bc

Tokoh Utama

book_age12+
47
FOLLOW
1K
READ
friends to lovers
student
twisted
sweet
lighthearted
highschool
first love
school
friends
naive
like
intro-logo
Blurb

Saira tidaklah cantik, terkenal, dan pintar, tapi ia memiliki dua sahabat yang hebat dengan kelebihan jauh di atas rata-rata. Aliyyah, seorang gadis lulusan pesantren yang sangat cantik dan pemalu, sementara Bian, seorang anak konglomerat dan cerdas di bidang akademik. Semua kelebihan sahabatnya itu membuat Saira minder setengah mati. Apalagi saat seorang kapten basket sekolah bernama Gibran, mendekatinya namun tidak kunjung menyatakan perasaan padanya. Apakah sebenarnya Gibran hanya main-main saja? Atau ada orang lain yang Gibran incar?

Dan bagaimana dengan Adnan, si anak baru yang dingin namun diam-diam membuat Saira sering rindu padanya?

Jadi, siapa tokoh utama di cerita ini??

Udah mulai baper belum kayak Saira??? Gibran is a man every woman needs!!!

Jangan lupa like dan komen yaa.

Please give Saira, Gibran and Adnan a lot of love!❤

chap-preview
Free preview
BAB 1 - DUNIA SAIRA
            Kepak sayap burung gereja di sekitar sekolah mengiringi langkah Saira yang sedang mengantuk dan harus berjalan cepat di lapangan menuju kelasnya karena hari ini ia hampir saja datang terlambat ke sekolah karena bunda, satu-satunya orang tua yang Saira miliki saat ini dan telah menjadi satu-satunya orang yang selalu membangunkan Saira setiap pagi, sedang pergi ke luar kota untuk mengikuti seminar bisnis. Sementara itu, dua kakak laki-lakinya yang tinggal bersamanya tidak bisa diharapkan dan memilih untuk pergi ke kampus tanpa memperdulikan apakah Saira sudah bangun atau belum.             Dalam hati Saira mengutuk kedua kakak laki-lakinya dan berniat untuk membalas, atau paling tidak ia harus mogok bicara pada mereka berdua untuk menegaskan bahwa ia sangat kecewa karena tidak dibangunkan sama sekali sehingga hampir terlambat pagi ini.             “Sairaaaaa!” dari ujung kelasnya, Saira melihat Aliyyah memanggil namanya dengan teriakan tertahan sambil melambaikan tangan dengan gembira. Perempuan berkerudung itu terlihat begitu semangat sampai-sampai tidak menyadari ada seorang laki-laki—yang merupakan kakak kelas mereka—sedang mencoba untuk berjalan melewatinya, tetapi terhalang oleh badan Aliyyah.             Saira tau siapa kakak kelas itu. Gibran namanya. Gibran Radu. Saira mengetahui Gibran ketika seorang teman Gibran sedang memanggilnya dari jarak jauh, persis seperti saat Aliyyah memanggil Saira barusan. Gibran bukanlah orang dengan perawakan biasa. Dia memang tidak terlalu tampan, hanya saja, ia memiliki tubuh yang tegap dan tinggi, khas seorang atlet profesional. Dan kebetulan, Gibran memang anggota club basket sekolah. Selain itu, Gibran memiliki kulit yang bersih, meskipun tidak terlalu putih, ia pun tidak bisa dibilang hitam. Tatapan matanya jenaka dan teduh, bola matanya adalah lingkaran sempurna yang terlukis jangka Tuhan.             Sesaat Saira teringat ketika pertama kali Saira memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Gibran. Kala itu Saira sedang menunggu dijemput sepulang sekolah oleh Mas Fatih, kakak laki-laki Saira yang kedua. Tapi, ketika jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, Fatih belum juga datang, padahal bel pulang sekolah Saira sudah berdentang pukul 3 sore, meskipun Saira baru mengabari Fatih untuk minta dijemput 15 menit yang lalu. Saira berkali-kali mengecek handphone, memeriksa apakah Fatih mengirim pesan atau tidak.            “Nunggu dijemput ya?” Gibran datang menghampiri Saira sambil tersenyum dan memainkan botol minuman yang masih tersegel di tangannya seperti seorang pemain sirkus, melemparnya untuk kemudian menangkapnya lagi, kemudian duduk di sebelah bangku yang sedang Saira duduki sembari menunggu Fatih. Di sana memang terdapat beberapa belas bangku yang sudah tidak terpakai untuk kegiatan belajar mengajar, sehingga sering digunakan anak-anak ketika duduk-duduk santai sepulang sekolah.             “Iya, Kak,” jawab Saira dengan bingung, karena baru pertama kali berbicara dengan kakak kelas di depannya.             “Jam segini sekolah udah sepi. Tunggu di dalem aja, sambil nonton latihan basket di lapangan,” kata Gibran memberi saran, senyumnya masih menghiasi wajahnya yang enak dipandang.             “Gibran, ayo! Jangan tebar pesona terus,” tiba-tiba suara teriakan bergema dari balik lorong menuju ke lapangan. Posisi tempat duduk Saira dan Gibran memang agak di luar, lebih dekat ke parkiran. Saira menoleh, ternyata seorang kakak kelas yang lain. Jika Saira tidak salah, ia adalah seorang kakak kelas yang juga merupakan anggota club basket. Kemal namanya. Wajah Kemal cukup mudah diingat karena ia memiliki wajah timur tengah dengan hidung mancung dan bulu tubuh yang banyak. Saira sering melihat beberapa teman kelasnya memanggil Kemal dengan sebutan, “Onta.”             “Aduh, apasih nih, si Kemal Onta,” sahut Gibran bicara sendiri sambil sedikit kesal, senyumnya hilang sebentar. “Yaudah hati-hati ya, kalau mau nonton latihan basket, masuk aja,” kata Gibran kembali ke Saira, dengan tersenyum kembali.             Saira membalas dengan anggukan dan senyum tipis, padahal jantungnya seperti ingin meledak karena diperlakukan sangat baik oleh orang seperti Gibran yang belum dikenal. Sementara Gibran kembali berjalan ke lorong menuju lapangan, Saira mengecek kembali handphone-nya, untuk memastikan bahwa Fatih belum menjemputnya dan ia akan masuk ke dalam untuk menonton latihan basket, tapi tiba-tiba Gibran berbalik dan menyodorkan sebotol air mineral bersegel yang sedari tadi digenggamnya kepada Saira. Saira awalnya keheranan, kemudian mengambilnya setelah sebelumnya Gibran bilang bahwa ia tidak ada maksud apa-apa selain khawatir Saira haus, karena penjual makanan dan minuman di kantin sudah pulang semua.             Fatih datang beberapa menit setelah Gibran masuk ke dalam lorong menuju lapangan dan Saira belum sempat mengikuti Gibran untuk menonton latihan basket. Setelah menunjukkan kekecewaanya karena Fatih datang terlambat, Saira bertanya terus-terusan mengapa kakak keduanya itu datang terlambat.  Fatih mengaku bahwa ia baru akan mandi ketika Saira minta dijemput, dan tidak membatalkan niat mandinya. Ia tetap mandi, kemudian baru menjemput Saira. Saira harusnaya marah, karena pantas saja Fatih lama sekali. Tapi hari itu Saira sedang bahagia karena sebuah botol air mineral yang diberikan oleh Gibran membuatnya berbunga-bunga. Sampai saat ini botol air mineral itu masih disimpan olehnya.             “PERMISI,” Gibran berkata agak keras, namun tidak untuk membentak, sehingga membuat Aliyyah membalikkan badannya dan langsung terlihat tidak enak hati dan menunduk.             “Eh, maaf, Kak,” kata Aliyyah cepat-cepat begitu sadar bahwa yang ia tabrak adalah kakak kelas. Saira menonton sambil terus berjalan dan menunggu reaksi Gibran. Saira berpikir bahwa Aliyyah pasti sedang sedikit takut karena berurusan dengan kakak kelas. Aliyyah si anak pesantren ini memang suka mengira bahwa sekolah umum itu penuh dengan senior galak.             “Enggak apa-apa. Semangat banget sih, enggak kemana-mana kok temennya, enggak akan ilang,” kata Gibran ramah untuk mencairkan suasana, kemudian pergi begitu saja. Ia bahkan tidak sadar bahwa Saira sudah sampai di depan kelas dan menghampiri Aliyyah.             Menyadari bahwa keberadaannya tidak dihiraukan, Saira merengut dan berjalan lesu ke dalam kelas.             “Lemes banget sih jalannya,” tiba-tiba Saira mendengar suara seorang laki-laki yang tidak begitu asing, langsung membalikkan badan, dan menemukan seorang dengan tatapan jenaka nan teduh dan senyum ramah dengan tubuh tinggi dan tegap. Gibran.             “Masih inget enggak?” tanya Gibran.             Saira seperti tersihir, ia tidak menjawab dan hanya mengangguk.             “Senang deh kalau masih diinget,” kemudian Gibran meninggalkan Saira karena suara bel sekolah yang menandakan pelajaran sudah akan dimulai. Sekilas Saira melihat Gibran berlalu sambil melambaikan tangannya ke arah Saira, namun Saira sudah terlanjur berjalan ke depan dan tidak ingin menoleh lagi karena malu.               Sepulang sekolah, Saira berjalan cepat menuju kantin ditemani dengan Aliyyah dan Bian, teman Saira yang lain. Bian adalah seorang anak laki-laki dengan tubuh yang tidak begitu tinggi, namun memiliki wajah yang tampan, dan merupakan seorang ketua kelas di kelas Saira dan Aliyyah. Bian memakai kacamata dan berkulit sawo matang. Dadanya bidang dan jalannya tegap. Ia selalu memakai rompi vest katun sepulang sekolah, yang selalu terlihat pas di badannya. Rompinya selalu ganti setiap harinya, tidak hanya itu-itu saja, namun hanya warna-warna gelap, seperti hitam, coklat, dan biru tualah pilihan Bian.             Bian merupakan anak yang pandai di hampir setiap pelajaran, maka dari itu ia bisa mejadi ketua kelas dan dipercaya oleh guru-guru. Bahkan guru matematika killer seperti Pak Didi pun menurut saja jika sudah Bian yang bicara. Bian tipe anak yang tidak akan mengecewakan dan meskipun tidak pernah masuk tiga besar, Bian juga tidak pernah keluar dari lima besar. Dan sepertinya ia cukup puas dengan nilainya. Ditambah lagi, Bian pun sering menang lomba menulis dan termasuk ke dalam club basket sekolah di grup inti walaupun baru kelas satu, membuat dia tidak repot-repot membuktikan kepada seluruh dunia bahwa dia memang tidak memiliki kekurangan.              Sementara Aliyyah adalah seorang anak lulusan pesantren yang memutuskan untuk bersekolah di sekolah umum saat masuk SMA. Konon, Aliyyah selalu gelisah waktu masih tinggal di asrama, tidak bisa bertemu orang tua dalam waktu yang lama, dan tidak bisa menghubungi keluarganya sesuka hati. Puncak kegelisahannya terjadi ketika ibunya melahirkan anak kedua, adik pertama bagi Aliyyah. Seorang bayi perempuan mungil yang sangat cantik, yang diberi nama Aisyah. Aliyyah tidak sampai hati harus berpisah dengan Aisyah meski hanya satu hari. Akhirnya, orang tua Aliyyah memperbolehkannya untuk meneruskan ke sekolah umum, setelah masa tsanawiyyah—sederajat dengan SMP—selesai.             Seperti halnya anak pesantren pada umumnya, Aliyyah menutup rapat seluruh bagian tubuhnya, kecuali wajahnya yang cantik—yang selalu dihiasi dengan sifat malu-malu—serta telapak dan punggung tangannya. Ia bahkan selalu memakai kerudung yang menutupi d**a dan memakai celana kebesaran di setiap pelajaran olahraga, untuk menutupi lekuk tubuhnya.             Saat ini Saira, Aliyyah, dan Bian sudah hampir satu tahun bersama dan dalam beberapa bulan mereka akan menjadi anak kelas dua atau dengkan kata lain, kakak kelas. Saira tidak bisa membayangkan kehidupannya di SMA tanpa Aliyyah dan Bian. Aliyyah yang meskipun suka melarang Saira untuk berbuat hal-hal yang bertentangan dengan moral, sehingga kadang membuat Saira malu dan tidak enak sendiri, Aliyyah adalah anak yang baik dan tidak pernah bergosip di depan Saira, sehingga Saira yakin di belakangnya pun Aliyyah tidak akan menggosipkannya dengan anak lain. Dan Bian, meskipun tidak terlalu sering bersama-sama Saira dan Aliyyah di sekolah, karena Bian lebih sering bergaul dengan anak laki-laki lainnya, Bian tidak pernah lupa untuk membagi materi, kisi-kisi, atau info sekecil apapun dengan Saira dan Aliyyah, membuat mereka bertiga memiliki grup khusus di aplikasi chat.             “Bu, air mineral tiga, ya,” kata Bian kepada penjaga kantin sekolah, yang disambut dengan anggukan dari si ibu penjaga kantin.             “Tadi yang hampir aku tabrak siapa, Sar?” tanya Aliyyah sambil menunggu air minumnya datang. Bian sedang asik bermain handphone.             Saira berpikir sebentar dan teringat kejadian tadi pagi yang sempat membuatnya tersenyum senang di pagi hari.             “Kak Gibran?” tanya Saira pelan, padahal tidak ada siapa-siapa di kantin, selain beberapa penjaga kantin sekolah yang sedang mengemasi lapak mereka untuk bersiap-siap pulang satu jam lagi.             “Kamu kenal?” tanya Aliyyah.             “Dia pernah ngajak aku ngomong pas aku lagi nunggu dijemput,” jawab Saira sambil berusaha menutupi antusiasmenya karena membahas Gibran.             “Dia anak kelas dua yang suka main basket ya?” tanya Aliyyah.             “Iya,” jawab Saira sembari mengangguk cepat-cepat meskipun tidak perlu. Bian melirik sedikit dan kembali ke layar ponselnya, tak peduli.             “Baik, ya,” sahut Aliyyah menggantung.             Saira tidak tahu harus bilang apa, sehingga mengalihkan pembicaraan, “Kalian kapan main ke rumah gue?” tanya Saira dengan bahasa casual, karena ada Bian di sana. Sementara Aliyyah tidak keberatan dengan gaya bicara teman-temannya, tapi ia akan tetap berbicara aku-kamu seperti ketika masih di pesantren.             “Hari ini, yuk!” kata Aliyyah tanpa pikir panjang.             “Kalian yang pesan air minum ya?” suara seorang yang bukan salah satu dari mereka bertiga tiba-tiba terdengar, bersamaan dengan tiga botol air mineral yang diletakkan di meja di depan mereka. Merasa sudah mengenal suara ini, Saira menoleh.             “Lah Bang Gibran ngapain?” Bian yang bertanya lebih dahulu pada laki-laki yang tadi meletakkan botol air minum.             Bang Gibran? Emang mereka kenal? Tanya Saira dalam hati. Oh iya, mereka kan sama-sama di club basket, Saira menjawa pertanyaannya sendiri.             “Hai, Bim. Kan lo tau gue ngapain di kantin kalo pulang sekolah dan enggak ada latihan,” Gibran menjawab pertanyaan Bian. Tapi, pertanyaan baru muncul di kepala Saira. Ngapain Kak Gibran pulang sekolah di kantin kalo enggak latihan basket?             Gibran bergegas pergi meninggalkan Saira yang kebingungan, Bian yang tampaknya sudah mengetahui jawaban dari pertanyaannya pada Gibran, dan Aliyyah yang selalu dengan wajah yang tidak bisa ditebak.             Tapi kemudian Gibran berbalik dan membungkukkan wajahnya ke wajah Saira, “Nama kamu siapa? Udah sering liat tapi enggak tau nama,” kata Gibran ke Saira.             Saira menelan ludah dan dia sadar bahwa jantungnya berdegup, “Saira.”             Gibran mengangguk-anggukkan kepala dan berkata lagi,”Saira… Gue Gibran.”             “Iya Kak, tau kok,” jawab Saira yang kemudian menyesal, aduh kenapa gue bilang tau…             “Cuma tau nama, kan? Yang lainnya belum?” tanya Gibran usil.             “Hah?” Saira tau Gibran sedang menggodanya, tapi hanya “Hah” yang bisa keluar dari mulutnya.             Gibran hanya tersenyum, entah apa yang dia pikirkannya. Kemudian Gibran berpaling ke arah Aliyyah dan kini giliran Aliyyah yang ditanyakan namanya.             “Udah punya pacar?” Gibran bertanya lagi setelah mendapatkan nama Aliyyah. Aliyyah dan Saira sama-sama terkejut mendengar pertanyaanya Gibran. Bahkan Bian yang sedari tadi terlihat sibuk dengan telepon genggamnya—atau pura-pura sibuk, Saira tidak tau—juga menolehkan kepalanya dan memandang Gibran. Pupil matanya melebar.             Saira bisa menangkap dengan jelas saat mata Gibran melirik cepat ke arah Bian ketika sedang menanyakan status Aliyyah, dan senyum Gibran semakin lebar setelahnya. Saira bertanya-tanya dalam hati apakah ada sesuatu antara Gibran-Bian-Aliyyah, atau hanya perasaannya saja. Saira kemudian merasa sedikit kesal karena seperti the third—fourth—wheel antara tiga orang ini.             Gibran bergegas setelah sebelumnya meremas pundak Bian, dan Bian menelan ludah. Seperti biasa, Aliyyah hanya mengerutkan keningnya tanda bahwa ia pun tidak mengerti apa yang sedang terjadi.             “Al, hari ini jadi ke rumah Saira?” tiba-tiba Bian bertanya memecah suasana.             Aliyyah tersenyum dan terlihat cantik seperti biasa, menjawab, “Kalo Bian mau, aku ayo aja.” Aliyyah segera beralih ke Saira, “Boleh ngga, Sar?”             “Boleh dong,” sahut Saira yang sudah tidak ingin memikirkan antara Gibran, Bian, dan Aliyyah barusan.             Secepat kilat, Saira, Aliyyah, dan Bian bergegas mengemasi tas dan bawaan mereka, kemudian berjalan semangat untuk ke rumah Saira, sampai Saira menemukan modul pelajaran bertuliskan Arisbian Haryo yang menunjukkan nama pemilik buku tersebut. “Woi, Arisbian Haryo, buku lo ketinggalan nih.”             Bian menyambar buku itu dan segera memasukkannya ke dalam tas. Ia memang tak suka jika barangnya disentuh oleh orang lain.             “Bilang makasih dong, Bian,” Aliyyah menyahut halus.             “Iya, makasih Sar,” kata Bian kepada Saira, namun matanya melirik Aliyyah. *** “Apa sih Al, rasanya jadi orang cantik?” – Saira 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.5K
bc

Head Over Heels

read
15.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.8K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook