bc

KANAYA

book_age0+
4.7K
FOLLOW
93.7K
READ
billionaire
revenge
dark
rape
forced
dominant
CEO
drama
tragedy
like
intro-logo
Blurb

Kenzio Eemert, pria dengan wajah adonis yang akan dengan senang hati dipahat wajahnya oleh para pematung ternama. Berlatar belakang gemilang-tanpa cela, perempuan ingin bersamanya sementara laki-laki bermimpi menjadi dirinya. Dibalik kesempurnaan paras Ken, ia menyimpan dendam yang bertubi-tubi, yang kemudian membutakan matanya dan menggeraskan hatinya.

"Naya... Kau tampak takut. Good. Keep it up. aku suka ekspresi itu, membuatku tambah bergairah."

Warning!

Hanya untuk 17+

mengandung kekerasan dan konten seksual

NO schedule update

chap-preview
Free preview
Part 1
Seorang Kenzio Emmert baru menyadari rumah megah dihadapannya sudah banyak mengalami perombakan dari enam belas tahun yang lalu. Usianya ketika itu masih sangat belia─ Ia bahkan masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia kembali ke rumah yang katanya pernah meminjamkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang tak pernah bisa dideskripsikan oleh ingatannya, sekedar ia yakini berdasarkan cerita.  Mendiang Ibunya yang selalu mendongeng mengenai kebahagiaan dirumah itu. Bahagia miliknya yang kemudian direngut oleh seorang wanita jahat─pembunuh.  Menggunakan otaknya untuk mengingat dan menganalisis, Ken adalah ahlinya. Namun tetap saja Ken tak pernah berhasil menjangkau kenangan bahagia itu. Kali ini, Ken kembali dengan menyandang dua gelar sarjana sekaligus, M.B.A dan M.Com dengan hasil sangat memuaskan berkat otak pintarnya yang setingkat profesor. Ken tersenyum ketika mobil yang membawanya berhenti. Seorang pria paruh baya dengan kursi roda sudah menantinya. Para pelayan dengan sigap menurunkan barang-barang dari bagasi sementara Pria paruh baya itu tak sekalipun berkedip sejak Ken melangkah keluar dari mobil. "Apa kabar,Dad?" Air mata tampak disana ketika Ken melepaskan dekapan. "Kenzi.." Eddie Eemert sudah menanti pertemuan ini selama enam belas tahun Ketika anak lelaki satu-satunya ini dipisahkan darinya. Tangan Ed yang terangkat lantas membuat Ken setengah berjongkok untuk menyetarakan tingginya dengan sang Ayah. Mula-mula Ed mengelus rambut lalu beralih menuju pipi. Mata indah itu tak luput dari perhatiannya. "Ayah rindu pemilik mata ini.." Bola mata itu terlalu indah. Warnanya berkilau keemasan diteduhi bulu mata yang tebal.  Ken tersenyum simpul lalu menyapukan pandangan diantara pelayan-pelayan rumah yang berdiri, seperti mencari sosok lain disana. "adikmu belum pulang." "Aku penasaran bagaimana rupa adikku." "Oh..dia sangat lah cantik, seperti ibunya." Ed tampak bersalah ketika tak sengaja menyinggung hal tersebut, namun Ken melebarkan senyuman bermaksud melegakan ayahnya. "lalu dimana ibunya yang cantik itu?" sorot mata Ed berubah sendu ketika Ken menanyakan perihal tersebut. Ken pun menyesali kepulangannya yang terlambat ke  tanah kelahirannya. Wanita itu ternyata sudah meninggal dua tahun yang lalu karena kanker. Ken tak pernah menerima berita kematiannya. Ia mengadu geraham geram sebab merasa kepulangannya menjadi suatu hal yang sia-sia. Wajah ayahnya bukan hal yang pertama kali terbayang dibenak Ken saat mengakhiri perjalanan udara yang melelahkan. 17 jam waktu Ken dalam pesawat diisi dengan bersiasat membalaskan sakit hati yang masih menghinggapinya sampai detik ini. Sebaliknya, sejak seminggu yang lalu Ed sudah menunggu hari ini. Begitu antusias tatkala segenap hatinya dihinggapi rindu yang mengebu-ebu.    Ken menyimpan motif sendiri dibalik kepulangannya kerumah. Cukup lama keduanya menghabiskan waktu dengan obrolan yang sekedar basa-basi semata bagi Ken. Dan nama Naya nyaris selalu terdengar di setiap kalimat yang tertutur dari bibir Ed. "Naya.." tanpa sadar Ken mengulang nama itu dihadapan Ed diiringi sepintas senyum. Ken berandai-andai bila saja ayahnya tahu isi kepalanya sekarang, ayahnya tak mungkin membalas dengan senyuman, wajah Ken pun tak mungkin seutuh ini. *** Pintu kamar Naya tertutup rapat sama seperti saat terakhir ia meninggalkan rumah. Ken seenaknya masuk, sementara pemilik kamar bernuansa kuning muda itu tidak ditempat.  Kamar Naya tidak begitu luas, namun tampak demikian sebab terlalu banyak menyisakan ruang kosong. Tidak seperti kamar gadis-gadis kenalan Ken yang umumnya dipenuhi beragam barang kebutuhan wanita. Seperti koleksi tas, belum lagi seabrek perawatan wanita. Kamar itu hanya berisikan kasur tidur ukuran queen, sebuah lemari sliding,tiga buah ukiran kayu yang dimanfaatkan menjadi rak gantung dan sebuah meja rias. Ada hal lain yang membuat Ken mengerutkan jidat. Buntelan benang wol yang berserakan di lantai, kasur, bahkan diatas meja rias. Malahan, isi laci meja rias pun juga dipenuhi bola-bola wol. Ken tahu itu dari benang-benangnya yang berjuntai keluar.  Dirinya tak bermaksud menyambut kepulangan Naya kerumah dengan tertangkap basah sedang berada didalam kamarnya, mengotak-atik barang layaknya seorang pencuri. Tapi Ken tahu terlalu terlambat untuk meninggalkan ruangan ini begitu mendengar suara langkah kaki selain miliknya. Perempuan itu tak langsung sadar ada laki-laki asing sedang menunggunya saat ia masuk ke kamar. Pandangannya masih asik tertuju ke dalam plastik hitam dengan tangannya yang sibuk mengaduk isi plastik. Ia berjalan mengarah ke sosok Ken yang bersandar pada lemari riasnya. Ketika ujung pandangannya menangkap sosok tinggi menjulang itu, plastik hitam dari genggamannya terhempas memuntahkan sebuah benda yang menggelinding.  Lagi-lagi buntelan wol.  Ada sekian detik kosong mengisi sebelum perempuan itu bersuara. "Kakak?" Hampir semua bagian rumah memiliki potret Ken kecil, dibiarkan bergantung di dinding maupun menempel dihalaman album yang menumpuk. Naya belum pernah sekalipun bertemu langsung dengan Ken. Ini kali pertamanya. Namun Naya masih berhasil mengenalinya, pun para pekerja dirumah ini.  Bocah ingusan difoto itu memang sudah menjelma menjadi lelaki dewasa yang rupawan. figur kecilnya hampir tak membekas. tapi bola matanya sudah cukup menjelaskan, bahwa laki-laki dihadapan Naya dan anak lelaki yang potretnya hampir terlihat di setiap ruangan rumah adalah orang yang sama. Dia lah Kenzio Emmert.  Naya ingat, Setiap Ed mengungkapkan rasa rindunya dengan bercerita. Ayahnya tak pernah lupa memuji keindahan bola mata anak laki-lakinya itu. "Bola mata paling indah di dunia" begitu yang selalu Naya dengar. Naya memperhatikan potret Ken kecil, dan saat itu ia tidak setuju. Rasanya gambaran Ed terlalu berlebihan. Iris mata Ken tidak terlalu mengaggumkan. Tapi setelah menemui Ken saat ini, anggapan itu berubah.  Ada banyak jenis iris mata di dunia ini. Warna cokelat adalah iris paling dominan, disusul dengan warna hitam. Sisanya masih beragam. Hijau, biru, abu-abu, amber, hingga kombinasi yang menciptkan spektrum warna.  Warna iris mata Ken amber, seperti kuning tembaga dan terlihat berkilau keemasan. Dibanding dari potret, melihatnya secara langsung memang berbeda─jauh lebih indah. Naya kini setuju, bola mata Ken adalah salah satu bola mata terindah yang ada di dunia. Warnanya juga sangat harmonis dengan karakter wajah Ken.  Ken mendekati Naya perlahan dengan garis senyum penuh arti. Tangannya berada dibelakang, seolah menyembunyikan sesuatu dibalik bahunya yang lebar. Ketika sudah berhadapan dengan Naya, ia langsung mengitari perempuan itu. Matanya bergerak naik turun seperti memindai tubuh Naya lalu terdengar tawa remehnya. Ia mengingat pujian-pujian ayahnya mengenai kecantikan Naya. Naya jauh dari bayangannya. Tingginya cukup ideal untuk wanita asia, tapi berat badannya tidak. Separuh wajahnya yang mungil tertutup kacamata kutu bukunya yang terlampau besar. Rambutnya dikuncir sembarang, jauh dari kesan wanita salon. Hidungnya mungil dengan bibir yang tampak mungil pula. Wajahnya tampak kekanakan.  Ken akui rupa wanita itu tidaklah buruk. Tapi Naya jelas jauh dari bayangannya. Ia selalu membayangkan Naya akan seperti gadis-gadis remaja zaman sekarang, bermakeup dan menjaga penampilan. Ken menggeleng tak percaya mengingat Ed yang kerap memuji kecantikan adik tirinya itu.  Ibu Ken adalah sosok perempuan yang sempurna. Ia selalu tampil anggun dengan penampilan perempuan berkelas, dari ujung kepala hingga jari-jari kakinya adalah sebuah definisi mewah. Mengingat pepatah buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Ken yakin ibu Naya tidak jauh berbeda dengan Naya. Lalu bagaimana mungkin ibunya yang luar biasa dikalahkan oleh seorang jalang rendahan. Ayahnya benar-benar menyedihkan. Naya mulai merasa tidak nyaman dengan Ken yang terus mengitari dan mengamatinya. Ia hendak menegur. "Kak,Bisakah berh—"     Kalimat itu terputus begitu Ken mencekiknya. "You are not my sister, Ketahui dimana posisimu saat bicara." Naya mencoba melepaskan tangan Ken yang mecengkeram lehernya. "Aku bisa meremukan tulang-tulang ini." Ken menggeratkan cekikannya. Naya berontak, kehabisan oksigen.  "Kau.., kau akan merasakan hari-harimu dirumah ini seperti di neraka. Kurasa, neraka akan lebih baik. Aku akan menyiksamu perlahan. Jadi, bersiaplah." Tidak bertenaga, Naya sampai terduduk lemas sewaktu Ken melepaskannya. Meninggalkan Naya yang terbatuk dengan nafas putus-putus. Air matanya tumpah begitu nafasnya sudah kembali. Kedatangan Ken sudah Naya nantikan semenjak mendengar kabar kepulangannya. Dirinya bahkan meminta para pembantu membiarkanya untuk merapikan kamar Ken, menyulap kamar yang sudah sekian belas tahun kosong itu menjadi tempat yang nyaman. Seolah kamar itu tidak pernah kosong. Naya ingin menyambut Ken dengan hangat dan selalu membayangkan reaksi Ken yang hangat pula. Dan bayangan Naya sekian lama itu baru saja hancur.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

T E A R S

read
312.4K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
145.8K
bc

PEPPERMINT

read
369.3K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
525.6K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
112.2K
bc

See Me!!

read
87.8K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
120.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook