bc

Tentang Lula

book_age16+
2.7K
FOLLOW
22.9K
READ
friends to lovers
drama
comedy
sweet
bxg
campus
enimies to lovers
first love
reckless
naive
like
intro-logo
Blurb

Lula sudah kena sial di hari pertama acara ospek di kampusnya. Ia mendapatkan hukuman dari senior galak bernama Aric. Demi terhindar dari hukuman, Lula pura-pura pingsan. Bukan Aric namanya kalau mudah dibohongi oleh akting murahan Lula. Alhasil, Lula kena sial lagi di hari kedua acara ospek. Di hari kedua, Aric meminta Lula untuk membuat surat cinta dan memberikannya kepada salah seorang mahasiswa. Tapi ketika hendak memberikan surat itu, pandangan Lula terpaku pada seorang cowok yang selama ini dia cari, cowok itu adalah Azel, teman masa kecil Lula. Memang, kedatangan Lula ke kampus itu adalah untuk mencari Azel dan menjalin pertemanan kembali dengan cowok itu. Syukur-syukur bisa pacaran dengannya. Tapi masalahnya Azel tidak ingat dan mengaku tidak kenal Lula. Lalu, apa yang harus Lula lakukan agar Azel ingat dengannya?

Woman photo created by nakaridore - www.freepik.com

chap-preview
Free preview
Bab 1
    Aku berlari secepat yang kubisa. Tak kuhiraukan orang-orang yang meneriakiku karena kutabrak atau kusenggol. Tak seharusnya aku kesiangan pada hari pertama ospek. Kakiku masih berlari menyusuri koridor kelas yang mulai ramai. Aku berlari menuju lapangan belakang gedung pusat, tempat di mana ospek berlangsung. Dandananku yang sudah seperti orang gila membuat banyak mata tertuju kepadaku. Bahkan kulihat beberapa dari mereka menertawakanku.     Bukan saatnya mempedulikan pandangan orang lain tentang dandananku. Karena saat ini yang terpenting adalah segera sampai ke tempat ospek berada. Aku benar-benar tidak ingin kena hukuman hanya karena datang terlambat.     Halaman tempat di mana ospek berlangsung kini terlihat sangat ramai. Ada beberapa barisan terbentuk di sana. Aku masih berlari menuju salah satu barisan dengan atribut serba ungu, barisan di mana jurusanku berada.     Bruk.     Tanpa sengaja aku menabrak tubuh seseorang yang mengakibatkanku terjatuh. Pantatku dengan kasar membentur lapangan. Rasanya sangat sakit.     “Sudah telat! Pakai nabrak-nabrak segala! Niat ikut ospek enggak!” Bentakan itu terdengar dari hadapanku. Aku mendongak dan kudapati seorang senior cowok berjas almamater kampus tengah memandangku bengis.     Mampus. Belum apa-apa sudah kena bentak.     “Maaf, Kak.” Aku mencoba berdiri dengan susah payah. Dan sekarang aku baru menyadarai bahwa hampir semua mata kini tertuju kepadaku. Ini memalukan. Sangat memalukan.     “Masuk barisan sana!” bentaknya lagi yang langsung kujawab dengan anggukan kepala. Setelah itu aku berlari menuju barisan di mana jurusanku berada.     Aku tak menyukai ospek. Aku membenci bagaian di mana kakak senior yang pada galak-galak, pada suka bentak-bentak. Belum lagi dandananku yang sekarang sudah seperti orang gila. Rambut kuncir lima dengan pita warna ungu. Tas kresek hitam tergantung layaknya tas slempang. Kaus kaki beda warna. Sepatu beda model juga. Ada apa dengan ospek kampus ini? Apa ospek harus seperti ini? Karena sekarang aku merasa lebih seperti sedang cosplay menjadi orang gila.      “Semua anak bakalan kena sial, udah santai saja,” ucap cewek berambut hitam dan berponi yang berada di sebelahku. Ia tersenyum lebar ke arahku dan mengulurkan tangannya untukku jabat. “Winni, bukan si Pooh,” katanya memperkenalkan diri.      Aku tersenyum ke arahnya dan menjabat tangannya. “Lula, bukan siapa-siapa,” kataku kepadanya.     “Gue sebenarnya malas ikutan acara kayak beginian. Buang-buang waktu. Nggak guna,” kata Winni mulai menggerutu.     “Gue juga mikir hal yang sama,” ucapku menyetujui perkataan Winni. Memang ospek seperti ini tak berguna sama sekali. Aku yakin, ini hanya akal-akalan para senior untuk balas dendam karena dulu sudah dibikin kayak badut oleh senior mereka. Dan akhirnya kami para junior yang jadi korban. Dasar pendendam.     “Aslinya gue mau bolos, tapi berhubung biasanya saat ospek seperti ini para senior ganteng-ganteng pada muncul, jadinya gue putusin buat berangkat. Lumayan kan, hari pertama ospek sudah dapat incaran,” ucap Winni tersenyum lebar. Aku tertawa mendengar ucapannya. Tujuannya ikut ospek sungguh sangat mulia.     “Udah dapat cogan berapa?” tanyaku penasaran. Winni tersenyum penuh arti yang membuatku mengernyit bingung.     “Banyak,” jawabnya seraya terkekeh. “Banget.”     Aku tertawa mendengar ucapannya. Mungkin suatu kesenangan tersendiri jika kita dapat menemukan banyak cowok ganteng untuk diincar. Tapi sayang, tujuanku masuk ke kampus ini bukanlah itu. Aku sudah mempunyai cowok yang kuinginkan. Dan sekarang aku tinggal mencarinya dan mendapatkannya.     “Itu yang dari tadi ketawa nggak dengerin saya ngomong, sini maju ke depan!”     Sontak aku berhenti tertawa ketika mendengar suara peringatan dari speaker. Mataku kini fokus memandang ke depan, di mana seorang senior tengah memandang garang ke arahku. Sepertinya aku sedang terkena masalah. Gawat.     “Sini, kamu maju ke depan!” perintahnya yang baru kusadari bahwa dia adalah laki-laki yang kutabrak tadi.     Perlahan aku berjalan keluar barisan dan menuju ke arah senior tersebut yang berada di depan barisan. Semua mata kini tertuju kepadaku. Mereka terlihat penasaran serta prihatin. Jika aku jadi mereka, aku juga akan penasaran beserta perihatin terhadap nasib sial seorang mahasiswi yang akan menjadi korban keganasan senior.     Kalau boleh dibilang, sekarang aku benar-benar ketakutan. Aku tak bisa membayangkan hukuman apa yang bakal kudapatkan. Aku benar-benar membenci ospek. Senior pada galak-galak tak ada ampun.     “Berdiri di sini,” kata laki-laki tadi—si senior yang sepertinya punya hobi marah-marah—seraya menunjuk sisi kanannya. Aku menuruti perintahnya dan berjalan ke sebelahnya. Kini ia memandangku dengan ekspresi dingin yang menakutkan.     Akhirnya aku menyadari bahwa kiamat memang sudah dekat. Mungkin bukan kiamat untuk mereka, tapi kiamat untukku. Habis sudah hidupku di tangan senior ini.     “Tahu siapa saya?” tanyanya dingin masih memandangku tak suka. Aku menggeleng menjawab pertanyaanya.     “Tadi apa nggak dengar saya memperkenalkan diri?” tanyanya lagi yang membuatku menunduk dalam.     “Siapa yang nyuruh nunduk?” Kini suara perempuan terdengar yang membuatku melirik ke arah suara itu. Seorang senior perempuan berparas cantik dan berwajah antagonis tengah memandangku sengit. Entah dia datang dari mana, yang pasti sekarang dia sudah berdiri di sebelah si senior laki-laki galak yang suka marah-marah ini.     “Pinka, nggak usah ikut campur. Balik ke tugas lo,” ucap laki-laki di sampingku ini.     “Aric nggak seru,” ucap Pinka santai seraya pergi dari sini dan berjalan kembali ke belakangku di mana beberapa senior tengah memandangku dengan tatapan prihatin dan was-was.     Ah, oke. Senior ini bernama Aric.      “Sekarang, emm ..., nama?” tanya Aric mengenyit ke arahku, menanyakan namaku.     “Lula,” jawabku lirih.     Aric menatapku nyalang. Tatapannya sungguh menusuk. “Yang keras!” bentaknya yang membuatku terkesiap.     Dengan gagap aku kembali mengucapkan namaku lebih keras. Rasa takut karena intimidasinya menjalar ke seluruh tubuhku.     “Saya masih nggak dengar,” katanya tegas.      “Lula!” ucapku dengan keras yang membuatnya tersenyum miring.     “Baik, Lula. Karena kamu telah mengganggu sesi perkenalan saya tadi dengan suara tawamu, maka kamu pantas mendapatkan hukuman,” katanya dengan senyuman yang lebih lebar. Namun, senyuman itu entah mengapa tampak sangat menakutkan bagiku.      Aku menunduk, tak berani menatapnya. Rasanya benar-benar mengerikan harus berhadapan dengan Aric di sini. Sudah malu, takut lagi. Dua kombinasi yang mematikan bagiku.     “Kalian, butuh hiburan kan?” Aric bertanya kepada peserta ospek yang berbaris di hadapannya. “Jawab!” bentaknya.     “Iya, Kak.” Semua orang dengan kompak menjawab pertanyaan Aric.     “So, kamu mau nyanyi atau nari? Oh, atau nyanyi sambil nari?” Aric tersenyum ke arahku yang membuatku merinding. Itu bukanlah senyum tulus atau senyum bahagia, tapi itu adalah senyum yang menakutkan.     Aku tak bisa menyanyi apalagi menari. Dan aku yakin bahwa dengan menyanyi sambil menari, hidupku masih belum terselamatkan. Perasaanku mengatakan bahwa hukuman ini adalah awal dari nasib burukku hari ini. Aku merasa masih ada banyak hal mengerikan yang Aric rencanakan untukku.     Jika tahu akan berakhir seperti ini, mungkin sebaiknya tadi aku datang lebih pagi agar tidak perlu lari-lari dan berakhir menabrak Aric. Juga, seharusnya tadi aku hanya menanggapi ucapan Winni dengan seulas senyum tanpa suara agar tidak menarik perhatian Aric ataupun senior yang lain. Aku benar-benar sangat menyesal.      Mungkin bagi Winni, Aric adalah salah satu cowok ganteng bakal incarannya. Karena memang Aric itu ganteng. Ia bahkan punya semacam aura yang dapat memikat banyak cewek. Tapi jika cewek-cewek mau membuka matanya lebih lebar, mereka akan mendapati seorang iblis dalam balutan manusia maha tampan. Maksudku, ya memang cakep tapi kelakuannya kayak setan. Ya buat apa coba? Masak setiap hari harus disuguhi dengan bentakan ataupun tatapan dingin dari cowok ini. Kan malas sekali.     Sebaiknya aku menghindari Aric mulai dari sekarang. Aura mengerikan yang terpancar dari tubuhnya cukup membuatku ketakutan. Aku harus mencari cara agar terbebas dari hukuman memalukan ini. Aku tak mau jadi tontonan banyak orang. Terlebih Aric yang menyuruh. Dia cowok menyebalkan dan tanpa ampun.     “So, mulai nyanyi sekarang,” ucapnya menyerahkan microphone yang sedari tadi ia pegang kepadaku.     Aku melirik sekitarku, melihat wajah anak-anak di sekelilingku. Sepertinya mereka juga ketakutan sepertiku. Tapi ada juga di antara mereka yang menantikanku untuk menyanyi dan menari.     Baiklah, aku harus bisa pergi dan lolos dari hukuman ini.     Perlahan kupegang kepalaku dan berlagak pusing. Aric melihatku dengan ekspresi bingung dengan kernyitan di dahinya. Dan di saat itulah aku mulai menjatuhkan diri ke lapangan, pura-pura pingsan. Semoga dengan begini aku dapat terbebas dari hukuman Aric.     “Serius? Pingsan di saat begini?” Aric tak sedikit pun terdengar prihatin. “Bawa dia ke klinik. Nyusahin orang,” komentar Aric seraya berdecak sebal. ***     Aku melirik jam yang berada di tangan kiriku. Sekarang sudah pukul sebelas siang. Dan sepertinya ospek masih berjalan dengan lancar.     Saat ini aku sedang berada di klinik. Tiduran, pura-pura sakit. Aku melakukan ini semua untuk lari dari hukuman Aric tadi. Ya, aku punya cara sendiri untuk lari dari masalah.     Kini aku bangun dari posisi tidurku. Tak seorang pun berada di ruangan ini. Ruangan berisi tiga kasur ini sepi, hanya ada aku seorang di sini. Bahkan dokter yang tadi memeriksaku juga tidak ada di sini. Mungkin sebaiknya aku pergi.     Bergegas aku mencopot karet dan pita yang berada di rambutku dan menyisir rambut panjangku dengan jari. Aku lupa membawa sisir. Kulepas pula kaos kaki dan sepatu beda warna yang kupakai. Kemudian kuambil sepatu ganti yang kutaruh di tas kresek yang kini tergeletak di meja sebelah kasur yang kutiduri. Untung aku membawa sepatu ganti. Aku tak ingin terlihat seperti orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa.     Setelah itu, aku meninggalkan tas kresek berisi barang-barangku di sini. Sedangkan aku sendiri berniat untuk keluar ruangan ini dan melihat dunia kampus. Tidak, sebenarnya aku ingin mencari dia. Aku yakin dia di sekitar sini.     Perlahan aku berjalan keluar dari klinik. Ada beberapa orang yang duduk di ruang tunggu klinik. Tapi kurasa mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing dan mengabaikanku. Lagian, memangnya aku siapa sampai harus diperhatikan?     Kini aku berjalan menyusuri lorong kelas yang sangat ramai. Aku tak tahu harus mencari dia ke mana. Tempat ini sangat luas. Dan jika pun aku sudah menemukannya, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Belum tentu juga dia ingat kepadaku. Sudah lama sekali kami berpisah.     Aku berhenti di depan mading. Kini kuamati poster-poster serta selebaran yang tertempel di sana. Mataku menyisir tulisan yang berisi nilai salah satu mata kuliah. Ada banyak nama tertera di sana. Aku tertawa kecil mendapati banyak anak mendapatkan nilai D. Sepertinya kuliah itu tak semudah waktu sekolah.     Napasku tercekat ketika mendapati nama seseorang yang kucari. Dia benar-benar kuliah di sini. Dia ada di sini. Aku menemukan namanya di sana.      “Azel Aldhani,” ucapku lirih. Itu namanya. Dan dia mendapatkan nilai A. Aku tersenyum lebar membayangkan betapa pintar Azel sekarang. Ya, dia pasti sangat pintar.     “Hai,” ucap seseorang dari belakangku. Tiba-tiba jantungku berdegup sangat cepat. Bahkan keringat dingin sudah mengucur dari pori-poriku. Suara itu terdengar sangat mencekam.     Perlahan aku berbalik. Dan sekarang, kudapati wajah seseorang yang tengah tersenyum ke arahku. Aku tersenyum kaku membalas senyumnya.     “Udah siuman?” tanyanya masih tersenyum ke arahku. “Bisa kan, dilanjut lagi hukumannya.” Senyum yang tadi menghiasi wajahnya kini hilang berganti wajah datar dan tanpa ampun.     Mati aku.     Aku hanya meringis tak tahu harus menjawab apa. Dengan tiba-tiba kujatuhkan tubuhku ke arahnya dan pura-pura pingsan kembali. Aku tak ingin bertemu ataupun berurusan dengan Aric lagi!     “Lo bercanda? Pingsan lagi?!” serunya dengan nada tidak percaya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook