bc

Aku Bukan Pembunuh

book_age16+
342
FOLLOW
1.9K
READ
murder
dark
sensitive
tragedy
twisted
humorous
brilliant
highschool
whodunnit
classmates
like
intro-logo
Blurb

Jangan pejamkan matamu, jangan lupa perhatikan sekitar, jangan pula berjalan sendirian, dan terakhir, jangan percaya pada siapa pun. Karena semua misteri yang menghantuimu bisa jadi adalah kebusukan orang di sekitarmu. Lalu, jika kau bertemu gigi-gigi tajam penuh darah itu, juga hati yang berbau busuk itu, berteriaklah sekencang-kencangnya sambil berharap masih ada hari esok untukmu.

Hilangnya Risma, salah satu siswi SMA Suka Kamu 1 telah membuat kehebohan. Dan, sayangnya Gilang harus menjadi kambing hitam yang terus dicurigai. Alasannya klasik. Karena masalah asmara antara Gilang dan Risma beberapa hari sebelumnya.

Selesai? Tentu saja tidak. Masih ada banyak kasus pembunuhan dan kehilangan lainnya tepat setelah orang itu bermasalah dengan Gilang. Karena itulah Gilang bersama dua temannya, Dea dan Aditya, berusaha untuk menyelidiki kasus berdarah yang terjadi di SMA Suka Kamu 1.

Apakah Gilang dan kawan-kawan akan berhasil? Ataukah mereka gagal? Mungkin lebih buruk lagi. Bisa saja memang benar Gilang adalah pelakunya.

“Hidup ini kejam. Orang bisa menuduhmu dengan alasan apa saja. Bahkan, genangan air di kakus pun bisa mereka jadikan alasan.”

chap-preview
Free preview
Siswi yang Hilang
“Hai, teman lama! Apa kabar?” Seorang lelaki bertubuh jangkung dengan pakaian rapi layaknya seorang mahasiswa menyapa seorang teman lamanya yang menyimpan wajah penuh keputusasaan. Seorang yang sedang duduk termenung dengan pakaian jingga itu hanya menatap sinis pada teman lama yang menyapanya. “Gak usah basa-basi. Mau apa lu ke sini?” Dia memilih untuk memalingkan muka, tak sudi menatap lelaki yang mengajaknya bicara. “Santai, cuy! Gue ke sini cuma mau ngewakilin nyokap lu yang lagi sakit. Dia gak bisa jenguk elu di lapas kumuh ini.” Dia menatap dengan tatapan tajam kepada lelaki yang berada di balik jeruji besi itu. “Sudah? Kalau sudah pergi sana!” “Sob, gue mau ngomong sedikit aja, nih. Semua orang pernah terjatuh ke dalam kegelapan. Tapi, mendekam di penjara bukan berarti lu mesti diem bae. Lu masih bisa terus berkarya. Memperbaiki kesalahan yang dulu pernah lu lakuin.” “Udah? Sekalipun lu perhatian dan baik ke gue, gue tetep benci diri lu!” bentak lelaki di balik jeruji besi itu sambil        menunjuk-nunjuk temannya. “Mampus kau dikoyak penyesalan!” Lelaki itu berjalan meninggalkan sahabat lamanya sendiri di balik jeruji besi sambil tersenyum sinis. Tinggallah dirinya sendiri sambil dipenuhi penyesalan atas yang pernah dilakukannya. Rasanya waktu empat tahun di balik jeruji besi tak lantas membuat penyesalan itu hilang. "Ah, gue masih ingat jelas kejadiannya. Sebuah ketidaksengajaan yang berujung penyesalan. Setan emang gue ini.” **** “Kamu cantik. Sayang, kecantikanmu harus hilang saat ini juga. Karena apa artinya hidup bagimu yang sudah tak punya masa depan?” Dia mencengkeram kepala gadis yang terduduk lemah di hadapannya. Menjerit hanyalah satu-satunya yang bisa dilakukan gadis malang itu. Sayang, lelaki itu tak lantas melepaskannya. Dia malah menghantam kepala gadis itu ke tembok. Berulang kali dilakukannya. Darah mengucur dari kepalanya. Tak tahan lagi menahan sakit, gadis itu sudah tak lagi menjerit. Dia hanya terdiam pasrah. Tak ingin mengambil banyak risiko, lelaki itu mengambil pisau dan menusuknya pada perut si gadis. Seketika tubuh si gadis diam dengan mata yang membelalak—tatapan kosong—dan darah yang terus mengucur dari perutnya. “Sayangnya ini studio, cantik. Ruangan ini kedap suara. Percuma kau menjerit  keras-keras pun.” Mobil BMW hitam itu melaju kencang di bawah rembulan yang menatapnya iba. Kencangnya sudah seperti dikendarai oleh pengendara kesurupan. Mobil itu berhenti dan parkir di lapangan belakang sebuah sekolah. Seorang lelaki keluar menggendong gadis yang kehilangan masa depan dan nyawanya ke tanah terlantar di belakang sekolah. Pucat, berlumuran darah. “Lagi apa?” Seorang lelaki menatapnya dari belakang. Entah dari mana asalnya. Lagipula, tengah malam begini mau apa lelaki sepertinya ada di sini? “Anda bersenang-senang?” lanjutnya. “Saya bawa senjata tajam!” Dia ketakutan. Lelaki misterius yang datang tiba-tiba itu terlihat ketakutan setelah melihat sebilah pisau yang berlumuran darah. Melihat siapa gadis yang dibawanya, lelaki itu memutuskan untuk bekerja sama. “Tenang, aku punya penawaran bagus. Mau? Mereka berunding sejenak. Tak ingin mengambil risiko lebih, mereka memutuskan untuk sepakat saja. “Baik, sekarang kubur dia. Jangan lupa semennya.” **** Dia berlari begitu kencang sampai tak memperhatikan kiri-kanannya seakan tak peduli pada hidupnya. Dia berlari sambil terus menghindari orang yang lewat atau sekadar melompati peti besar yang menghalangi jalan sempit itu. Saking sempitnya, lebar jalannya saja hanya cukup untuk satu motor. Di kiri dan kanannya? Tentu saja teras rumah warga yang tak berpagar. Ketika ada motor yang datang dari arah lain? Mampus dia. Kesulitan. Padahal bel sekolahnya telah berbunyi sepuluh menit lalu. Di hadapannya ada benteng setinggi sekitar dua setengah meter. Dia malah terus berlari, bahkan semakin kencang. Dia memanjat benteng itu ternyata. Sudah seperti ahli parkour saja dia. Dia langsung sampai di tanah belakang sekolah yang tak terurus. Tak cukup sampai di situ. Dia harus berjalan menyelusup ke kelasnya. Jangan sampai dia ketahuan oleh guru komdis. Bahaya. Bisa disuruh pulang lagi dia. Gerbang depan sekolahnya memang menuju langsung ke jalan raya. Tapi, dia memilih untuk melewati benteng belakang sekolah yang berbatasan dengan perkampungan kumuh dan tak layak. Bagaimana tidak. Perumahan itu jalannya sangat sempit. Belum lagi rumahnya juga sempit dan tidak adanya cahaya yang masuk karena terhalang atap rumah yang saling berdempetan. Dia sudah sampai di gedung kelas 11. Sayangnya, kelas 11 IPA A—kelasnya—berada jauh di ujung lain dari gedung ini. Belum lagi berada di lantai dua. Gilang Mahardika Adiwidya, seorang remaja tinggi dengan penuh tanda patah hati di wajahnya. Meskipun begitu, dia tetap keren dengan rambut belah dua yang mirip-mirip Iqbaal arits itu. Apalagi dengan tubuhnya yang proporsional. Tapi, sayangnya belum pernah ada yang jatuh hati pada fisiknya itu. Gilang yang kesiangan berusaha lari dari kenyataan. Dia tak ingin dipulangkan karena kesiangan. Hal yang jarang dilakukan siswa berandal lainnya. Dia memilih melompati benteng belakang sekolah setinggi dua meter itu meskipun taruhannya adalah tulang kakinya. “Punten, Bu. Maaf saya telat. Boleh masuk?” tanya Gilang sopan pada guru yang sudah mulai menjelaskan materi. “Kamu kenapa bisa masuk?” tanya guru itu menelisik. “Saya udah datang ke sekolah sebelum bel. Cuma, tadi saya memenuhi panggilan alam dulu. Jadi aja telat masuk kelas.” Gilang menjelaskan berharap Bu Inez, walikelasnya itu mengizinkannya masuk. “Ya sudah, duduk sana.” Bu Inez memang baik. Wanita cantik bertubuh tinggi langsing yang masih berada di akhir kepala dua itu mempersilakan Gilang masuk. “Kamu gak lupa nyiram toiletnya, ‘kan?” lanjut Bu Inez. Tentu saja seisi kelas tertawa. Ternyata bukan hanya cantik. Bu Inez juga bisa bercanda. Gak seperti cewek cantik lainnya yang biasanya jutek dan jual mahal. Gilang duduk di bangku paling belakang, tepat di samping Aditya, teman sebangkunya. Lelaki yang cukup jauh lebih pendek dari Gilang dengan wangi parfumnya yang menyengat ini memang sering kali berseteru dengan Gilang. Tapi, berkat kecerdasannya yang menyaingi Gilang, dia sering pula memahami isi kepala Gilang tanpa dijelaskan banyak. Dari situlah anak berambut klimis ini akrab dengan Gilang. Meski Meski sebenarnya Gilang lebih pintar dari Aditya, tapi penampilan dan perilaku Aditya lebih meyakinkan daripada Gilang. Rambut klimis, baju rapi dimasukkan, wangi menyengat parfumnya, dan kelakuannya yang sangat patuh pada aturan—meski beberapa kali dia juga bertingkah bandel—yang sangat berbeda 180o dengan Gilang membuat orang lebih percaya kalau Adityalah yang pintar. “Kaki lu gak patah?” tanya Aditya tanpa memandang Gilang. “Gue kan bisa jadi manusia karet kayak si Luffy,” jawab Gilang singkat. Tak ada lagi lanjutan percakapan di antara mereka. Entah sahabat macam apa mereka ini. Percakapan di antara mereka sering kali berakhir sesingkat itu. “Lu harus mulai berhenti dari kebiasaan itu. Melompati benteng setinggi dua meter dan terjatuh di tanah gak keurus. Lu bisa mampus,” lanjut Aditya yang hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Gilang. “Baiklah, karena semuanya sudah ada di kelas, Ibu mau mengumumkan sesuatu sebelum melanjutkan ke bahasan kita hari ini.” Suara Bu Inez mampu menghentikan obrolan singkat antara dua sahabat itu. Mereka tiba-tiba saja menjadi fokus pada Bu Inez yang sedang berbicara. “Risma belum datang, Bu.” Aditya memotong ucapan Bu Inez yang baru saja hendak dilanjutkan. "Ya karena dialah yang mau Ibu umumkan.” Bu Inez tetap menampilkan senyumnya meski semua siswa tahu berita yang dibawa Bu Inez bukanlah kabar baik. Terlebih memotong ucapan guru seperti yang dilakukan Aditya adalah hal yang tidak sopan. “Tadi malam Ibu terus mendapat telepon dari orang tua Risma. Katanya, Risma belum pulang sampai larut malam kemarin, hari Kamis—“  "Jadi, Risma hilang?” tanya Gilang yang memotong penjelasan Bu Inez. Pasangan sebangku itu memang jagonya memotong omongan guru selain menjadi juara umum satu dan tiga. "Begitulah.” Bu Inez kali ini menampakkan wajah sedihnya. Dia terlihat lebih lesu daripada sebelumnya. “Tapi, yang penting kita doakan saja agar Risma tidak apa-apa dan dia bisa pulang dengan selamat sentosa.” Semua siswa berdoa, meskipun tak semua dari mereka memanjatkan doa yang tulus. Kebanyakan hanya ikut-ikutan, tapi ada juga yang menutupi kebusukan. Mencoba menjadikan doa sebagai topeng yang menutupi wajah aslinya. Menutupi apa yang tak boleh orang lain ketahui. **** “Menurut kalian, Risma kenapa, ya, bisa hilang?” tanya Surya kepada geng cowok 11 IPA A yang sedang berjalan ke kantin. Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Waktunya para siswa istirahat. “Karena dia manusia. Ya jelas bisa hilanglah,” jawab Gilang seenaknya. Teman-temannya hanya menatapnya sinis. Mana mungkin dia masih bisa bercanda saat seorang temannya dalam musibah. Apakah sebegitu tidak pedulinya Gilang pada Risma? Ataukah Gilang memang manusia tanpa empati? “Pasti ada alasan tertentu. Entah dia diculik, kabur, atau apalah. Kejahatan di zaman ini banyak, sob. Alasannya bisa macam-macam. Salah satu yang paling sering itu alasan dendam,” jawab Aditya. Cowok yang lain setuju. Memang tak bisa dimungkiri bahwa di zaman sekarang, kejahatan justru semakin banyak terjadi. “Jadi, maksud lu Risma hilang karena ada hubungannya sama dendam orang lain ke Risma?” tanya Gilang yang maksudnya mempertegas. “Tepat. Tapi, itu baru asumsi gue.” “Ya udah, yang penting semoga Risma balik dengan selamat. Terus, jangan sampai kabar ini menyebar ke kelas lain apalagi ke doinya si Risma, ketua OSIS Devandra,” kata Surya. Delapan cogan-cogan itu sedang lahap menyantap makanan mereka di sebuah meja dan kursi yang memanjang. Mereka duduk saling berhadapan menjadi empat orang dalam setiap sisi. Makanan yang mereka santap bermacam-macam. Mulai dari bubur, nasi kuning, ketupat, nasi dengan lauk yang berbeda-beda, dan masih banyak lagi. Sedang enaknya menyantap makanan kurang bernutrisi mereka, beberapa anak OSIS yang merupakan anak buah Devandra datang menghampiri Gilang dan kawan-kawan. Bahkan, devandra sendiri datang ke hadapan Gilang. “Mampus lu, Lang! Si Devan dateng,” bisik Surya pada Gilang. Entah kenapa Surya membisikkan hal tersebut pada Gilang, bukan yang lainnya. Mereka melanjutkan makan tanpa merasa sedang terjadi sesuatu atau lebih tepatnya “akan terjadi sesuatu”. “Lu dipanggil kepala sekolah,” ucap Devan pada Aditya yang hanya dibalas anggukan oleh Aditya. Aditya langsung pergi ke ruang kepala sekolah. “Ada apa si Aditya dipanggil si Soedjatmiko?” tanya Gilang pada Devan. Devan hanya membalas dengan tatapan tajam pada Gilang. Tatapan yang tak dimengertinya. Teman-temannya Gilang melanjutkan makan seperti tak peduli. Aslinya mereka takut, bukan tidak peduli. Karena selain ketua OSIS, Devan juga adalah preman kelas 11 di sekolah ini. Gilang memang sudah biasa memanggil guru tanpa ada hormat-hormatnya. Kepala sekolah saja dipanggil “si Soedjatmiko”. Belum lagi di belakang dia selalu memaki kepala sekolahnya itu. Bukan tanpa alasan. Dia masih sakit hati pada beberapa guru, terutama pada kepala sekolah. Dia sakit hati karena waktu kelas sepuluh tak diizinkan mengikuti final olimpiade biologi di Surabaya yang diadakan suatu Universitas dengan alasan waktu itu sedang ujian semester. Padahal, Gilang mengikuti lomba tersebut atas perintah Pak Iskandar, guru biologi pembimbingnya. Namun, ketika Gilang menjadi juara se-Jawa barat dan tinggal selangkah lagi menuju juara nasional—atau paling tidak mengambil sertifikat juara tiga besar—Pak Soedjatmiko tak mengizinkannya dan Pak Iskandar tak mampu berbuat banyak. “Lu ikut gue ke ruang OSIS.” Devan berbalik dan langsung pergi ke ruang OSIS diikuti oleh Gilang dan anak OSIS lain di belakangnya. Devan menyuruh salah satu dari tiga anak OSIS yang ada di ruangan itu untuk mengunci pintu dan menutup gorden. Sementara Devan berdiri di depan Gilang yang di belakangnya ada tiga anak OSIS lain. Keadaan yang cukup menegangkan. Bagaimana tidak, di hadapan Gilang ada seorang preman yang sangat disegani di kelas 11. Memang perawakannya tidak berbeda jauh dengan Gilang. Hanya dia lebih berotot saja. Tapi, dia itu sudah terkenal sebagai juara silat tingkat nasional. Ya, bisa dilihat lah dari wajahnya yang menyimpan banyak codetan bekas luka. Devandra mulai berbicara pada Gilang yang sedari tadi sudah menunggu kepastian tentang apa yang sedang terjadi. “Lang, gue tahu lu itu anak baik. Tapi, keadaannya gini. Jadi, gue terpaksa ngelakuin ini. Lang, soal Risma—“ “Lu nuduh gue pelakunya?” Giilang memotong penjelasan Devan seakan sudah tahu maksud pembicaraan Devan akan mengarah ke mana.. Devan mulai tidak bisa menahan emosinya. Dia mau bicara baik-baik dengan Gilang, tapi Gilang malah motong penjelasan dia. Jelas itu bikin Devan marah. “Lu jangan motong omongan gue, dong. Lu mau pulang ke rumah sakit?” Seketika tiga anak OSIS di belakang Gilang mendekat. Mampus! Jadi masalah, nih. “Jelas gue curiga lu pelakunya. Sebelumnya Risma deket sama lu. Baru dua minggu malah lu putus. Eh, bukan putus. Si Risma ngejauh gara-gara lu cuek, ‘kan? Lalu, hari Senin kemarin gue jadian sama Risma. Gimana gue gak curiga? Baru dua hari jadian udah gini aja. Belum lagi lu satu-satunya di sekolah ini yang seneng banget percobaan dengan hewan—ngebedah tubuh hewan—tanpa ada rasa empati sedikit pun.” Gilang menghela napas cukup dalam. Menenangkan diri sebelum akhirnya menjawab, “Dev, pertama, gue bukan tipe orang pendendam. Terserah lu mau percaya atau enggak. Kedua, biarpun gue suka ngelakuin percobaan sama hewan, bukan berarti gue psikopat. Gue tau mana hewan mana manusia.” “Maaf, Lang, gue gak bisa percaya.” Dua orang di belakangnya memegangi Gilang supaya dia tidak melawan. Sedangkan satu orang lagi mengawasi keadaan di luar. Takut ada guru yang masuk dan menegur mereka. Devan mulai memukuli Gilang. Malang, Gilang tak bisa melawan karena dia dipegangi oleh dua orang di belakangnya. Devan memukul perut Gilang. Dua atau tiga kali mungkin. Tak peduli pada Gilang yang terlihat kesakitan, Devan terus memukul perut Gilang sampai Gilang tersungkur. Barulah dua orang yang memegangi Gilang melepaskannya. Mereka pergi meninggalkan Gilang terbaring kesakitan sendiri di ruang OSIS. “Lu jangan bilang ke siapa-siapa soal ini, maka gue gak bakal nyebarin soal kejanggalan antara diri lu dan hilangnya pacar gue. Setuju?” Devan memegang dagu Gilang dan mengangkatnya kepalanya sedikit sambil mengancamnya. Lalu, dia jatuhkan kepalanya dan bangkit meninggalkan Gilang. Tapi, tak sampai di situ. Gilang tak terima dihajar tanpa melakukan perlawanan. Dia cepat bangkit dan menendang punggung Devan saat dia sudah berbalik. Devan terjatuh. Tiga anak OSIS lain berlari menghampiri Gilang bermaksud menghajarnya lagi. Gilang sudah emosi. Tak hanya dituduh, dia juga dihajar. Karena itulah dia akan menghajar balik anak-anak b******k ini. Satu orang perutnya ditendang Gilang. Dua orang lainnya memukul Gilang, tapi bisa ditangkis. Lalu, Gilang menendang wajah salah satunya dan memukul pelipis satunya lagi. Ketiga teman Devan terjatuh ke lantai. Devan semakin geram. Dia mulai berkelahi dengan Gilang. Saling adu tinju dan adu tendangan. “Jangan bantuin gue! Biar gue sendiri yang ngasih anak kurang ajar ini pelaaran,” teriak Devan pada tiga temannya. Devan menghantam kepala Gilang ke tembok hingga terdengar bunyi jedukan yang begitu keras ke luar ruang OSIS. Gilang kesakitan sambil merasakan pening di kepalanya. belum lagi kepalanya masih dicengkeram Devan. Gilang masih tak menyerah. Dia meninju rahang bawah Devan. Devan terjatuh, hilang kendali. Cepat Gilang menghantamkan kepala Devan ke jendela. Prang.... Kaca jendela ruang OSIS pecah. Terlihat banyak murid di luar  sana yang kaget. Begitu pula Gilang. Dia langsung melepaskan Devan dan berjalan mundur perlahan. Membiarkan Devan yang sudah kacau babak belur dan berlumuran darah. Sedangkan tiga anak OSIS lain segera menghampiri Devan dan membawanya keluar. Tinggallah Gilang sendiri di ruang OSIS dengan keadaan yang sudah tak berbentuk pula.  Datang guru komisi disiplin alias komdis ke ruang OSIS yang hanya mendapati sisa perkelahian anak-anak biadab. Dia terlambat rupanya. “Ulah siapa ini?” tanya Pak Heri, guru komdis di SMA Suka Kamu 1. “Gilang, Devan dan tiga anak OSIS yang merupakan anak buah Devan,” jawab seorang siswi yang sedang berdiri di situ.    **** “Tapi, Bu. Aku kesel sama dia. Aku yakin dia yang jadi dalang dari hilangnya Risma,” jelas Devan pada Bu Neneng, guru BK SMA Suka Kamu 1. Setelah perkelahian, mereka dipanggil ke ruang BK dan terpaksa harus mendapat banyak wejangan. “Baik, apa kamu punya bukti kalau pelakunya Gilang? Sekarang Rismanya aja masih gak jelas apa dia kabur atau gimana,” ucap Bu Neneng. “Bu, aku punya bukti kuat. Sebelum Risma jadi pacarku, dia sempet deket sama Gilang. Nah, kata Risma, gara-gara Gilang orangnya cuek, jadi dua minggu lalu mereka jauh lagi. Disebut putus bukan, tapi apa ya. Ya begitulah,” jelas Devan panjang lebar. “Langsung ke intinya aja. Itu gak penting sama sekali,” kata Gilang sinis. “Semua detail adalah penting dalam prosedur penyidikan kepolisian. Aku tahu itu dari papaku,” jelas Dea, siswi yang menjadi saksi dan yang tadi di ruang OSIS mengatakan siapa yang terlibat perkelahian. Gilang menatapnya tajam. Dea membalas dengan senyuman. “Sama-sama,” ucapnya. “Udah, udah. Lanjutkan, Devan!” perintah Bu Neneng. “Kemarin Senin aku jadian sama Risma. Tentu wajar kalau Gilang marah. Lalu, kemarin malam Risma tak pulang. Tentu orang yang paling pertama harus dicurigai adalah Gilang.” Devan melanjutkan penjelasan. “Apapun alasan kalian melakukan perkelahian, itu adalah perbuatan salah. Salah bagi kedua belah pihak karena kalian telah saling melukai satu sama lain.” Bu Neneng membuka-buka sebuah catatan. Entah catatan apa. “Sayang sekali Gilang harus memulai catatan pelanggaran dengan kasus perkelahian ini. Sedangkan kalian berempat...” Bu Neneng menunjuk Devan dan anak buahnya, “ini sudah menjadi kasus ke-5 kalian.” “Sayang sekali aturan adalah aturan. Kalian akan mendapat pertimbangan untuk kenaikan kelas nanti. Lalu, khusus buat kamu, Gilang. Kamu mungkin masih bisa naik kelas, tapi takkan lagi jadi juara umum.” “Tapi Bu, gimana dengan Risma dan Gilang yang jadi tersangka?” tanya Devan seakan tak puas. “Biar polisi yang—“ “Tidak, kami tidak akan lapor polisi.” Pak Kepsek yang baru selesai ngerujak dengan beberapa guru di ruangan guru BK yang lain tiba-tiba saja memotong ucapan Bu Neneng. Padahal orang tua siswa menggaji mereka bukan untuk ngerujak. “Terlalu berisiko untuk kualitas sekolah kita nantinya. Biar pihak sekolah saja yang melakukan penyelidikan.” Pak Soedjatmiko langsung keluar dari ruang BK dengan menyisakan beragam tanda tanya. **** Malam ini Gilang menginap di apartemen Aditya. Sudah sejak SMA Aditya tinggal sendiri di apartemen di jantung kota Bandung sedangkan orang tuanya tinggal dan bekerja di Jakarta. “Dit, gue bingung, nih,” keluh Gilang pada Aditya. Aditya hanya diam. Dia masih fokus pada permainan mobil legend di gawainya. “Kenapa ya si Risma hilang timing-nya téh pas banget. Gue baru ada masalah sama si Risma dua minggu yang lalu. Lalu, kemarin malam dia hilang. Sebenarnya ada apa, sih? Seakan ada orang yang benci sama gue sehingga bikin kasus ini. Atau mungkin si Risma yang benci sama gue sehingga dia pergi dan pura-pura hilang supaya aku disalahkan?” Aditya masih diam saja. Dia terlalu fokus pada mobil legend. “k*****t! Lu denger kagak, sih?” tanya Gilang kesal. “Ya udah, kenapa lu gak cari tahu aja?” jawab Aditya santai. “Gimana caranya?” “Lu katanya juara umum, tapi soal beginian aja b**o. Ya lu liat rekaman CCTV sekolah. Siapa tahu lu bisa dapat petunjuk atau liat hal mencurigakan,” jelas Aditya. “Kalau gue bisa, gue gak bakalan banyak bacot dari tadi juga.” “Lo bisa bantu gue naik ke benteng belakang sekolah? Tempat lu biasa nyusup kalau telat.” “Sip. Kita jalan sekarang?” tanya Gilang tanpa jawaban Aditya. Aditya hanya bangkit dan memakai jaket serta mengambil kunci motornya sebagai isyarat bahwa mereka akan langsung berangkat. **** Motor matic seribu umat berwarna hitam itu melaju kencang di bawah cahaya rembulan. Menembus jalanan kota Bandung yang tidak bisa dibilang sepi. Jarum waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi, hal itu tak lantas membuat dua anak di bawah umur ini untuk pergi ke luar rumah. Motor itu berhenti di sebuah kampung yang jalannya hanya cukup untuk satu motor. Di kanan-kirinya rumah warga yang berimpit tak berjarak sedikit pun. Di depan mereka ada sebuah benteng setinggi kurang lebih dua setengah meter. “Ok, tolong bantu gue naik,” pinta Aditya pada Gilang. Gilang pun membantu Aditya menaiki benteng belakang sekolah itu. Setelah Aditya berhasil turun dengan selamat di tanath tak terurus itu, giliran Gilang yang menaiki benteng itu seperti yang biasa dilakukannya saat kesiangan. “Di sini benar-benar gak keurus. Jadi, sebelum kita keluar gerbang itu,” jelas Aditya sambil menunjuk gerbang yang ada di depan mereka. Gerbang yang menutupi tanah belakang sekolah. “kita gak akan ketahuan. Soalnya di sini gak ada CCTV. Kecuali kalau kita udah keluar. Ada CCTV di setiap sudut bangunan yang mengawasi setiap sudut wilayah lapangan olahraga.” Keadaan di sana cukup menyeramkan. Tidak ada penerangan lampu. Mereka hanya bergantung pada penerangan lampu senter dari ponsel mereka. Selain itu, “Terus, gimana kita bisa liat rekaman CCTV sekolah? Nanti malah kita yang ketahuan.” “Pertama, kita gak perlu ke ruang pengawas dan melihat rekaman dari DVR-nya langsung. Gue Cuma perlu terhubung ke wifi yang digunakan CCTV di sekolah ini. Lalu, voila, gue bisa meretas rekaman CCTV sekolah,” jelas Aditya panjang lebar. “Terus yang kedua?” tanya Gilang penasaran. “Kedua, kalau seandainya jangkauan sinyalnya gak sampai ke sini karena terlalu jauh, maka gue harus ke dalam. Nanti gue tinggal hapus rekamannya.” Aditya mengeluarkan laptop dari tasnya. Dia mulai mengutak-atik laptopnya cukup lama. Sekitar 15 menit. “Ngomong-ngomong, lu gak takut, Dit?” tanya Gilang mencairkan suasana yang hening. Hanya terdengar suara jangkrik dan tonggeret. “Nggak. Gue biasa aja.” “Tapi kan, di sini nyeremin banget. Udah kayak di hutan aja.” Aditya hanya diam. Dia tak acuh pada perkataan Gilang barusan. Dia hanya fokus pada layar monitor. “Yosh, akhirnya berhasil. Nih, lu mau liat gak?” Aditya akhirnya berhasil meretas rekaman CCTV sekolah dan memperlihatkannya pada Gilang. “Lu hebat banget soal teknologi. Gimana caranya lu bisa sampai meretas CCTV sekolah?” tanya Gilang keheranan dengan kemampuan Aditya yang luar biasa. “Orang tua gue ahli IT. Jadi, gue belajar banyak soal teknologi dari mereka. Terus pas tadi siang di sekolah gue merhatiin jenis CCTV sekolah. Lalu, pas pelajaran Pak Iskandar, dia gak masuk, ‘kan? Di situlah gue memanfaatkan si Aceng buat nyari IP CCTV sekolah. Kebetulannya lagi satu sekolah ini CCTV-nya sama. Dan, gue akhirnya nemu.” “Siapa si Aceng?” tanya Gilang. “Ini.” Aditya menunjuk laptopnya. “Saking sayangnya gue sama laptop ini, gue namain dia Aceng.” “Orang ini udah gak waras. Udah gila teknologi dia,” pikir Gilang. “Emang gak ada sistem keamanan gimana gitu?” tanya Gilang yang berusaha memahami apa yang dilakukan Aditya. “Gue tahu password-nya. Tapi, jangan tanya gimana caranya. Itu rahasia gue.” Meskipun Aditya membantu Gilang, tapi dia tak mau terlalu banyak bicara pada Gilang. Dia memilih untuk hati-hati. Karena sahabat bisa saja berubah menjadi pengkhianat. Itulah yang pernah dialaminya saat SMP dahulu. Siapa tahu Gilang sebenarnya memang bersalah? Kalau tidak bersalah, untuk apa dia ribet-ribet mengungkap siapa pelakunya. Padahal, banyak kronologi yang sudah jelas mengarah padanya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Chandani's Last Love

read
1.4M
bc

f****d Marriage (Indonesia)

read
7.1M
bc

MY ASSISTANT, MY ENEMY (INDONESIA)

read
2.5M
bc

When The Bastard CEO Falls in Love

read
369.9K
bc

PLAYDATE

read
118.7K
bc

Love You My Secretary

read
242.7K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook