bc

Here With Me

book_age0+
8
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
possessive
contract marriage
dominant
K-pop
drama
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Cho Seungyoun berada di titik terendah dalam hidupnya, ia ingin mengakhiri segalanya namun tuhan telah menyiapkan kejutan lain yang dapat merubah takdirnya.

chap-preview
Free preview
Chapter 1: Hopeless
Raein Jung POV Angin berhembus kencang, menyibak sebagian rambutku ke belakang. Ku hirup udara di sekitarku lalu membuangnya kasar bersamaan hilangnya sedikit beban di dadaku. Melihat pemandangan dari atas jembatan ini, mampu mengobati sedikit rasa kesepianku. Tak ada ucapan ulang tahun, maupun kejutan yang biasa aku dapatkan, hari ini. Hanya ada hari-hari berat yang harus aku lewati seperti mimpi buruk. Semua berubah, seolah dunia tak lagi ramah padaku. Tenang, aku tak berniat mengakhiri hidupku dengan melompat ke sungai kok. Aku hanya ingin merasakan hembusan angin dari atas sini. Tak perduli dengan sinar mentari yang akan membakar kulitku. Aku berharap ada keajaiban yang datang padaku agar membuat hidupku menjadi lebih baik. Drtttt drtttt Handphoneku bergetar dari dalam saku jacket yang aku kenakan. Terdapat sebuah pesan w******p dari sahabatku, Kim Wooseok. Aku sudah berjanji untuk mentraktirnya makan hari ini, namun aku pikir ia melupakan janji itu karena tak kunjung mengangkat telponku sedari tadi. Wooseok adalah sahabatku sedari kecil, ia berhasil menggapai impiannya untuk debut dalam sebuah grup bernama Up10tion. Ia memiliki visual yang luar biasa, hal itu yang menjadikanku target bully para penggemar Wooseok semasa sekolah. Kami bertetangga, namun setelah ia debut, ia jarang sekali pulang ke rumah orang tuanya. Kami hanya akan bertemu di sela waktu senggang Wooseok, secara diam-diam. Setelah mendapat pesan dari Wooseok itu, aku merasa seperti tenagaku terisi kembali. Langsung ku langkahkan kakiku menyusuri jembatan ini, tak ingin Wooseok menunggu lebih lama. Namun, di tengah perjalanan, ada seorang laki-laki yang menarik perhatianku dari kejauhan. Ia terlihat sedang menggendong bayi namun ingin meloncat dari atas jembatan ini. Refleks, aku berlari kencang. Berusaha mencegah lelaki itu agar tidak meloncat bersama bayi di dekapannya. "Apa yang kau lakukan?!!!" Teriakku berusaha menahan lelaki itu. Namun tenaganya sangat kuat. Lelaki itu berusaha melepaskanku, sebelah kakinya telah melewati pagar jembatan ini. Ku tarik baju lelaki itu guna menahan aksinya. "Jangan ikut campur!! Pergilah!" Bentaknya. Aku tak bisa, aku tak bisa membiarkan orang lain meninggal sia-sia di depan mataku. Jadi, sekuat tenaga aku berusaha menarik lelaki itu agar beranjak dari pagar jembatan ini. "Jangan lakukan ini!! Kumohon.." Bujukku. Namun, lelaki itu terus memberontak. "Kumohon," Pintaku tak henti untuknya. Lelaki itu akhirnya mengurungkan niatnya untuk terjun dan turun dari pagar jembatan itu. Aku tarik ia ke belakang, ke tempat yang lebih aman. Tanpa sadar, air mata telah mengalir membasahi wajahku. Tubuhku bergetar, tak habis pikir dengan apa yang baru saja aku gagalkan. Terlebih lagi setelah melihat bayi di gendongan lelaki itu. Aku terenyuh, bayi itu masih sangat merah. Aku yakin bayi itu baru beberapa hari dilahirkan ke dunia. "Gwenchana," Ucap lelaki itu berusaha menenangkanku yang terus menangis. Aku bahkan tak perduli lagi dengan orang-orang yang memperhatikan kami. Anak itu juga tak berhenti menangis sedari tadi. "Apa yang kau pikirkan eoh?!!" Tanyaku, penuh kekecewaan yang mendalam. Lelaki itu hanya bisa terdiam, sembari menunduk menyesali segalanya. Langsung, ku amankan bayi itu darinya. Namun, "Aku titip anakku ya," Ia malah dengan senang hati memberikan anak itu padaku lalu berlari menuju pagar jembatan itu lagi. "Yak!!" Aku mengejarnya bersama bayi di gendonganku. Ku tarik bajunya kasar saat ia ingin mengakhiri hidupnya lagi. Aku sungguh tak habis pikir dengan lelaki bermasker itu. "Jangan lakukan itu!!" Bentakku tak kuasa menahan segalanya lagi. Air mata tak bisa berhenti mengalir di wajahku, saat akhirnya lelaki itu menuruti permintaanku untuk tidak melakukan upaya bunuh diri lagi. "Apa kau tega melihat anak ini tak memiliki seorang ayah??" Suaraku terdengar serak. Lelaki itu membuka masker di wajahnya lalu menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. "Semua berat, aku tak sanggup lagi menahan segalanya.." Lelaki itu menunduk, tubuhnya melemah lalu bersender pada pagar jembatan. Rasa bersalah mulai memenuhiku karena telah membentaknya tadi. Aku tak bermaksud menambah luka batinnya. Aku hanya tak ingin melihatnya melakukan upaya-upaya gila untuk mengakhiri hidupnya seperti ini. Ku tatap lelaki di hadapanku, "Aku tahu dunia sedang tak ramah denganmu, tapi bukan berarti kau harus menghilang." ucapku berusaha menenangkannya. Lelaki itu seperti menahan tangisnya. Aku mendekat, ku elus punggung lelaki itu. "Menangislah, jika kau tak sanggup lagi menahan segalanya. Semua orang punya masalah hidup yang berbeda-beda. Aku tak tahu permasalahan berat apa yang kau hadapi, hingga berpikir untuk mengakhiri segalanya seperti ini. Namun, lihatlah! Matahari masih bersinar terik hari ini, masih banyak hal menyenangkan yang belum kau lakukan, masih banyak makanan lezat yang belum kau cicipi. Jadi, ada banyak alasan untuk kau tetap bertahan hidup, hari ini maupun untuk seterusnya.." Ucapku, sukses memecah tangisnya. Aku membawa lelaki asing itu ke dalam pelukanku. Aku tak mengenalnya, namun aku tahu, hanya sebuah pelukanlah yang sangat ia butuhkan saat ini. "Apa kau pernah berpikir untuk bunuh diri?" Tanya lelaki itu di dalam pelukanku. Suaranya bergetar lirih, ia ingin membalas pelukanku erat namun tertahan oleh bayi di gendonganku. "Sering, namun percayalah, setiap orang punya langkah sendiri dalam menjalani hidup mereka. Ada yang berjalan cepat, ada yang berjalan lambat bahkan ada yang berhenti. Namun, pasti ada beberapa alasan dari langkah mereka tersebut. Karena, berbeda itu tidak salah." Ujarku. Sebenarnya itu adalah ucapan penyemangat untuk diriku sendiri juga. Aku tak mendengar balasan darinya, jadi aku akan tetap memeluknya hingga ia merasa lebih baik. Aku mendengar berbagai komentar dari orang-orang di sekitar kami. Mereka merutuki tindakan yang lelaki itu perbuat, tanpa melakukan pencegahan ataupun tindakan yang menguntungkan. Cukup lama kami berpelukan, aku tak henti mengelus punggung lelaki itu guna menenangkannya. Tak lama, ia melepaskan pelukanku. Aku tak mendengar suara tangis dari bayi ini lagi, saat ayahnya perlahan mulai tenang. "Dan, lihatlah anak ini. Dia masih sangat kecil untuk kau tinggalkan." Ujarku sukses membuat lelaki itu mendesah kasar. "Semua gara-gara ibu anak itu!" Kesalnya. Aku menatap lelaki itu penuh telisik. Dari penampilan dan wajah yang tadi tertutup masker, lelaki itu masih terlihat sangat muda. Seperti tak jauh beda dariku. "Anak ini, anak kandungmu?" Dia mengangguk. Karena keramaian mulai tak terkendali di sekitaran kami, aku berniat membawa lelaki itu untuk duduk di bangku yang tak jauh berada di dekat kami. Sepanjang perjalanan menuju bangku, cacian bahkan makian dapat dengan mudah terlontar dari keramaian yang menonton kami. Aku menggenggam erat tangan lelaki itu, berusaha menenangkannya. Namun aku sendiri yang tak bisa tenang dengan suasana seperti ini. Jadi, tanpa ku sadari air mata kembali mengalir di wajahku. Aku tak bisa membuat mereka semua diam, yang hanya bisa aku lakukan adalah menenangkan lelaki rapuh ini. "Jangan perdulikan perkataan orang lain, kau berharga." Ucapku dengan tangis yang semakin menjadi-jadi. Ada apa denganku? Setelah sampai di bangku tujuan kami, lelaki itu membuka masker di wajahnya dan topi miliknya. "Oh tidak, aku membuat gadis cantik ini menangis." Ucapnya. Ku hapus air mataku kasar. Ingin merutuki perbuatan yang lelaki itu terima dari percobaan bunuh diri yang ia lakukan. Aku tahu, tindakannya itu memang salah. Namun, alangkah lebih baik kita tak menghakimi orang-orang yang membutuhkan perhatian lebih seperti lelaki ini. Ku ubah dudukku agar sedikit menghadap lelaki itu, "Tuhan telah menitipkan anak ini padamu, berarti Ia percaya padamu. Memang kehidupan sangat berat tapi kau harus ingat bahwa kau tak sendiri. Tuhan memberimu masalah, untuk membuatmu berbenah diri namun Tuhan juga tak akan membiarkanmu melewati semuanya sendirian. Ada aku, aku bisa membantumu dengan mendengarkan segala keluh kesahmu." Ujarku. Lelaki itu terdiam penuh arti. "Aku atheis." Gumamnya. "Maaf, aku tak bermaksud mengguruimu namun aku terus menanamkan keyakinan itu dalam diriku." Aku merasa semakin bersalah padanya. Sehingga aku menunduk, guna melihat anak di gendonganku. Aku tutupi wajah anak itu dari sinar mentari yang mengenai wajah merahnya. "Terima kasih telah menolongku." Ujar lelaki itu. Aku menyadari ia terus menatapku, "Hidupmu berharga. Jangan sia-siakan begitu saja. Kau harus tetap menjalani hidupmu demi anak ini. Aku yakin semua akan berlalu dan kebahagiaan akan menghampiri kalian." Lelaki itu mengangguk pelan. Aku merasa lelaki tampan itu terlihat tak asing bagiku. Dengan surai hitam dan mata sipit yang tajam. Aku tahu, ia memiliki senyum yang mempesona. "Apa kau tak mengenalku?" Ia bertanya, sukses memecah lamunanku. Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawabannya. "Namaku Raein Jung." Ucapku memperkenalkan diri. "Cho Seungyoun." Ah, lelaki itu bernama Seungyoun. Aku tetap tak bisa mengingatnya. Aku rasa seperti pernah bertemu dengannya sebelum kejadian ini. "Nama anak ini?" Tanyaku, "Cho Seungri." "Nama yang indah.." Aku tersenyum pada lelaki itu. Dapat ku lihat senyum tipis di wajahnya saat ini. Namun, buru-buru ia buang tatapan dariku. Seungyoun menarik napasnya dalam, "Bolehkah aku minta nomor telponmu? Aku ingin berbincang denganmu, lain kali." Pinta Seungyoun malu-malu. """""""""""""""""""""""""""""""""" Ku berlari kencang menuju sebuah cafe yang terletak di ujung gang. Ada sekitar 5 panggilan tak terjawab dari Wooseok dan sekarang waktu telah menunjukan pukul setengah lima sore. Aku yakin ia pasti telah menungguku dengan putus asa di dalam cafe tersebut. Aku melihat Wooseok yang duduk sambil berpangku tangan menungguku. Ia hanya memainkan handphone miliknya. "Wooseok-ah." Panggilku dan langsung mendudukan diri tepat di hadapannya. Napasku memburu, dan keringat mengalir di pelipisku. "Lama sekali," Rutuknya sedikit kesal. Ia taruh handphone miliknya ke atas meja. Lalu menatapku curiga. "Mian, aku ada urusan tadi." Ya, urusan menggagalkan percobaan bunuh diri yang dilakukan seorang pria. "Pesanlah, aku yang bayar hari ini." Ujarnya. "Lah?" "Anggap saja itu hadiah dariku." Wooseok mengatakan itu dengan senyum tipis di wajahnya. Aku menatapnya curiga, karena aku tahu ia bahkan belum mendapatkan gaji pertamanya setelah sekian lama debut. "Kau sudah mendapatkan gaji pertamamu?" Tanyaku berusaha menebak. Ia mengangguk malu sembari tersenyum penuh arti. Pantas saja, kegembiraan tergambar jelas di wajah tampannya. "Chukkae!" Ucapku. Langsung ku lepas tas milikku dan bangkit lagi guna memesan makanan untukku hari ini. "Aku pesan dulu ya." Setelah aku pesan. Aku kembali duduk di meja tersebut, Wooseok menyodorkan sebuah amplop padaku. "Tolong berikan ini ke ibuku." Pintanya. "Ne, baiklah." Ku bawa masuk amplop itu ke dalam tasku agar tak lupa. "Salam untuk ibuku juga." Aku menatap lelaki di hadapanku, "Ibumu sangat merindukanmu". Wooseok mengangguk setuju. "Ne, hampir setiap malam ia menelponku." Ujarnya. Aku sering berkunjung ke rumah Wooseok saat akhir pekan. Membantu ibu Wooseok masak, bahkan tak jarang kami pergi berwisata bersama. Hal itu yang membuat keluarga kami menjadi sangat dekat. Aku juga sering mendengar keluh kesah ibu Wooseok mengenai kehidupan idol sang anak. Kring Pintu cafe ini berbunyi, segerombolan remaja masuk ke dalam cafe ini lalu menyadari kehadiran Wooseok di dalam sini. Mereka terus berbisik sambil memandang ke arah kami. "Penggemarmu ada dimana-mana Seok-ah." Ujarku. Wooseok langsung mengenakan masker di wajahnya, beruntung ia duduk membelakangi para remaja itu. Tak lama, seorang perwakilan dari remaja tersebut menghampiri kami. "Permisi," "Ah, ne!" Wooseok sedikit terkejut dengan sapaan mendadak itu. "Wooseok oppa bolehkah aku minta foto denganmu?" Wooseok terdiam sesaat, terlihat berpikir. "Tentu saja." Wooseok akhirnya bangkit dan melakukan fanservice untuk para penggemarnya. Cukup lama, mereka saling berbincang dan foto bersama. Tak lama pesananku datang, langsung ku santap pesananku itu tanpa menunggu kehadiran Wooseok. Ku perhatikan dari jauh Wooseok memang sangat ahli dalam fanservice. Ia begitu lembut dan manis, membuat siapa saja dapat dengan mudah menyukainya. Termasuk aku.. "Laris manis." Godaku setelah ia selesai memanjakan penggemarnya. Wooseok tertawa kecil, "Kau tak minta foto denganku juga? Sebelum aku semakin terkenal-" "Males!" Langsung ku jawab dengan ketus tawarannya itu. "Aigoo~" Wooseok mencubit pipi kiriku dengan gemas. Ia melakukan itu di depan para penggemarnya yang bahkan belum beranjak dari belakang Wooseok. Tak lama, aku mendengar komentar kebencian yang mereka tujukan kepadaku. Ku tatap Wooseok di hadapanku yang tersenyum penuh arti. Ia tak merasa bersalah telah membuat kekacauan seperti ini. "Aku adik sepupu Wooseok," Ujarku untuk memberi penjelasan untuk mereka. Tak banyak dari mereka yang meminta maaf namun ada juga yang tak percaya dengan pengakuanku itu. "Mianhaeyo eonni," Karena malu, mereka langsung meninggalakan cafe ini. "Adik?" Tanya Wooseok tak terima. "Ne, oppa." Godaku yang sukses memecah tawanya. Kami tertawa bersama, "Mengapa kau tak mengaku sebagai kekasihku saja?" Bisik Wooseok sukses mengagetkanku. "Kau mau aku habis ditangan penggemarmu eoh?" Bisikku tak kalah pelan. Memang tak ada lagi para penggemar Wooseok di dalam cafe ini namun tetap saja aku takut. "Jangan lah, nanti aku gak punya sahabat lagi." Aku tertawa mendengar ucapann Wooseok itu. Hanya bertemu dengan Wooseok saja sudah membuatku merasakan bahagia. "Mau dong," Pinta Wooseok menunjuk kue dihadapanku. Langsung ku berikan kue itu untuknya. "Suapin," Pintanya dengan manja. Refleks jantungku berdegup kencang, ku alihkan pandanganku ke arah lain. "Manja ih, kayak sekarat aja." Wooseok tertawa kencang melihat ekspresi maluku itu. Sialan! Kami berbincang tentang keseharian kami dan kesibukan yang telah menanti Wooseok setelah comeback mendatang. Ia bercerita terkadang ia putus asa dengan segalanya dan ingin sekali berlibur dengan membawa keluarga kami berwisata ke suatu tempat bersama. Setelah makan dan berbincang panjang, tak terasa hari mulai menggelap. Kami berjalan menuju sebuah halte bus, namun di tengah perjalanan Wooseok menarikku ke sebuah lorong kecil dan hanya ada sedikit penerangan. "Ayo foto," Ajaknya. Wooseok mengeluarkan handphone miliknya, lalu membuka aplikasi kamera. "Foto disini?" Tanyaku meminta penjelasan. Woseok terlihat seperti buru-buru, "Ne, kemarilah". Ia membawaku ke dalam dekapannya untuk berfoto. Dengan posisi yang sangat intim dan wajah kami yang sangat berdekatan. Sukses memacu jantungku bekerja lebih keras. Bahkan ada pose di dalam foto tersebut yang menunjukkan ia mencium pipi kananku. Oh tuhan, mengapa aku seperti menyukainya? "Coba kita lihat hasilnya ya." Ucapnya. Ia masih mendekapku dari belakang, aku dapat merasakan deru napasnya di bagian kanan wajahku. Saat ia membuka galeri, tanpa sengaja aku melihat semua foto selca kami yang disimpan di album tersendiri bernama 'Boo'. "Bagus ya." Gumamku melihat hasil foto kami barusan. Setelah itu Wooseok membawaku untuk bersender di dinding tepat di belakangku. Tinggiku hanya sepantaran dagunya, ia tumbuh sangat pesat melampaui ekspetasiku. "Wooseok-ah.." Panggilku saat aku merasakan wajahnya yang perlahan mulai mendekat. "Wae?" Gumamnya pelan. Ia menatapku intens, aku tak mengerti arti tatapannya, sukses membuat jantungku berdegup kencang. Napasku tercekat saat ku rasakan Wooseok yang menangkup wajahku agar tak berpaling darinya. "A.. Apa yang kau lakukan?" Ia langsung menempelkan bibir tipisnya itu pada bibirku. Aku terkejut, seketika tubuhku lemas merasakan sebuah ciuman tiba-tiba. Dapat ku lihat, atensi Wooseok yang tertutup seolah menikmati kegiatan yang ia lakukan. Hingga tak lama ia merubah kecupan menjadi lumatan-lumatan lembut yang memabukkan. Refleks ku menutup mataku, tanganku meremas bajunya kuat dan ingin membalas setiap lumatannya. Bibir Wooseok manis, aku tak pernah menyangka bahwa ia adalah ciuman pertamaku. Cukup lama ia menciumku dengan sangat lembut, hingga akhirnya ia melepaskan ciuman itu kemudian tertawa canggung padaku. Ia mengeluarkan sebuah kado kecil dari dalam kantung jaketnya. "Selamat ulang tahun, Raein Jung. Ini kado untukmu." Ia memberiku kado tersebut dengan senyum lebar penuh arti. Aku terdiam, terkejut dengan segalanya. Merasa suasana agak canggung di antara kami, Wooseok menarik tanganku agar keluar dari dalam lorong tersebut. "Jangan lupa kenakan pemberianku itu ya!" Ujarnya. Aku mengangguk, ia terus menggenggam tanganku erat menuju halte bus tujuan kami. Tak lupa ia gunakan kembali masker dan topi miliknya guna menutupi identitasnya. Ternyata, bis tujuan Wooseok telah menunggu di halte tersebut sehingga ia harus meninggalkanku sendirian disini. "Aku akan menelponmu nanti!" Ujarnya saat memasuki bus tersebut. Ia melambaikan tangannya padaku dan saat itu juga aku tak bisa menutupi segala kebahagiaan yang aku rasakan saat ini.. """""""""""""""""""""""""""""""""""""" Aku telah sampai di dalam rumahku. Aku berencana membersihkan tubuhku namun aku sangat penasaran dengan hadiah pemberian Wooseok. Jadi, ku bawa kotak itu ke dalam kamar mandi. Ku buka perlahan kotak berwarna putih tersebut, terlihat sebuah kalung dan gelang berwarna perak dengan mutiara di atasnya sebagai hadiah untukku. Terdapat note di dalam kotak tersebut. Bertuliskan ucapan selamat ulang tahun dan perminta maaf Wooseok karena hanya dapat memberiku kado seperti ini. Namun ini adalah kado terbaik yang pernah aku dapatkan seumur hidupku. Aku tahu, harga kalung dan gelang ini juga tidak murah. Ia menginginkanku selalu mengenakan pemberiannya itu. Setelah mandi, langsung aku kenakan pemberian Wooseok itu, terlihat sangat bagus dan mewah. Aku sangat beruntung bisa mendapat hadiah seperti ini darinya. Aku keluar dari kamar mandi, mendapati adik perempuanku baring di atas kasur kami. Aku ambil handphoneku yang sempat aku charge sebelum aku membersihkan diri. Grup chat line dan w******p ramai dengan pemberitahuan. Instagramku pun ramai dengan dm dari orang asing bahkan beberapa orang yang menandaiku di sebuah postingan. Ada apa ini? Ku dudukan diri di pinggir kasurku, lalu membaca satu persatu dm yang masuk ke instagramku. "Dasar wanita tak tahu diri!!" "Weh jalang! Apa maksudmu mendekati oppa kami!!" "b*****t kau!!" "Dasar pasangan gila!" "Dajjal!" "Perempuan ahli neraka lu! Mati sana!!" Ribuan dm masuk ke instagramku. Semua isinya memakiku dan seolah ingin menjatuhkanku. Aku tak kuat membacanya jadi langsung ku buang handphoneku ke atas kasur. Tubuhku bergetar hebat. Ada apa ini? "Kak, sudah baca berita tentangmu?" Tanya adikku bernama Koeun. Ia terlihat sangat terkejut dengan sebuah postingan yang berhubungan denganku. "Berita apa? Mengapa mereka menyerangku?" Tanyaku. Adikku bangkit dari tidurnya dan langsung mendudukan diri di sampingku. Apa ini karena Wooseok? Apa ada yang memergoki kami berciuman tadi? Oh tuhan, harusnya aku mewanti-wanti kejadian ini akan terjadi padaku. Aku harus siap mendapat cacian dari para penggemarnya. Aku terus merutuki kebodohanku ini, sekarang sudah percuma jika seperti ini. "Sebentar?" Adikku membuka sebuah artikel. "Tentang Wooseok?" "Ani, bukan Wooseok oppa." Lalu siapa? Mengapa mereka menyerangku? "BREAKING NEWS!! Solois WOODZ lakukan upaya bunuh diri di Jembatan Mapo, sang kekasih berhasil mengagalkannya." Adikku membacakan judul berita yang berhubungan denganku itu. "Terungkap, wajah kekasih WOODZ yang berhasil menggagalkan upaya bunuh diri WOODZ bersama sang anak." Tunggu, "Siapa WOODZ?" Ku raih handphone adikku lalu melihat sebuah foto yang sukses mengejutkanku. Sebuah foto yang terjadi tadi sore di jembatan Mapo, terlihat aku yang sedang memeluk lelaki yang ingin bunuh diri bersama anaknya. Lelaki itu bernama Cho Seungyoun namun.. "Oh tuhan.." Apa maksudnya? Siapa kekasihnya? Mengapa aku yang menjadi bulan-bulanan penggemarnya? Dan siapa Cho Seungyoun atau WOODZ itu sebenarnya? TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
93.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
101.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook