bc

If We Bring it Back

book_age16+
15
FOLLOW
1K
READ
reincarnation/transmigration
time-travel
no-couple
scary
city
high-tech world
realistic earth
scientist
classmates
naive
like
intro-logo
Blurb

Bagaimana jadinya jika kalian hidup di tahun 2083? Tahun-tahun yang terasa seperti neraka. Bahkan mungkin inilah akhir dari peradaban manusia, terdengar seperti sedikit dilebihkan, tapi begitulah kenyataannya.

Pepohonan sudah menjadi sangat langka, langit biru telah digantikan dengan warna merah efek radiasi. Setelah air menjadi barang mewah dan sulit didapat, kini tiap oksigen yang dihirup pun harus dibayar. Entah matahari yang mengganas atau bumi yang melemah, yang jelas, ini adalah mimpi buruk bagi seluruh penduduk bumi.

Saka Amalta, remaja 18 tahun harus kembali ke masa lalu dengan kapsul waktu demi mengubah keadaan di tahun 2083 ini. Lantas mampukah Saka meyakinkan mereka yang hidup di masa lalu? Mampukah Saka, mengubah semuanya?

chap-preview
Free preview
Prolog
Seorang lelaki tua, dengan rambut putihnya yang setengah botak itu membenarkan posisi kacamatanya yang melorot. "Kau tahu? Masalah adalah sebuah jurang," ucapnya. "Jurang yang terbentang lebar di depanmu itu, harus kau lompati. Bukan malah pura-pura tidak tahu. Kalau kau menutup mata, maka kau akan terjatuh. Ini tentang berhasil atau mati. Begitulah prinsip ilmuwan." "Tapi aku bukan ilmuwan, Prof!" Teriak bocah yang duduk di hadapannya. Lelaki tua yang disebut Prof itu lantas menghela napas, "enam puluh tahun yang lalu, bumi itu surga. Dulu, kau bisa menjumpai pohon di setiap sudut jalan. Bahkan ada satu tempat yang bernama hutan, di sana pepohonan tumbuh dan berjajar dengan indah. Ada juga sungai dan danau, sebuah cekungan yang berisi air yang melimpah. Namun lambat laun semua itu berubah karena ulah manusia sendiri. Mereka dibutakan dengan keserakahan yang tanpa sadar justru malah merusak tempat hidup mereka sendiri. Coba kau pikir, apa jadinya kalau semua itu bisa dicegah?" "Entahlah," tukas bocah itu. "Apa gunanya menceritakan masa yang sudah terlewat berpuluh-puluh tahun lalu? Apa dengan menceritakan itu, keadaan sekarang bisa berubah?" "Tak ada cerita yang tak pantas didengarkan, Nak." *** Bandung di kala senja tak pernah tak menyenangkan. Pun Bandung pernah menjadi sangat romantis bagi sosok lelaki pemilik nama Algi ini. Lelaki berperawakan jangkung dengan mata yang akan menghilang kala bibirnya menyimpulkan senyum, lelaki yang tengah menyusuri taman sambil menjinjing tas laptopnya, sesekali bibirnya melengkungkan senyum tanpa sadar kala ia mengingat tiap episode cerita tentang dirinya dengan sang mantan kekasih yang kerap menghabiskan waktu berdua di taman ini. Kemudian lengkung bibirnya akan segera memudar begitu ia tersadar kalau sang mantan kini mungkin sedang saling menggamit jemari dengan tambatan hati barunya. "Hey, jambret!!! Tolong!!! Jambret!!!" Teriak Algi, akibat dirinya kebanyakan melamun, tas laptop yang dijinjingnya baru saja berpindah tangan kepada seorang lelaki yang tengah melarikan diri dari kejaran Algi. "Aw!" Ringis si jambret, kala kakinya tersandung kaki orang lain sampai ia terjatuh. Pun orang tersebut lantas segera membekuk si jambret, mengambil alih tas laptop milik Algi dan memiting tangan si jambret ke belakang sampai si jambret berteriak minta ampun. Algi dan beberapa warga yang turut mengejar pun tiba. Lelaki itu segera menyerahkan tas laptop Algi yang berhasil diselamatkannya, sementara si jambret barusan biar saja diurus oleh warga. "Ayo cepat bawa dia ke kantor polisi!" Seru salah seorang warga yang segera menggiring jambret itu pergi dari sana. "Aduh! Terima kasih banyak, ya! Saya tidak tahu harus bagaimana lagi kalau sampai laptop saya hilang!" Ujar Algi dengan napas yang terengah, dan segera mendekap tas berisi laptop miliknya itu. "Ah, iya. Bukan masalah." Jawab lelaki itu, sambil melempar senyuman canggung pada Algi. "Sebagai ungkapan terima kasih, bagaimana kalau saya traktir bakso yang ada di ujung sana?" Kata Algi lagi. "B-bakso?" Tanya lelaki itu dengan kening yang mengernyit seolah kebingungan kala mendengar kata bakso. Mendapat tanggapan yang sedikit aneh, sontak kening Algi pun ikut mengernyit. "Kenapa? Kau tidak suka bakso?" "S-suka." "Kalau begitu, ayo! Ikut aku!" Lelaki dengan kemeja maroon dan celana jeans hitam itu lantas mengikuti langkah Algi dari belakang. Sepanjang perjalanan menuju ke tukang bakso yang dimaksud, lelaki itu mengedarkan pandangan. Melempar tatapan kagum pada sekitarannya. "Bandung indah, ya?" Cetus Algi, ia menyadari gerak-gerik lelaki itu yang terlihat seperti seseorang yang baru pertama kali menginjakan kaki di Bandung. "Ini Bandung?" Tanyanya penuh heran. Algi pun mengangguk. Mereka sudah tiba di tukang bakso yang Algi maksud, lantas ia segera mendudukkan dirinya di kursi tanpa sandaran yang disediakan oleh si penjual. "Mang, baksonya dua, ya!" "Siap!" "Memangnya kau dari mana? Sepertinya… ini pertama kalinya, ya, kau mengunjungi kota Bandung?" Tanya Algi penasaran. "A-aku…." Lelaki itu nampak kebingungan menjawab pertanyaan yang dilempar oleh Algi, kelihatan jelas dari bola matanya yang bergerak ke kanan dan kiri tak keruan. "Tempat asalku sangat jauh dari sini, dan benar-benar berbeda dengan apa yang ada di sini. Di sini… sangat indah." Katanya, sambil kembali mengedarkan tatapannya pada sekitar. Sepertinya lelaki itu benar-bebar jatuh hati pada kota ini. "Benarkah? Kalau begitu… apa kau tinggal di Bandung untuk kuliah?" "Permisi, ini baksonya." Pembicaraan mereka sempat terhenti sejenak saat penjual bakso menyajikan dua mangkuk bakso yang semula Algi pesan. Tak seperti Algi yang segera mengeksekusi makanannya, lelaki yang ada di hadapannya itu malah bengong dan kelihatan bingung menatap semangkuk bakso yang tersaji di depannya. "Dimakan," kata Algi mempersilakan. "I-iya." Jawabnya. Namun, alih-alih segera menyantapnya, lelaki itu malah terlihat memainkan kuah bakso dengan sendoknya, pun rautnya menyiratkan secercah kebahagiaan layaknya orang yang benar-benar baru bertemu dengan bakso. Padahal, agaknya begitu mustahil kalau masih ada orang yang tidak tahu atau belum pernah melihat bakso sekarang ini. Sedetik berikutnya, ia mulai memasukkan bola-bola daging itu ke dalam mulutnya. Lagi, wajahnya benar-benar menyiratkan kalau dirinya baru kali pertama mencicipi makanan yang menjadi idola bagi hampir tiap orang itu. Algi yang menyadari itu pun hanya terkekeh. "Ah, iya. Kita belum berkenalan. Siapa namamu?" Tanya Algi lagi. "Saka," Jawab lelaki itu singkat. "Kau?" "Algi," kata Algi sambil melempar senyumnya. "Jadi… apa kau sedang berkuliah di sini?" Algi kembali mengulang pertanyaannya yang belum sempat terjawab. Lelaki bernama Saka itu menggeleng. "Oh, kalau begitu bekerja?" Lagi-lagi Saka menggeleng, sementara Algi mengernyit. Kuliah? Tidak, bekerja juga tidak, lantas apa? "Kau tinggal dimana?" Pada pertanyaan kali ini, Saka nampak berpikir. Kemudian kedua matanya menatap Algi dengan tatapan yang kosong sekaligus bingung. "Aku… tidak punya tempat tinggal." "Benarkah?" Algi terkejut bukan main. Lantas sedang apa Saka disini kalau tempat tinggal saja tidak punya. Sementara kalau dilihat dari segi penampilan, lelaki itu terlalu keren untuk disebut gelandangan. "Aku baru saja tiba di sini, dan aku akan menetap selama satu bulan." Jelas Saka. Barulah Algi mengerti. Pantas saja, ternyata dia baru saja tiba. Tapi kenapa dia tidak membawa pakaian atau semacamnya sama sekali? "Kalau begitu, kau bisa ikut bersamaku dulu, tinggal di kamar indekosku sampai kau dapat tempat tinggal." Mendengar itu, tentu mata Saka seketika berbinar. "Apa boleh?" "Tentu." *** "Masuklah!" Kata Algi mempersilakan tamunya. Saka yang berada di belakang Algi pun perlahan melangkahkan kakinya memasuki kamar indekos Algi yang terbilang tidak besar namun juga tidak terlalu kecil. Hanya terisi dengan sebuah kasur lantai di sudut ruang, televisi, meja kayu, dan lemari pakaian. "Maaf, tempat tinggalku memang sempit. Tapi kurasa lebih baik kau tidur di sini daripada harus menggembel di emperan toko," Ujar Algi sembari menurunkan sesuatu dari atas lemari pakaiannya, lantas dengan sigap Saka segera membantunya. "Ini kasur lipat, teman-temanku juga sering menginap jadi aku punya ini." Tambahnya. Saka yang memang tak bersuara sama sekali sejak memasuki kamar indekos Algi pun mulai menunjukkan gelagat seolah ingin menyampaikan sesuatu. "Ada apa?" Tanya Algi yang memang menyadari hal itu. "Boleh aku menumpang ke toilet?" Lantas Algi sedikit terkekeh sebelum mengarahkan tangannya pada sebuah pintu yang ada di sebelah Saka. "Itu toiletnya, di sebelahmu." Saka menoleh, mengikuti kemana tangan Algi mengarah. Pun lelaki itu langsung memasuki ruangan kecil yang pintunya berwarna biru itu. Namun, begitu Saka menginjakkan kakinya di dalam toilet, lelaki itu malah terpaku kala matanya menangkap sebuah kotak yang berisi air jernih yang sangat melimpah, bak menemukan harta karun, Saka sampai terbelalak dan tak berkedip sama sekali. "Algi, apa air sebanyak itu milikmu?" Tanyanya, tanpa membuang tatapan pada tampungan air itu. "Ya, itu milikku." Jawab Algi santai. "Boleh aku memintanya?" "Tentu. Ambil saja sesukamu." Begitu mendengar jawaban yang Algi berikan, Saka semakin membelalakan matanya. Ambil saja sesukamu, katanya. Sesukamu. Kata sesukamu lah yang berhasil membuat Saka betul-betul terbelalak dan lantas segera menciduk air itu dengan gayung, di luar dugaan, Saka langsung menenggak air dalam gayung itu tanpa sisa, bahkan ia sudah melupakan tujuan utamanya yang hendak membuang hasil metabolisme tubuhnya yang dalam bentuk urine. Seperti orang yang tidak pernah mendapat minum, tentu tingkah aneh Saka yang meminum air keran itu berhasil membuat Algi melongo. "Wow! Saka! Apa yang kau lakukan?"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sexy game with the boss

read
1.1M
bc

Dependencia

read
186.2K
bc

HYPER!

read
556.2K
bc

Sekretarisku Canduku

read
6.6M
bc

GAIRAH CEO KEJAM

read
2.3M
bc

I LOVE YOU HOT DADDY

read
1.1M
bc

I Love You Dad

read
282.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook