bc

Love for You

book_age18+
694
FOLLOW
4.1K
READ
friends to lovers
drama
twisted
sweet
like
intro-logo
Blurb

Rere bertemu dengan laki-laki dari masa lalunya dalam kondisi yang tidak diinginkan. Berharap kembali bersatu, namun takdir seolah selalu menjauhkan.

Sementara ada Leon yang selalu ada di saat-saat terpuruknya. Namun Rere tidak pernah menganggap keberadaan laki-laki itu berarti.

Dan saat harapan untuk bersatu dengan masa lalu mulai hancur. Rere mulai menyadari keberadaan Leon, dan hatinya mulai berpaling. Namun sayang, di saat ia menyadari arti kehadiran Leon, laki-laki itu memutuskan untuk pergi.

chap-preview
Free preview
LFU 1
Rere baru saja keluar dari studio lukisnya saat mendengar namanya disebut-sebut. Iapun melangkah pelan menuju ruang keluarga yang hanya berbatasan dengan dapur. Ia bukan tipe orang kepo. Tapi saat merasa dirinyalah yang menjadi topik pembicaraan. Mana bisa dia cuek dan tidak berusaha mencari tahu? "Jadi Tante izinin, kan?" tanya laki-laki yang tampak menggunakan hoodie berwarna biru itu pada wanita di depannya. Meskipun tidak melihat wajahnya langsung, karena memang orang tersebut kini membelakanginya. Namun, Rere tahu betul siapa laki-laki yang kini tengah mengobrol dengan ibunya itu. "Sebenarnya Tante nggak mau ikut campur. Itu kan urusan anak muda. Tapi kalau ini ...." Kalimat Winda terputus. Karena ia melihat bayangan putrinya yang kini tengah berdiri di pinggir lemari. Dia sempat tersenyum, sebelum memberi isyarat pada laki-laki di depannya jika yang mereka bicarakan tengah menguping di tempat yang sebenarnya sangat terlihat. "Rerenya masih lama nggak ya, Tan?" tanya laki-laki bernama Leon itu saat mengerti maksud dari kedipan mata wanita di depannya. Ia segera mengalihkan topik. "Kamu kan tahu sendiri, Rere kalau udah di depan kanvas itu betah banget. Apalagi ini lagi ngerjain pesenan orang," jawab Winda sembari menahan senyum. "Kamu samperin aja ke ruangannya," lanjutnya. Leon pun menepuk kedua pahanya lalu bangkit. Namun, Rere sudah muncul di hadapannya sebelum ia melangkah. Winda segera menyingkir, beralasan ingin menyiram tanaman. Padahal Rere tahu, ibunya sedang memberi mereka waktu untuk mereka berdua. Entahlah, Rere sudah bosan menjelaskan kepada kedua orangtuanya jika antara dia dan Leon tidak ada hubungan yang spesial. Mereka hanya dekat sebagai teman, tidak lebih. Tapi saat ibunya berkata jika di antara laki-laki dan perempuan tidak akan bisa berteman tanpa melibatkan perasaan. Rere hanya bisa diam. Dia tidak punya kalimat bantahan yang tepat. "Udah lama?" tanyanya cuek sembari menjatuhkan diri di sofa panjang seberang Leon. Laki-laki itu tersenyum, kembali duduk dan menyandarkan kepalanya di punggung sofa. Ia dan Rere sudah dekat selama dua tahun. Dan selama itu pula ia sering ke rumah ini. Jadi, wajar saja jika diapun sudah tidak sungkan lagi. "Gue baru balik, se. Chat gue kenapa nggak dibales?" Rere membuka matanya yang terpejam. Menatap Leon sekilas, lalu seperti berpikir. "Gue kayaknya nggak megang hape dari kemarin," katanya cuek, lalu kembali memejamkan mata. Leon berdecak lidah, "Percuma punya hape kalau begitu. Kalau ada yang penting gimana?" Rere nyengir lalu menegakkan tubuhnya. "Iya-iya, besok nggak lagi," katanya sembari membuka toples kue di depannya. Namun saat suara lembut itu terdengar dari depan. Rere menutup kembali toples kue dan segera bangkit. "Cabut, yuk!" Leon tampak bingung, "Ke mana?" "Ke mana aja," jawab gadis yang senang mencepol rambut panjangnya asal itu sembari melangkah. "Mau ke mana?" "Keluar!" jawab Rere tanpa menatap kakaknya. Wanita yang hanya terpaut satu tahun di atasnya itu hanya bisa tersenyum maklum. Memang begitulah Rere. Mereka bukanlah kakak adik yang akur. Bahkan jarang sekali bertegur sapa. Jika tidak dia yang memulai obrolan, maka Rere tidak akan pernah membuka suara dihadapannya. Bukannya Renata tidak tahu kenapa adiknya bisa seperti itu. Bukan salah Rere. Tapi semua karena kesalahannya, di masa lalu. "Hai Ren, baru pulang?" Sapaan Leon yang tertinggal di belakang membuyarkan lamunan wanita bertubuh bak model itu. Dia tersenyum manis. "Iya, kalian mau ke mana?" Leon menggerdikkan bahu, "Nggak tahu, terserah Tuan Putri Rere. Ya udah, gue cabut, ya!" Renata hanya mengangguk, tanpa menghapus senyumnya. Namun saat terdengar deru motor yang meninggalkan pelataran, senyumnya menghilang. Dia iri dengan Rere. Adiknya sangat beruntung, memiliki laki-laki seperti Leon. Yang selalu ada saat ia butuhkan. Namun ia bingung, kenapa Rere seperti belum juga membuka hati untuk laki-laki itu. * "Gue masih setia nunggu loh, Re," kata Leon sembari mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti lagu yang sedang di putar. Setelah lama berpikir, akhirnya Leon membelokkan motornya  ke sebuah kafe milik temannya. Tempat biasa dia dan teman-temannya nongkrong. Rere yang sedang melamun sembari mengaduk-aduk minumannya pun mendongak. "Nunggu apaan?" tanyanya malas. "Alasan lo sama Renata nggak akur," jawab Leon penasaran. Bahkan dia sampai mencondongkan tubuhnya ke depan. Rere pernah berjanji akan menceritakan permasalahan masa lalunya dengan Renata. Tapi sampai sekarang, wanita berusia duapuluh lima tahun itu seperti melupakan janjinya. Dan Leon masih saja penasaran. Masalah apa, yang membuat si cuek Rere bisa bersikap sedingin itu pada Renata. "Udah basi! Males gue ngebahasnya," katanya sembari mengaduk lagi minumannya. Leon hanya mendesah, ia sangat penasaran tapi tidak mungkin mendesak Rere untuk bercerita. "Lo mau ngapain tadi ke rumah gue?" tanya Rere saat ingat tentang percakapan Leon dengan ibunya tadi. Laki-laki berkulit putih itu malah terkekeh. Mata sipitnya makin terlihat seperti garis lurus saat seperti itu. "Ada deh, gue ada perlu sama nyokap lo," katanya penuh misteri. Rere hanya mencibir, tidak lagi membahas rasa penasarannya. Karena ia yakin, Leon akan semakin berteka teki. "Gue ke toilet dulu, ya!" katanya seraya berdiri. Leon mengangguk, lalu melambai pada temannya yang baru datang. Rere menoleh sekilas sebelum akhirnya melangkah ke arah toilet. Dia memang sering ikut nongkrong di kafe ini bersama Leon. Namun tidak pernah tertarik ikut obrolan para laki-laki itu. Baru saja Rere melangkah ke pintu toilet ia memundurkan langkahnya saat melihat seseorang. Rere urung masuk ke kamar mandi. Kakinya malah berlari kecil mengikuti sosok laki-laki yang memakai kemeja putih itu. Rere terus berlari. Saat seperti ini dia selalu kesal karena tidak memiliki tubuh tinggi seperti Renata. Dengan susah payah wanita yang mengenakan sepatu kets itu berlari mengejar sosok yang ia yakini orang yang ia kenal. Namun laki-laki itu melangkah terlalu lebar. Kaki pendek Rere bukan tandingannya. Matanya memicing dengan napas tersengal. Ia mengusap keringat di dahinya sembari mengamati laki-laki yang kini sudah berdiri di samping mobil. Tangan laki-laki itu tengah menempelkan ponsel ke telinga. Bisa saja sebenarnya Rere meneriakkan nama yang ada di kepalanya. Namun sayang, belum sempat ia membuka mulut laki-laki itu sudah meluncur pergi dengan mobilnya. Rere tidak mungkin mengejar seperti orang gila. Sekali lagi Rere berusaha mengatur napas. Jantungnya pun ikut tidak bisa diam. Bukan hanya karena berlari terlalu kencang. Tapi semua karena sosok itu. Sosok laki-laki yang selalu Rere tunggu kehadirannya. Sosok laki-laki yang pernah membuat janji akan kembali. Sosok laki-laki yang pernah mengisi hidupnya. Sosok laki-laki, yang membuat hati Rere tertutup untuk siapapun saat ini. Sosok laki-laki_ yang membuat hati Rere terus berteriak bodoh, karena menanti tanpa kepastian. "Re!" Tepukan di pundaknya membuat Rere tersentak. "Keget, Yono!" teriaknya yang hanya dibalas kekehan geli dari Leon. Laki-laki itu ikut melongok ke arah mata Rere tadi mengarah. "Ngeliat apaan, si?" Rere yang sedang menetralkan detag jantungnya pun hanya menggeleng. "Mau ke mana?" tanya Leon saat Rere malah melangkah ke parkiran. "Balik!" "Eh tunggu! Gue bayar dulu!" kata Leon kalang kabut. Rere memang seperti itu, selalu bertingkah semaunya sendiri. * Malam itu seperti terdengar keributan di ruang tengah. Rere yang sedang membalas pesan di ponselnya pun bangkit dari posisinya. Ia membuka pelan kamarnya yang berdampingan dengan studio lukis miliknya. Tadinya Rere sudah mau menutup pintu kembali saat ternyata suara ribut itu berasal dari ayahnya. Namun saat namanya lagi-lagi di sebut, mau tak mau Rere melangkah ke ruangan di mana ayah, ibu, dan juga Renata ada di sana. Ketiga pasang mata itu langsung beralih menatapnya. "Kenapa?" tanya Rere bingung, karena ketiganya kini menampakan ekspresi yang berbeda. Ayahnya tampak serius. Ibunya  tersenyum lembut sembari menghampirinya. Dan Renata, Rere langsung memalingkan wajah saat kakaknya itu balik menatapnya. "Sini sayang! Duduk dulu," kata ibunya sembari menarik lembut lengan putri keduanya itu. "Ada apaan si, Ma?" tanyanya makin bingung. Namun tetap menuruti perintah ibunya. "Kakakmu ada yang ngelamar." Kalimat sang ayah makin membuat Rere bingung. Renata yang dilamar kenapa dia ikut disangkut pautkan? "Terus apa hubungannya sama aku coba?" tanya Rere bodoh. "Rena mau menerima lamaran itu, kalau hubungan kamu sama Leon udah jelas." Penjelasan ibunya membuat Rere menganga lebar, lalu menatap tajam Renata yang memilih menundukkan wajah. Ia geram dengan sikap Renata kali ini. "Apa maksudnya kamu ngasih syarat kayak gitu?" tanyanya dengan tatapan tak suka. "Rena bermaksud baik sayang." "Baik apanya si, Ma! Kalau memang dia mau nikah, ya udah nikah aja, nggak usah disangkut-sangkutin sama aku!" kata Rere bersungut-sungut. "Rena ingin kamu punya masa depan yang jelas juga, Re." Kali ini ayahnya yang bersuara. Ia tak heran jika kedua orang tuanya selalu membela Rena. Karena memang selalu itu yang terjadi. Rena di depan orangtuanya selalu baik. Apa yang dilakukan kakaknya itu selalu benar. Bahkan masalah yang pernah terjadi dua bulan yang lalu. Saat seorang laki-laki bernama Arlan datang dengan kekasihnya. Menceritakan perbuatan menjijikan Rena pun seolah terlupakan. Kapan orang tuanya mau membuka mata? Jika Rena tidak semanis yang mereka pikir. Dia memang selalu menuruti permintaan kedua orangtuanya. Mungkin itulah yang membuat Winda dan Firman selalu terlihat menyayangi Renata. "Leon itu baik, kamu beruntung, Re." Mata Rere makin memicing tajam. Mendengar kalimat yang baru saja Renata lontarkan, malah makin menyulut emosinya. "Kamu nggak berhak ngurusin apa yang aku mau. Apalagi ini urusan hati. Ma, Pa, please! Rere nggak mau disangkut pautkan sama urusan ini. Jadi tolong, lakukan apa saja yang kalian mau, dan jangan libatkan aku!" kata Rere tegas sebelum akhirnya pergi dan memilih kembali ke kamarnya. Dia yang pembangkang bukan hal yang mengagetkan. Jadi Rere tak akan ambil pusing jika kedua orangtuanya akan makin menyayangi Renata dan tidak mempedulikannya lagi. Karena memang sudah seperti itu semenjak dulu.  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MENGGENGGAM JANJI

read
474.4K
bc

The crazy handsome

read
465.3K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
470.8K
bc

HELP ME - BAHASA INDONESIA (COMPLETE)

read
9.9M
bc

Loving The Pain

read
2.9M
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.9K
bc

You're Still the One

read
117.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook