanya dan kasih sayangnya kepada anaknya itu. "Ya Allah, ya
Tuhanku, kasihanilah hamba-Mu yang miskin ini," mengucap ia di
dalam hatinya, setelah anaknya itu pergi ke dapur. Ia berbaring di atas
tikarnya dan matanya ditutupkannya, tetapi mata hatinya melihat hal
ihwal rumah tangganya, pada waktu beberapa tahun yang lewat, tatkala
suaminya masih hidup dan ketika harta mereka itu masih cukup;
pendeknya pada masa kesukaan yang sudah lewat itu, karena pada
waktu itu bolehlah mereka itu dikatakan masuk bagian orang yang kaya
dan yang ternama di negeri Sipirok. Akan tetapi sebagaimana kerap
kali kejadian di dunia ini, adalah kekayaan itu tiada kekal dan
kesenangan itu fana jua adanya, karena nasib manusia itu sebagai roda,
kadang-kadang ke atas, kadang-kadang ke bawah, hujan dan panas silih
berganti menimpa bumi, dan burni itu harus sabar menerima apa yang
datang. Si ibu itu pun adalah juga orang yang sabar, tiadalah pernah ia
bersungut-sungut, karena ia dan anaknya hidup sekarang dalam
kemiskinan. "Allah adil dan pengiba," katanya selamanya dalam
hatinya, bila ia, didaya iblis yang selalu hendak membinasakan orang
yang dalam percobaan, supaya orang itu sesat dari jalan kebenaran,
mengatakan Tuhan tak adil, kesudahannya orang itu menyangkal Allah
taala. Itulah kesukaan setan dan iblis, musuh manusia yang jahat itu.
Pada malam itu amatlah susahnya hati perempuan itu. Ia amat men-
cintai anaknya yang dua orang itu, Mariamin yang tua dan seorang
budak laki-laki, umur empat tahun, sebagaimana ibu yang lain-lain.
"Pada waktu dahulu sudah tentu saya mendapat pemeliharaan yang
senang, kalau saya sakit," kata perempuan itu dalam hatinya. "Akan te-
tapi sekarang, aduh, siapakah yang kuharapkan lagi? Seorang pun tak
ada yang melihat saya, demikianlah rupanya manusia itu di dunia ini.
Kalau kita dalam kekayaan, banyaklah kaum dan sahabat; bila kita
jatuh miskin, seorang pun tak ada lagi yang rapat, sedang kaum yang
karib itu menjauhkan dirinya. Akan tetapi Allah pengiba, anakku sudah
besar dan cakap memelihara saya pada waktu sakit. Cinta orang tua
yang kusimpan baginya, dibalasnya dengan kasih sayang anak kepada
orang tuanya. Demikianlah cinta Riam kepada saya. Kalau ia pergi ke
ladang atau ke sawah, selamanya ia mencari pembawaan akan menye-
nangkan hatiku, meskipun yang dibawanya itu tiada seberapa harganya;
seperti tadi cuma kol dan sayur-sayuran yang dibawa untuk saya,
karena telah lama tak ada nafsuku makan. Sayur yang direbus anakku
itu, tentu lebih sedap nanti kumakan, lebih sedap dari sup daging atau
ayam waktu hari kesukaanku, sungguhpun tak enak dirasa lidahku
nanti, akan tetapi lezat juga pada perasaan hatiku. Mariamin, Mariamin,
doakanlah kepada Allah, biar saya lekas sembuh dan lama hidup,
supaya saya dapat menyenangkan hidupmu dengan adikmu. Kalau tiada
demikian, siapakah yang akan mencarikan nafkah untukmu berdua?
Kalau induk ayam itu mati, siapakah lagi yang mengaiskan makanan
untuk anaknya yang kecil-kecil itu? Bila hari hujan, sayap siapakah lagi
tempat mereka berlindung, supaya jangan mati kedinginan?"
"Allah melindungi makhluknya," sahut suara, yang lain dalam
hatinya.
Perempuan itu pun membukakan matanya, karena ia mendengar
suara anaknya yang kecil itu memanggil ibu.
"Belumkah ibu lapar?" tanya anak itu, seraya duduk dekat bantal
emaknya.
"Anakku sudah makan?" tanya si ibu seraya menarik tangan budak
itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang.
"Sudah Mak; Kak Riam memberi saya sayur... kol direbus. Enak
Mak, enak. Makanlah Mak! Kak Riam bawa nasi untuk Mak, itu dia
sudah datang," kata b***k itu, sambil berbaring dekat ibunya.
"Makanlah Mak dahulu, nasi sudah masak," kata Mariamin, seraya
mengatur makanan dan sayur yang dibawanya sendiri dari gunung
untuk ibunya yang sakit itu.
Ia pun duduklah bersama-sama makan dengan ibu yang sakit itu,
sedang adiknya yang kecil itu sudah tertidur di belakang ibunya.
Tengah makan itu kelihatanlah oleh ibu Mariamin, muka anaknya lain
daripada yang sudah-sudah, adaiah suatu kedukaan yang tersembunyi
dalam hatinya; kedukaan itu terang dilihat si ibu, meskipun Mariamin
menyembunyikannya. Akan tetapi apa sebabnya anak itu bersusah hati,
kuranglah diketahuinya.
"Susahkah hati anakku, karena saya belum sembuh?" tanyanya
seraya mengawasi muka Mariamin. Yang ditanya tiada menjawab,
hanya ia mencoba-coba tersenyum, akan tetapi mukanya merah padam
sedikit.
"Janganlah Riam bersusah hati, dua tiga hari lagi dapatlah ibu turun
sedikit-sedikit. Wah, enak benar sayur yang Riam bawa tadi, anakanda
pun pandai benar merebusnya; nasi yang sepiring itu sudah habis oleh-
ku," kata si ibu dengan suara yang lembut dan riang akan meng-
hiburkan hati anaknya itu. Karena bagaimana sekalipun besarnya
dukacitanya, tiadalah ia suka menunjukkan kepada anaknya, karena ia
tahu, anaknya itu masih muda akan, memikul dan menanggung ke-
susahan dunia.
"Ya, Ibu! Moga-moga ibuku lekas baik, kalau ibu selalu sakitsakit,
apalah jadinya kami berdua ini," sahut Mariamin.
Si ibu terdiam mendengar perkataan anaknya itu. "Sebenarnyalah
perkataan anakku itu," pikirnya. "Jika sekiranya saya mati, apatah jadi-
nya biji mataku kedua ini? Benar ada lagi saudara mendiang bapaknya,
tetapi tahulah saya, bagaimana kebiasaan manusia di dunia ini. Sedang
pada masa hidupku tiadalah mereka yang mengindahkanku, apalagi
kalau saya tak ada lagi."
Pikiran yang serupa itulah yang acap kali timbul, dan itulah yang
menyusahkan hatinya. Bila dikenangkannya yang demikian itu, perasa-
annya penyakitnya bertambah berat dan kemiskinan mereka itu berlipat
ganda. Kalau ia sekiranya tiada menaruh kepercayaan yang kuat kepada
Allah, tentulah ia akan melarat dan tentu iblis dapat mendayanya.
Tetapi ia seorang yang taat dan yakin kepada agama. Maka ke-
yakinannya kepada Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang itulah yang
memberi kekuatan baginya akan menerima nasibnya yang baik dan
buruk; sekaliannya ditanggungnya dengan sabar. Dari kecil ia pun
mengukirkan sifat dan tabiat yang demikian itu dalam hati anaknya.
Siang-malam ia mendidik anaknya, supaya di belakang hari menjadi
seorang yang rendah hati, berkelakuan yang baik dan percaya kepada
Tuhan.
"Pergilah anakku tidur! Riam sudah payah sehari ini bekerja; tak
usahlah ibu anakku tunggui," kata mak Mariamin.
Setelah anak gadis itu menyelimuti ibunya dan mengatur apa yang
perlu baginya, ia pun berdirilah. "Kalau Mak mau apa-apa, panggillah
anakanda, nanti anakanda lekas datang. Jangan Mak bangkit-bangkit
dari tempat tidur, seperti yang dulu-dulu, supaya badan Mak jangan
lelah; kalau Mak bersusah-susah, tentu penyakit maka bertambah,
akhirnya anakanda pun susah juga."