bc

Tuan Rasa (Bahasa Indonesia) (TAMAT)

book_age0+
1.5K
FOLLOW
14.6K
READ
revenge
family
friends to lovers
badboy
goodgirl
sensitive
drama
comedy
sweet
EXO
like
intro-logo
Blurb

Ini perihal yang pertama, yang datangnya tiba-tiba lalu pergi tanpa aba-aba.

Semua dimulai dari ketidaksengajaan, kesalahpahaman, berlanjut pada pertikaian dan berakhir pada mengenal cinta.

Bersamanya membuatku merasa jauh, begitu jauh dari sebuah kesiapan untuk kehilangan.

Ini kisah cinta pertamaku, kisah tentang Tuan Rasaku.

chap-preview
Free preview
PERKENALKAN, AKU NESSA
Namaku, Annessa Syafara. Nessa adalah sapaan yang digunakan oleh teman-temanku. Sementara itu, Eca adalah nama kecilku. Hanya para anggota keluarga dan kerabat terdekat menggunakan sapaan tersebut. Ketika kegiatan mengabsen kehadiran siswa berlangsung, tidak jarang beberapa guru memanggilku dengan nama Annissa. Kebanyakan dari para pahlawan tanpa tanda jasa itu mengira penulisan namaku di daftar siswa merupakan human error. Salah satu kesalahan akibat kelalaian pihak bersangkutan dalam mengetik huruf i menjadi e. Namun pada kenyataannya, nama Annessa merupakan bagian dari jalan takdirku sebagai seorang manusia. Di lingkungan sekolah, aku termasuk gadis supel yang selalu ceria. Aku tidak merasa memiliki selera humor yang baik. Akan tetapi, teman-temanku selalu saja mengatakan jika aku berbakat menjadi seorang komedian. Mereka hanya tidak tahu bahwa aku lebih berminat menjadi seorang penulis. Aku selalu bermimpi pada suatu hari nanti aku mampu menerbitkan buku-buku yang akan tertata rapi di rak best seller. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa aku adalah gadis cuek. Itu adalah sejarah singkat terkait asal mula banyak sekali teman laki-laki yang akrab denganku. Menurut mereka, aku ini termasuk dalam spesies perempuan langka, tidak mudah terbawa perasaan. Dalam keluarga, aku merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Aku memiliki kakak laki-laki yang bernama Andra Mahesa. Bang Andra, sapaanku untuknya. Dia selalu berhasil membuat aku dikerumuni para gadis centil yang ingin mengetahui segala tentangnya semasa kami bersekolah di sekolah dasar yang sama. Bukan hanya dari teman seangkatanku saja, sering pula teman-teman seangkatan Bang Andra yang berjenis kelamin perempuan bersikap begitu manis kepadaku. Sudah merupakan anugerah untuk lelaki tampan, cerdas dan sopan seperti dia, mampu menjatuhkan hati kaum hawa hanya dengan sekali lirikan mata. Namun, segala nasib baik keturunan dari orang tuaku hanya ada pada diri Bang Andra. Wajahku standar, tidak cantik namun tidak pula buruk rupa. Kecepatan berpikir otakku membuat nilai-nilaiku selalu mengambang beberapa angka setelah kriteria kelulusan minimal. Tinggi tubuhku rata-rata kebanyakan teman perempuan seumuranku. Aku cukup langsing, sebuah hasil dari sifat pencicilanku. Aku yakin, itu adalah salah satu kelebihan yang patut aku banggakan ketika teman-teman perempuan yang lain mulai mengeluh akibat bobot tubuh mereka yang rentan mengalami kenaikan. Aku masih bisa makan sesukaku tanpa memberi pengaruh signifikan pada bobot tubuh. Manusia memang diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, bukan? Untuk mengecoh ketertinggalan perihal kesempurnaanku dari Bang Andra, aku sengaja memilih tidak bersekolah di sekolah yang sama lagi dengannya ketika memasuki jenjang sekolah menengah pertama. Namun, sepertinya Tuhan masih ingin memberikanku pelajaran perihal sebuah ketabahan. Pada akhirnya, suatu masa yang menurut pendapat kebanyakan orang merupakan masa terbaik dalam kehidupan. Suatu masa yang membebaskan seseorang mencari jati diri, akan kembali kulewati di sekolah yang sama dengan Bang Andra. Walaupun demikian, aku tetap bersyukur karena perbedaan usia kami yang terpaut dua tahun ini membuatku hanya perlu melatih kesabaran selama setahun. Pelatihan kesabaran itu berkenaan dengan kemungkinan besar hadirnya suara-suara tanpa hati yang bersemangat membedakan perbedaan mencolok antara aku dan Bang Andra. "ECA! Bangun! Tadi katanya lima menit lagi. Ini udah tujuh menit tapi kenapa masih belum bangun juga? Abang kamu udah siap. Nanti kalau dia ikut terlambat gimana? Kamu kan tahu abang kamu itu ketua OSIS...." dan bla bla bla bla. Aku tidak berdaya untuk kembali tertidur jika mama sudah memulai sesi ceramah yang bisa berdurasi melebihi era reformasi. Aku hanya akan langsung berdiri dari tempat tidur kemudian menyalakan lagu perayaan bangun tidur dari ponsel pintar milikku. Sebuah lagu dari Paramore yang berjudul That's What You Get. Di saat-saat seperti sekarang, aku sangat membutuhkan suara dari Hayley Williams. Satu-satunya suara yang menurutku bisa mengalahkan kedahsyatan suara mama. Mama bernama Gita Melodika Wardana, seorang wanita tangguh yang takut kucing dan bersuara melengking. Suatu hari nanti jika diadakan kembali ajang pencarian bakat yang mengedepankan faktor X dalam suara, mungkin, aku akan mendaftarkan mama dan menuliskan keunggulan dirinya dalam menyanyikan lagu bergenre rock. Pada kesimpulan cerita tentang mama, aku ini telah menanggung bertumpuk-tumpuk dosa setiap kali mama membangunkanku di pagi hari. Mengapa demikian? Karena pikiranku tidak pernah berhenti merencanakan banyak rencana aneh untuk membuat omelan mama menjadi lebih bermanfaat. Hari ini adalah hari pertama masa orientasi siswa. Aku mengenakan seragam setelan putih coklat, seperti perintah yang tertulis di papan mading beberapa hari lalu ketika aku dan mama mengunjungi SMA Purnama untuk melakukan sesi daftar ulang. Aku sangat bersyukur masih bisa lepas dari pernak-pernik aneh seperti kebanyakan kegiatan MOS lainnya di hari pertama ini. Mungkin, hanya belum waktunya saja. Bisa jadi besok aku sudah mulai berpenampilan seperti orang yang kurang waras. "Maa! Kaos kaki Eca mana?" Aku berteriak melawan suara kokokan dari ayam peliharaan Pak Imam, tetangga persis di sebelah rumahku. Di zaman daerah perkotaan lebih didominasi oleh hewan peliharaan berupa anjing ataupun kucing, Pak Imam tetap melestarikan kehidupan ayam-ayam kota. Sungguh, tidak ada salahnya jika suatu hari nanti beliau patut mendapatkan sebuah penghormatan sebagai Pahlawan Ayam Kota. "Di laci lemari kamu. Cari dulu baru nanya!" Mama turut berteriak dari dapur yang memiliki jarak cukup jauh dari kamarku. Itu adalah bukti nyata bahwa aku memang anak mama. Frekuensi suara kami sangat luar biasa. Papa dan Bang Andra tentu saja sudah terbiasa dengan suara maha dahsyat milik aku dan mama. Setelah menemukan kaos kaki putih di tempat sesuai informasi dari mama, aku segera meraih tas dan melanjutkan langkah menuju ruang makan. Aku butuh cukup banyak asupan makanan sebagai tenaga cadangan. Antisipasi menghadapi beberapa senior menyebalkan nantinya. "Bang, jangan aneh-aneh ya ngasih tugasnya. Kalau perlu jam pulang jangan lewat dari jam 11 siang. Eca kan sedang dalam proses memutihkan kulit." Aku membuka percakapan di depan meja makan yang sudah terlebih dahulu dihuni oleh Bang Andra. "Kamu kira sekolahnya punya kita? Ya wajar lah, Ca. Kan cuma tiga hari, jadi terima aja apapun hasilnya nanti." Komentar Bang Andra dengan santai. Selanjutnya, dia melanjutkan kegiatan sarapan dengan sepiring nasi goreng itu. "Bener kata abang kamu. Kalau namanya MOS wajar gitu-gitu, selama nggak melibatkan kekerasan." Mama mulai melakukan pembelaan untuk anak kesayangannya sambil mengaduk secangkir kopi untuk papa yang sudah berjalan mendekat ke arah meja makan. "Kamu pulang sama Bang Andra aja ya, Ca." "Enggak mau." Aku dan Bang Andra sama-sama menjawab kompak. "Loh, kok gitu?" Papa bertanya dengan ekspresi wajah bingung. "Kami udah sepakat buat merahasiakan hubungan darah ini, Pa." Ucapku dengan nada bicara yang sangat dramatis. "Dia takut kejadian yang sama di SD keulang lagi, Pa." Bang Andra menyambung penjelasanku secara singkat, padat dan jelas. Bahkan, penjelasan tersebut diucapkan bersama nasi yang masih memenuhi mulutnya. "Tapi, papa gak bisa jemput kalau jam pulang kamu belum pasti gini." Papaku bernama Deano Irdiansyah. Nama depan yang keren, bukan? Kekeranan papa bukan hanya ada pada namanya. Beliau dapat dikategorikan sebagai pria tampan. Ketampanan papa adalah hal yang sangat melekat erat pada Bang Andra. Papa merupakan seorang pengusaha yang menggeluti bisnis perhotelan dengan banyak jadwal meeting tersebar di mana-mana. Tetapi, keluarga adalah hal yang selalu menjadi prioritas utama bagi papa. Satu hal yang selalu tertanam dalam ingatanku yaitu nasehat papa perihal kehidupan yang bisa dimisalkan seperti lautan. Tidak akan habis untuk diarungi. Maka, nilai kebersamaan keluarga itu akan selalu berada pada urutan teratas. Mengalahkan segala hal termasuk perihal harta. "Yaudah gakpapa, Pa. Eca bisa nebeng Dira. Dia kayanya bawa motor hari ini." "Bagus kalau gitu, lain kali kamu yang beli bensin motor Dira." Mama mencetuskan sebuah ide yang menurutku patut dicoba. Selama tiga tahun menjalin hubungan persahabatan dengan Dira, aku sudah terlalu sering merepotkan dia dengan menumpang motornya. Membicarakan tentang Dira, dia adalah sahabat satu-satunya yang sangat aku syukuri kehadirannya dalam hidupku. Nadira Putri, seorang perempuan yang sudah mahir membawa motor sejak usia sebelas tahun. Aku sangat bangga memiliki sahabat dengan jam terbangnya dalam bermotor itu. Suatu hari, hal itu mungkin bisa membuka kesempatan untuknya menjadi seorang pembalap andal. Aku dan Dira sebelas-dua belas dalam masalah wajah. Tapi, entah mengapa dia lebih beruntung karena sudah memiliki pacar bernama Bian. Aku adalah saksi mata dari hubungan kedua makhluk Tuhan itu. Aku juga menjadi tempat curhat keduanya jika mereka sedang saling merasa kesal terhadap satu sama lain. Aku tidak keberatan menjalani pekerjaan mulia itu. Mereka adalah pasangan yang sangat murah hati. Tidak pernah keberatan dalam menghamburkan uang untuk mentraktirku setiap bulan perayaan hari jadi mereka. Kata mereka, mentraktir jomblo kronis sepertiku mungkin saja bisa mendatangkan pahala. Kronis? Tentu saja itu keliru. Aku hanya baru menyandang status jomblo selama lima belas tahun. Namun, jika hitungan mulai mengerti rasa suka dimulai pada usia enam tahun, maka aku baru menjomblo selama sembilan tahun. Dua bulan lagi akan menginjak tahun kesepuluh. Akan aku rayakan secara besar-besaran dengan menonton salah drama Korea. Sembari memposisikan diriku seperti Ji Eun Tak, terlahir sebagai pengantin Goblin a.k.a antara ada dan tiada. *** "Nessa!" Teriakan Dira menyambut kedatanganku di sekolah ini. Perempuan itu sudah melambaikan tangan ke arahku yang baru saja keluar dari mobil. "Loh, kok gak sama Bang.." "Sttt.." Aku buru-buru memotong perkataan Dira. "Aku enggak mau orang-orang tau kalau aku adiknya ketua OSIS." Tiba-tiba saja alasan tersebut muncul di benakku. "Yah, padahal kita bisa numpang tenar. Bang Andra kan udah jadi salah satu di antara deretan para the most wanted di sekolah ini." Walaupun menyandang status sebagai pacar Bian yang lebih memilih bersekolah di SMA Negeri 77 itu, Dira tetap saja turut tersihir oleh pesona Bang Andra. "Awas aja kalau kamu bocor ya, Dir. Eh, aku nebeng pulang sama Beti, ya." Beti adalah sebuah nama untuk motor matic berwarna putih yang resmi menjadi milik Dira sebagai hadiah kelulusannya di salah satu SMA swasta favorit di Jakarta ini. Nama itu kami sepakati sekitar tiga hari yang lalu. "Aman kalau masalah tebeng-menebeng. Asalkan, cacing di perut bisa kamu bikin berhenti kalau udah demo, Nes." Sepertinya, aku harus melupakan ide dari mama untuk membelikan bensin motor. Sebenarnya, selama ini, Dira secara tidak langsung memiliki profesi sebagai tukang ojek dengan imbalan sepiring siomay Mang Udin, penjual siomay terlezat yang pernah kutemukan. "Gampang! Udah yuk, aku mau cari tau kita sekelas atau enggak." Selain hari pertama masa orientasi siswa, hari ini juga merupakan hari pengumuman pembagian kelas. Pengumuman itu pasti telah ditempelkan di papan putih yang terpasang tidak jauh dari ruang guru. "Oh iya, Nes. Kamu belum ketemu sama cowok terganteng di angkatan kita, kan?" Tiba-tiba saja Dira membuka topik pembicaraan yang selalu menarik bagi kami. "Seganteng apa dulu?" Tanyaku tanpa memperlihatkan antusias berlebihan kali ini. "Ganteng banget! Antara campuran Nicholas Saputra sama Adipati Dolken. Ibaratnya nih kalau ketawa kayak Adipati kalau wajah datar kayak Nicholas." Aku mengakui jika selera Dira untuk urusan lelaki tampan cukup baik. "Nicholas Saputra mah ketuaan. Tapi, tetap cukup ngebuat aku penasaran, sih." Ungkapku sambil menggerakkan naik kedua alisku. *** "Coba aja mereka tau kalau kamu tuh adiknya Bang Andra, pasti kamu bakal ditanyain macam-macam, Nes." Dira berbisik ke arahku yang masih memperhatikan segerombolan teman baru. Sedari tadi, mereka tidak berhenti memuji Bang Andra yang berhasil tampil mengesankan saat memberikan sambutan dalam acara pembukaan MOS tahun ini. For your information, takdirku masih melibatkan Dira sebagai bagian dari teman sekelasku di kelas X-D. Untuk pertama kalinya pula, seorang lelaki paling tampan di angkatanku juga duduk di kelas yang sama dengan kami. Saat ini, dia hanya berjarak beberapa senti dariku. Lelaki paling tampan itu tepat berada di sampingku karena berada satu kelas dengannya membuat kami berada di barisan yang bersebelahan. Bisikan kagum ikut pula terdengar sepanjang Kepala Sekolah SMA Purnama ini memberikan pengarahan. Hal tersebut dikarenakan Si Tampan lebih memilih menyibukkan diri untuk menggambar sesuatu di buku sketsanya. Posisi duduk ini memang diperintahkan langsung oleh Kepala Sekolah. Beliau seakan mengerti bahwa saat ini matahari sedang tidak bisa berkompromi untuk mengurangi teriknya. Posisi ini sekaligus membuat lelaki itu semakin leluasa menggambar. Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menoleh dan mengintip apa yang tengah Si Tampan itu gambar. Usut punya usut dari seorang informan andal yang baru kukenal hari ini, Dahlia, teman dari SMP yang sama dengannya. Ternyata, Si Tampan itu bernama Arga Fardan. Ayahnya bekerja sebagai politisi yang menduduki sebuah kursi wakil rakyat tingkat daerah dan ibunya seorang psikolog ternama di kota ini. Dia cukup cerdas dan bisa dikategorikan rajin. Namun, sebuah fakta lain darinya mampu membunyikan alarm di hatiku. Fakta tersebut adalah Arga sudah terlalu sering mematahkan hati perempuan di sekitarnya. Hal itu dikarenakan sikapnya yang dingin. Hatiku tentu saja terlalu berharga untuk menjadi korban selanjutnya. Hatiku tidak boleh lemah lalu patah hanya dikarenakan ketampanan dan sikap dinginnya itu. Kami masih dikumpulkan di tengah lapangan setelah acara pembukaan MOS selesai. "Eh, yang pakai sepatu ijo." Sebuah suara terdengar. Spontan saja, aku segera melirik ke arah sepatuku. Aku memakai sepatu dengan warna yang sama seperti disebutkan oleh sumber suara. "Nes, hati-hati jatuh hati." Bisikan dari Dira berhasil mengakibatkan aku menoleh cepat ke arah sumber suara. "Aku?" Aku menunjuk hidungku dengan tangan kiri ketika mendapati Arga telah memberikan tatapan tajamnya. Tatapan yang masih tertuju ke arahku itu membuatku ikut pula berdiri untuk menyeimbangkan posisiku dengan Arga yang telah berdiri saat ini. Aku menyadari bahwa kini seluruh perhatian dari para murid baru tertuju kepadaku dan Arga. Apakah pesona lelaki ini memang semagis itu? Tanyaku membatin. "Kamu segitunya nyari perhatian?" Pertanyaan Arga berdampak pada tindakanku selanjutnya, menelan ludah. Aku jelas tidak habis pikir, dari mana pertanyaan penuh kepercayaan diri sekaligus ketidaktahuan diri itu muncul. "Eh ayam! Dijaga dong kalau ngomong." Jambul yang sedikit terlihat di rambut Arga membuatku menjulukinya layaknya dia merupakan bagian dari peliharaan Pak Imam. Tetapi, perkataanku barusan hanya membuat Arga mempertajam tatapannya. "Ini punya aku!" Arga menarik kasar sebuah buku sketsa yang tidak kusadari berada di tangan kananku. Ya Tuhan! Aku kembali membatin meminta pertolongan Tuhan. Aku mengutuk kebiasaan burukku yang mudah saja mengambil barang di sekitarku. Barang apapun yang dapat dijadikan sebagai kipas untuk menghilangkan gerah. "Lain kali cari cara yang berkelas." Tawa terpecah. Memenuhi lapangan sekolah yang beberapa saat lalu hanya dipenuhi oleh suara angin. "Ya, maaf! Aku kan gak sengaja! Jadi orang jangan sok kegantengan, deh. Enggak semua cewek punya selera yang sama." Jika Arga memang cerdas seperti yang dikatakan oleh Dahlia, maka dia akan mudah mencerna perkataanku barusan. Bukannya tersulut oleh emosi, Arga malah tersenyum. Menyeringai dan melangkah, mendekat ke arahku. "Berarti selera kamu masuknya ke kelas paling bawah, dong." Aku bisa merasakan terpaan nafas lelaki satu ini di wajahku. Bukti terakurat yang menggambarkan terkikisnya jarak di antara kami. Dengan segala kekuatan dan ditambah dengan rasa malu serta amarah, aku sudah sangat siap untuk mendorong tubuh Arga menjauh. "Kamu itu perempuan, le-mah." Sia-sia segala ancang-ancangku karena hanya dengan satu tangan Arga berhasil meraih kedua tanganku yang telah bersemangat untuk mendorongnya. Dia berhasil membuatku semakin malu dengan posisi tanpa jarak seperti ini. Bang Andra! Kutukan kamu udah gak berlaku buat ngerusak masa SMA aku! ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Boss And His Past (Indonesia)

read
236.4K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

PLAYDATE

read
118.6K
bc

The Perfect You (Indonesia)

read
289.1K
bc

CEO Pengganti

read
71.2K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.3K
bc

Love You My Secretary

read
242.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook