bc

Dalam Senandung Iman

book_age12+
839
FOLLOW
5.8K
READ
love-triangle
family
tomboy
independent
drama
comedy
humorous
enimies to lovers
first love
friendship
like
intro-logo
Blurb

Lativa, perempuan cantik berkepribadian menarik, menyukai Yudi si laki-laki rese yang hobinya bikin kesal.

Tania si perempuan galak yang hobinya berteriak, menyukai Alvaro, laki-laki tampan berkepribadian menawan. Karena suatu alasan Yudi diminta menikahi Tania, sedangkan Lativa akan menikah dengan Alvaro. Di sisi lain, Tania dan Lativa adalah dua bersaudara yang saling menyayangi.

Kisah ini dipersembahkan kepada kalian yang sedang terombang-ambing di tengah persoalan rasa. Terjebak pada cinta yang salah. Bingung dalam menentukan pilihan— antara bertahan atau melepaskan. Selamat membaca :')

chap-preview
Free preview
Lamaran Dari Masa Lalu
Sekelumit rindu selalu hadir tatkala memikirkan tentang masa kecil. Tentang janji yang sempat terucap, namun tak pernah ditepati. Mereka yang memilih pergi selalu menyisakan luka bagi pihak yang tertinggal. Menciptakan perih bagi hati yang terlanjur berharap. Tatkala segalanya hampir lenyap, mereka kembali membawa janji yang telah lama menguap. Namun, apa daya hidup tak lagi sama. Adalah Lativa Zahrani, satu dari sekian perempuan yang masih terbayang masa lalu. Sore itu, ia baru pulang dari sekolah setelah seharian bekerja. Gurat kelelahan terlukis jelas di wajah ayunya. Lativa ingin segera beristirahat, tetapi suara nyaring terdengar menginterupsi gerakannya. Mendesah pelan, Lativa mendongak kaku. “Ada apa, Bu?" tanyanya sembari menghampiri kedua orang tuanya yang sedang menunggu di ruang tamu. Ia mengabaikan kehadiran orang lain yang juga ada di sana. Lativa hanya melirik sekilas punggung seorang laki-laki tanpa menyimpan atensi yang berarti. Lativa hanya berniat menyalami ayah dan ibunya tanpa basa-basi, tetapi niat tersebut urung ia lakukan tatkala seseorang menyebut nama kecilnya. Lativa terpaku. Bergeming untuk waktu yang cukup lama. Memorinya berputar cepat, menampilkan kilasan-kilasan kejadian yang tersimpan dalam kotak kenangan. Seperti film, sebuah kisah yang telah usang dijejalkan kembali di kepalanya. Mengungkap cerita yang terasa menyakitkan sekaligus menyenangkan. Lativa merasa tersedot ke dalam suatu lubang yang ingin ia tutup rapat namun tak pernah bisa.  "Apa kabar, Zahra?" Lativa segera berbalik. Memandang tak percaya kepada pemuda yang duduk di seberang meja. Bola matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Sudah 5 tahun berlalu sejak mereka berpisah. Ia yang ditinggalkan tanpa kata hingga mencipta luka tak terperih. Seumur hidup, Lativa tidak akan pernah melupakan wujud pemuda itu. Zahra. Hanya satu orang yang selalu memanggilnya begitu. Ialah Yudi Saktiawan, teman masa kecil, sekaligus cinta pertamanya. "Yu-Yudi?" bisik Lativa begitu lirih. "Ya, ini aku." "Kenapa baru muncul sekarang?" Ada begitu banyak kata yang mendesak keluar, namun akhirnya hanya kalimat itu yang terlontar dari bibirnya. Lativa terlalu kaget untuk menyusun puing-puing pertanyaan yang berhamburan di kepala. "Tiva, duduk dulu." Pak Burhan—ayah Lativa— menarik tangan putrinya hingga membuat perempuan itu jatuh ke atas sofa. Yudi memandang Lativa serba salah. Rindu. Khawatir. Malu. Segalanya bercampur menjadi satu. Seperti halnya Lativa yang kesulitan merangkai kata, ia pun hanya mampu mengeluarkan sebuah kata maaf dari lisannya. Lativa menarik napas panjang. Berupaya menetralisir perasaan membuncah di dadanya. Bahagia dan sedih muncul secara bersama tanpa dapat dicegah. Ia terpejam sesaat sebelum berkata, "Kamu ngapain ke sini?" Kalimat yang terdengar sinis di telinga Yudi. "Begini, Nak ...." "Biar aku yang jawab, Om," potong Yudi. Pemuda itu terdiam beberapa saat. Tampaknya sedang mempertimbangkan sesuatu bila dilihat dari keningnya yang berkerut dalam. Yudi menghela napas panjang sebelum menyampaikan maksud kedatangannya. Sebuah maksud yang disangka baik, namun ternyata akan menyeret mereka ke dalam permasalahan yang rumit. Menciptakan hari-hari melelahkan di masa yang akan datang. Satu pernyataan yang membuat Lativa merasakan sesal yang teramat dalam. "Om, Tante, aku ke sini untuk melamar Zahra. Jika Om sekeluarga sepakat, maka besok aku akan datang bersama kedua orang tuaku." Kaget, tentu saja. Setiap orang yang mendengar merasakan hal yang sama. Pasalnya, usai sekian tahun menghilang, pemuda itu tiba-tiba muncul kembali dengan niat melamar anak gadis orang. Lativa tidak tahu harus berkata apa. Otaknya mendadak kosong. Matanya sontak memerah disertai hati yang berdenyut menyakitkan. Sesak luar biasa dirasa seolah pasukan oksigen lenyap saat itu juga. Lativa mengigit bibirnya kuat. Sebisa mungkin ia menahan desak cairan bening yang kian menumpuk di sudut matanya. Pak Burhan dan istrinya terkejut bukan main. Mereka tidak menyangka kehadiran Yudi hari ini untuk melamar salah satu anak perempuannya. Setelah hening yang cukup panjang, Pak Burham mengambil alih situasi. Lelaki paruh baya itu berdehem terlebih dahulu sembari berusaha mengulas senyum penuh pengertian. Wajar, pikirnya. Yudi terlalu lama menghilang sehingga tak tahu apa pun tentang Lativa. Pak Burhan menatap Yudi serius. "Nak, kamu tahu kalau orang tuamu dan kami bersahabat. Sejak dulu kami selalu menginginkan kamu menjadi menantu di rumah ini. Kamu adalah pemuda yang baik." Pria paruh bayah itu bercerita panjang lebar sambil sesekali menarik napas. Memaparkan tentang keunggulan Yudi dari sudut pandangnya. Yudi tersenyum mendengarnya. Ia Merasa punya peluang. “Kami juga nggak perlu meragukan asal-usulmu. Kami pun merasa kalau kamu mampu menjadi suami yang bertanggungjawab.” Yudi berdehem, "Jadi, Om?" "Kamu baik. Kami yakin tentang itu, tapi ...." "Tapi?" Yudi mulai kehilangan kesabaran karena Pak Burhan tak kunjung memperjelas maksudnya. "Kamu datang terlambat, Nak." Bu Burhan menjawab ragu. Tidak tega. "Ma-maksud Tante?" Yudi sangat memahami maksud ucapan Bu Burhan. Ia terlambat. Semuanya sudah sangat jelas. Lativa sudah menikah. Tak ada lagi yang dapat dilakukan. Pujaan hatinya, teman masa kecilnya, satu-satunya perempuan yang membuatnya jatuh cinta kini telah menjadi milik orang lain. Catat itu. Lativa adalah istri lelaki lain yang bukan dirinya. Bodoh. Hal semacam itu tentu sangat mungkin terjadi. Mana ada perempuan yang mau menunggu sedemikian lama tanpa sebuah kepastian. Dia pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun. Tetapi, bukankah mereka saling mencintai? Wajah Yudi tampak kaku. Ada rasa tak terima yang menghantam dirinya. Semudah itu Lativa berpaling? Yudi membuka tutup mulutnya seakan hendak mengatakan sesuatu. Tapi, dengan cepat, bibir itu kembali terkatup rapat. “Nak?” panggil Bu Burhan, berusaha menyelamatkan situasi yang dirasa mulai tak bersahabat. Yudi mengerjap lambat. Menghirup udara dalam satu kali tarikan napas. Ada jeda yang cukup lama sebelum Yudi mengulas senyuman kecut. "Oh? Ternyata aku emang datang terlambat. Selamat ya, Zahra." Lativa mengusap sudut matanya dengan cepat. Tidak. Tidak. Tidak. Bukan akhir seperti ini yang selalu dia impikan bersama pemuda itu. Cerita mereka seharusnya berjalan bahagia andai saja ia lebih sabar menanti. "Nak,” Pak Burhan memanggil. “Nggak pernah ada kata terlambat. Om percaya, kehadiranmu di sini sudah diatur oleh Allah. Jika kamu kehilangan sesuatu, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik." "Lebih baik dari Zahra?" tanya Yudi skeptis. Pak Burhan meringis dalam hati. Sebesar itu ternyata perasaan Yudi untuk putri bungsunya. Namun, tekad Pak Burhan sudah kuat. Keputusannya tidak akan berubah. Dia menginginkan Yudi menjadi menantu dalam keluarganya. "Bagaimana kalau lamaran itu kamu alihkan kepada Tania?" tawar Pak Burhan tanpa ada keraguan. Sebelum Yudi menjawab, Lativa sudah lebih dulu menyela, "Hah?! Ayah apa-apaan!" "Kenapa teriak, Lativa?" tegur Bu Burhan sembari meraih tangan putrinya, meminta Lativa untuk duduk kembali. Meskipun tak paham alasan sang Suami mengajukan tawaran itu, tetapi Bu Burhan tidak mungkin diam saja ketika menyaksikan Lativa yang biasanya lemah lembut mendadak bersikap begitu. Lativa melepas pelan genggaman Bu Burhan. "Apa yang Ayah lakukan? Jelas-jelas Yudi datang untuk melamarku, bukan Mbak Tania." "Ayah hanya menyarankan. Keputusannya kembali kepada Yudi." Pak Burhan berkata tenang. Bukan tanpa alasan Pak Burhan menginginkan Yudi menikahi Tania— putri sulungnya. Sejauh yang diingatnya, sewaktu mereka masih bertetangga dulu, Yudi termasuk orang yang mampu mengimbangi sifat keras Tania. Pak Burhan berharap, Yudi dapat membimbing putri sulungnya menjadi lebih baik. "Tapi, Yah ...." "Sudah! Serahkan semuanya kepada Yudi." Kini, semua orang menghadap ke arah Yudi, menanti kalimat yang akan keluar dari mulut lelaki itu. "Bagaimana, Nak? Jika kamu bersedia, maka pernikahan kalian bisa diadakan secara bersamaan dengan Lativa dan Alvaro." “Huh?” Yudi mengernyitkan dahi. “Ada apa?” Bu Burhan mempertanyakan kebingungan Yudi. “Bukannya Lativa sudah menikah?” “Lativa menikah bulan depan,” Bu Burhan mengoreksi Yudi yang sepertinya salah paham dengan ucapannya tadi. Yudi menahan napas. Lativa belum secara resmi menjadi istri orang. Lamarannya ditolak karena sudah ada yang datang meminang lebih dahulu. Islam pun tidak memperbolehkan mengajukan pinangan kepada perempuan yang sudah dipinang oleh lelaki lain. Tetapi, hal itu tidak lantas membuat Lativa berganti status. Dengan kata lain, masih ada kemungkinan mereka batal menikah. Siapa yang tahu? Yudi menoleh kepada Lativa. Dilihatnya perempuan itu menggeleng kuat. Menatapnya dengan pandangan memelas seakan meminta dirinya untuk menolak tawaran Pak Burhan. Saat itu, entah setan apa yang merasukinya, Yudi tak ingin memikirkan apa pun. Dalam benaknya hanya ada peluang untuk membuat Lativa kembali berada di sisinya. Tawaran Pak Burhan dianggap sebagai kesempatan kedua. Ia tidak akan menyia-nyiakannya. “Yud?” Yudi mengulas senyum penuh percaya diri. Dengan kesadara penuh, pemuda itu menjawab, “Saya bersedia jika Mbak Tania setuju.” ... "Permisi, Mbak, apa masih ada novel Anonim karya Azalea?" "Iya, Kak. Ada di sebelah sana, rak paling atas." Tania mengangguk, tersenyum berterimakasih, kemudian berjalan menghampiri deretan novel yang tadi ditunjukkan oleh si Pramuniaga. Begitu Tania menginjakkan kaki di depan rak buku yang menjulang tinggi, helaan napas panjang lolos dari bibirnya. Kenapa tinggi sekali? Mereka pasti ingin menzalimi orang-orang bertubuh pendek! Tania mencibir dalam hati. Perempuan itu menengok ke kiri dan ke kanan. Berharap ada seseorang yang dapat membantunya. Sayang sekali, semua pengunjung terlihat sibuk. Tak punya pilihan lain, Tania memutuskan untuk meminta pertolongan kepada salah satu pramuniaga yang berjaga di sana. Saat dia hendak berbalik, sebuah suara menghentikan langkahnya. “Butuh bantuan?” Tania berputar cepat, berbalik demi melihat siapa kiranya orang baik yang bersedia direpotkan olehnya. Bola mata Tania membesar ketika menemukan sosok yang sangat dikenalnya. Lelaki itu adalah Alvaro Mahardika, calon adik iparnya. "Aku lihat kamu dari celah rak itu,” Alvaro menunjuk deretan rak yang tak kalah tinggi yang terletak di balik punggungnya. “Kayaknya kamu kesulitan. Mau ngambil yang mana?" "Sampul biru, paling atas. Judulnya Anonim," sahut Tania sedikit gugup. "Bisa geser sedikit? Bukunya ada di atas kepalamu," sahut orang itu, lantas menyerahkan buku yang dimaksud Tania. "Terimakasih, Dika." "Masih ada yang ingin kamu ambil?" Tania berdehem, lalu menggeleng. Alvaro mengangguk. "Kamu mau pulang atau ..." "Sudah hampir sore, aku mau pulang. Kalau kamu?" "Aku mau main ke rumahmu. Ayahmu ada?" "Biasanya beliau jam segini sudah lama ada di rumah." "Baiklah. Mau pulang bareng?" Tania mengangkat sebelah alisnya. "Bareng?" "Maksudku, aku pakai motorku dan kamu pakai motormu. Kamu bawa kendaraan, kan?" Alvaro buru-buru memperjelas maksudnya. Tania hanya mengangguk kaku. Tanpa banyak bicara, mereka berjalan beriringan menuju kasir. ... "Assalamua’laikum ... Ibu ... Ayah ... Tania pulang!" “Wa’alaikumussalam," sahut seseorang dari dalam rumah. "Mari masuk, Dik." Tania mempersilakan Alvaro masuk. Alvaro mengulas senyum simpul, lantas melepas sepatu dan menaruhnya pada rak yang ada di samping pintu. Bu Burhan meminta Tania untuk menuju ke ruang tamu. Langsung saja Tania bersama Alvaro mengikuti arahan wanita itu. Tania heboh menyapa keluarganya sambil menyalami mereka satu persatu. Di belakangnya, tampak Alvaro menahan senyuman menyaksikan tingkahnya. "Silakan duduk." Pak Burhan mempersilakan Alvaro duduk setelah mereka berjabat tangan. "Lho? Yudi? Kamu Yudi temannya Tiva waktu kecil, kan?" Tania menangkupkan tangan di depan d**a. Mulutnya sedikit menganga mendapati kehadiran lelaki yang sudah lama tak terlihat batang hidungnya itu. "Iya Mbak, ini saya," balas Yudi sangat sopan. Tania menatap heran ke arah Yudi. Alisnya terangkat satu, menilai secara terang-terangan. Dia sudah berubah? Yudi yang dulu Tania kenal jauh dari kata baik. Dalam artian, dia tidak pernah berlaku sopan kepadanya. Memanggil nama Tania tanpa embel-embel 'kakak'. Alasannya, karena mereka hanya berbeda dua tahun. Padahal, pemuda itu memanggil teman-teman Tania dengan sebutan 'mbak'. Entah apa yang salah dengannya. Tania jadi kesal ketika mengingat hal itu lagi. "Kapan kamu tiba di Malang?" tanya Tania setelah lama terdiam. "Kemarin, Mbak. Tapi baru sempat berkunjung hari ini." Tania mengangguk. "Oh, iya, kenalkan ini Dika, teman satu kampusku dulu sekaligus— " ucapan Tania terpotong oleh Yudi. "Calon suami Zahra?" "Kamu tahu?" sahut Tania heran. Yudi tak merespon perkataan Tania. Dia lebih memilih menyodorkan tangan kepada Alvaro, mengajak berkenalan. "Saya Yudi, Mas. Teman masa kecilnya Zahra." "Saya Alvaro," Alvaro menyambut tangan Yudi. Mereka berjabat tangan dengan sangat erat. "Tania." Pak Burhan memanggil putri sulungnya. Tania mengalihkan pandangannya dari dua pemuda yang duduk di hadapannya. Baginya, mereka tampak mengeluarkan aura tidak biasa. Seperti ada persaingan tak kentara. "Ada yang hendak kami bicarakan." "Ada apa, Yah?" Tania mengambil posisi di sebelah Lativa. "Kamu jangan menyela sebelum Ayah selesai menjelaskan, bisa, kan?" Tania hanya mengangguk malas. "Kami mau kamu menikah dengan Yudi," ujar Pak Burhan to the point.  Tania berkedip lambat. Satu kali, dua kali, tiga kali. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang baru saja disampaikan oleh ayahnya. "Aku?!!" teriaknya kencang seraya berdiri begitu otaknya berhasil memproses ucapan sang Ayah dengan baik. "Iya, kamu. Memangnya siapa lagi, Mbak? Zahra?" sahut Yudi ketus dan cepat. Dia merasa tersinggung akan respon Tania yang menurutnya sangat berlebihan. Lagi pula, jika tak punya tujuan tertentu, Yudi pun enggan untuk bersanding dengan perempuan semacam Tania yang hobinya berteriak. "Iya! Kalian kan, saling suka!" Tania menunjuk mereka berdua. "Mbak ngawur!" timpal Lativa, meski dalam hati sangat mengiyakan. "Memang benar, "kan? Mungkin dulu kalian bisa jadian kalau— "  "Mbak!" teriak mereka berbarengan. Lativa menarik kuat tangan kakaknya, memaksa Tania untuk duduk. Tania ingin protes, tetapi suara deheman menghentikan niatnya. Tersentak. Dia hampir melupakan keberadaan Alvaro di sana. Laki-laki yang sebentar lagi akan menikahi adiknya. "Maaf," ujarnya sambil menunduk bersalah. Tania melirik Alvaro lewat ekor mata, ekspresi pemuda itu tidak terbaca. Apa yang sedang dia pikirkan? "Kami ingin Yudi menjadi menantu di keluarga ini, Nak." Bu Burhan menambahkan. Tania hampir saja mendelik kepada ibunya seandainya tak mengingat larangan berlaku buruk terhadap orang tua. Keinginan macam apa itu? Apa istimewanya Yudi? Terus terang, Tania belum sepenuhnya percaya terkait perubahan Yudi. Laki-laki itu pasti masih menyisakan sikap menyebalkan yang sudah mendarah daging dalam dirinya. Sebadungnya Tania, dia juga hanya perempuan biasa yang menginginkan imam yang baik untuk membimbingnya. "Tapi, Bu ...." "Kenapa?" "Yudi adikku." Tania menyorot Yudi datar. Usia Yudi dua tahun lebih muda dari Tania. Tak ada ceritanya ia mau menikah dengan junior. Suami impian Tania itu minimal seumuran. Seperti Alvaro, misalnya. Hah?! Tania menggeleng kuat. Mengenyahkan pikiran aneh yang terlintas di benaknya. Intinya, Tania ingin menikah dengan lelaki yang dicintainya. Yudi sama sekali tak memenuhi kriteria ditinjau dari sisi mana pun. Lagi pula, Tania tidak akan mungkin lupa kalau Yudi adalah makhluk paling menyebalkan yang pernah ada di muka bumi. "Sejak kapan kamu jadi kakakku?" Yudi bersuara. Kesal luar biasa. Pandangan Tania seakan meremehkannya. Apa-apaan dia itu? Ia melotot. "Kamu nggak suka sama aku!"  Entah apa alasan orang tuanya mau menikahkannya dengan Yudi. Satu hal yang Tania yakini, bahwa Yudi masih mencintai Lativa. Perjalanan kisah mereka telah dibangun sejak kecil walaupun akhirnya harus kandas karena ada pihak yang menghilang tanpa kabar. "Kalau itu— " Kalimat Pak Burhan terpotong. Sekali lagi, Yudi pelakunya. "Aku suka kamu. Itulah kenapa aku mau menikahimu." Yudi berkata tegas. Tatapannya menyorot penuh tekad. Bagaimanapun caranya, Tania harus menikah dengannya agar rencananya berjalan mulus. Rencana pernikahannya dengan Tania adalah peluang berharga baginya untuk sering bertemu dengan Lativa. Mereka adalah calon saudara ipar. Yudi akan menggunakan alasan itu untuk menciptakan momen bersama Lativa tanpa harus mengundang kecurigaan dari banyak pihak. Tania tertegun. Ada yang aneh dengan perasaanya. Dia bisa merasakan aura yang berbeda dari Yudi. Ada yang salah dengan lelaki itu. Suara Yudi memang tertuju pada Tania, namun tatapan mata Yudi jelas bukan untuknya. Tatapan itu tertuju pada—Tania menoleh ke kanan—Lativa. Mengapa selalu kamu? Tania melemparkan tatapan tajam khasnya kepada Yudi. Senyum sinis tersungging di sudut bibirnya. Niat tersembunyi Yudi mudah sekali dibaca. Tampaknya pemuda itu ingin memanfaatkan dirinya agar punya kesempatan dekat dengan Lativa. Ia muak. Kondisi yang sama terus-menerus terulang. Orang-orang sering menjadikannya batu loncatan untuk menarik perhatian Lativa. Ia tersisihkan. Tak dianggap berharga. Meskipun demikian, Tania tidak pernah membenci Lativa. Ia justru sangat menyayangi sang adik. Akan tetapi, entah mengapa, situasi kali ini menimbulkan reaksi yang berbeda di hatinya. Ada keinginan untuk membuat Lativa merasakan apa yang ia rasakan. Biarlah mereka sama-sama patah hati. Sekali saja, bolehkah Tania melampiaskan rasa sakitnya?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MOVE ON

read
94.6K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
473.9K
bc

Switch Love

read
112.4K
bc

Everything

read
277.3K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.7K
bc

Broken

read
6.2K
bc

The Unwanted Bride

read
110.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook