bc

KLITIH

book_age18+
129
FOLLOW
1K
READ
adventure
revenge
dark
student
gangster
bold
ambitious
expert
realistic earth
crime
like
intro-logo
Blurb

Kisah yang ditulis karena terinspirasi dari kisah nyata. Dalam bahasa Jogja, Klitih berarti melakukan sesuatu untuk membunuh waktu senggang. Tapi seiring berkembangnya zaman, makna klitih bagi orang Jogja mengalmi peyorasi menjadi kejahatan yang dilakukan yang merugikan dan menyakiti orang lain hanya karena iseng. Klitih bisa berarti membacok, menyayat, melempar atau menusuk korbannya. Tak ada motif, hanya iseng.

Farhan, remaja 14 tahun yang kehilangan arah hidup karena kesibukan orang tuanya, mencari pelampiasan dengan bergabung dengan kelompok klitih terkenal di daerahnya. Nahas, baru satu kali beraksi, dia langsung diringkus oleh aparat karena korbannya bukan orang biasa. Membuatnya harus mendekam di balik jeruji besi dan mendapatkan pembinaan selama lebih dari enam bulan.

Aditama, seorang polisi yang bertekad memberantas klitih dan preman karena dendam pribadi. Melihat sosok anaknya yang tak sempat lahir ke dunia dalam sosok Farhan.

Bagaimanakah kisah mereka?

chap-preview
Free preview
Bab I
Suara TV terdengar memenuhi rumah sederhana yang berdesakan dengan perumahan lainnya di pusat kota Jogja. Rumah kecil yang ditinggali oleh sepasang suami istri renta, seorang ibu tunggal dan remaja yang baru saja berusia 14 tahun beberapa minggu lalu. Sepasang suami istri renta yang penat karena seharian bekerja di ladang tertidur pulas di atas dipan bambu yang dilapisi kasur tipis nan keras yang kapuknya sudah tak lagi mengembang. Di bawahnya, remaja yang ditinggal ibunya bekerja tak kenal waktu itu sedang tengkurap menghadap LKS. Matanya membaca soal LKS asal - asalan sementara telinganya mendengarkan apa yang disampaikan oleh pembaca berita jam sembilan malam dari salah satu stasiun TV swasta. "Pemirsa, kejadian Klitih di kawasan kota Jogja kini semakin meresahkan. Pagi ini, telah ditemukan korban...." Kepala yang sedari tadi seolah terfokus pada lembaran di depannya kini tersentak, menoleh ke arah TV. Matanya berbinar penuh kekaguman saat mendengar apa yang disampaikan oleh pembaca berita. "... Kami menghimbau kepada seluruh masyarakat yang berada di Jogja untuk selalu waspada dan berhati - hati agar tetap selamat dan terhindar dari bahaya Klitih." Pembaca berita menutup berita malam itu dengan apik. Farhan, nama remaja empat belas tahun itu, mendongak pada Eyang dan Kakungnya selama beberapa saat. Memastikan bahwa keduanya sudah berada dalam tidur yang nyenyak sebelum membereskan buku - bukunya dan bergegas ke luar rumah dan menghampiri sepedanya. Dia punya tujuan malam ini. Tapi belum sempat dia mengeluarkan sepedanya dari teras sempit yang berisi jemuran dan sak - sak berisi gabah dan jagung kering hasil panen kemarin, sebuah suara sudah menyapanya, membuatnya urung pergi dan cepat - cepat mengembalikan sepedanya ke posisi semula. "Farhan? Belom tidur, tho?" Itu Marsih, Ibunya. Seorang Ibu tunggal yang terlalu sibuk bekerja untuk mencukupi kebutuhan materi anaknya. Usianya baru menginjak awal tiga puluh tahun. Tapi karena beban dan tekanan hidup, wajahnya jadi terlihat beberapa tahun lebih tua dari usia aslinya. "Habis ngecek sepeda, Bu." Jawab Farhan berbohong. Dia tentu saja tak mungkin mengatakan pada Ibunya dia ingin ke mana malam ini. "Tidur, Le. Besok sekolah. Atau mau makan dulu? Ibu bawain bakso sama tetelan ayam dari tempat Pak Muhdi." Katanya menunjukkan plastik kresek yang dibawanya. Pagi hari, Ibunya bekerja serabutan sebagai tukang cuci dan tukang setrika dari rumah ke rumah. Kalau sedang musim kadang jika ada yang meminta, dia juga membantu tetangga yang memiliki usaha catering. Atau menjadi buruh pembuat bakpia borongan di toko bakpia pathuk tak jauh dari rumah mereka. Siang hari dari jam satu hingga jam delapan atau jam sembilan malam, dia bekerja sebagai buruh cuci dan tenaga pembuat minuman di tempat Pak Muhdi. Tetangga mereka yang membuka ruko mie ayam yang lumayan terkenal di Jogja dan selalu saja ramai pengunjung. Kadang saat pulang, ibunya masih juga mengambil pekerjaan melipat kardus untuk amenities hotel. Semua dilakukan untuk mengepulkan dapur dan memenuhi kebutuhan Farhan. Tapi sepertinya Ibunya itu lupa bahwa Farhan juga butuh ditemani. Dalam seminggu, kadang ibunya tak libur sama sekali. "Ibu sudah makan." "Sudah tadi sedikit. Ko Farhan lapar yuk, ibu temani makan." Kepala berambut pendek itu mengangguk. Sebenarnya Farhan tak lapar. Hanya saja, momen kebersamaannya dengan Ibunya amat jarang, jadi dia iyakan saja. Mereka masuk bersama - sama ke dalam rumah. Ibunya menutup pintu, menurunkan tirai dan mematikan lampu serta TV sebelum beranjak ke dapur untuk menyusul Farhan yang sudah lebih dulu ke sana. Mengambil satu mangkuk besar, panci dan satu mangkuk untuk Farhan. Dia membuka plasti yang dibawanya mengeluarkan dua bungkusan besar dan memindahkan isinya masing - masing ke wadah yang sudah dia siapkan sebelumnya. Kemudian dia mengambil sebagian kecil dan memberikannya pada Farhan. "Ini buat sarapan besok bareng sama Kakung dang Eyang ya, Le." Farhan mengangguk i perkataan Ibunya. Farhan makan dengan tenang pada awalnya. Tapi berubah gusar saat Ibunya keluar dari dapur dan membawa beberapa tumpukan karton, siap mengerjakan sesuatu. Ini sih, bukan menemani! Protes Farhan dalam hati. "Sudah malem Bu, istirahat dulu." Kata Farhan mengingatkan, ogah - ogahan menghabiskan bakso di mangkuknya. "Iya, Le. Sebentar lagi. Ayo dihabisin makannya, terus sikat gigi. PRnya sudah selesai?" Farhan mengangguk. Farhan bukan anak pemalas. Di kompleksnya ini, tak banyak anak yang seusia dengannya sehingga diapun jarang bergaul dengan anak - anak lain. Teman - teman sekolahnya tinggal di kampung sebelah - sebelah. Mereka jarang main karena Farhan tak punya kendaraan bermotor untuk main bersama mereka. Jadi saat di rumah, dia melakukan apa yang dia bisa untuk membunuh kebosanannya dengan belajar. Sebagai gantinya, hampir selalu Farhan menjadi langganan juara kelas tiga besar di kelasnya. Guru - guru pun amat bangga padanya dan sering menjadikannya sebagai suri tauladan bagi murid lain. Tapi Farhan melakukan itu bukan karena dia suka. Jadi jika dia diberi pilihan lain, dia akan memilihnya seketika tanpa berpikir lagi. "Ya wis. Habis ini tidur, ya. Ibu besok ada rewang di tempat Pak Hamid. Kamu kalo pulang sekolah, laper, langsung nyusul aja ya." Farhan mendesah dalam hati. Rewang, yang berarti gotong royong para tetangga saat ada yang punya hajat, berarti dari pagi jam delapan hingga acara selesai. Sekitar jam sepuluh. Ini  bahkan lebih menyebalkan daripada saat ibunya kerja. Farhan paham, Ibu melakukan ini semua demi dirinya. Tapi dia kesepian. Eyang dan Kakungnya adalah orang- orang yang tidak terlalu peduli pada hal - hal di sekeliling mereka. Asalkan Farhan sehat dan tidak ribut, mereka menyimpulkan bahwa Cucunya itu baik - baik saja. Mereka tak bisa mengobrol bersama Farhan karena tak bisa mengikuti jalan pikiran remaja itu. Saat mengobrol pun, dia akan lebih sering mengikuti apa yang menjadi pandangan mereka. Tak bisa membantah. Harus menurut. Kalimat orang tua itu kebenaran yang mutlak. Farhan selesai makan. Dia membawa piringnya ke ember cuci piring di pojokan dapur kecil mereka. Mencuci dan membilasnya sebelum mengembalikannya ke rak. "Nggih. Kalo gitu Farhan tidur dulu." Jiwa muda Farhan terjebak dan sekarat di rumah sempit ini. Dia ingin keluar, tapi keluar ke mana? Dia ingin memberontak, tapi tak tahu caranya. Di rumah ini ada dua kamar tidur. Satu untuknya, yang paling bagus di rumah,.dan satu yang lebih kecil untuk Ibunya. Kedua Eyang san Kakungnya tidur di dipan di ruang tengah. Hanya ini saja personil di rumah ini. Ibunya adalah anak perempuan tunggal di rumah ini. Anak perempuan yang akhirnya mereka dapatkan setelah hampir sembilan tahun menikah. Dan Farhan adalah cucu mereka satu - satunya. Tak ada saudara lain. Kerabat dari Eyang dan Kakungnya tinggal di luar kota Jogja. Ada yang di Bantul, ada juga yang di Gunung Kidul. Mereka jarang bertemu. Kecuali saat lebaran dan ada yang datang ke rumah. Atau saat ada rejeki lebih setelah panen dan mereka bisa menyewa tossa untuk mengantarkan mereka bersilaturahmi dengan sanak saudara. Farhan berbaring diam di atas kasurnya. Sama seperti keadaan kasur - kasur di rumah ini. Kasur kapuk ini lun sudah keras dan bantat, tak empuk lagi. Tubuhnya diam, taoi tidak dengan pikirannya. Rencananya hari ini gagal. Maka dia harus mencari waktu lain untuk pergi. Besok. Ya, besok sepertinya waktu yang tepat. Dia akan pergi agak sore dengan dalih belajar kelompok agar Eyang dan Kakungnya tidak bersikeras untuk mengantarnya. Dengan niat yang sudah mantap dan bagus tersebut, Farhan dengan cepat dihampiri kantuk dan tak lama kemudian, tubuh kurus dan hitam karena terbakar matahari itu terlelap dibuai mimpi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Aku Pewaris Keluarga Hartawan

read
145.9K
bc

Breaking the Headline

read
23.2K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
153.4K
bc

Menantu Dewa Naga

read
176.9K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.4K
bc

Si Kembar Mencari Ayah

read
28.2K
bc

KEMBALINYA RATU MAFIA

read
11.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook