bc

Motremus

book_age16+
300
FOLLOW
1.3K
READ
others
dark
dominant
tragedy
sweet
mystery
scary
like
intro-logo
Blurb

Tak ada satupun manusia yang dapat mengendalikan mereka sang pembawa kegelapan selain wanita yang terlelap dalam es yang membekukannya.

Adrea Hunt, wanita yang tertidur selama ratusan tahun itu terbangun dan mendapati peradaban manusia tidaklah lagi sama. Bagaikan sebuah lubang hisap yang menghisap seluruh peradaban yang kini hanya menyisakan sedikit saja manusia yang bertahan dan munculnya mahluk mengerikan yang berniat melenyapkan sisa peradaban manusia.

hanya terdapat dua pilihan bagi manusia, yaitu bersembunyi atau berperang.

Gambar: Elisabet XD, Evanto tuts by Brooklyn Mills

Font: special Elite, PicsArt.

chap-preview
Free preview
Part 1 : Malea
Tak ada lagi peradaban seperti dulu. Tak ada kendaraan, tak ada ponsel, tak ada mata uang, bahkan tak ada keamanan sedikit pun. Hanya mampu bertahan demi kelangsungan hidup umat manusia yang tersisa. Kami harus bertahan dari panasnya mentari dan dinginnya angin malam. Kami harus bersembunyi dari mereka yang selalu datang tanpa adanya undangan atau kata sapaan.   … Adrea Hunt…     Angin kencang yang membawa awan hitam tengah menghampiri wilayah kami saat itu. Orang-orang berhamburan menyelamatkan diri kala melihat bukan hujanlah yang dibawanya. Aku hanya terpatung menatapnya. Sama sekali tak kupedulikan orang-orang yang berlarian menjauhi awan hitam itu, bahkan ketika petir menyambar dengan gila-gilaan hingga puluhan kaca dari bangunan-bangunan yang berada disekelilingku pun pecah menjadi serpihan kecil yang berjatuhan … namun tetap, aku diam tak memperdulikan itu. Tidak seperti orang-orang yang berlari menjauh, langkahku perlahan bergerak mendekatinya seperti terdapat magnet yang mampu menarikku ke dalam awan gelap yang datang bersama dengan ribuan makhluk berjubah hitam tinggi yang melayang-layang di angkasa. “Adrea!!” sebuah suara terdengar ditelingaku, seolah seseorang memanggilku, namun langkahku masih tetap bergerak berjalan mendekati awan tersebut. Tanpa keraguan, tanpa ketakutan. Hingga kembali kudengar sebuah suara yang samar dan kian menjadi jelas hingga ketika kutoleh sebuah cahaya yang datang langsung menyerbuku.  “stop, Adrea!!!”  …   “Hei, Adrea! Wake-up.” Sebuah panggilan dari suara lain yang terdengar membangunkanku dari mimpi itu.      Sejenak melamun berusaha untuk mengumpulkan seluruh energi yang sempat melayang entah kemana dan detik kemudian bangkit ketika energiku terkumpul dengan sepenuhnya. Kutatap Julia, wanita cantik yang memiliki kulit berwarna kuning dengan hidung yang mancung dan bibir merah pudar juga rambut cokelat panjang diikat dengan gaya ponytail itu baru saja pergi dari sampingku, kusadari panggilan itu berasal darinya. “bonum mane, Adrea(selamat pagi, Adrea)” hal yang pertama menyapaku, tunggu… ralat! Orang pertama yang selalu menyapaku adalah lelaki itu. Ya, senyumnya selalu terkembang dengan manis tiap kali ia menyapaku. Lelaki berperawakan tinggi dengan kulit sawo matangnya, rambut ikalnya, bibir tipisnya dan rahang tegasnya. Minor, itulah nama yang kami kenal. Aku tersenyum untuk membalas sapaanya, mungkin aku terlihat seperti orang bodoh saat ini, namun aku tetap saja melakukannya. Masih dengan diriku yang tersenyum dengan bodohnya hingga aku segera tersadar ketika Julia melempar Handuk padaku “ayo!” serunya berlalu melewati Minor yang berdiri di ambang pintu itu. Aku berlari kecil mengikuti langkah kaki Julia yang kini berjalan di depanku melewati mereka-mereka yang tengah berkumpul di tengah yang dapat kukatakan sebagai lapangan kecil dekat perapian yang sudah padam, melewati beberapa bangunan runtuh dan masuk ke dalam ruang shower umum yang nyaris bokbrok namun dapat kami gunakan berkat Minor dan para pemuda yang berhasil membetulkan saluran pipa di sana.   Kami adalah orang-orang yang bertahan (menetap) di wilayah yang kami sebut sebagai wilayah X, jumlah kami dua belas orang yang diantaranya tujuh anak muda, dan sisanya adalah orang tua serta orang yang sudah cukup berumur. Bukan tanpa alasan kami menetap di wilayah ini, kami melakukannya lantaran kami sudah terlalu lelah untuk berpindah dan lebih baik menunggu orang-orang yang mungkin saja tersesat dan bertemu dengan kami di sini. Orang tua renta juga menjadi alasan kuat kenapa kami bertahan di wilayah ini.  …   Gemericik air terdengar berjatuhan dengan deras setelah sebelumnya kuputar pipa yang menjadi sumbernya. Segarnya air mampu menenangkan pikiranku yang semakin kemari kian menjadi kusut akibat mimpi yang menghantuiku. Tak ada yang kulakukan selain menatap air yang mengalir di bawah dan masuk ke dalam lubang pembuangan itu, membawa buih-buih dari tubuhku, busa itu dihasilkan oleh sabun daun khusus yang ditumbuk halus. “exactam, Adrea?!(apakah kau selesai, Adrea?)” sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Julia dan itu terdengar diluar tirai, dengan sengaja kuputar kran air tersebut hingga tidak membuka akses air untuk keluar membasahi tubuhku.  “duluan saja, aku akan menyusul” jelasku kembali membuka kran air tersebut setelah tak kudengar lagi suara Julia yang berada di balik tirai itu hingga kuyakini ia beserta yang lainnya telah pergi meninggalkanku.   Tetesan air segar yang mengalir membuat seluruh tubuhku merasa tentram, bagaikan tenggelam di dalam danau di musim panas yang begitu jernih. Terlalut dalam keheningan membuatku teringat dengan memori yang kembali padaku layaknya mimpi yang selalu menghantuiku dan selalu ingin kupecahkan.  Lamunanku tersadar saat kudengar dorongan dari pintu di luar sana yang begitu nyaring dan panjang, layaknya suara seram ketika pemeran utama dalam film hantu membuka sebuah pintu tua yang sudah berkarat. Hingga menimbulkan suara deritan yang panjang dan tak berujung mulus.  “ei, kau di sana. Julia?” tak ada satu pun suara yang menanggapi hingga kembali kubertanya “Minor?” sama seperti awal, tak ada satu pun yang menanggapiku. Namun meski demikian aku meyakini bahwa ada seseorang yang telah masuk ke dalam kamar mandi ini.   Kretekk…. kretekk…   Seperti suara kayu patah yang kudengar membuatku segera menghampiri sudut kamar mandi untuk menyembunyikan diri. Kuulurkan segera lenganku menggapai senjata berjeniskan ShotGun jadul keluaran tahun 2000 yang selalu ku bawa untuk berjaga-jaga.   Air yang semula mengalir kini dengan seketika berubah menjadi beku, kurasakan jantungku berdegub dengan kencang hingga nafas yang kuhembuskan menghasilkan kabut yang tak begitu kentara. Berubahnya temperatur udara di sekelilingku yang secara mendadak, menandakan bahwa makhluk itu hadir.   “hahh… hah…”   Nafasku memburu ketika aku mempersiapkan diri untuk kemungkinan buruk yang terjadi.   Kemungkinan buruk? Ya… bisa saja aku yang terbunuh oleh makhluk itu atau bisa saja aku yang membunuh seseorang selain makhluk itu, mungkin saja itu bukan mereka makhluk penganggu yang picik dan mungkin saja itu benar mereka.   Trekk..tek… Kedua mataku nyaris terbelalak dengan sepenuhnya, tanganku bergetar dan aku telah mempersiapkan diri ketika sebuah cakar elang yang mengeluarkan cairan kental kecoklatan itu muncul dibalik tirai kamar mandi yang kupakai. Ya tak salah lagi, itu adalah mereka.   Zrak!! “RAAAAAAAAAAKKKKKKK!!!!!”   Kupincingkan kedua mataku merasa ngilu kala mendengar jeritannya yang begitu nyaring. Belum sempat ia mengibasku dengan cakarnya yang tajam setajam belati yang baru saja diasah, segera kutarik pelatuknya meski tubuhku sedikit limbung karena tidak bisa menahan pegasnya, namun setidaknya aku berhasil menembaknya tepat di jantung. DARRR!!!! Brught!   Letupan senjata tadi terdengar begitu nyaring hingga menutupi suara jeritku yang histeris disaat yang bersamaan, dan kini makhluk itu terjatuh tepat dihadapanku.  Nafasku kembali memburu, ketika kutatap cairan ungu kehitaman yang pekat mengalir membasahi lantai yang beku. Dengan cepat aku beranjak dan kembali kuangkat senjataku kala mendengar sesuatu yang datang, perasaan panikku seketika padam ketika Julia dan Minor lah yang muncul dibalik tirai itu, membuatku kembali menurunkan senjata yang kugenggam.   “astaga!” pekik Julia setelah melihat makhluk itu tergeletak di hadapan kami. Nafasku masih tersenggal ketika kutatap Minor dengan segera berlari dan menutupi tubuhku dengan sebuah handuk yang tebal, aku bangkit perlahan seiringan dengan kedua tangannya yang mengangkat bahuku bermaksud untuk membantuku berdiri dari sana. Derap langkah banyak terdengar dan kulirik beberapa orang terkejut serta yang lainnya memekik ketika melihat makhluk mengerikan itu tergeletak di sana. “Apa?! kenapa makhluk ini bisa ada di sini?” kugelengkan kepalaku menjawab pertanyaan mereka.   “sial, aku tidak mengetahui dia akan datang” kutatap Minor yang merutuk, wajahnya praktis menekuk ke bawah menandakan dia sangat marah pada dirinya sendiri. Ia berjalan dan berjongkok mendekati monster itu, melihatnya lebih dekat sekedar memastikan bahwa ia benar-benar mati.    “tak apa, lagipula dia sudah mati” sambungku, Minor menggelengkan kepala tidak setuju “tetap saja ini berbahaya, Adrea.”   “kedatangan makhluk ini bisa saja menandakan bahwa kita berada di wilayah yang tidak jauh dari mereka” aku tertegun mendengar penjelasan Julia. Ya, ini sangat berbahaya. Mereka bisa saja datang ketika kami lengah dan kami bisa saja terkepung seperti Rusa yang terpojokan oleh segerombolan Harimau yang kelaparan. Kami kalah telak mengingat senjata yang tersedia tidaklah banyak.  Tubuhku praktis kembali melorot setelah memikirkannya, merasakan bahwa seluruh tenagaku terkuras habis hanya karena memikirkannya. Air yang tadinya membeku kini kembali mengalir membasahi tubuhnya dan membawa darah makhluk itu. “Adrea” kupalingkan tatapanku demi menatap Minor yang baru saja memanggilku, kuanggukan kepalaku dan kuraih tangannya yang terulur di hadapanku untuk kemudian kembali berdiri.   “apa yang kalian lihat? Segera bersihkan makhluk sialan ini!!” gerak cepat yang di lakukan oleh empat lelaki di sana menandakan bahwa mereka setuju dengan apa yang diperintahkan oleh Julia saat itu.   Kutatap jasad makhluk mengerikan yang tergeletak di sana, Malea. Sebutan untuk makhluk yang baru saja ku bunuh. Malea adalah makhluk yang memiliki tinggi berkisar dua hingga tiga meter, tubuh berwarna coklat sawo matang, dan berat yang mungkin bisa mencapai dua ton, memiliki kedua tangan persis seperti cakar elang dengan warna kehitaman, memiliki dua bola mata yang besar sebesar tempurung kelapa berwarna merah dan mengeluarkan semacam lendir kehijauan layaknya cairan yang dihasilkan oleh getah dari daun yang dihancurkan secara bersamaan menggunakan mesin blender, Malea tidak memiliki tulang hidung namun memiliki mulut yang persis seperti dragonfish (hewan air yang cukup mengerikan, hidup di laut yang paling dalam) yang tajamnya seperti lembaran kertas yang mampu menyayat jari jemarimu, itu berarti dapat menimbulkan rasa pedih nan kentara. Mereka memiliki pendengaran cukup bagus namun tidak sebagus kelalawar dan lebih bagus dari manusia biasa, mereka memiliki sedikit rambut yang ketebalannya persis seperti tali tambang kecil dan panjang, tubuh mereka benar-benar besar dan kedua kakinya berbentuk seperti kaki gajah, siapa saja yang terinjak mungkin akan mengalami patah tulang bahkan hingga kematian. Malea adalah makhluk pengerat yang picik, mereka akan datang kapan saja dengan tanpa disangka-sangka. Hanya perubahan suhu udara yang spontanlah menandakan kehadiran mereka di sekitar kita. Mereka menghampiri manusia dan membunuhnya secara kejam hanya untuk mendapatkan hati (organ tubuh) manusia. Mereka menggunakan hati manusia untuk melaksanakan ritual yang mereka sebut dengan Jollum Expel atau yang kami sebut sebagai sesembahan.  Malea tidak memakan manusia, namun mereka melakukan ritual yang meyakini bahwa hati manusia membuat mereka menjadi tak tertandingi, baik dari manusia maupun Tuhan. Namun, ritual bodoh yang mereka lakukan tidak pernah membuat mereka menjadi yang ‘tak tertandingi’, dengan bukti bahwa mereka masih harus memburu kami dan mereka juga dapat mati dengan perlawanan kami yang melepaskan timah panas kepada mereka atau menghancurkan kepala mereka. …   Aku berjalan beriringan bersama Minor yang menggenggam lenganku dengan erat, seolah enggan untuk melepasku “seharusnya aku tidak meninggalkanmu” gumamnya. kulirik wajah Minor pada saat itu tengah menatap kearah depan dengan sedikit raut penyesalan yang tersirat di balik angkuh wajahnya, membuatku tersenyum dan berkata “tak apa, aku bisa menjaga diriku sendiri” langkahku terhenti kala Minor menghalangi jalanku dan berdiri tepat dihadapanku.   “tidak! kau masih belum cukup kuat, bahkan ketika kali pertama aku melihatmu tertidur di…-  Aku tertegun ketika perkataannya menggantung di sana, dia menatapku dengan beribu kekhawatiran yang menurutku tak perlu ia pikirkan. Tak ada hal yang aku lakukan selain menatapnya dengan sungguh-sungguh, menatapnya seraya berpikir bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkanku, berpikir bahwa dia harus percaya denganku bahwa aku akan baik-baik saja, mengharapkan ia dapat memahaminya lewat tatapanku ini dan kurasa ia memahaminya, karena kini kepalanya menggeleng dan berpaling menghindari tatapanku seraya berucap “lupakan.”   Ya, aku tahu persis kenapa dia begitu mengkhawatirkanku. Aku adalah seorang gadis yang ditemukan oleh mereka (orang di wilayah ini) dalam keadaan tidur membeku di sebuah peti mati yang terletak di balik gunung yang mereka sebut adalah hutan Damnatorum tepat sebrang danau beku, wilayah yang belum pernah disentuh oleh Malea sedikitpun, wilayah yang juga jarang atau sulit di tempuh oleh manusia karena medannya yang begitu sulit. Jadi tidaklah heran ketika Minor memperlakukanku seperti saat ini, aku selalu berpikir bahwa ia begitu karena berusaha untuk melindungiku dan menjadikanku sebagai orang yang penting karenanya.       

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

✅Sex with My Brothers 21+ (Indonesia)

read
924.0K
bc

Suamiku Calon Mertuaku

read
1.4M
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
311.0K
bc

The Seed of Love : Cherry

read
111.5K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook