bc

Perempuan Kedua (Simpanan)

book_age0+
2.6K
FOLLOW
43.9K
READ
one-night stand
love after marriage
arrogant
manipulative
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

Raina yang merupakan seorang selebritis jatuh cinta pada Adri, pria mapan yang telah berkeluarga. Kebersamaan mereka selama satu tahun sarat akan konflik, karena Raina yang selalu ingin memiliki Adri, sedangkan Adri yang tak bisa melepas keluarga dan semua hal yang telah ia miliki hanya untuk Raina.

Konflik makin tajam berkaitan masa lalu Raina yang ia sembunyikan dari Adri. Suatu kali keinginan Raina untuk balas dendam pada keluarganya dengan menggunakan kekuasaan yang Adri miliki, membawa mereka pada rahasia hubungan yang harus terkuak. Seberapa lama mereka mampu menyembunyikan hubungan terlarang itu, dan seberapa jauh Adri bisa mempertahankan Raina dengan melepaskan keluarga sempurna yang telah ia punyai.

chap-preview
Free preview
Bab 1
Pertemuanku dengannya seperti mimpi yang membawa hujan dalam gersang musim panas yang panjang. Aku tidak pernah menduga akan menemukan cinta, menciptakan cinta dan megenal cinta. Apakah ini bisa disebut cinta? Tidak, aku semestinya tak menyebut ia demikian. Pria yang aku pinjam telah memiliki orang lain sebagai pemilik. Kebersamaan kami awalnya hanya sebuah kebiasaan, dan sampai kini pun apa yang mengikat tak pernah ia jelaskan. Yang kupahami sebatas ia tak mau melepaskan dan aku tidak memilih meninggalkan. Rasanya pahit, cinta ini lebih lebih dari yang bisa diminta namun terlalu menyakitkan dari yang mampu diharapkan. Tak ada batas jelas, tak ada tujuan, hanya mengambang dalam fantasi kebahagiaan. Kisah ini berada pada tahap murahan bagi seorang perempuan, tapi cinta terlalu kejam ketika ia menjatuhkan pilihan tanpa melihat, tanpa permisi dan hanya memilihnya dengan mengabaikan norma yang telah ada. Aku tak meminta maaf, karena memilih menyalahkan takdir. Menyalahkan bagaimana pria sepertinya membuatku merasa luluh pada ketidak pantasan, yang kutahu tidak menawarkan lebih daripada sebuah luka tak terlihat. ** Seperti pagi sebelumnya Adri sedang membuat sarapan, sedangkan aku duduk terpaku di meja makan. Melihat pundaknya yang terbalut kemeja putih, meliukkan wajan yang membawa bau telur omelet membuatku selalu senang. Kepalaku masih terlalu sakit untuk membuat sarapan setelah menghabiskan dua botol anggur dalam pesta sehabis penghargaan semalam. Aku berjalan ke sisi Adri, memeluk punggungnya yang kokoh lalu mencium wangi tubuh di balik kemeja transparan yang membalutnya. "Duduklah, aku sedang membuat sarapan!" sergahnya. "Kau akan pulang hari ini?" Adri menghentikan kegiatannya, lalu mematikan kompor. Sorot matanya yang tajam tertuju padaku. Ia tak pernah suka ketika aku ikut campur dalam hidupnya, tapi ia senang ikut campur dalam hidupku. "Benar, kita sudah sepakat! Jangan manja, jangan menelpon atau menghubungiku. Aku akan menghabiskan waktu dengan keluargaku" "Kau menyebutnya keluarga, lalu aku? Apa aku bukan keluarga kamu juga?" bibir merah muda Adri berdecak tak puas. Ia membawa wajan berisi omlet itu menuju ke meja, meletakkannya di piring dan membiarkan aku terpaku melihatnya. "Makanlah, bukankah hari ini kau ada jadwal syuting film? Kau harus punya tenaga, dan jangan lupa minum obat sakit kepala. Jauhi kontroversi dan jangan mencoba membuat keributan seperti yang kau lakukan pada lawan mainmu seperti kemarin. Kau tahu aku tidak bisa selalu berada di belakangmu!" dengan kesal aku membanting gelas ke lantai. Adri diam saja, meski jelas wajahnya sudah merengut menahan kesal. Pertengkaran ini sudah terlalu sering terjadi ketika ia berkata akan pulang pada keluarganya, dan aku senang memulai semuanya, melihat bagaimana ia begitu frustasi membuat rasa sakitku sedikit berkurang dari jumlahnya yang terpapar dan kutanggung lebih banyak. "Kau yang ikut campur pada apa yang aku lakukan! Aku memukul perempuan murahan itu karena dia bersikap seperti ratu, kenyataannya dia hanya pendatang baru tanpa bakat. Jangan menyalahkan aku, kau tidak pantas! Kau tidak bisa!" Adri menghampiriku, membuang kesalnya lalu memberi pelukan yang membuat air mata dari kemarahanku luluh juga. "Saya tahu kamu tidak terbiasa pada situasi ini Raina! Aku berjanji kita bertemu seminggu lagi. Aku akan menelponmu saat punya waktu, jadi tenanglah, kamu akan biak-baik saja sayang! Tenanglah!!" janji yang sama, entah akan ditepati atau terlupakan ketika ia telah tenggelam dalam kesibukan hidupnya. "Tolong lepaskan aku!" pelukan di tubuhku melepas perlahan. Adri terdiam, sepasang matanya yang sipit menuju padaku. Ia melepas kacamatanya, memijat sekitar hidungnya dengan lelah. "Kamu tahu aku memiliki beberapa masalah! Aku tidak memintamu mengerti, aku hanya senang karena selama ini kamu tidak pernah bertanya apa pun. Aku akan pergi, kita akan bicara saat kamu sudah tidak lebih tenang!" Adri mencium keningku, mengambil jaket di lengan sofa, lalu melambaikan tangan sebelum menghilang di balik pintu. Aku terpaku seorang diri. Menatap sarapan di meja kemudian duduk merenung dalam hampa. Ingatanku memutar ketika kali pertama kami bertemu di sebuah restoran bergaya Italia. Masa itu aku sedang berada di pub kecil dengan musik jazz dari Billie Holiday, lembut mengalun bersama malam buta. Tatapanku berpaling pada kaca jendela yang memantulkan sinar lampu bersama hujan gerimis yang membawa semilir angin dingin. Kenangan lima tahun awal sejak aku memulai karir sebagai artis panggung teater yang menjadi figuran 5 menit di televisi, bintang iklan lalu sebuah film. Dan hari ini, malam ini untuk pertama kalinya aku memperoleh penghargaan sebagai artis pendatang baru terbaik. Piala berwarna keemasan itu kuletakkan di atas meja, berdekatan bergelas-gelas martina yang telah kuhabiskan sejak setengah jam lalu. Kepalaku mulai terasa berat, bersamaan mata yang mengantuk. Meski begitu aku masih bisa mendengar bagaimana orang-orang mencibir tampilanku saat itu, yang lebih mirip seorang pengantin baru saja meninggalkan pernikahannya. Dalam hati aku tertawa, semua orang melihat topengku tapi tak ada yang melihat aku sebagai aku yang sebenarnya. Hidup hanya panggung besar dari sebuah perkara, apa yang ingin kita perlihatkan hanya apa yang perlu orang lihat. Kadang kala menunjukkan apa yang tak ingin orang lain lihat hanya membuat kita berakhir dengan cibiran dan rasa benci. Bel berbunyi, menghamburkan ingatan yang baru saja aku kumpulkan. Kuhampiri pintu, mengintip ke luar dan melihat Rika sudah berdiri dengan resah. Aku baru teringat ada pemotretan hari ini sebelum syuting film siang nanti. Aku terlalu mabuk dan tidur terlalu lama hingga melupakan segalanya. Kubuka pintu apartemen, dan membiarkan kawan baikku sejak kecil sekaligus manegerku itu mulai menggurutu kesal. "Na, kau tahu kita ada jadwal pemotretan kan? Tapi kamu belum siap-siap. Aku sudah bilang jangan minum terlalu banyak. Tapi kamu selalu begitu, terlalu cuek?" aku memeluk Maya. Gadis bermuka bulat dengan rambut pendek itu sejenak diam kehilangan kata-kata. Jemarinya menepuk pundakku, mengilangkan gerutan lelah dan rasa sakit dalam hatiku. Hanya dia yang akupunya, benar-benar bagiku hanya dia hal yang dengan berani aku katakan kumiliki di muka bumi ini. "Apa terjadi sesuatu sama mama Na?" "Tidak, aku cuma merasa sakit?" "Sakit?" ia tercekat, melepas pelukannya dan mengamati mukaku. "Bagian mana yang sakit, apa kau mau kita pergi ke dokter dulu?" aku tersenyum simpul, menarik napas, mencoba menghilangkan sisi kekanak-kanakan dalam batinku yang begitu egois, karena kepergian Adrian yang memulangkan diri pada sangkar dan apa yang ia katakan sebagai sebuah keluarga. Keluarga yang seingatku tak pernah aku punya. "Tidak, tidak. Aku baik-baik saja! Kamu tahu habis minum mebuat kepalaku sakit. Di mana pemotretan hari ini?" Maya menyeka poni di dahinya, lalu duduk di sofa abu-abu. Ia membuka tablet, melihat jadwal dengan cermat. "Di Kota Tua sampai jam 11.00 siang, lalu ada jadwal off air untuk kampanye iklan skin care di Mall Grand Indonesia, terus nanti jam 02.00 syuting sampai jam 12.00 malam di Kali Malang. Apa kamu baik-baik aja dengan jadwal hari ini?" "Aku akan ganti baju!" Maya memandangiku, nampak keraguan di matanya. "Okey, kita punya waktu 30 menit lagi. Aku punya obat sakit kepala karena aku tahu habis minum, kepala kamu pasti sakit" ucap Maya diiringi senyuman. "Kamu memang manager paling sigap!" kataku memasuki kamar. Pemotretan hari ini untuk penggalangan dana yayasan kanker anak-anak, dengan mengambil tema zaman Belanda, di mana para noni berambut keemasan begitu anggun mengenakan gaun-gaun cantik dan payung. Bergaya menggunakan latar bangunan-bangunan tua. Tak banyak model yang datang, mungkin hanya sekitar lima orang termasuk denganku sendiri. Alat-alat dalam pemotretan pun seadanya, tanpa lampu atau pencahayaan memadai, hanya mengandalkan sinar matahari menjelang siang yang digunakan mengambil gambar. Setidaknya masih ada bagian penata kostum dan makeup artis, sekalipun hasil makeupnya terlalu menor, dan kaku sampai aku sendiri yang harus merias diri sendiri. Wajar mungkin ini terjadi, karena tidak banyak orang yang mau ikut bergabung sebagai model pemotretan kecil seperti ini. Dari yang kudengar photoghrapher-nya juga merupakan orang baru yang belum memiliki ketenaran di dunia seni mengambil gambar. Bagiku yang hanya ingin membantu, tidak masalah dengan siapa aku berkerja, selama aku bekerja sudah lebih dari cukup. Setelah pemotretan yang melelahkan itu aku beristirahat, duduk sejenak di sebuah bangku taman, sebelum nanti berganti pakaian menuju jadwal berikutnya. Kunikmati semilir angin, pemandangan museum tua Fatahillah dan langit biru yang membuat semuanya terlihat berada di waktu berbeda. Aku tertegun, orang-orang lalu lalang sambil tertawa, berjalan-jalan tanpa beban meski terik matahari cukup panas siang itu. Kuambil ponsel, memotret beberapa gambar bangunan dari berbagai sisi yang menarik untuk dilihat sebagai kenang-kenangan. Sebotol minuman tiba-tiba muncul di depan layar ponselku. Aku mendongak, mendapati seorang pria berambut keriting, berkulit terang dengan kumis tipis menghias wajah ovalnya. Ia terlihat manis dan ramah ketika menawarkan minuman itu. "Suka memotret juga?" ucapnya ketika duduk di sampingku. "Tidak juga, hanya sedang ingin!" kuraih botol air mineral barusan tadi darinya. Ia mengambil kamera yang menggantung di lehernya untuk melihat hasil pemotretan barusa tadi. Aku mengintip diam-diam, ketika ia kemudian menunjukkan hasil fotonya padaku. "Di antara model yang datang, cuma ada satu artis tenar yang mau datang ke sini dengan minim peralatan dan tanpa upah?" Mendengar ucapannya aku tersenyum simpul "Artis tenar? Bukannya itu terlalu berlebihan" "Kenapa kamu mau ikut tanpa bayaran?" "Jawabannya sama dengan kenapa kamu mau memotret tanpa upah?" ia tertawa, menunjukkan deret giginya yang rapi. "Galih!" jemarinya yang kurus menjurus ke arahku. Aku meraihnya. Ia ramah, berbeda dengan sikap serius yang ia tujukan ketika sedang bekerja. "Raina..." "Saya pikir tidak ada yang tidak kenal nama itu sekarang. Senang bekerja sama Raina, mungkin lain kali akan sulit menyewa model dengan harga mahal seperti kamu lagi" "Terlalu kejam mendengar seseorang berkata, kalau embel-embel mahal membuat dia berhenti memotret saya. Kalau kamu melakukan semuanya dengan bagus, saya tidak mempermasalahkan apa pun" "Apa itu semacam idealisme?" "Anggap saja begitu!" Maya muncul, membawa ponselnya yang berdering sejak tadi dengan muka tergesa. "Na, jadwal berikutnya!" "Oke!" Aku berpaling pada lelaki berkaos putih dengan celana jeans cream di sebelahku "Aku permisi dulu, senang bekerja sama juga dengan kamu!" tanganku mengulur ke arahnya, menunggu beberapa detik sebelum ia meraihnya. "Oke... My pleasure" Di dalam mobil menuju ke Mall Grand Indonesia, aku mengintip ponsel. Melihat bila ada pesan maupun telpon dari Adri. Tapi sepertinya aku harus kecewa, karena tak ada apa pun seperti yang kuharapkan tadi. Mengingat kejadian pagi tadi membuatku sedikit sesal, aku ingin mengatakan maaf meski hanya dalam sebaris pesan, atau telpon, tapi Adri tak akan suka. Baginya itu semua terlalu mengganggu, dan ia juga tak pernah akan sudi membalas. Sibuk memikirkan Adri membuat kepalaku sakit, rasanya aku ingin meraih segelas martina dan meminumnya segera. Semenjak mengenalnya setahun lalu kebiasaan minumku semakin parah, aku sudah berkonsultasi pada dokter untuk menghilangakn efek kecanduan alkohol yang aku derita, tapi dokter berkata kalau depresiku yang menyakiti perasaanku, membuatku terus minum seperti orang gila yang didera haus tak putus. Maya menyalakan televisi mini dalam mobil, mencoba membuang rasa penat dalam perjalanan. Sebuah kebetulan, yang menjadi pembuka berita siang itu adalah Adri. Adrian Tanoeadji, seorang pemilik perusahaan pertelevisian yang menaungi anak group asuransi, dan perusahaan periklanan. Ia memiliki karir begitu gemilang di umur 35 tahunan, telah menikah dengan seorang wanita yang begitu anggun. Berasal dari keluarga tak kalah bermartabat dan setara dengannya, menempuh pendidikan di Amsterdam untuk urusan manajemen keuangan, tapi setelah menikah istrinya memilih menjadi ibu rumah tangga yang baik, jauh dari dunia kerja. Mereka dikaruniakan seorang anak perempuan berumur 8 tahunan, yang belum pernah kulihat. Hidupku berantakan sebelum mengenalnya, tapi hidup Adri telah lebih dari sempurna ketika kami bertemu. Kadang kala aku mengerti ketika ia berkata ini lebih mirip sebuah kesalahan yang tak bisa dipertontonkan salahnya. Ia tahu resiko dari jalan yang dia ambil, pun begitu denganku. tapi entah kenapa, meski kami telah tahu. Aku dan dia tetap melangkah jauh. Mungkin aku bodoh, aku yang sudah gila karena cinta. Cinta, apa itu cinta? Dia mungkin tidak pernah cinta, hanya ingin bersenang-senang karena bosan, dan entah kenapa aku senang saja menerima alasan bahwa ia merasa bosan meski ia juga mengaku tak bisa melepas yang telah ia miliki. Ambisinya, kekuasaan yang ia punya mustahili ia tinggalkan karena cinta. Kadang aku bertanya mengenai nasibku yang hidup dalam rasa takut. Kapan cintanya akan menghilang lalu mencampakkanku juga? Besok kah, lusa, minggu depan, bulan, atau tahun depan? Aku tidak tahu, hubungan ini tak terlalu rapuh dan terselubung banyak dusta. Aku hanya mau tahu di mana ia meletakkan aku, di kepala kah, di hati, atau dalam hasratnya?Aku tak tahu, dan tak pernah mencari tahu. Aku tak mau mendengar jawaban yang membuatku selalu cemas dan memilih membiarkannya begini. Tersembunyi dan hanya diketahui Tuhan, aku dan dia. Bila ini nista dan merupakan sebuah dosa, maka aku telah benar-benar berdosa, tapi aku tak mampu, tak bisa dan tak ingin melepasnya pergi. Meski itu hanya aku seorang yang mencintainya, meski demi itu semua orang menghujat, kebahagiaan terlalu mahal dan sulit ditemukan, jadi apa salahnya denganku. Aku tidak pernah bersalah, meski mengulang dosa di masa lalu yang sama. Di tempat parkir mall, mobil berhenti. Sebelum turun aku memulas ulang makeupku yang nampak menor setelah pemotretan tadi. Maya sendiri pergi lebih dulu menuju tempat acara, untuk melihat persiapan di sana, hal yang telah biasa ia lakukan. Seorang diri aku menuruni mobil, membawa rok ganti yang akan kukenakan di toilet sebelum acara di mulai. Ketika masih berkeliling sambil mencari-cari arah toilet di tengah kerumunan orang di depan etalase pakaian, tanpa sengaja aku bertubrukan dengan seseorang yang membuatku terkejut, sampai menahan napas selama beberapa menit. Aku tidak mengingat kapan terakhir kali kami jumpa, karena tak satu pun dari memori ingatan tersebut meninggalkan kebaikan, selain luka karena harga diri yang telah dilukai seringkali. Aku bermaksud pergi sambil menyembunyikan muka, namun perempuan bermuka bulat dengan rambut gelap yang disanggul rapi itu menahan langkahku. Ia menarik lenganku sambil memulas senyum dari bibirnya yang dibaluri lipstik merah menyala. Tak lama seorang gadis yang seumuran denganku muncul dengan muka terkejut. Sikap kakunya muncul tak lama, ditimpali senyum ramah dari muka cantiknya. "Lama tidak bertemu Raina!" ucap gadis berambut gelap sepundak itu menyapa. Kulit putih yang ia warisi dari ibunya membuat pesona gadis bermuka oval itu menyeruak dan tampak menarik. "Ya, aku ada acara!" "Aku harap acaramu tidak mendesak! Bagaimana kalau kita meminum segelas kopi sebentar! Bukankah harus selalu ada waktu bagi keluarga?" aku berpaling menatap perempuan umur 45 tahunan itu yang nampak menolak tua. Ia masih sama cantiknya dengan dulu, tapi entah kenapa ia hanya nampak begitu saja dari mataku. "Tidak, aku tidak ingat memiliki sebuah keluarga" kataku menarik paksa lenganku menjauh, sambil memasang senyum ramah. Alis cokelat yang membingkai wajah perempuan itu mengernyit. "Kamu masih arogan, sekalipun pernah menggelandang!" ucapnya sinis, sedikit menyulut sikap kasarku. "Menggelandang lebih baik, dibandingkan hidup mengemis dari keluarga Anda yang sepertinya terhormat, Nyonya Caroline!" Muka perempuan itu masam mendengar ucapanku, aku menunggu seberapa kasar ia mampu menghardikku lagi "Kau tahu, selama bertahun-tahun keluarga kami menunjukkan sikap peduli dan rasa kasihan pada benalu sepertimu dan ibumu. Tapi lihat, apa yang kami dapat? Sikap tidak tahu malu dari gadis dengan pendidikan rendah. Apa kamu tidak bisa bersikap lebih rendah hati? Hanya karena kamu berpakaian mahal, posisi sosial kamu tidak pernah berubah, jadi rendahkan harga dirimu sedikit. Saya cemas, nanti kamu akan datang mengemis pada kami demi uang!" "Mama!" ucap gadis bernama Anggi itu menarik lengan ibunya yang menenteng tas mahal di tangannya. Aku melihat sekeliling, mencoba menguasai emosi yang rasanya menusuk jantungku. Kukatup mata, menarik napas dalam sebelum membalas perkataannya yang seperti belati. "Seingatku, baik kamu dan keluargamu tidak pernah menganggap saya! Kamu begitu kecewa marah dan benci pada saya, karena keberadaan saya hanya mengingatkan kamu pada pengkhianatan yang dilakukan suamimu! Terlalu menyakitkan untuk Anda ingat Caroline?" Jemari perempuan itu bergetar, seolah ingin melayangkan satu pukulan ke mukaku, tapi Anggi yang berada di sisinya mengingatkan untuk menahan. Setidaknya dalam keluarga mereka, masih ada seseorang yang bisa berpikir lebih murah hati, meski begitu Anggi bagiku sama saja dengan keluarganya yang lain. "Mama, lebih baik kita pergi!" "Seperti biasa, penghianan harus diterima. Jangan merasa menang. Kita akan berjumpa lagi, dan saya tidak yakin tidak akan mencoreng malu di wajah kamu. Puteriku tercinta!" Caroline beralu pergi. Aku membuang napas, mencengkram pakaian yang berada di tanganku dengan kecemasan berpadu rasa sedih. Aku tidak tahu, dia atara sekian banyak orang di sini, kenapa pertemuan di antara kami menjadi sesuatu yang mungkin. "Raina" aku berpaling ke belakang. Melihat Maya mengamati dengan bingung, melihat sikapku yang kelihatannya berubah aneh di depan matanya. "Bagaimana, apa persiapannya sudah selesai?" kataku mengalihkan perhatiannya. "Iya, kamu bisa ganti baju sekarang. Apa terjadi sesuatu tadi?" "Tidak, aku cuma bingung mau mencari toilet! Mau menemani aku May?" ia menggandeng tanganku "Ayo!" Aku tak tahu apa yang dia pikirkan, apa dia masih mencurigai sesuatu. Bersama langkahku menembus keramaian, aku teringat pertemuan kami saat masih berumur 10 tahun. Maya satu-satunya teman yang aku miliki. Orang yang tahu mengenai sejarah keluargaku dan alasan kenapa aku meninggalkan rumah dan tinggal bersama keluarganya sampai aku berumur 18 tahun dan menginjaki panggung teater, sambil membawa mimpi menjadi seorang bintang dalam dunia hiburan yang kukira bisa membawa segala hal dalam hidup. Benar, aku mendapatkan semua dan menggapai mimpiku sekarang, nama, kepopuleran, fans yang penuh rasa peduli dan cinta. Tapi kenyataannya aku tetap kosong dengan sebuah celah dibalik hatiku. Hatiku yang kosong kemudian terisi sesuatu ketika aku bertemu dengan Adri. Dia adalah rahasia dibalik rahasia. Sesuatu yang menjadi milik tapi tidak bisa terjamah, dia tuan dari segala luka, dan yang menguasai aspek segala bahagia. Mungkin, dia mengubah hidupku tanpa aku menyadari, sampai aku bodoh seperti hari ini.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
256.8K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.9K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

Broken

read
6.3K
bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
49.0K
bc

Noda Masa Lalu

read
183.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook