bc

The Mystery of My (Boss's) Wife

book_age18+
826
FOLLOW
3.7K
READ
sadistic
CEO
tragedy
Writing Challenge
mystery
scary
ghost
city
horror
office lady
like
intro-logo
Blurb

Anugerah yang kudapatkan sejak lahir ini benar-benar sebuah kesialan. Mulai dari dijauhi teman-teman semasa sekolah dulu, hidup tidak tenang karena makhluk halus selalu menampakan diri dan mengganggu, parahnya membuatku dipecat dari pekerjaan. Karena anugerah ini juga, aku menjadi terlibat dengannya.

Namanya Mikayla Giovani... kuakui dia wanita yang cantik, anggun, modis namun misterius dan berbahaya. Hidupku semakin rumit dan bahaya senantiasa mengincar semejak dia hadir dalam hidupku. Seharusnya sejak awal aku tidak pernah melibatkan diri dengannya, sehingga aku tidak akan pernah jatuh cinta pada suaminya yang merupakan bosku sendiri. Aku menyesal melibatkan diri dalam kehidupan seorang Mikayla.

- Nana Athalia -

Aku sangat mencintainya, dia kekasih yang cukup lama kupacari hingga akhirnya resmi menjadi istriku. Awal pernikahan kami, semuanya berjalan lancar. Dia selalu membuatku bahagia setiap hari. Namun, entah mengapa aku merasa semakin hari sikapnya semakin aneh. Dia sering melakukan sesuatu yang dulu tidak pernah dilakukannya. Sebenarnya apa yang terjadi pada istriku? Keanehan lain terjadi, ketika setiap wanita yang mendekatiku selalu berakhir dengan kematian yang tragis. Kehidupan indahku perlahan berubah menjadi menyeramkan.

- Araya Addison -

chap-preview
Free preview
BAB 1
Malam ini langit tampak terang, ketika mendongak menatap langit kudapati sinar rembulanlah yang membuat langit tampak lebih terang dari malam biasanya. Bulan berbentuk bulat sepenuhnya pertanda malam ini sedang bulan purnama  Aku kembali melanjutkan langkahku yang sempat terhenti sejenak. Waktu sudah menunjukan pukul 11 malam, aku harus bergegas tiba di rumahku. Sebenarnya aku baru saja pulang bekerja di sebuah Mini Market. Kebetulan hari ini aku sedang bertugas shif malam, itulah sebabnya di tengah malam begini aku baru menyelesaikan pekerjaanku. Sejujurnya jika boleh memilih, aku ingin sekali setiap hari bertugas shif pagi saja agar tidak perlu pulang larut malam seperti ini. Namun apa daya, aku hanyalah seorang karyawan biasa yang hanya sanggup mengikuti peraturan yang sudah ditentukan. Dalam keheningan perjalananku, aku merasakan perasaan yang tidak nyaman seolah ada seseorang yang sedang mengikutiku. Jantungku berdentum-dentum tak karuan saat ini, sudah bisa ku perkirakan sosok apa yang sedang mengikutiku. Ku putuskan untuk mempercepat langkahku. Dengan tatapan menunduk ke tanah yang ku pijak, aku berjalan cepat namun tidak sampai berlari. Bibirku komat-kamit membacakan berbagai doa yang ku hafal.  Ketika akhirnya aku tiba di rumahku dan hendak membuka kunci pintu, aku dilanda ketakutan yang semakin menjadi. Aku tahu sosok itu masih mengikutiku, memang selalu seperti ini, itulah sebabnya aku benci disaat harus bertugas di shif malam. Terlalu paniknya aku,sehingga tanganku bergetar hebat bahkan berkali-kali aku kesulitan memasukan kunci ke lubang pintu. Butuh perjuangan ekstra hingga akhirnya aku berhasil membuka pintu.  Sesegera mungkin ku kunci kembali pintu rumahku begitu aku sudah masuk ke dalam. Lalu aku berlari menuju kamarku dengan tergesa-gesa. Ku nyalakan lampu kamarku yang gelap, lalu tanpa ragu aku naik ke atas ranjangku. Aku meringkuk dan menutupi sekujur tubuhku dengan selimut.  Jantungku kembali berdentum-dentum cepat ketika ku rasakan aura sosok yang mengikutiku kini sedang berdiri di kamarku. Dia bergerak sedikit demi sedikit semakin mendekatiku. Tubuhku kembali gemetaran, tak hentinya aku membacakan doa agar dia pergi dan tidak menggangguku.  Namun rupanya harapanku ini tidak terkabul. Ku rasakan sosok itu berada tepat di dekat kakiku. Aku menarik kakiku dan ku peluk kedua lututuku. Sungguh aku begitu ketakutan. Mungkin pengalaman seperti ini bukan pertama kalinya ku alami, ini pengalaman yang kesekian kalinya bahkan aku sendiri tak dapat memperkirakan pengalaman yang keberapa kalinya ku alami karena terlalu seringnya aku mengalami kejadian seperti ini. Kendati demikian, aku masih tetap merasa takut.  Kedua kakiku terasa begitu dingin, selimut yang menutupiku mulai tersingkap di bagian kakiku. Sedikit demi sedikit selimutku terus tersingkap, di waktu yang bersamaan aku pun merasakan sosok itu merayap dari kaki, naik menuju wajahku. Ku pejamkan kedua mataku serapat mungkin, aku tidak ingin melihat sosoknya.  “Kakak... main yuk!”  Suara sosok itu menyiratkan dia hanyalah anak kecil. Ragu-ragu ku beranikan diri membuka kedua mataku kembali. Dan entahlah... aku tak sanggup lagi menjelaskan rasa takutku dengan kata-kata. Sosok itu sangat mengerikan. Dia anak kecil tanpa memiliki rambut sehelai pun. Bola matanya berwarna hitam dan banyak luka yang meneteskan darah di wajahnya. Dia tidak memakai pakaian, hanya mengenakan celana dalam putih. Tubuhnya pun sangat kotor dan dia sedang tertawa cekikikan tepat di depan wajahku nyaris bersentuhan dengan kulit wajahku.  “Tidak!! jangan ganggu aku, Pergi... pergi... !!” teriakku histeris dan dia tertawa cekikikan lebih kencang dari sebelumnya. Mulutku terus berkomat-kamit melafalkan doa, kembali ku pejamkan kedua mataku, mengabaikannya yang terus mengatakan kalimat yang sama seperti tadi. Biasanya jika ku abaikan mereka dan memilih tidur saja, maka mereka pun akan pergi dengan sendirinya.  Namaku Nana Athalia. Usiaku terbilang masih muda, satu bulan yang lalu baru menginjak 23 tahun. Dulu aku sempat bekerja di sebuah perusahaan sebagai sekretaris, namun tidak bertahan lama dan sekarang aku bekerja di sebuah Mini market. Aku seorang yatim piatu. Ayahku meninggal karena kecelakaan ketika aku masih berada di dalam rahim ibuku. Saat usiaku 5 tahun, ibuku menyusul ayahku. Ibu meninggal karena penyakit yang dideritanya. Aku pun tinggal bersama nenekku semenjak saat itu karena aku tidak memiliki sanak saudara selain nenekku.  Aku memiliki sebuah anugerah yang seharusnya ku anggap sebagai keberuntungan, akan tetapi bagiku anugerah ini justru ku anggap sebagai kesialan. Aku mampu melihat makhluk halus sejak aku masih anak-anak. Nenek bilang anugerah ini pasti diturunkan darinya karena nenek pun memiliki anugerah yang sama denganku.  Awalnya aku tinggal bersama nenekku di Indramayu. Tapi semenjak duduk di bangku SMA, aku pindah ke kota ini karena cita-citaku yang ingin menuntut ilmu di salahsatu SMA ternama di Bandung. Terhitung sudah sejak SMA aku tinggal sendirian di Bandung. Biaya hidupku, ku dapatkan dari uang orangtuaku yang sempat mereka kumpulkan sebelum meninggal. Berkat uang itu, aku juga bisa menyelesaikan kuliahku disini. Sekarang aku sudah lulus kuliah dan mencoba peruntungan dengan bekerja. Tentu aku sering mengunjungi nenekku.  Keesokan paginya aku bangun dengan tubuh yang pegal-pegal. Tentu saja karena aku tidur sambil meringkuk memeluk lututku dengan selimut yang menutupi sekujur tubuhku. Aku bahkan belum sempat mengganti seragam kerjaku karena kejadian semalam. Aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian ku putuskan untuk mengisi perutku yang sudah meraung-raung minta diisi. Jika dipikir-pikir, semalam karena terlalu ketakutan aku tidak sempat melakukan apapun termasuk mengisi perutku. Pantas saja sekarang aku merasa perutku sangat sakit karena terlalu lapar.  Aku memutuskan untuk membuat nasi goreng dan telur dadar. Namun di saat aku sedang menyantap makananku dalam kesendirian. Telingaku mendengar suara seseorang mengetuk pintu. Jika ini malam hari pasti butuh memikirkan berulang kali untuk melangkah mendekati pintu dan membukanya. Selain menggangguku, para hantu pun sering menjahiliku. Pernah aku mengalami, pintu rumahku digedor seseorang dan ketika ku buka, tak ada seorang pun disana. Namun tanpa sepengetahuanku, hantu itu menyelinap masuk ke dalam dan semalaman sukses membuatku ketakutan setengah mati karena dia tak hentinya menerorku. Mungkin karena alasan inilah, aku menganggap kemampuanku ini sebagai kesialan.  Aku tanpa keraguan membuka pintu rumahku karena ku pikir ini pagi hari jadi tidak mungkin ada hantu yang menjahiliku.  “Nana, aku merindukanmu !!” teriak seseorang begitu ku buka pintunya. Dua sosok gadis cantik seusiaku kini sedang berdiri di hadapanku. Mereka adalah kedua sahabatku ketika duduk di bangku SMA. Rachel Addison memelukku erat setelah berteriak nyaring tadi, lalu gantian Diana Dwi Kusuma yang memelukku. Sedangkan aku sendiri masih terpaku di tempatku berdiri, mungkin karena keterkejutan setelah sekian lama akhirnya bisa bertemu dengan kedua sahabatku lagi. Terlebih mereka sendiri yang mendatangiku.  “Hei... sampai kapan kamu bengong begitu? Tidak ingin mempersilakan kedua sahabatmu ini masuk?” tanya Diana, yang diangguki Rachel. “Maaf, maaf, aku masih kaget lihat kalian. Ayo, masuk!” Sahutku mempersilakan mereka masuk ke dalam.  “Waah... untunglah kamu masih tinggal di rumah kontrakan ini. Jadi kami tidak perlu susah payah mencarimu.” Diana kembali berbicara seraya melihat-lihat seisi rumahku. Memang benar, rumah ini adalah rumah kontrakan yang ku sewa sejak duduk di bangku SMA.  “Kamu gak berubah sedikit pun ya? lihat... kamu masih aja gantungin bawang putih, jimat-jimat penangkal hantu dan juga nanem banyak tanaman bidara di depan rumah ini. Apa mereka masih sering muncul dan mengganggumu?” wajar Rachel bertanya seperti ini karena sewaktu SMA hanya mereka sahabat yang ku miliki sekaligus yang mengetahui rahasia terbesarku.  Kemampuan yang ku miliki ini membuatku menjadi sosok yang pendiam dan tertutup. Nyaris tak ada orang yang betah bergaul denganku. Hanya mereka berdua ini yang tulus mau bersahabat denganku, bahkan ketika ku ceritakan kemampuanku ini pada mereka. Mereka masih mau bersahabat denganku dan terlihat antusias mendengar kejadian demi kejadian mistis yang ku alami. Mereka juga sering main ke rumah kontrakanku ini.  “Oh iya Rachel, kapan kamu balik ke Indonesia? Bukankah kamu kuliah di London?” Rachel mengangguk dan tanpa meminta izin padaku, dia mendudukan dirinya di sofa. Begitupun dengan Diana, dia ikut duduk di samping Rachel.  “Aku baru pulang ke Indonesia sekitar 3 bulan yang lalu.” Jawabnya. “Oh gitu, kalau kamu gimana Di? Pasti udah kerja ya sekarang?” “Hmm... belum resmi kerja sih. Aku lagi nunggu surat penempatanku nanti. Aku udah gak sabar pangin cepet-cepet kerja di rumah sakit.” Sahut Diana riang. Dia memang seorang dokter gigi. Kedua sahabatku ini memang berasal dari keluarga yang kaya, sangat berbeda denganku yang bisa dikatakan sangat sederhana. Itulah sebabnya aku senang karena mereka mau bersahabat dengan orang sepertiku.  “Aku ambilin cemilan sama minuman buat kalian dulu ya...” mereka mengangguk bersamaan. Ku keluarkan cemilan yang ku simpan di rumahku, lalu membuatkan teh manis untuk mereka beserta air putih juga. Aku yakin kami akan terlibat pembicaraan yang seru karena hubungan kami memang sangat dekat.  “Na, kamu kerja dimana sekarang?” tanya Rachel begitu aku sudah bergabung kembali dengan mereka. “Awalnya aku pernah kerja di sebuah perusahaan tapi...” ku jeda perkataanku, entahlah... aku hanya merasa enggan membicarakan hal ini. “Tapi kenapa?” Diana menimpali, memintaku melanjutkan ceritaku.  “Kalian juga tahu masalahku kan? Kantorku itu lumayan angker dan hantu-hantu disana selalu menggangguku membuatku kehilangan fokus. Akhirnya pekerjaanku jadi berantakan. Karena itu aku...” “Jangan bilang kamu dipecat dari sana?” Rachel menanggapi dengan histeris, terutama ketika aku mengangguk mengiyakan, dia sampai menepuk keningnya dramatis. Sedangkan Diana menatap iba padaku.  “Malang banget nasibmu Nana, terus sekarang kamu kerja dimana?” tanya Diana. “Aku kerja di sebuah Mini Market sebagai kasir.” Mereka berdua menggeleng bersamaan. “Kamu ini kan seorang sarjana, lulusan universitas terbaik di Bandung. Seharusnya kamu bisa kerja di tempat yang lebih bagus dari pekerjaanmu yang sekarang. Eh ... tapi bukan berarti pekerjaanmu yang sekarang jelek, cuma menurut aku gak sesuai sama pendidikan kamu. Maaf Nana, jangan tersinggung.” Aku tersenyum kecil mendengar penuturan Rachel. Dia memang orangnya seperti ini jadi tidak mungkin aku marah padanya meski tak ku pungkiri aku merasa sedikit tersinggung.  “Kamu sendiri gimana Ra? Apa rencana kamu nantinya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “Kalian tahu kan aku ini pengin jadi designer terkenal, makanya aku sampai kuliah di London? Papa ngasih butik buat aku, rencananya aku mau jual pakaian hasil rancanganku sendiri nanti. Butiknya belum resmi dibuka sih, mungkin bulan depan baru dibuka secara resmi.” Aku tersenyum bahagia mendengarnya. Aku ikut senang karena kedua sahabatku tampaknya bisa mewujudkan impian mereka.  “Oh iya Na, sebenarnya selain rindu sama kamu, ada alasan lain aku dan Diana datang kesini? Aku pengin minta bantuan kamu.” Ucap Rachel tiba-tiba. Raut wajahnya menyiratkan keseriusan yang sangat kentara.  “Bantuan apa?” tanyaku ragu, terutama ketika ku lihat Rachel dan Diana saling berpandangan. Lalu Diana mengangguk seolah menyuruh Rachel meneruskan perkataannya.  “Hmm... gini, kamu ingat gak sama sepupu aku yang sering aku ceritain ke kalian dulu? Namanya Araya.” “Kalau gak salah, dia itu sepupu kamu yang kamu bilang tampan kan?” sahutku mengingat dulu dia memang sering menceritakan tentang sepupunya ini. “Iya betul, dia bilang tampan sampai-sampai pengin dia pacari kalau aja cowok bernama Araya itu bukan sepupu dia.” Diana ikut menyahut. “Tapi aku serius lho, dia emang tampan kok.Tampan banget malah. Kalian juga pasti sependapat sama aku kalau lihat fotonya.” “Ya udah mana Fotonya, kita juga pengin lihat kan? gimana kami bisa percaya kalau dia itu tampan fotonya aja gak pernah lihat?” aku tersenyum melihat perselisihan mereka. Diana dan Rachel memang sahabat dekat tapi tak jarang mereka sering adu mulut seperti sekarang ini. Biasanya akulah yang jadi penengah.  “OK... OK... stop... kalian jangan berantem. Mendingan kamu lanjutin cerita kamu Ra.” Mereka pun akhirnya berhenti berdebat. Rachel kembali memasang raut serius di wajahnya.  “Dia itu punya pacar, mereka udah pacaran dari masih SMA. Terus mereka tunangan malah udah ngerencanain pernikahan. Tapi sebuah tragedi terjadi...” dia menjeda perkataannya. Aku dan Diana saling berpandangan, menantikan Rachel melanjutkan ceritanya.  “Mereka ngalamin kecelakaan. Mobil mereka jatuh ke jurang. Araya terlempar keluar sebelum mobilnya jatuh tapi Mikayla, tunangannya itu ikut jatuh ke dalam jurang sama mobilnya. Untungnya mobil itu gak meledak jadi dia masih bisa diselamatkan.” Aku membekap mulutku kaget, Diana berekspresi sama kagetnya denganku.  “Mikayla kritis terus koma selama 2 tahun lamanya. Dokter-dokter yang nanganin dia udah angkat tangan soalnya menurut mereka kemungkinan Mikayla selamat nyaris nol persen. Otaknya mengalami kerusakan yang mustahil banget bisa sembuh. Mereka nyaranin supaya kami mengikhlaskan kepergian Mikayla. Tapi... Araya gak pernah nyerah. Dia yakin banget keajaiban itu pasti ada. Dia percaya Mikayla bisa bangun terus pulih lagi. Dia keukeuh nolak ngelepasin alat-alat medis yang nopang hidup Mikayla.”  Aku bisa membayangkan perasaan Araya saat itu, aku sudah kehilangan dua orang yang begitu berharga bagiku yaitu orangtuaku. Rasanya sangat sulit kehilangan mereka karena itu aku yakin Araya pun merasakan hal yang sama denganku. Dia tidak ingin kehilangan seseorang yang begitu penting untuknya.  “Mungkin aja keajaiban atau mukjizat itu bener-bener ada soalnya udah 2 tahun koma, Mikaylah bener-bener bangun lagi. Dia secara berangsur mulai pulih, dokter-dokter yang nanganin dia aja nyaris gak percaya lihat keajaiban itu. Mereka udah nikah satu bulan lalu. Tapi gak tahu kenapa, aku ngerasa Mikayla jadi aneh dan berubah udah kejadian itu.” “Berubah gimana maksud kamu?” tanya Diana, sama penasarannya denganku.  “Aku lumayan deket sama dia. Mikayla yang aku kenal itu ceria banget, periang, ramah sama murah senyum. Pokoknya dia baik banget. Tapi udah kejadian itu dia berubah jadi pemurung, pendiam, tertutup, jarang ngomong dan nyaris gak pernah senyum. Dia jadi serius banget orangnya. Pokoknya dia berubah jadi seseorang yang gak aku kenal. Kayak jadi orang lain gitu.” Tutur Rachel menggebu-gebu, membuat kami mau tak mau jadi mempercayai ceritanya.  “Wajar aja kan dia jadi begitu. Pasti dia trauma dan syok banget udah kecelakaan itu. Aku rasa gak ada yang aneh, pelan-pelan juga dia pasti ceria lagi kayak dulu.” Diana mengungkapkan pemikirannya. Ku rasa tidak ada yang salah dengan dugaannya ini. Aku setuju dengannya.  “Ya kemungkinan secara logika itu juga emang ada tapi bukan berarti kita mengabaikan kemungkinan lain kan? Bagi aku dia aneh banget... aku ngerasa dia bukan Mikayla yang aku kenal. Aku pikir mungkin aja dia itu dirasuki makhluk halus.” Aku terlonjak kaget mendengarnya, Diana terbelalak sama kagetnya denganku. “Pemikiranmu berlebihan Ra.” Diana menyahut seraya menggeleng tak percaya. “Ya mungkin pemikiranku emang berlebihan... tapi aku ngerasa begitu.” “Terus kamu tadi bilang mau minta bantuan aku, maksudnya apa?” pertanyaan ini akhirnya ku lontarkan, aku memiliki firasat sesuatu yang ingin dikatakan oleh Rachel akan membuatku terlibat dalam masalah ini.  “Hmm... gini, Na. Kamu kan bisa lihat makhluk halus. Jadi aku pengin minta bantuan kamu buat nyelidikin Mikayla. Kamu pasti bisa lihat kalau emang bener dia dirasuki makhluk halus kan?” seperti dugaanku, memang permintaannya ini akan membuatku terlibat dalam masalah ini.  “Aku rasa yang Diana bilang itu bener deh. Pemikiran kamu berlebihan Ra.” Sahutku. Entah dia sadar atau tidak aku sedang mengutarakan penolakanku. Tapi tindakan Rachel yang tiba-tiba bangun dari duduknya, lalu dia berjongkok di depanku seraya memegangi tanganku sukses membuatku merasa tak enak hati jika menolak permintaannya. Terlebih dia itu sahabatku yang sangat berharga.  “Tolong bantuin aku Na, aku mohon sama kamu. Kamu tenang aja, aku juga pasti bantuin kamu nyelidikin masalah ini. Jadi kamu gak sendirian. Cuma kamu yang bisa bantu aku.” Ucapnya dengan tatapan tulus memohon bantuanku. “Tapi gimana caranya aku bisa nyelidikin istri sepupu kamu itu?” “Oh kalau itu gampang. Kebetulan Araya lagi ngebutuhin seorang sekretaris pribadi. Dia itu masih muda, baru berusia 26 tahun tapi udah jadi pengusaha sukses. Dia udah punya perusahaan sendiri. Dia jadi CEO disana. Sekretarisnya baru aja meninggal jadi dia lagi butuh sekretaris baru. Ku rasa posisi ini cocok banget buat kamu, Na. Sesuai sama jurusan kuliah kamu dulu kan?” “Tapi aku trauma kerja jadi sekretaris, aku takut gagal lagi.” Rachel menggeleng tak setuju dengan ucapanku yang sudah pesimis sebelum memulai.  “Na, kamu itu cerdas. Aku yakin pasti kamu berhasil kali ini. Lagian kalau kamu kerja jadi sekretaris Araya, kamu juga kan bisa leluasa nyelidikin istrinya. Sejak mereka nikah, Mikayla sering datang ke kantor Araya.” Seru Rachel semangat meyakinkanku. “Tapi...” “Na, kamu coba aja dulu. Selain bisa kerja sesuai keahlian kamu, kamu juga kan jadi bisa bantu Rachel.” Timpal Diana kini berbalik mendukung rencana Rachel.  Jadi apa yang harus ku lakukan sekarang? Haruskah aku menyetujui rencana Rachel ini untuk menyelidiki Mikayla? Menolaknya pun rasanya sulit karena aku tidak ingin mengecewakan sahabat baikku. Entahlah... aku benar-benar dilema saat ini. ***  “Kamu gak bakalan nyesel kerja di perusahaan Araya, dia itu beneran tampan kayak pangeran kerajaan Arab gitu, Na.” Rachel kembali berucap, mungkin karena aku hanya terdiam dan belum juga menentukan keputusan apa yang harus ku ambil.  Sebenarnya bukan masalah sepupu Rachel yang bernama Araya itu tampan atau tidak, lagipula jika dia tampan memangnya kenapa? Toh dia pria yang sudah berisitri kan? Yang menjadi sumber keraguanku adalah sanggupkah aku melakukan penyelidikan pada istrinya seperti yang diminta oleh Rachel? Aku bukan seorang detektif jadi kenapa juga aku harus menyelidiki seseorang yang tidak aku kenal? Rasanya aku enggan melakukan ini tapi di saat yang bersamaan aku pun enggan menolak permintaan sahabat baikku.  “Na, kok diam sih? Jadi gimana, mau kan?” tambah Rachel tidak sabar. “Emangnya perusahaan dia ada di kota mana? Apa ada di Bandung?” tanyaku akhirnya merespon. “Di Jakarta.” Jawabnya singkat namun sukses membuatku tersentak kaget. Di Jakarta dia bilang? Ini semakin membuatku ragu, mengingat belum pernah sekalipun aku pergi ke kota yang merupakan ibu kota negaraku ini.  “Aku kayaknya gak bisa bantu kamu, Ra. Aku gak pernah pergi ke Jakarta. Lagian gak ada orang yang aku kenal disana.” Akhirnya keputusan inilah yang ku ambil. Lagipula menurutku keputusan inilah yang paling tepat.  “Ya ampun Na, kan ada kita berdua di Jakarta. Jadi kamu gak usah khawatir.” Diana menyahuti, membuat Rachel pun kembali bersemangat membujukku. “Benar kata Diana, kita berdua kan tinggal di Jakarta, jadi kamu gak bakalan sendirian.” Rachel berucap dengan kedua mata berbinar penuh harap. “ Lagian kamu gak perlu khawatir, nanti aku siapin Apartemen buat kamu tinggal selama di Jakarta.” Tambahnya. Aku masih tertegun, memikirkan kembali keputusan yang harus ku ambil.  “Please, Na... bantu aku. Kasihan Araya kalau istrinya ternyata bener-bener dirasuki makhluk halus.” “Tapi pemikiran kamu berlebihan Ra, gak mungkinlah dia bisa dirasuki makhluk halus.” aku kembali menyadarkan Rachel bahwa pemikirannya terlalu berlebihan menurutku. Diana tidak ikut melibatkan diri dalam perbincangan kami ini, tapi dia fokus menjadi pendengar yang baik. “Terus menurut kamu, kenapa tiba-tiba dia jadi berubah begitu bangun dari komanya?” “Kalau masalah ini ku rasa Diana lebih tahu?” “Eh... kok aku sih?” Diana terenyak seraya menatap heran ke arahku. “Kamu kan dokter Di, pasti kamu bisa jelasin hal ini dari segi pandangan ilmu medis kan?” terangku menjelaskan alasanku merasa dia paling tahu alasan yang mungkin terjadi pada Mikayla, sehingga kepribadiannya berubah setelah bangun dari komanya.  “Aku kan bukan psikolog atau ahli kejiwaan. Aku ini dokter gigi jadi mana aku ngerti soal beginian.” Sahut Diana seraya mengembuskan napas kasar. Aku memutar bola mataku malas mendengarnya. Kenapa aku merasa Diana jadi ikut-ikutan mendukung rencana Rachel? Padahal awalnya dialah yang merasa Rachel berpikir terlalu berlebihan.  “Tapi, Di, tadi kamu bilang mungkin dia masih syok dan trauma karena itu dia jadi berubah.” Ucapku mengingatkan pada Diana tentang argumennya tadi. “Iya, aku berpikir begitu. Tapi aku juga berpikir lain tentang Mikayla. Hmm... mungkin saja dia itu mengalami yang namanya alter ego kan?” aku dan Rachel saling berpandangan, kami cukup terkejut mendengar penuturan Diana ini.  “Alter ego? Maksudnya kepribadian ganda?” tanya Rachel memastikan. “Iya kepribadian ganda maksudnya. Jadi begini, bisa jadi selama Mikayla koma, alam bawah sadarnya seolah sedang berpetualang di dunia lain dan mengalami banyak hal karena itu begitu dia sadar, kepribadiannya jadi berubah. Itu bisa saja terjadi kan?” aku mengangguk menyetujui, namun sepertinya tidak demikian dengan Rachel. Dia mengernyitkan dahinya tampak tak setuju.  “Y-Ya, itu bisa jadi tapi kemungkinan dia kerasukan makhluk halus juga bisa jadi kan? Pokoknya kita selidiki saja dulu. Jadi Nana... aku mohon banget kamu mau bantu aku.” Aku mendesah lelah mendengarnya, Rachel benar-benar keras kepala.  “Menyelam sambil minum air, kurasa pepatah ini cocok. Jadi selain kamu bisa dapat pekerjaan yang cocok buat kamu, kamu juga bisa bantu Rachel. Gak ada salahnya kamu nerima tawaran ini kan Na? Aku sebagai sahabat kamu, dukung banget lho.” Diana semakin mendukung keinginan Rachel. “Tapi... aku gak bisa keluar dari pekerjaanku begitu aja. Aku harus ngasih surat pengunduran diri dulu.” “Ya ampun Na, itu kan masalah gampang. Ya udah sekarang kamu bikin aja surat pengunduran dirinya. Aku sama Diana pasti nemenin kamu ngasih suratnya ke atasan kamu. Iya kan Di?” Diana mengangguk menyetujui, tampaknya aku memang tidak memiliki pilihan untuk menolak permintaan Rachel ini.  “Oh iya, Na, malam ini kami menginap di sini ya. Kami mau bantuin kamu kemas-kemas barang, besok kita berangkat ke Jakarta. OK... kamu setuju, kan?” Wajar bukan jika aku terbelalak kaget sekarang? Rachel dan Diana berbicara seolah aku memang tidak punya pilihan untuk menolak. Akhirnya aku pun hanya mampu mengangguk pasrah.  Setelah itu, mereka benar-benar membantuku seperti yang mereka katakan. Mereka membantuku merangkai kata-kata yang ku tulis di dalam surat pengunduran diri. Padahal tanpa bantuan mereka pun aku bisa membuat surat itu sendiri.  Mereka mengantarku menemui atasanku untuk menyerahkan surat pengunduran diriku. Malam harinya, mereka juga membantuku dengan antusias, mengemas pakaianku. Mereka bersungguh-sungguh ingin membawaku ke Jakarta.  Sepanjang malam itu kami bercanda bersama, tertawa, mengobrol bahkan tidur bersama, membuatku teringat pada kenangan kami ketika masih SMA dulu. Sangat menyenangkan. Kebersamaanku dengan mereka berdua pun membuat tidurku lebih nyenyak dari biasanya. Aku merasa aman karena tidak ada hantu yang menggangguku malam ini.  Keesokan harinya, sesuai rencana, kami berangkat ke Jakarta dengan menggunakan mobil milik Rachel yang juga dikendarai olehnya. Aku memang tidak membawa banyak barang, hanya beberapa koper saja. Sebelum berangkat, tentu aku berpamitan dan menyerahkan kunci kotrakanku pada pemiliknya. Rumah pemilik kontrakan memang tidak jauh dari rumah kontarakan yang ku sewa.  Sepanjang perjalanan, Rachel dan Diana terus mengajakku mengobrol. Tapi fokusku tidak bersama mereka, aku lebih tertarik memikirkan bagaimana hidupku nantinya. Apa semua akan baik-baik saja? Apa aku bisa bersosialisasi dengan kehidupan baruku di Jakarta? Dan yang paling ku pikirkan, apa aku bisa membantu Rachel menyelidiki istri sepupunya itu? entahlah... banyak keraguan yang sedang menggelayuti pikiranku.  Rachel menghentikan mobilnya ketika kami tiba di depan sebuah gedung mewah yang tidak lain merupakan gedung Apartemen yang akan ku tinggali selama menetap di Jakarta.  “Ayo, kita masuk ke dalam!” ajak Rachel antusias. Aku dan Diana mengikuti langkahnya dari belakang. Namun... tiba-tiba aku merasa bulu kudukku merinding, hatiku seolah menyuruhku untuk mendongak ke atas gedung. Dan saat itulah... untuk pertama kalinya aku menyesal telah menuruti kata hatiku. Di atas gedung ini, aku melihat seorang wanita meluncur turun dengan cepatnya. Wanita itu jatuh tepat di depanku dan tergeletak tidak jauh dariku berdiri. Matanya melotot menatapku horor. Darah tak hentinya keluar dari kepalanya dan tubuhnya kejang-kejang. Sontak aku berteriak histeris melihatnya.  “Na, kamu kenapa?” “Kamu baik-baik aja, kan? Kenapa teriak?”  Rachel dan Diana bertanya dengan nada suara penuh kekhawatiran. Sedangkan aku masih fokus menatap ke arah wanita yang berlumuran darah tergeletak di depanku.  “Itu... itu...” ucapku terbata-bata seraya menunjuk ke arah wanita berlumuran darah di depanku. “Ada apa? Gak ada apa-apa kok di sana?” Saat itulah, di saat Rachel mengatakan bahwa dia tidak melihat apa pun, aku sadar bahwa yang ku lihat ini hanya aku seorang yang melihatnya. Wanita berlumuran darah itu tersenyum aneh ke arahku. Lalu tiba-tiba dia bangkit dan melayang di depanku. Kedua matanya masih melotot ke arahku. Sebagian kepalanya hancur dan masih saja meneteskan darah segar.  “Na, ada apa?” kini giliran Diana yang bertanya. “A-Apa di sini pernah ada wanita yang meninggal karena jatuh dari atas gedung?” tanyaku, Rachel dan Diana saling berpandangan. Lalu beberapa menit kemudian Rachel mengangguk mengiyakan.  “Iya, sekitar satu bulan yang lalu, memang ada penghuni salahsatu Apartemen yang bunuh diri dengan melompat dari balkon Apartemennya. Kamu kok bisa tahu?” Rachel menyahut. “J-Jangan katakan kamu melihat hantunya ya?” giliran Diana yang menyahut. Aku mengangguk karena faktanya memang hantu wanita yang bunuh diri itulah yang baru saja ku lihat. Parahnya lagi, aku melihat ketika dia melompat dari atas gedung. Lagi-lagi kemampuanku ini membuatku mengalami kesialan.  “Ya ampun, Na, pasti dia serem banget ya ampe kamu teriak-teriak gitu?” “Aku gak apa-apa kok, Ra. Ayo, kita masuk aja.” Sela ku cepat, aku berjalan masuk ke dalam gedung mendahului Rachel dan Diana.  Apartemenku terletak di lantai 15, begitu Rachel membuka pintunya. Ku lihat Apartemen yang akan aku tempati ini sangat luas dengan berbagai perabotan mewah di dalamnya. Bahkan ada sebuah piano juga. Namun lagi-lagi kesialan ku alami ketika mataku melihat sosok seorang wanita berambut panjang berantakan dengan dress putih kumal yang dikenakannya, sedang berdiri di pojok ruangan. Dia menunduk sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.  “Ra, Apartemen ini udah lama kosong ya?” tanyaku pada Rachel ketika kami sudah mendudukan p****t kami di sofa. “Iya, Apartemen ini punyaku, papa yang belikan. Rencananya nanti aku mau tinggal disini. Aku pengin belajar hidup mandiri tapi belum sempet pindahan. Jadi kamu bisa tinggal disini, toh aku juga masih tinggal di rumah orangtuaku kok.” Sahut Rachel seolah tak menyadari maksud pertanyaanku barusan.  “Emangnya kenapa Na? Kamu kok nanya gitu ke Rachel. Apa jangan-jangan Apartemen ini ada hantunya ya?” akhirnya justru Diana yang lebih peka dan menyadari maksud pertanyaanku tadi. Mereka berdua menatapku dengan raut wajah tegang. Tapi tak mungkin juga kan aku membohongi mereka.  “Iya, di sini ada... kuntilanak.” Jawabku dengan berbisik khawatir hantu itu mendengar kami sedang membicarakannya. “Ya ampun, kok bisa?” pekik Rachel terkejut, Diana membekap mulutnya tak percaya. “Wajar aja rumah yang udah lama kosong, emang suka ditempatin makhluk halus. Tapi kalau kita udah tinggal disini, terus rajin ibadah, dia pasti pergi kok.” Sahutku seolah tak merasa takut sama sekali. Faktanya apa yang sedang ku rasakan sekarang sangat bertolak belakang dengan perkataanku. Tentu aku takut terutama menyadari hantu itu kini sedang menatap tajam ke arah kami.  “Kamu beneran gak takut Na tinggal sendirian disini? Apa mau cari Apartemen lain aja?” Rachel berbaik hati menawarkan. Tapi tentu aku cukup tahu diri. Aku tidak ingin merepotkan Rachel lebih dari ini.  “Gak apa-apa, Ra. Aku tinggal di sini aja.” “Hmm, kasihan banget jadi kamu ya Na. Tapi aku salut sama kamu. Kamu berani, udah gitu sabar banget,” ucap Diana, seolah menohok hatiku. Kedua sahabatku ini memang berpikir aku ini sosok yang sabar, tegar dan pemberani. Padahal nyatanya tidak begitu. Aku ini seorang penakut yang tak hentinya menggerutu karena memiliki kemampuan terkutuk ini.  “Na, kamu tenang aja. Aku bakal sering datang kesini terus nginep disini nemenin kamu. Jadi gak usah takut ya, kamu juga gak bakalan kesepian kok.” Rachel yang mengatakannya seraya menyentuh bahuku lembut. “Iya, makasih Ra.” “Aku juga bakalan sering mampir kesini. Oh iya Na, kalau kamu bosen terus lagi gak ada kerjaan, kamu main aja ke rumah sakit tempat aku magang. Gak jauh kok dari sini.” Diana ikut menimpali. Di balik berbagai kesialan yang sering menimpaku, aku bersyukur karena memiliki sahabat yang begitu peduli padaku seperti Rachel dan Diana.  “Ya udah, kita beresin barang-barang kamu. Terus istirahat deh. Malam ini aku nginep disini deh. Besok pagi-pagi aku anter kamu ke kantornya Araya. Aku udah kirim pesan ke dia jadi dia udah tahu besok kamu datang mau ngelamar jadi sekretaris dia.” Setelah mengatakan sesuatu yang sukses membuatku terlonjak kaget, Rachel beranjak bangun dari duduknya.  “Oh iya, besok kamu buktiin sendiri kalau yang aku omongin itu gak bohong kok. Buktiin sendiri kalau Araya itu emang tampan banget.” Tambahnya seraya mengedipkan mata kirinya padaku. Diana ikut tersenyum menggodaku. Lalu mereka berdua pun melenggang pergi seraya mendorong beberapa koperku.  Besok kehidupan baruku dimulai. Semoga orang yang bernama Araya itu sosok pria yang menyenangkan agar aku bisa betah bekerja di perusahaannya.  Aku ikut bangun dari dudukku dan mengikuti kedua sahabatku menuju sebuah ruangan yang akan menjadi kamarku, mengabaikan tatapan kuntilanak yang masih berdiri di pojok ruangan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dependencia

read
185.8K
bc

Mrs. Rivera

read
45.2K
bc

Me and My Broken Heart

read
34.4K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.6K
bc

Hubungan Terlarang

read
500.2K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
50.6K
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
304.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook